Sariputta | Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Sariputta

Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak

👁 1 View
2018-11-29 09:05:29

Adalah kewajiban dari orang tua untuk membuat anaknya menjadi besar dalam kesejahteraan, dalam kenyataannya para orang tua akan melakukannya dengan penuh tanggung jawab dan kerelaan. Meskipun adakalanya terdapat anak atau anak-anak yang tidak menghargai jerih payah orang tuanya dan tidak tahu membalas budi, akan tetapi, orang tua dengan sedikit pengharapan seringkali tetap memperhatikan segala kepentingan anaknya, meskipun anak tersebut telah dewasa, kawin dan pergi dari rumah. Orang tua akan berbahagia apabila anak-anaknya dapat melebihi mereka dalam, segala aspek, atau paling sedikit sama dengan mereka; mereka akan merasa tidak puas apabila kehidupan anak-anaknya lebih rendah dari mereka. Agar dapat mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar orang tua pertama-tama harus memberi contoh tauladan dan memperlihatkan cara hidup yang ideal.

Adalah suatu kekeliruan yang sangat besar apabila orang tua membiarkan anak atau anak-anaknya tidak memiliki keyakinan terhadap Sang Tiratana (Buddha, Dhamma dan Sangha), karena kemungkinan besar anak atau anak-anak tersebut akan memilih keyakinannya lain atau agama lain sebagai pegangan hidupnya. Sebenarnya bukanlah hal yang kebetulan seorang anak terlahir dalam keluarga yang beragama Buddha, itu berarti dalam kehidupan yang lalu anak tersebut pasti sudah beragama Buddha dan ingin meneruskan keyakinannya tersebut dalam kehidupan yang sekarang. Hanya orang tua yang lalai atau karena disebabkan oleh hal-hal tertentu misalnya pendidikan di sekolah yang beragama lain, seorang anak dapat beralih ke agama lain. Memiliki keyakinan terhadap Sang Tiratana (saddha) adalah sangat penting, karena merupakan landasan dari proses beragama Buddha untuk selanjutnya, misalnya mematuhi sila mengembangkan kasih sayang, meningkatkan kemurahan hati dan memperoleh kebijaksanaan. Oleh karena itu setiap orang tua yang beragama Buddha harus senantiasa menanamkan keyakinan terhadap Sang Tiratana pada diri anak atau anak-anaknya, agar tetap beragama Buddha sampai akhir hayatnya. Perlu diingat bahwa anak atau anak-anak yang beragama lain tidak akan melakukan kewajiban yang sangat penting bagi leluhurnya yang sudah meninggal dunia, yaitu melakukan pattidana atau pelimpahan jasa; perbuatan baik yang sangat dinanti-nantikan oleh mereka yang kebetulan terlahir di alam Peta (sengsara).

Sesuai dengan Sigalovada Sutta maka orang tua mempunyai kewajiban terhadap anaknya sebagai berikut :

  1. Mencegah anak berbuat jahat
  2. Menganjurkan anak berbuat baik
  3. Memberikan pendidikan profesional kepada anak
  4. Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak
  5. Menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat
(Digha Nikaya III, 189)

Mencegah anak berbuat jahat

Mencegah anak berbuat jahat adalah sangat penting, karena akan percuma saja si anak memiliki kecerdasan dan pandai serta kaya apabila selalu berbuat kejahatan dan merugikan orang lain atau masyarakat.

Rumah adalah sekolah yang pertama bagi anak, dan orang tua merupakan guru yang pertama bagi anak. Anak biasanya belajar dari orang tua tentang baik dan buruk, tentang budi pekerti pada umumnya. Adalah tidak bijaksana apabila orang tua membohongi anak, mempermainkan anak, menipu anak, menakut-nakuti anak, apalagi menyiksa anak. Hal tersebut akan memberi bekas yang sangat dalam pada diri anak. Orang tua wajib bertingkah laku yang baik agar anak-anak patuh dan menjadikan orang tuanya sebagai suri tauladan.

