PATTIDANA Paritta (Salah satu paritta pelimpahan jasa)
👁 1 View
2023-03-11 16:50:35
Semoga jasa-jasa yang kuperbuat,
Saat ini atau di waktu lain,
Dibagikan kepada semua makhluk di sini,
Tak terbatas, tak ternilai.
Mereka yang kukasihi serta berbudi luhur,
Seperti Ayah dan Ibu,
Yang terlihat maupun yang tidak terlihat,
Yang bersikap netral maupun yang bermusuhan;
Makhluk-makhluk yang berada di alam semesta,
Di tiga alam, empat jenis kelahiran,
Baik terdiri dari lima, satu, atau empat bagian,
Yang tersebar di alam-alam besar maupun kecil;
Semoga dengan pelimpahan jasaku ini,
Mereka bergembira setelah mengetahuinya,
Dan kepada mereka yang tidak mengetahui,
Semoga para dewa memberitakannya.
Berkat jasa-jasa yang kupersembahkan ini,
Yang membawa kegembiraan,
Semoga semua makhluk selamanya,
Hidup berbahagia, bebas dari kebencian,
Semoga mereka mendapatkan jalan kedamaian,
Semoga cita-cita luhur mereka tercapai.
---
Puññassidani katassa,
Yanaññani katani me,
Tesañca bhagino hontu,
Sattanantappamanaka,
Ye piya gunavanta ca,
Mayhang matapitadayo,
Dittha me capyadittha va,
Aññe majjhattaverino;
Satta titthanti lokasming,
Tebhumma catuyonika,
Pancekacatuvokara,
Sangsaranta bhavabhave;
Natang ye pattidanamme,
Anumodantu te sayang,
Ye cimang nappajananti,
Deva tesam nivedayung,
Maya dinnana puññanang,
Anumodanahetuna,
Sabbe satta sada hontu,
Avera sukhajivino,
Khemappadañca pappontu,
Tesasa sijjhatang subha.
*************
MACCHUDDĀNA-JĀTAKA 270.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang saudagar yang tidak jujur. Cerita pembukanya telah dikemukakan sebelumnya di atas.
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga seorang tuan tanah. Ketika dewasa, dia menjadi seorang laki-laki kaya. Dia memiliki seorang adik. Sepeninggal ayahnya, mereka harus melanjutkan usaha ayahnya. Ini membuat mereka pergi ke suatu desa, tempat mereka mendapatkan (tagihan) bayaran sebesar seribu keping uang.
Dalam perjalanan pulang, ketika sedang menunggu perahu di tepi sungai, mereka menyantap makanan yang dibawa dengan keranjang daun. Bodhisatta melemparkan makanan sisanya ke Sungai Gangga untuk ikan-ikan, melimpahkan jasa kebajikannya kepada makhluk dewata penghuni sungai. Dewi sungai menerimanya dengan perasaan puas, yang kemudian kemampuan gaibnya mengalami peningkatan. Ketika merenungkan peningkatan kemampuannya ini, dia pun mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya.
[424] Bodhisatta meletakkan pakaian luarnya di atas
tanah dan berbaring di atasnya, kemudian tertidur. Adiknya itu adalah seorang yang memiliki sedikit sifat mencuri. Dia ingin
mengambil uang dari Bodhisatta dan menyimpannya untuk
dirinya sendiri. Maka dia membuat satu bungkusan batu yang menyerupai bungkusan uang, dan mengambil bungkusan uang
yang sebenarnya. Setelah mereka naik ke perahu dan berada di tengah sungai, adiknya ini menggoyangkan sisi perahu dan menjatuhkan bungkusan batu yang dianggap sebagai bungkusan
uang.
“Saudaraku, uangnya jatuh dari perahu!” teriaknya. “Apa
yang harus dilakukan?” “Apa yang bisa kita lakukan? Yang sudah hilang tidak dapat ditemukan lagi. Jangan mengkhawatirkannya,”
balas saudaranya itu. Akan tetapi, dewi sungai yang tadi
merenungkan betapa gembiranya dia dikarenakan pelimpahan jasa kebajikan
yang diterimanya dan bagaimana kemampuannya meningkat,
memutuskan untuk menjaga barang-barang milik Bodhisatta.
Maka dengan kekuatannya, dewi sungai membuat seekor ikan bermulut besar menelan bungkusan itu dan dia sendiri yang menjaganya kemudian.
