Sariputta | 227 SILA PATIMOKHA Sariputta

227 SILA PATIMOKHA

👁 1 View
2017-10-12 10:23:20

PARAJIKA 4

  1. Apabila seorang bhikkhu yang telah menerima peraturan latihan dan cara hidup kebhikkhuan dan tidak menyatakan ketidaksanggupan untuk menjalankannya, melakukan hubungan kelamin sekalipun dengan binatang betina, maka bhikkhu itu terkalahkan dan tidak boleh lagi berada dalam Sangha.
  2. Apabila seorang bhikkhu dengan maksud untuk mencuri, mengambil apa yang tidak diberikan dari daerah yang berpenduduk atau dari hutan, sedemikian rupa sehingga akan menyebabkan raja akan menangkap dan atau menghukum, memenjarakan atau membuang, dengan kata-kata : “Kamu perampok, kamu bodoh, kamu pencuri”, maka bhikkhu itu terkalahkan dan tidak boleh lagi berada dalam Sangha.
  3. Apabila seorang bhikkhu dengan sengaja membunuh seseorang atau memberikannya senjata tajam untuk membunuh diri atau menyatakan bahwa kematian lebih baik atau menganjurkannya membunuh diri, dengan berkata: “Saudara, apa gunanya hidup yang susah ini bagimu? Kematian lebih baik bagimu daripada hidup”, maka bhikkhu itu terkalahkan dan tidak boleh lagi berada dalam Sangha.
  4. Apabila seorang bhikkhu yang tidak mempunyai kemampuan apa-apa menyatakan bahwa ia memiliki kesaktian/kesucian yang sebenarnya tidak dimilikinya dengan mengatakan : “Saya tahu ini, saya lihat ini” dan setelah itu pada kesempatan lain baik diperiksa atau tidak, terjatuh dalam kesalahan dan ingin membersihkan diri lalu berkata : “Teman, tidak tahu saya katakan ‘Saya tahu’; tidak melihat, Saya katakan ‘Saya melihat’; apa yang Saya akan katakan adalah berlebihan dan salah, maka kecuali hal itu karena salah perkiraan, maka bhikkhu itu terkalahkan dan tidak boleh lagi berada dalam Sangha.

 

SANGHADISESA 13

  1. Apabila seorang bhikkhu mengeluarkan air mani dengan sengaja kecuali dalam mimpi, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.
  2. Apabila seorang bhikkhu dengan pikiran menyeleweng karena nafsu menyentuh tubuh atau memegang tangan, rambut, atau menyentuh anggota tubuh seorang wanita, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.
  3. Apabila seorang bhikkhu dengan pikiran menyeleweng karena nafsu berbicara pada seorang wanita dengan kata-kata mengandung nafsu seperti yang dikatakan oleh seorang pemuda kepada seorang gadis untuk mengajak mengadakan hubungan kelamin, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.
  4. Apabila seorang bhikkhu dengan pikiran menyeleweng karena nafsu berbicara di hadapan seorang wanita untuk memuaskan nafsunya dan mengajak mengadakan hubungan kelamin, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.
  5. Apabila seorang bhikkhu bertindak sebagai perantara untuk menyampaikan maksud dari seorang pria kepada seorang wanita atau maksud dari seorang wanita kepada seorang pria, baik mengenai perkawinan atau di luar perkawinan, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.
  6. Apabila seorang bhikkhu mendirikan pondok (kuti) atas kemauannya sendiri dan tidak ada (orang awam) pemilik (yang membuatkan dan memberikannya) dan diperuntukkan untuk dirinya sendiri, maka harus dibuatnya menurut ukuran yang telah ditentukan. Ukurannya adalah : panjang 12 span dari sugata, lebar 7 span dari sugata dari sebelah dalam. (Keterangan : 1 sugata span = 131/3 inci). Para bhikkhu harus berkumpul untuk menunjukkan letaknya (pondok) dan menunjukkan tempat yang tidak dipergunakan dengan batas daerahnya. Apabila tidak demikian, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.
  7. Apabila seorang bhikkhu membuat tempat tinggal yang luas dengan orang awam sebagai pemilik (yang membuat dan memberikannya) dan diperuntukkan untuk dirinya sendiri, para bhikkhu harus berkumpul untuk menunjukkan letaknya dan menunjukkan daerah yang tidak dipergunakan dengan batas daerahnya.
    Apabila tidak demikian, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.
  8. Apabila seorang bhikkhu karena marah ingin melampiaskan amarahnya dan merasa tidak senang, menuduh bhikkhu lain tanpa dasar akan suatu pelanggaran parajika dengan niat : “Barangkali dengan demikian ia akan gugur dari kebhikkhuan”, dan setelah itu pada kesempatan lain baik diperiksa atau tidak ternyata hal itu tidak beralasan dan bhikkhu itu marah, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.
  9. Apabila seorang bhikkhu karena marah, ingin melampiaskan amarahnya dan merasa tidak senang, menuduh bhikkhu lain melakukan pelanggaran parajika, mempergunakan alasan yang dicari-cari untuk dihubungkan dengan pelanggaran lain, dengan niat : “Barangkali dengan demikian ia akan gugur dari kebhikkhuan”, dan setelah itu pada kesempatan lain baik diperiksa atau tidak ternyata hal tersebut berhubungan dengan pelanggaran lain, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.
  10. Apabila seorang bhikkhu mencoba untuk menyebabkan perpecahan Sangha yang berada dalam keadaan akur dan damai, dan tetap berusaha untuk mencobanya sesudah dinasihati oleh bhikkhu-bhikkhu lain untuk tidak mencoba menyebabkan perpecahan Sangha yang berada dalam keadaan akur dan damai, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.
  11. Apabila bhikkhu-bhikkhu pengikut dari bhikkhu tersebut (No.10) misalnya satu atau dua atau tiga yang membelanya dan berkata : “Janganlah sekali-kali bhante menasihati bhikkhu tersebut, karena bhikkhu tersebut adalah juru bicara Dhamma dan Vinaya, dan perkataannya sesuai dengan keinginan dan pilihan kami, ia mengetahui (pikiran kita) dan berbicara (untuk kita) dan itu adalah keinginan kita”. Bhikkhu-bhikkhu itu harus dinasihati oleh bhikkhu-bhikkhu lain untuk tidak berbuat demikian. Apabila setelah dinasihati sebanyak tiga kali bhikkhu-bhikkhu itu tetap demikian, maka bhikkhu itu melanggar peraturan sanghadisesa.
  12. Seorang bhikkhu mungkin sukar untuk diberi nasihat dan bila diberi nasihat oleh bhikkhu-bhikkhu lain secara seharusnya mengenai peraturan latihan, bhikkhu itu membuat dirinya tidak mau menerima nasihat dengan berkata : “Harap bhante tidak memberi nasihat kepada saya mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, dan saya pun tidak akan memberi nasihat kepada bhante mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik. Harap bhante tidak memberi nasihat lagi kepada Saya”. Maka bhikkhu itu harus diberi nasihat oleh bhikkhu-bhikkhu lain sebagai berikut : “Harap bhante tidak membuat diri bhante tidak mau menerima nasihat, lebih baik bhante membuat diri bhante dapat menerima nasihat. Bhante dapat memberi nasihat kapada bhikkhu-bhikkhu lain secara seharusnya, dan bhikkhu-bhikkhu lain dapat memberi nasihat kepada bhante secara seharusnya, karena Dhamma akan berkembang dengan saling memberi nasihat dan dengan saling memperbaiki diri”. Apabila bhikkhu itu sesudah diberi nasihat sebanyak tiga kali tetap demikian, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.
  13. Apabila seorang bhikkhu penerima suap dan berkelakuan buruk yang hidupnya ditunjang oleh penduduk suatu desa atau kota dan kedua sifat itu terlihat dan terdengar, maka bhikkhu itu harus diberi nasihat : “ Bhante adalah penerima suap dan berkelakuan tidak baik. Kedua perbuatan itu telah terlihat dan terdengar. Harap bhante meninggalkan tempat (vihara) ini. Bhante sudah tinggal di tempat ini terlalu lama”. Apabila bhikkhu itu setelah dinasihati sebanyak tiga kali tetap demikian, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.