Orang tua wajib menanamkan perasaan malu dan takut pada diri si anak. Malu melakukan perbuatan yang salah, takut kepada akibat dari perbuatan yang jahat. Untuk menjauhkan anak dari perbuatan jahat orang tua harus rajin memberi petunjuk atau nasehat, rajin memberi hukuman apabila anaknya berbuat salah, dan yang paling penting adalah memberi contoh tauladan. Laranglah anak-anak melakukan perbuatan tercela, seperti menyiksa atau membunuh binatang, balas dendam, mengambil barang-barang yang tidak diberikan, berbohong dan minum minuman keras. Tetapi sebelum melarang si orang tua harus menunjukkan contoh terlebih dahulu!

Menganjurkan anak berbuat baik

Orang tua adalah guru di rumah, dan guru adalah orang tua di sekolah. Orang tua dan guru sama-sama bertanggung jawab untuk hari depan anak. Menganjurkan anak berbuat baik adalah hal yang sangat bermanfaat bagi diri si anak maupun bagi lingkungannya. Ajarkan agar anak menyayangi mahluk-mahluk lain, ajarkan anak untuk suka memberi, ajarkan anak untuk berteman dengan anak-anak lainnya, ajarkan anak untuk menghibur mereka yang patut dihibur, ajarkan anak untuk membantu orang lain, ajarkan anak untuk menghormati para bhikkhu, ajarkan anak untuk menghormati Buddharupang dan banyak hal lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu disini. Sebelumnya berilah contoh yang benar.

Anak-anak sebaiknya tidak ditinggalkan di bawah asuhan pengasuh (baby-sitter) atau pembantu yang bodoh, seringkali anak lebih dekat kepada pengasuh atau pembantu daripada dengan orang tuanya sendiri.

Sebaiknya anak diberikan dasar-dasar dari Pancasila Buddhis, bangkitkanlah perasaan kasih sayang dalam diri anak, tanamkan kecintaan pada kejujuran dan kebenaran dalam batin anak, ajarkan anak untuk bersikap sopan dan santun kepada orang lain, ajarkan anak untuk mengakui kesalahannya dengan berani dan memperbaiki kesalahan tersebut dengan bijaksana, dan jauhkanlah anak dari rokok dan minuman keras serta zat-zat berbahaya lainnya.

Selalu dijaga agar anak tidak bergaul dengan orang-orang yang jahat, dan pulang ke rumah sebelum malam hari. Anjurkanlah agar anak bergaul dengan orang-orang yang baik dan patut untuk dihormati. Ajarkan anak untuk berbicara sopan dan ramah, bersikap lemah lembut terhadap sesama mahluk.

Jangan lupa untuk memberikan pujian, bila perlu memberikan hadiah apabila anak melakukan perbuatan yang baik.

Memberikan pendidikan profesional kepada anak

Pendidikan yang baik sebenarnya adalah warisan yang paling berharga yang dapat diberikan orang tua kepada anak. Melatih dan mengajarkan anak memiliki kepandaian dan ketrampilan agar mempunyai profesi yang dapat diandalkan, sebagai modal untuk mandiri adalah sangat penting, karena suatu saat ia harus mencari nafkah sendiri.

Setelah anak jauh dari perbuatan jahat dan gemar berbuat baik maka ia harus memiliki kepandaian dan ketrampilan yang setinggi-tingginya sebagai bekal untuk mencari nafkah kalau ia sudah dewasa.

Banyak orang tua yang lebih mementingkan hal yang ketiga ini dari padapada dua hal sebelumnya, itu adalah sikap yang keliru. Karena akan terbentuk seorang manusia yang pandai dan trampil, namun tidak bermoral, hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak berguna bagi orang banyak. lbarat sebuah pedang yang sangat tajam namun tidak ada gagangnya.

Doronglah anak untuk belajar dengan rajin, secara formal disekolah dapat ditambah dengan pendidikan nonformal dalam bentuk kursus-kursus disamping pendidikan informal yang diberikan keluarga di rumah.

Perhatikan dan jangan melalaikan pendidikan agama Buddha untuk anak. Usahakan agar setelah dewasa anak tetap menjadi umat Buddha yang baik. Pendidikan yang mengarah ke profesionalisme harus diiringi dengan pendidikan moral-etik yang sama banyaknya.

Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak

Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak adalah bagi mereka yang ingin berumah tangga. Carilah yang memiliki saddha yang sama, artinya yang sama-sama beragama Buddha dan berlindung kepada Sang Tiratana; carilah yang berperangai baik dan berkelakuan baik, carilah yang murah hati dan tidak kikir namun tidak boros carilah yang memiliki kebijaksanaan yang cukup. Menilai seseorang dari penampilan luar saja tidaklah cukup, perlu observasi lebih lama dan penilaian yang lebih seksama.

Menurut Maha Mangala Jataka, pedoman memilih menantu perempuan agar ia kelak menjadi isteri yang membawa berkah adalah sebagai berikut: ia harus seorang perempuan yang ramah tamah, usia sepadan, setia, baik hati dan subur (dapat melahirkan banyak anak), memiliki keyakinan, memiliki sila serta berasal dari keluarga baik-baik.

(Jataka X. No. 453)

Untuk memilih menantu laki-laki perlu dihindarkan laki-laki yang hidung belang, pemabuk, penjudi dan pemboros.

(Parabhava Sutta, No. 16, lihat lampiran 2)

Menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat.

Orang tua yang baik tidak hanya mengasuh dan membesarkan anak-anaknya dalam suasana kasih sayang dan damai, tetapi juga mempersiapkan agar anak-anaknya kelak dapat hidup dalam kesenangan dan kebahagiaan setelah dewasa. Adalah kewajiban bagi orang tua untuk memberikan atau membagikan harta kekayaan kepada anak atau anak-anaknya setelah mereka siap untuk menerimanya, harta kekayaan tersebut akan dapat dipergunakan sebagai modal usaha untuk hidup mandiri dalam masyarakat. Walaupun orang tua telah mengumpulkan harta kekayaannya dengan susah payah, namun dengan suka rela mereka akan mewariskannya kepada anak atau anak-anaknya. Harta kekayaan tersebut akan menjadi harta warisan bagi anak atau anak-anaknya setelah orang tua tersebut meninggal dunia.

Harta warisan diberikan kepada anak apabila sudah tiba waktunya, itu artinya setelah si anak dianggap dapat mengelola atau menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Alangkah baiknya apabila semua orang tua meninggalkan harta warisan kepada anaknya, bukan hutang yang menjerat. Ada sebagian orang tua yang baru meninggalkan warisannya setelah mereka meninggal dunia.

Pengertian menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat adalah menyerahkan harta benda orang tua yang kelak akan menjadi bagian dari warisan, semasa orang tuanya masih hidup pada saat yang tepat, yaitu saat anak atau anak-anaknya sendiri benar-benar siap untuk memanfaatkannya demi hari depannya. Ajaran yang ditentukan sebagai suatu kewajiban bagi orang tua ini adalah merupakan sikap moral yang luhur dan berpandangan sangat jauh ke depan karena akan mencegah terjadinya perselisihan di antara anak-anak sebagai ahliwaris orang tuanya dan mencegah terjadinya pemborosan yang tidak berguna. Ajaran Sang Buddha ini berlaku umum, yaitu untuk setiap orang tanpa membedakan usia, jenis kelamin, golongan atau derajat dan martabatnya dalam kehidupan sehari-hari.

Dari sikap batin ini dapat ditarik kesimpulan bahwa agama Buddha tidak membedakan kedudukan anak yang lahir pertama (anak sulung) dan anak yang lahir selanjutnya atau yang lahir terakhir (anak bungsu), dan juga tidak membedakan apakah anak itu laki-laki atau perempuan, yang sukses dalam pendidikan atau yang tidak beruntung dalam pendidikan, yang berhasil usahanya atau yang kurang sukses usahanya; sehingga di dalam menyerahkan harta kekayaan yang kelak akan menjadi bagian warisan atau terjadinya pembagian harta benda peninggalan setelah warisan terbuka yaitu setelah orang tua meninggal dunia, azas keadilan akan menjadi dasar utama dari pembagian harta kekayaan tersebut.

https://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/tuntunan-perkawinan-dan-hidup-berkeluarga-dalam-agama-buddha/

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com