Ketika si pencuri itu sampai di rumah, dia tertawa atas
tipuan yang dilakukannya terhadap abangnya, dan kemudian membuka bungkusan itu. Yang terlihat adalah batu. Jantungnya
(seperti ) mengering; dia terbaring di ranjang, berpegangan pada
sisi ranjangnya itu.
Kala itu, beberapa nelayan melemparkan jala untuk
menangkap ikan. Dengan kekuatan dari dewi sungai, ikan tersebut masuk ke dalam jala nelayan itu. Para nelayan membawanya ke kota untuk dijual. Orang-orang menanyakan
berapa harganya. “Seribu keping uang dan tujuh keping uang
logam271,” kata para nelayan. Semua orang menertawakannya.
“Kami baru melihat seekor ikan yang ditawarkan dengan harga seribu keping uang!” tawa mereka.
Para nelayan kemudian membawa ikan mereka tersebut ke rumah Bodhisatta dan memintanya untuk membelinya.
“Berapa harganya?” tanyanya. “Anda bisa mendapatkannya
dengan tujuh keping uang logam,” kata mereka. “Berapa yang
Anda tawarkan kepada orang lain?” “Kepada orang lain, kami tawarkan seribu keping uang dan tujuh keping uang logam.
Tetapi Anda bisa mendapatkannya dengan harga tujuh keping
uang logam saja,” kata mereka.
Dia kemudian membayarkan tujuh keping uang logam,
dan memberikannya kepada istrinya. Sang istri membelah ikan itu dan menemukan bungkusan uang tersebut. [425] Dia memanggil Bodhisatta. Bodhisatta melihat, dan mengetahui
bahwa itu adalah miliknya sewaktu mengenali tandanya. Dia
berpikir, “Para nelayan itu menawarkan kepada orang lain
seharga seribu keping uang dan tujuh keping uang logam, tetapi
karena seribu keping uang itu adalah milikku, mereka menjualnya kepadaku seharga tujuh keping uang logam saja. Jika orang
tidak mengetahui ini, maka tidak ada yang dapat membuat orang itu memahaminya.” Kemudian dia mengulangi bait pertama
berikut:
Siapa yang akan memercayai ceritanya jika dia diberitahu bahwa ikan ini dijual seharga seribu keping
uang?
Ikan ini dijual kepadaku seharga tujuh keping uang
logam; betapa inginnya diriku membeli seikat ikan ini!
Setelah mengucapkan ini, dia bertanya-tanya bagaimana caranya dia bisa mendapatkan uang tersebut kembali. Pada saat itu, sang dewi sungai berada di udara tanpa terlihat (olehnya)
dan berkata,
“Saya adalah dewi sungai dari Gangga. Anda tadi
memberikan sisa-sisa makananmu kepada ikan-ikan dan membuatku mendapatkan jasa kebajikannya. Oleh karena itu, saya menjaga barang-barang milikmu,” dan mengulangi satu bait
kalimat berikut:
Anda berikan makanan kepada ikan-ikan dan hadiah
kepadaku. Perbuatan ini dan kebajikanmu selalu kuingat.
[426] Kemudian makhluk dewata itu menceritakan
tentang tipuan jahat yang dilakukan oleh adiknya. Dan dia menambahkan, “Dia terbaring di sana, dengan jantungnya yang
mengering. Tidak ada barang-barang berharga di dalam
bungkusannya. Saya telah membawakan barang-barang
milikmu, dan kuingatkan kepadamu untuk tidak
menghilangkannya. Jangan berikan itu kepada adikmu yang mencuri itu, simpanlah uang itu sendiri!” Kemudian dia mengulangi bait ketiga berikut:
Tidak ada kekayaan bagi yang berhati jahat,
dan dalam hormat para makhluk dewata,
dia tidak memiliki bagiannya; dia yang menipu saudara kandungnya atas kekayaannya dan melakukan
perbuatan buruk dengan tipuan dan pencurian.
Demikian dewi sungai itu berkata, dengan keinginan agar orang jahat yang mencuri itu tidak mendapatkan uangnya. Akan
tetapi, Bodhisatta berkata, “Itu adalah hal yang tidak mungkin,”
dan memberikan bagian yang sama rata kepada adiknya, lima ratus keping uang.
Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru memaparkan
kebenaran:—Di akhir kebenaran, saudagar itu mencapai tingkat
kesucian Sotāpanna:—kemudian mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Adiknya adalah saudagar yang tidak jujur itu, dan abangnya adalah diri-Ku sendiri.”