 

ANIYATA 2

  1. Apabila seorang bhikkhu duduk bersama dengan seorang wanita berdua saja di tempat tertutup sedemikian rupa sehingga seorang Upasika yang kata-katanya dapat dipercaya yang melihat mereka mengatakan bahwa bhikkhu itu melakukan pelanggaran Parajika atau Sanghadisesa atau Pacittiya, maka bhikkhu itu harus diperiksa sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Upasika itu. Ini adalah pelanggaran peraturan aniyata.
  2. Apabila seorang bhikkhu duduk bersama dengan seorang wanita berdua saja di tempat yang tidak terdengar pembicaraannya oleh orang lain sedemikian rupa sehingga seorang Upasika yang kata-katanya dapat dipercaya yang melihat mereka mengatakan bahwa bhikkhu itu melakukan pelanggaran Sanghadisesa atau Pacittiya maka bhikkhu itu harus diperiksa sesuai dengan apa yang dikatakan oleh upasika itu. Ini adalah pelanggaran peraturan aniyata.

 

NISSAGIYA PACITTIYA (30)

I. Tentang Civara (Civara Vagga).

  1. Seorang bhikkhu boleh menyimpan jubah ekstra paling lama 10 hari. Apabila lebih dari 10 hari, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  2. Apabila seorang bhikkhu terpisah dari ti civara meskipun hanya satu malam tanpa persetujuan para bhikkhu, maka bhikkhu itu melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  3. Apabila seorang bhikkhu mandapat bahan jubah, tetapi bahan ini tidak cukup untuk dibuat satu jubah dan kalau ia mengharapkan untuk mendapatkan lagi, maka ia boleh menyimpan paling lama 1 bulan. Apabila lebih dari satu bulan, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  4. Apabila seorang bhikkhu meminta tolong kepada seorang bhikkhuni yang bukan sanak keluarganya untuk mencuci atau mencelup jubah lamanya (yang pernah dipakai), maka bhikkhu itu melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  5. Apabila seorang bhikkhu menerima jubah dari tangan seorang bhikkhuni yang bukan sanak keluarganya kecuali bhikkhu itu memberikan penggantinya, maka bhikkhu itu melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  6. Apabila seorang bhikkhu meminta jubah (bahan) dari umat awam yang tidak termasuk sanak keluarganya, kecuali pada kesempatan yang tepat, maka bhikkhu itu melanggar peraturan nissagiya pacitttiya.
  7. Apabila ada umat awam yang bukan sanak keluarga seorang bhikkhu menawarkan jubah kepada bhikkhu tersebut, maka bhikkhu itu paling banyak boleh meminta jubah dalam dan jubah atas. Apabila bhikkhu itu menerima lebih, maka ia melanggar peraturan nissagiya.
  8. Apabila seorang orang umat awam yang bukan sanak keluarga seorang bhikkhu berniat membeli bahan cita untuk bhikkhu tersebut, dan bhikkhu itu kemudian datang tanpa diundang untuk meminta dibelikan bahan cita ini atau itu dengan keinginan untuk mendapatkan bahan yang bermutu baik, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  9. Apabila beberapa orang umat yang bukan sanak keluarga seorang bhikkhu berniat membeli bahan cita untuk bhikkhu tersebut dan bhikkhu itu kemudian datang tanpa diundang untuk meminta dibelikan bahan cita ini atau itu dengan keinginan untuk mendapatkan bahan yang bermutu baik, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  10. Apabila umat awam mengirimkan uang untuk membeli jubah kepada seorang bhikkhu, maka bhikkhu itu harus menunjuk seorang dayaka (pendamping bhikkhu) untuk menerima uang itu. Bilamana bhikkhu tersebut membutuhkan jubah maka ia harus memintanya kepada dayaka itu. Apabila belum didapatnya maka ia dapat memintanya sampai tiga kali. Bila masih belum didapat juga maka bhikkhu itu dapat berdiri diam sampai enam kali untuk maksud tersebut. Apabila ia melakukannya lebih dari itu maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya. Bila jubah tidak didapatkan setelah bhikkhu tersebut melakukan hal-hal di atas maka ia harus memberitahu kepada si pemberi uang bahwa uang tersebut tidak dapat digunakan dan memberitahu untuk meminta kembali uang tersebut kalau uangnya hilang.

 

Bagian II. Tentang Sutra (Kosiya Vagga)

  1. Apabila seorang bhikkhu menerima permadani yang terbuat dari wool yang dicampur dengan sutra, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  2. Apabila seorang bhikkhu menerima permadani yang seluruhnya terbuat dari wool hitam, ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  3. Apabila seorang bhikkhu ingin membuat permadani yang baru maka ia harus menggunakan 2 bagian wool hitam dan 1 bagian wool putih dan 1 bagian wool merah. Bilamana digunakan wool hitam lebih dari 2 bagian, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  4. Apabila seorang bhikkhu telah mendapatkan permadani baru, maka harus digunakan selama 6 tahun. Bilamana tanpa izin para bhikkhu (sangha), bhikkhu itu mendapatkan permadani baru lagi dalam jangka 6 tahun, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  5. Apabila seorang bhikkhu ingin membuat permadani duduk, maka ia harus mengambil sepotong dari permadani lama 1 sugata persegi dan menyatukannya dengan permadani yang baru itu. Bilamana bhikkhu itu tidak melakukan hal ini, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  6. Apabila seorang bhikkhu sedang bepergian, maka ia boleh menerima pemberian wool bila ia mau. Bila tak ada seorang pembantu yang membawakannya, maka ia boleh membawanya sendiri sejauh 3 Yojana (1 Yojana = 15 km). Bila ia membawanya lebih dari 3 Yojana, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  7. Apabila seorang bhikkhu meminta tolong kepada seorang bhikkhuni yang bukan sanak keluarga untuk mencucikan atau mewarnai wool, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  8. Apabila seorang bhikkhu menerima, atau menyebabkan diterimanya, atau merasa senang dengan uang (yang disimpannya), maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  9. Apabila seorang bhikkhu terlibat dalam berbagai macam jual beli dengan uang, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  10. Apabila seorang bhikkhu terlibat dalam berbagai macam tukar menukar barang (jual beli), maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.

 

Bagian III. Tentang Mangkuk (Patta Vagga)

  1. Mangkuk ekstra dapat disimpan untuk paling lama sepuluh hari; bila lebih dari sepuluh hari; maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  2. Apabila seorang bhikkhu mengganti mangkuknya yang kurang dari lima tambalan dengan mangkuk yang baru, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  3. Apabila seorang bhikkhu menerima obat yaitu mentega, minyak, madu, gula cair, ghee, maka ia dapat menyimpannya dan menggunakannya selama paling lama tujuh hari. Apabila lebih dari waktu itu, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  4. Seorang bhikkhu boleh mendapatkan pakaian/bahan untuk musim hujan apabila masih ada satu bulan dalam musim panas, dan boleh dipakainya apabila musim panas masih berlangsung setengah bulan. Apabila ia mendapatkan atau memakainya sebelum waktu yang ditentukan, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  5. Apabila seorang bhikkhu memberikan jubahnya kepada bhikkhu lain dan kemudian bhikkhu itu marah dan merasa tidak senang lalu mengambil kembali atau meminta seseorang untuk mengambil kembali jubah itu, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  6. Apabila seorang bhikkhu meminta bahan pakaian untuk dibuat menjadi jubah oleh penjahit, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  7. Apabila seorang umat awam yang bukan sanak keluarga meminta penjahit membuatkan jubah untuk seorang bhikkhu, dan bhikkhu itu tanpa diundang datang ke penjahit itu untuk meminta agar jubah itu dibuat lebih baik lalu setelah itu memberikan sedikit hadiah, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  8. Apabila suatu jubah diberikan dalam keadaan tergesa-gesa dalam waktu sepuluh hari sebelum hari Kathina, maka seorang bhikkhu dapat menerima jubah itu dan menyimpannya sampai saat tersebut. Apabila ia menyimpannya lebih lama daripada itu, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  9. Apabila seorang bhikkhu yang telah menjalankan vassa di tempat sedemikian seperti hutan yang berbahaya ingin menyimpan salah satu dari tiga jubahnya di rumah umat, maka ia dapat melakukannya dengan alasan yang cukup untuk paling lama enam malam. Apabila ia menyimpannya lebih dari enam malam hari tanpa izin para bhikkhu, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.
  10. Apabila seorang bihikkhu dengan sadar menyebabkan suatu pemberian diberikan kepada dirinya, yang sebenarnya seharusnya diberikan kepada Sangha, maka ia melanggar peraturan nissagiya pacittiya.

 

PACITTIYA 92

Untuk membedakannya dengan Nissagiya Pacittiya, maka sebenarnya peraturan disiplin itu disebut Sudhika Pacittiya yang artinya pacittiya murni. Namun, dalam bahasa Pali cukup disebut pacittiya saja.