==========PATTIDANA Paritta
(Salah satu paritta pelimpahan jasa)
Semoga jasa-jasa yang kuperbuat,
Saat ini atau di waktu lain,
Dibagikan kepada semua makhluk di sini,
Tak terbatas, tak ternilai.
Mereka yang kukasihi serta berbudi luhur,
Seperti Ayah dan Ibu,
Yang terlihat maupun yang tidak terlihat,
Yang bersikap netral maupun yang bermusuhan;
Makhluk-makhluk yang berada di alam semesta,
Di tiga alam, empat jenis kelahiran,
Baik terdiri dari lima, satu, atau empat bagian,
Yang tersebar di alam-alam besar maupun kecil;
Semoga dengan pelimpahan jasaku ini,
Mereka bergembira setelah mengetahuinya,
Dan kepada mereka yang tidak mengetahui,
Semoga para dewa memberitakannya.
Berkat jasa-jasa yang kupersembahkan ini,
Yang membawa kegembiraan,
Semoga semua makhluk selamanya,
Hidup berbahagia, bebas dari kebencian,
Semoga mereka mendapatkan jalan kedamaian,
Semoga cita-cita luhur mereka tercapai.
---
Puññassidani katassa,
Yanaññani katani me,
Tesañca bhagino hontu,
Sattanantappamanaka,
Ye piya gunavanta ca,
Mayhang matapitadayo,
Dittha me capyadittha va,
Aññe majjhattaverino;
Satta titthanti lokasming,
Tebhumma catuyonika,
Pancekacatuvokara,
Sangsaranta bhavabhave;
Natang ye pattidanamme,
Anumodantu te sayang,
Ye cimang nappajananti,
Deva tesam nivedayung,
Maya dinnana puññanang,
Anumodanahetuna,
Sabbe satta sada hontu,
Avera sukhajivino,
Khemappadañca pappontu,
Tesasa sijjhatang subha.
*************
MACCHUDDĀNA-JĀTAKA 270.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang saudagar yang tidak jujur. Cerita pembukanya telah dikemukakan sebelumnya di atas.
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga seorang tuan tanah. Ketika dewasa, dia menjadi seorang laki-laki kaya. Dia memiliki seorang adik. Sepeninggal ayahnya, mereka harus melanjutkan usaha ayahnya. Ini membuat mereka pergi ke suatu desa, tempat mereka mendapatkan (tagihan) bayaran sebesar seribu keping uang.
Dalam perjalanan pulang, ketika sedang menunggu perahu di tepi sungai, mereka menyantap makanan yang dibawa dengan keranjang daun. Bodhisatta melemparkan makanan sisanya ke Sungai Gangga untuk ikan-ikan, melimpahkan jasa kebajikannya kepada makhluk dewata penghuni sungai. Dewi sungai menerimanya dengan perasaan puas, yang kemudian kemampuan gaibnya mengalami peningkatan. Ketika merenungkan peningkatan kemampuannya ini, dia pun mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya.
[424] Bodhisatta meletakkan pakaian luarnya di atas
tanah dan berbaring di atasnya, kemudian tertidur. Adiknya itu adalah seorang yang memiliki sedikit sifat mencuri. Dia ingin
mengambil uang dari Bodhisatta dan menyimpannya untuk
dirinya sendiri. Maka dia membuat satu bungkusan batu yang menyerupai bungkusan uang, dan mengambil bungkusan uang
yang sebenarnya. Setelah mereka naik ke perahu dan berada di tengah sungai, adiknya ini menggoyangkan sisi perahu dan menjatuhkan bungkusan batu yang dianggap sebagai bungkusan
uang.
“Saudaraku, uangnya jatuh dari perahu!” teriaknya. “Apa
yang harus dilakukan?” “Apa yang bisa kita lakukan? Yang sudah hilang tidak dapat ditemukan lagi. Jangan mengkhawatirkannya,”
balas saudaranya itu. Akan tetapi, dewi sungai yang tadi
merenungkan betapa gembiranya dia dikarenakan pelimpahan jasa kebajikan
yang diterimanya dan bagaimana kemampuannya meningkat,
memutuskan untuk menjaga barang-barang milik Bodhisatta.
Maka dengan kekuatannya, dewi sungai membuat seekor ikan bermulut besar menelan bungkusan itu dan dia sendiri yang menjaganya kemudian.