 

I. Tentang Bicara Bohong (Mussavada Vagga)

  1. Bicara bohong dengan penuh kesadaran menyebabkan melanggar peraturan pacittiya.
  2. Bicara kasar (menyakitkan hati) menyebabkan melanggar peraturan pacittiya.
    (Catatan : Sumber pembicaraan kasar ini al : tingkat kelahiran, nama pribadi, nama suku, kesenian, penyakit, bentuk tubuh, kotoran batin dan kesalahan-kesalahan).
  3. Memfitnah seorang bhikkhu menyebabkan melanggar peraturan pacittiya.
  4. Apabila seorang bhikkhu menghafalkan Dhamma bersama dengan seorang umat awam, maka ia melanggar peraturan pacitiya.
  5. Apabila seorang bhikkhu tidur lebih dari 3 malam dengan seorang umat awam, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
    (Catatan : yang dimaksudkan dengan orang biasa ialah seorang laki-laki).
  6. Apabila seorang bhikkhu tidur di bawah satu atap dengan seorang wanita, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  7. Apabila seorang bhikkhu mengajar Dhamma lebih dari enam kalimat kepada seorang wanita tanpa hadirnya seorang laki-laki yang mengerti apa yang dikatakan, meka ia melanggar peraturan pacittiya.
  8. Apabila seorang bhikkhu mengatakan kepada seorang umat awam tentang kemampuan gaib yang dimilikinya, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  9. Apabila seorang bhikkhu mengatakan kepada seorang umat awam tentang kesalahan berat dari seorang bhikkhu kecuali mendapat izin dari para bhikkhu, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  10. Apabila seorang bhikkhu menggali tanah atau meminta kepada seseorang untuk menggali tanah, maka ia melanggar peraturan pacittiya.

 

II. Tentang Tumbuh-tumbuhan (Bhutagama Vagga).
  1. Apabila seorang bhikkhu menyebabkan kerusakan pada tanaman, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  2. Apabila seorang bhikkhu menjawab secara menghindar atau menyebabkan kesulitan dengan berdiam diri, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  3. Apabila seorang bhikkhu menghina dan merendahkan seseorang (secara pribadi), maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  4. Apabila seorang bhikkhu mengambil tempat tidur, bangku, kasur atau kursi milik Sangha dan meletakkannya di tempat terbuka dan kemudian ia terus pergi tanpa mengembalikan barang-barang tersebut atau menyuruh orang lain mengembalikan atau ia pergi tanpa memberitahukan kepada bhikkhu yang bertugas mengurus/bertanggung jawab atas barang-barang tersebut, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  5. Apabila seorang bhikkhu mengambil perlengkapan untuk tidur milik Sangha dan menempatkannya di sebuah bilik (gubuk) milik sangha, kemudian pergi tanpa mengembalikan perlengkapan tersebut, atau menyuruh orang lain mengembalikannya atau ia pergi tanpa memberitahukan kepada bhikkhu yang bertanggung jawab atas perlengkapan tersebut, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  6. Apabila seorang bhikkhu mengetahui bahwa sebuah gubuk milik Sangha telah didiami oleh bhikkhu yang lain yang datang lebih dahulu, lalu secara sengaja berbaring di situ dengan harapan supaya bhikkhu yang lain itu karena melihat tak ada cukup ruangan akan pergi ke tempat lain, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  7. Apabila seorang bhikkhu karena marah tidak senang mengusir keluar bhikkhu lain dari gubuk milik Sangha, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  8. Apabila seorang bhikkhu dengan tak mengindahkan berat tubuhnya (secara tiba-tiba) duduk di atas bangku atau berbaring di atas tempat tidur yang kakinya tidak begitu kokoh, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  9. Apabila seorang bhikkhu bermaksud untuk melapis atap sebuah gubuk yang besar, ia harus melapis atap itu sebanyak/setebal tiga lapis saja. Bila ia melapis lebih dari jumlah tersebut, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  10. Apabila seorang bhikkhu yang mengetahui adanya makhluk-makhluk hidup dalam air menuangkan air tersebut di atas tanah atau rumput, maka ia melanggar peraturan pacittiya.

 

III. Tentang Cara Mengajar (Ovada Vagga)

  1. Apabila seorang bhikkhu mengajar para bhikkhuni tanpa izin Sangha, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  2. Sekalipun memperoleh izin dari Sangha, apabila seorang bhikkhu mengajar para bhikkhuni setelah matahari terbenam, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  3. Apabila seorang bhikkhu pergi mengunjungi tempat tinggal bhikkhuni dan mengajar mereka kecuali ada seorang bhikkhuni yang sakit, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  4. Apabila seorang bhikkhu berkata demikian : “Bhikkhu mengajar bhikkhuni untuk keuntungan materi”, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  5. Apabila seorang bhikkhu memberikan jubah kepada seorang bhikkhuni yang bukan sanak keluarga, kecuali bila merupakan pertukaran, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  6. Apabila seorang bhikkhu menjahit jubah seorang bhikkhuni yang bukan sanak keluarga, atau menyuruh orang lain untuk menjahitkannya, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  7. Apabila seorang bhikkhu mengajak seorang bhikkhuni berjalan bersama meskipun melalui sebuah desa, kecuali bila jalan yang akan ditempuhnya itu berbahaya, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  8. Apabila seorang bhikkhu mengajak seorang bhikkhuni naik perahu dengannya bepergian ke hulu atau ke hilir sungai, maka ia melanggar peraturan pacittiya. (Kecuali apabila mereka hanya menyeberang ke tepi yang lain saja).
  9. Apabila seorang bhikkhu makan makanan yang diperoleh melalui seorang bhikkhuni yang meminta umat awam untuk memberikannya, kecuali bila umat tersebut telah berniat untuk memberikan makanan kepada bhikkhu tersebut, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  10. Apabila seorang bhikkhu duduk di suatu tempat bersama dengan seorang bhikkhuni tanpa ada orang lain, maka ia melanggar peraturan pacittiya.

 

IV. Tentang Makanan (Bhojjana Vagga)

  1. Seorang bhikkhu yang tidak sakit diperbolehkan makan sekali di tempat makan umum yang menyediakan makanan kepada siapa saja. Apabila ia makan lebih dari itu, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  2. Makan dalam kelompok (empat atau lebih di antara keluarga) menyebabkan melanggar peraturan pacittiya kecuali sedang sakit, waktu pemberian jubah, waktu pembuatan jubah, waktu menempuh perjalanan jauh, waktu bepergian dengan kapal, pada kesempatan istimewa (dimana seratus atau seribu bhikkhu berkumpul), waktu menerima makanan dari para pertapa.
  3. Apabila seorang bhikkhu telah menerima undangan makan tetapi tidak makan di tempat tersebut melainkan di tempat lain, maka ia melanggar peraturan pacittiya, kecuali sedang sakit, waktu pemberian jubah, waktu pembuatan jubah.
  4. Apabila umat awam mengundang bhikkhu untuk menerima kue atau biskuit, maka bhikkhu itu dapat menerima tiga mangkuk penuh bila ia mau. Apabila ia menerima lebih, maka ia melanggar peraturan pacittiya. Makanan yang diterima itu harus pula dibagi kepada bhikkhu lain.
  5. Apabila seorang bhikkhu yang telah selesai makan dan menolak untuk makan lagi, makan makanan bhikkhu lain yang belum dimakan, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  6. Apabila seorang bhikkhu mengundang bhikkhu lain yang telah selesai makan dan menolak untuk makan lagi, untuk makan makanan bhikkhu lain yang belum dimakan dengan niat mencari kesalahan bhikkhu itu, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  7. Apabila seorang bhikkhu makan di luar jangka waktu yang telah ditentukan, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  8. Apabila seorang bhikkhu makan makanan yang telah diberikan pada hari sebelumnya, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  9. Apabila seorang bhikkhu yang tidak sakit minta salah satu dari makanan berikut: nasi, mentega, minyak, madu, air gula tebu, ikan, daging, susu sapi dari seorang umat awam dan memakannya, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  10. Jika seorang bhikkhu makan makanan yang tidak diserahkan secara langsung ke tangannya/kepada bhikkhu lain, kecuali air murni dan tusuk gigi, maka ia melanggar peraturan pacittiya.

 

V. Tentang Pertapa Telanjang (Acelaka Vagga).

  1. Apabila seorang bhikkhu memberikan makanan dengan tangannya sendiri kepada pertapa telanjang atau orang yang ditahbiskan menurut agama lain, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  2. Apabila seorang bhikkhu mengajak bhikkhu lain pergi pindapatta dengannya kemudian timbul keinginan untuk berbuat sesuatu yang tidak pantas lalu mengusir bhikkhu lain itu, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  3. Apabila seorang bhikkhu duduk bersama (bercampur) dengan keluarga yang sedang makan, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  4. Apabila seorang bhikkhu duduk bersama dengan seorang wanita di suatu tempat tertutup, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  5. Apabila seorang bhikkhu duduk dengan seorang wanita secara pribadi, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  6. Apabila seorang bhikkhu yang telah mendapat undangan makan pagi (sebelum tengah hari) baik sebelum atau sesudah makan ke tempat lain tanpa memberitahukan kepada seorang bhikkhu yang berada di dalam vihara tempat ia tinggal, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  7. Seorang bhikkhu yang tidak sakit yang menerima paravana mengenai empat kebutuhan pokok bhikkhu dapat menerima kebutuhan tersebut dalam jangka waktu empat bulan. Apabila ia menerima salah satu kebutuhan tersebut lebih dari jangka waktu itu, kecuali tawaran itu diulang atau untuk seumur hidup, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  8. Apabila seorang bhikkhu melihat pasukan tentara berbaris menyiapkan diri untuk berperang, kecuali terdapat alasan yang kuat, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  9. Seandainya ada alasan yang mendesak untuk pergi atau tinggal dengan tentara, seorang bhikkhu diperbolehkan tinggal dengan pasukan itu selama tiga hari. Apabila ia tinggal lebih dari tiga hari, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  10. Apabila sementara tinggal dengan tentara, ia pergi melihat pertempuran, melihat mereka berlatih, melihat persiapan mereka untuk berperang, maka ia melanggar peraturan pacittiya.

 

VI. Tentang Minuman Keras (Surapana Vagga)

  1. Apabila seorang bhikkhu minum minuman yang disuling dan diragi, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  2. Apabila seorang bhikkhu menggelitik bhikkhu lain dengan jari, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  3. Apabila seorang bhikkhu berenang di air untuk bersenang-senang, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  4. Apabila seorang bhikkhu bersikap keras kepala (tidak menghormat), maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  5. Apabila seorang bhikkhu menakut-nakuti bhikkhu lain, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  6. Apabila seorang bhikkhu tidak sakit menyalakan api atau menyuruh orang lain untuk menyalakan api dengan maksud menghangatkan tubuhnya, maka ia melanggar peraturan pacittiya, kecuali bila terdapat alasan yang tepat.
  7. Apabila seorang bhikkhu (yang tinggal di Majjhima Desa – daerah yang sulit air) mandi dalam jangka waktu kurang dari 15 hari, maka ia melanggar peraturan pacittiya, kecuali pada musim panas, demam, kerja jasmani, dalam perjalanan, waktu badai.
  8. Apabila seorang bhikkhu menerima jubah yang baru, ia harus memberi tanda pada kain tersebut dengan salah satu dari warna-warna yang diizinkan. Warna-warna yang diperbolehkan adalah : hijau, coklat tua atau warna lumpur. Apabila ia tidak memberi tanda sebelum mempergunakannya, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  9. Apabila seorang bhikkhu menggabungkan sebuah jubahnya dengan bhikkhu yang lain, lalu memakainya tanpa bhikkhu lain tersebut melepaskan haknya atau memberi izin, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  10. Apabila seorang bhikkhu menyembunyikan mangkok, jubah, kain untuk duduk, jarum dan ikat pinggang bhikkhu lain, sekalipun hanya untuk bermain-main, maka ia melanggar peraturan pacittiya.