Ketika si pencuri itu sampai di rumah, dia tertawa atas
tipuan yang dilakukannya terhadap abangnya, dan kemudian membuka bungkusan itu. Yang terlihat adalah batu. Jantungnya
(seperti ) mengering; dia terbaring di ranjang, berpegangan pada
sisi ranjangnya itu.
Kala itu, beberapa nelayan melemparkan jala untuk
menangkap ikan. Dengan kekuatan dari dewi sungai, ikan tersebut masuk ke dalam jala nelayan itu. Para nelayan membawanya ke kota untuk dijual. Orang-orang menanyakan
berapa harganya. “Seribu keping uang dan tujuh keping uang
logam271,” kata para nelayan. Semua orang menertawakannya.
“Kami baru melihat seekor ikan yang ditawarkan dengan harga seribu keping uang!” tawa mereka.
Para nelayan kemudian membawa ikan mereka tersebut ke rumah Bodhisatta dan memintanya untuk membelinya.
“Berapa harganya?” tanyanya. “Anda bisa mendapatkannya
dengan tujuh keping uang logam,” kata mereka. “Berapa yang
Anda tawarkan kepada orang lain?” “Kepada orang lain, kami tawarkan seribu keping uang dan tujuh keping uang logam.
Tetapi Anda bisa mendapatkannya dengan harga tujuh keping
uang logam saja,” kata mereka.
Dia kemudian membayarkan tujuh keping uang logam,
dan memberikannya kepada istrinya. Sang istri membelah ikan itu dan menemukan bungkusan uang tersebut. [425] Dia memanggil Bodhisatta. Bodhisatta melihat, dan mengetahui
bahwa itu adalah miliknya sewaktu mengenali tandanya. Dia
berpikir, “Para nelayan itu menawarkan kepada orang lain
seharga seribu keping uang dan tujuh keping uang logam, tetapi
karena seribu keping uang itu adalah milikku, mereka menjualnya kepadaku seharga tujuh keping uang logam saja. Jika orang
tidak mengetahui ini, maka tidak ada yang dapat membuat orang itu memahaminya.” Kemudian dia mengulangi bait pertama
berikut:
Siapa yang akan memercayai ceritanya jika dia diberitahu bahwa ikan ini dijual seharga seribu keping
uang?
Ikan ini dijual kepadaku seharga tujuh keping uang
logam; betapa inginnya diriku membeli seikat ikan ini!
Setelah mengucapkan ini, dia bertanya-tanya bagaimana caranya dia bisa mendapatkan uang tersebut kembali. Pada saat itu, sang dewi sungai berada di udara tanpa terlihat (olehnya)
dan berkata,
“Saya adalah dewi sungai dari Gangga. Anda tadi
memberikan sisa-sisa makananmu kepada ikan-ikan dan membuatku mendapatkan jasa kebajikannya. Oleh karena itu, saya menjaga barang-barang milikmu,” dan mengulangi satu bait
kalimat berikut:
Anda berikan makanan kepada ikan-ikan dan hadiah
kepadaku. Perbuatan ini dan kebajikanmu selalu kuingat.
[426] Kemudian makhluk dewata itu menceritakan
tentang tipuan jahat yang dilakukan oleh adiknya. Dan dia menambahkan, “Dia terbaring di sana, dengan jantungnya yang
mengering. Tidak ada barang-barang berharga di dalam
bungkusannya. Saya telah membawakan barang-barang
milikmu, dan kuingatkan kepadamu untuk tidak
menghilangkannya. Jangan berikan itu kepada adikmu yang mencuri itu, simpanlah uang itu sendiri!” Kemudian dia mengulangi bait ketiga berikut:
Tidak ada kekayaan bagi yang berhati jahat,
dan dalam hormat para makhluk dewata,
dia tidak memiliki bagiannya; dia yang menipu saudara kandungnya atas kekayaannya dan melakukan
perbuatan buruk dengan tipuan dan pencurian.
Demikian dewi sungai itu berkata, dengan keinginan agar orang jahat yang mencuri itu tidak mendapatkan uangnya. Akan
tetapi, Bodhisatta berkata, “Itu adalah hal yang tidak mungkin,”
dan memberikan bagian yang sama rata kepada adiknya, lima ratus keping uang.
Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru memaparkan
kebenaran:—Di akhir kebenaran, saudagar itu mencapai tingkat
kesucian Sotāpanna:—kemudian mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Adiknya adalah saudagar yang tidak jujur itu, dan abangnya adalah diri-Ku sendiri.”