 

VII. Tentang Makhluk-makhluk Hidup (Sapana Vagga).

  1. Apabila seorang bhikkhu dengan sengaja membunuh makhluk hidup, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  2. Apabila seorang bhikkhu mengetahui ada makhluk-makhluk hidup di dalam air dan ia tetap menggunakan air itu, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  3. Apabila seorang bhikkhu yang telah mengetahui bahwa suatu proses yang sah dalam Sangha telah diselesaikan menurut cara yang benar, membicarakannya lagi dengan maksud agar dirundingkan kembali, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  4. Apabila seorang bhikkhu mengetahui akan suatu apatti yang berat dari bhikkhu lain dan menyembunyikan hal itu, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  5. Apabila seorang bhikkhu secara sadar memberikan upasampada pada seorang pemuda yang belum berusia 20 tahun, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  6. Apabila seorang bhikkhu secara sadar dan dengan perjanjian melakukan perjalanan bersama kafilah pedagang penyelundup/pencuri sekalipun hanya sejauh jarak satu desa, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  7. Apabila seorang bhikkhu dengan perjanjian melakukan perjalanan bersama seorang wanita sekalipun hanya sejauh jarak satu desa, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  8. Apabila seorang bhikkhu mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan khotbah yang diucapkan Sang Buddha dan walaupun bhikkhu lain melarangnya berbuat demikian tetapi ia tetap tidak memperdulikannya, dan bila Sangha mengumumkan kammavaca sebanyak 3 kali, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  9. Apabila seorang bhikkhu bergaul rapat dengan bhikkhu seperti no. 8, yaitu makan bersama, menjalankan Uposatha Sanghakamma bersama atau tinggal di tempat tinggal (tidur) yang sama, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  10. Apabila seorang bhikkhu bergaul rapat dengan seorang samanera yang telah dicela dan diusir oleh bhikkhu lain karena samanera tersebut telah membicarakan hal-hal yang bertentangan dengan Dhammadesana Sang Buddha (bergaul rapat di sini berarti bhikkhu tersebut menyuruh samanera melakukan semua tugas-tugasnya (Upathaka) atau mereka makan bersama ataupun tidur bersama), maka ia melanggar peraturan pacittiya.

 

VIII. Tentang Hal-hal yang sesuai dengan Dhamma (Sahadhamika Vagga).

  1. Apabila seorang bhikkhu yang ditegur oleh bhikkhu lain sesuai dengan Dhamma akan perbuatannya dalam peraturan latihan, mengatakan tidak mau mentaati peraturan latihan sampai ia menanyakan pada bhikkhu lain yang ahli dalam vinaya, maka ia melanggar peraturan pacittiya. Bhikkhu yang masih dalam bimbingan apabila menemukan sesuatu yang tidak diketahuinya harus segera menanyakan hal tersebut kepada bhikkhu lain yang ahli vinaya.
  2. Apabila seorang bhikkhu dalam pembacaan Patimokkha mengatakan bahwa tiada gunanya peraturan latihan itu diulang, maka perbuatan merendahkan peraturan latihan itu menyebabkan bhikkhu melanggar peraturan pacittiya.
  3. Apabila seorang bhikkhu yang telah melakukan apatti pada saat pembacaan Patimokkha pura-pura berkata : “Baru sekarang ini saya ketahui apabila ada peraturan demikian itu dalam Patimokkha”, dan apabila bhikkhu yang lain mengetahui bahwa sesungguhnya ia telah mengetahui peraturan tersebut, maka ia segera mengumumkan Kammavaca untuk menyelesaikan persoalan itu. Bila Sangha telah mengumumkan ini, ternyata masih tetap berpura-pura tidak tahu lagi, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  4. Apabila seorang bhikkhu yang merasa marah memukul bhikkhu lain, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  5. Apabila seorang bhikkhu yang merasa marah mengangkat tangan seolah-olah untuk memukul bhikkhu lain, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  6. Apabila seorang bhikkhu tanpa dasar menuduh bhikkhu lain melanggar sanghadisesa, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  7. Apabila seorang bhikkhu dengan sengaja menimbulkan kekuatiran/kecemasan pada bhikkhu lain, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  8. Apabila seorang bhikkhu mendengarkan secara diam-diam pertengkaran sekelompok bhikkhu dengan maksud mengetahui apa yang dikatakan, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  9. Apabila seorang bhikkhu yang telah memberikan suara persetujuan penuh dalam suatu pengumuman resmi Sangha sesuai dengan Dhamma, kemudian berbalik dan mengeritik/mencela hal tersebut, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  10. Apabila seorang bhikkhu tidak memberikan suara, bangun dari tempat duduknya dan pergi ketika Sangha sedang mengadakan musyawarah untuk meneliti suatu persoalan, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  11. Apabila seorang bhikkhu setelah bersama-sama dengan bhikkhu-bhikkhu yang lain membentuk suatu kelompok yang rukun memberikan sebuah jubah sebagai hadiah kepada seorang bhikkhu dan kemudian ia berbalik mencela dan mengeritik bhikkhu-bhikkhu lain dalam kelompok itu dengan mengatakan : “Mereka memberikan jubah dengan suatu maksud”, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  12. Apabila seorang bhikkhu dengan sengaja mengatur pemberian hadiah kepada seseorang, sedangkan seharusnya diberikan untuk Sangha, maka ia melanggar peraturan pacittiya.

 

IX. Tentang Kekayaan (Ratana Vagga)

  1. Apabila seorang bhikkhu tanpa izin memasuki suatu ruangan di mana seorang raja dan ratu berada di dalamnya, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  2. Apabila seorang bhikkhu mengambil atau menyuruh seorang mengambil barang berhaga yang tercecer di tanah, kecuali di dalam viharanya atau tempat tinggalnya, maka ia melanggar peraturan pacittiya. Apabila diambilnya di dalam viharanya atau tempat tinggalnya, barang itu harus disimpan untuk dikembalikan kepada pemiliknya, bila tidak maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  3. Apabila seorang bhikkhu tanpa memberitahukan kepada bhikkhu lain yang tinggal di Vihara yang sama, pergi ke suatu desa di luar waktu yang tepat, maka ia melanggar peraturan pacittiya, kecuali ada urusan yang tiba-tiba dan sangat mendesak yang harus segera dilakukan.
  4. Apabila seorang bhikkhu membuat sendiri atau menyuruh untuk dibuatkan sebuah tempat penyimpanan jarum yang terbuat dari tulang, gading atau tanduk binatang, maka ia melanggar peraturan pacittiya.
  5. Apabila seorang bhikkhu akan mempergunakan sebuah tempat tidur atau bangku, maka tingginya tidak boleh lebih dari 8 sugata (9 inchi = 22,5 cm); jika tingginya melebihi ini, maka ia melanggar peraturan pacittiya dan kaki barang tersebut harus dipotong sesuai dengan ketentuan.
  6. Apabila seorang bhikkhu memiliki sebuah tempat tidur atau bangku yang dilapisi dengan kapuk, maka ia melanggar peraturan pacittiya dan kapuk tersebut harus dibuang.
  7. Apabila seorang bhikkhu membuat kain tempat duduk/nisidana maka kain itu harus dibuat dengan ukuran sebagai berikut : panjang 2 sugata dan lebar 1.5 sugata dan mempunyai sisi sebagai batas 1 sugata. Apabila ukurannya melebihi dari ukuran tersebut, maka ia melanggar peraturan pacittiya dan kain tersebut harus dipotong sesuai dengan ketentuan.
  8. Apabila seorang bhikkhu membuat kain untuk menutupi luka, maka kain itu harus dibuat dengan ukuran sebagai berikut : panjang 4 sugata dan lebar 2 sugata. Apabila dibuat melebihi ukuran tersebut maka ia melanggar peraturan pacittiya dan kain tersebut harus dipotong sesuai dengan ketentuan.
  9. Apabila seorang bhikkhu membuat kain untuk mandi selama musim vasa/hujan, maka kain itu harus dibuat dengan ukuran sebagai berikut : panjang 6 sugata, lebar 2,5 sugata. Apabila melebihi ukuran yang ditentukan, maka ia melanggar peraturan pacittiya dan kain tersebut harus dipotong sesuai dengan ketentuan.
  10. Apabila seorang bhikkhu membuat jubah yang sama atau lebih besar dari ukuran jubah sugata, maka ia melanggar peraturan pacittiya dan kain tersebut terlebih harus dipotong. Ukuran jubah sugata adalah sebagai berikut : panjang 9 sugata dan lebar 6 sugata.

 

PATIDESANIYA 4

  1. Apabila seorang bhikkhu menerima makanan secara langsung dengan tangannya sendiri dari seorang bhikkhuni yang tak mempunyai hubungan keluarga dengannya dan kemudian memakannya, maka ia melanggar peraturan patidesaniya.
  2. Apabila sekelompok bhikkhu sedang makan di suatu tempat atas undangan umat awam, kemudian seorang bhikkhuni muncul dan memerintahkan memindahkan makanan itu dari tempat ini ke tempat yang lain, maka mereka harus memerintahkan bhikkhuni itu menghentikan tindakan itu. Bila mereka tidak melakukan hal ini, maka mereka melanggar peraturan patidesaniya.
  3. Apabila seorang bhikkhu yang tidak sakit menerima makanan tanpa diundang dari suatu keluarga yang dianggap oleh Sangha sebagai Sekha (telah mencapai tingkat kesucian tertentu/ariya tapi masih dalam latihan) dan makan makanan yang diberikan, maka ia melanggar peraturan patidesaniya.
  4. Apabila seorang bhikkhu yang tinggal di suatu hutan berbahaya (oleh perampok dsb.) dalam keadaan tidak sakit menerima makanan dari umat awam dengan tangannya sendiri dan memakannya tanpa memberitahukan terlebih dahulu keadaan tersebut (sehingga dapat membahayakan umat awam yang membawakan makanan itu), maka ia melanggar peraturan patidesaniya.

 

SEKHIYA 75

I. Tentang sikap tingkah laku yang tepat (Saruppa)

  1. Saya akan mengenakan jubah-dalam secara rapi; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  2. Saya akan mengenakan jubah-luar secara rapi; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  3. Saya akan pergi ke tempat umum dengan badan tertutup rapi; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  4. Saya akan duduk di tempat umum dengan badan tertutup rapi; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  5. Saya akan pergi ke tempat umum dengan penuh pengendalian diri; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  6. Saya akan duduk di tempat umum dengan penuh pengendalian diri; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  7. Saya akan pergi ke tempat umum dengan mata memandang ke bawah; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  8. Saya akan duduk di tempat umum dengan mata memandang ke bawah; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  9. Saya tidak akan pergi ke tempat umum dengan jubah tersingsing ke atas dalam cara yang tidak sopan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  10. Saya tidak akan duduk di tempat umum dengan jubah tersingsing ke atas dalam cara yang tidak sopan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  11. Saya tidak pergi ke tempat umum dengan tertawa keras-keras; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  12. Saya tidak duduk di tempat umum dengan tertawa keras-keras; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  13. Saya akan pergi ke tempat umum dengan tenang; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  14. Saya akan duduk di tempat umum dengan tenang; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  15. Saya tidak akan pergi ke tempat umum dengan menggoyang-goyangkan badan jasmani; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  16. Saya tidak akan duduk di tempat umum dengan menggoyang-goyangkan badan jasmani; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  17. Saya tidak akan pergi ke tempat umum dengan menggoyang-goyangkan lengan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  18. Saya tidak akan duduk di tempat umum dengan menggoyang-goyangkan lengan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  19. Saya tidak pergi ke tempat umum dengan menggoyang-goyangkan kepala; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  20. Saya tidak akan duduk di tempat umum dengan menggoyang-goyangkan kepala; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  21. Saya tidak pergi ke tempat umum dengan tangan bertolak pinggang; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  22. Saya tidak akan duduk di tempat umum dengan tangan bertolak pinggang; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  23. Saya tidak pergi ke tempat umum dengan kepala tertutup; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  24. Saya tidak duduk di tempat umum dengan kepala tertutup; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  25. Saya tidak pergi ke tempat umum dengan berjalan di atas jari-jari kaki atau tumit; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  26. Saya tidak akan duduk di tempat umum dengan memeluk lutut; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.

 

II. Tentang peraturan makan (Bhojanapatisamyuti)

  1. Saya akan menerima dana makanan dengan hati-hati; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  2. Saya akan menerima dana makanan dengan perhatian pada mangkuk; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  3. Saya akan menerima dana makanan dengan lauk pauk dalam perbandingan (yaitu, satu bagian lauk pauk berbanding dengan empat bagian nasi); ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  4. Saya akan menerima dana makanan sesuai dengan ukuran mangkuk (tidak meluap keluar); ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  5. Saya akan makan dana makanan dengan hati-hati; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  6. Saya akan makan dana makanan dengan perhatian pada mangkuk; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  7. Saya akan makan dana makanan tanpa membuat kekecualian; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  8. Saya akan makan dana makanan dan lauk pauk dalam perbandingan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  9. Saya tidak akan makan makanan dengan mengambilnya dari atas ke bawah; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  10. Saya tidak akan menutupi lauk pauk dan sayur lainnya dengan nasi, karena ingin mendapat lebih banyak; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  11. Saya tidak akan meminta lauk pauk atau nasi untuk keuntungan diri sendiri dan memakannya kecuali bila sakit; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  12. Saya tidak akan melihat dengan iri hati pada mangkuk orang lain; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  13. Saya tidak akan membuat suatu suapan besar istimewa; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  14. Saya akan membuat suatu suapan bulat; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  15. Saya tidak akan membuka mulut sampai suapan dibawa ke mulut; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  16. Saya tidak akan memasukkan seluruh tangan ke dalam mulut sewaktu makan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  17. Saya tidak berbicara dengan mulut penuh; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  18. Saya tidak makan dengan berulang-ulang menyuapkan potongan makanan yang sama (kecuali beberapa buah-buahan dan lain-lain; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  19. Saya tidak akan makan dengan menceraikan suatu suapan menjadi pecah-pecahan (kecuali beberapa buah-buahan dan lain-lain); ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  20. Saya tidak akan makan dengan menggembungkan pipi ke luar (seperti seekor kera); ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  21. Saya tidak akan makan dengan menggoncang-goncangkan tangan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  22. Saya tidak akan makan dengan mencecerkan nasi; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  23. Saya tidak akan makan dengan mengeluarkan lidah; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  24. Saya tidak akan makan dengan membuat suara “capu-capu”; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  25. Saya tidak akan makan dengan membuat suara “suru-suru”; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  26. Saya tidak akan makan dengan menjilati tangan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  27. Saya tidak akan makan dengan menggaruk mangkuk (dengan jari-jari tangan yang menunjukkan secara diam-diam bahwa itu hampir kosong); ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  28. Saya tidak akan makan dengan menjilati bibir (dengan lidah); ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  29. Saya tidak menerima sebuah tempat air minum dengan tangan yang kotor oleh makanan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  30. Saya tidak akan membuang air pencuci mangkuk yang ada butiran-butiran nasi di dalamnya di tempat umum; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.

 

III. Tentang cara mengajarkan Dhamma (Dhammadesanapatisamyutta)

  1. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit dengan sebuah payung di tangannya; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  2. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit dengan sebatang tongkat di tangannya; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  3. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit dengan sebuah pisau di tangannya; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  4. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada yang orang yang tidak sakit dengan sebuah senjata di tangannya; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  5. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit yang mengenakan sepatu; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  6. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit yang mengenakan sandal; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  7. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit yang berada dalam sebuah kendaraan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  8. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit yang berada di atas sebuah dipan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  9. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit yang duduk pada sebuah kursi malas; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  10. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit yang mengenakan penutup kepala; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  11. Saya tidak akan mengajarkan Dhamma kepada orang yang tidak sakit yang kepalanya terbungkus; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  12. Saya tidak akan, sewaktu duduk di tanah, mengajar Dhamma pada seorang yang tidak sakit yang duduk pada sebuah tempat duduk; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  13. Saya tidak akan, sewaktu duduk pada sebuah tempat duduk yang rendah, mengajar Dhamma pada seorang yang tidak sakit yang duduk pada sebuah tempat duduk yang tinggi; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  14. Saya tidak akan, sewaktu berdiri, mengajar Dhamma pada seorang yang tidak sakit yang duduk, ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  15. Saya tidak akan, sewaktu berjalan di belakang, mengajar Dhamma pada seorang yang tidak sakit yang berjalan di depan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  16. Saya tidak akan, sewaktu berjalan di tepi sebuah jalan, mengajar Dhamma pada seorang yang tidak sakit yang berjalan pada jalan; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.

 

IV. Tentang aneka macam peraturan (Pakinnaka)

  1. Saya tidak akan, apabila tidak sakit, membuang air besar atau air kecil dengan berdiri; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  2. Saya tidak akan, apabila tidak sakit, membuang air besar atau air kecil atau meludah pada tumbuh-tumbuhan hidup; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.
  3. Saya tidak akan, sewaktu tidak sakit, membuang air besar atau air kecil atau meludah ke dalam air; ini adalah latihan untuk dilaksanakan.

 

ADHIKARANA SAMATHA 7

  1. Penyelesaian Adhikarana tersebut di atas di hadapan Sangha, di hadapan seseorang, di hadapan benda yang bersangkutan dan di hadapan Dhamma.
  2. Pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha bahwa seseorang yang telah mencapai Arahat, adalah orang yang penuh kesadaran, agar tak seorang pun menuduhnya melakukan apatti.
  3. Pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha bagi seorang bhikkhu yang sudah sembuh dari sakit jiwa agar tidak seorang pun menuduhnya melakukan apatti yang mungkin ia lakukan ketika ia masih sakit jiwa.
  4. Penyelesaian suatu apatti sesuai dengan pengakuan yang diberikan oleh si tertuduh yang mengakui secara jujur apa yang telah dilakukannya.
  5. Keputusan dibuat sesuai dengan suara terbanyak.
  6. Pemberian hukuman kepada orang yang melakukan kesalahan.
  7. Pelaksanaan perdamaian antara dua pihak yang berselisih tanpa terlebih dahulu dilakukan penyelidikan tentang perselisihan itu.
     
     
    https://samaggi-phala.or.id/

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com