Tradisi Pindapatta
👁 1 View
2017-09-21 10:32:43
Kata Pindapatta berasal dari bahasa Pali yang artinya menerima persembahan makanan. Sedangkan yang disebut Patta adalah sejenis mangkok makanan yang digunakan oleh para Bhikkhu/Bhikkhuni. Dulunya pada jaman Sang Buddha, patta ini terbuat dari sejenis buah labu yang disayat bagian atasnya, lalu dikerok bagian tengah/isinya dibuang. Kemudian bagian kulitnya dikeringkan sehingga berbentuk sebuah mangkok yang cukup besar, Mangkok inilah yang digunakan oleh para Bhikkhu/ Bhikkhuni untuk menerima dana/sumbangan makanan dari para umat. Namun karena patta jenis ini mudah rapuh dan mudah rusak (pecah), hingga kemudian patta dibuat dari logam seperti dari tembaga, kuningan, aluminium, dan lain-lain, dengan berbagai macam ukuran.
Pindapatta merupakan tradisi Buddhis yang telah dilaksanakan sejak zaman kehidupan Sang Buddha Gotama/ Sakyamuni Buddha (bahkan sejak jaman para Buddha terdahulu) hingga saat ini, terus berlanjut hingga jaman Buddha-Buddha yang akan datang. Tradisi Pindapatta ini masih tetap dilaksanakan di beberapa negara, seperti Thailand, Kamboja, Myanmar dan Srilanka. Sedangkan di negara-negara lain termasuk Indonesia, tradisi ini sudah jarang dilaksanakan disebabkan banyak faktor yang tidak mendukung pelaksanaan kebiasaan ini. Seperti jumlah Bhikkhu yang tidak banyak, juga jumlah umat Buddha yang sedikit, dan banyak pula diantaranya yang tidak mengerti dan tidak mengenal tatacara tradisi Pindapatta ini.
Pindapatta dilaksanakan oleh para Bhikkhu/ Bhikkhuni dengan cara berjalan kaki dengan kepala tertunduk sambil membawa Patta/ Patra (mangkok makanan) untuk menerima/ memperoleh dana makanan dari umat guna menunjang kehidupannya. Dahulu kala para Bhikkhu/Bhikkhuni keluar dari Vihara dan berjalan di daerah pemukiman (kampung/desa) pada waktu-waktu tertentu (sebelum tengah hari), dan umat yang ingin berdana telah menyiapkan dananya yang akan diberikan kepada Sangha(Perkumpulan Para Bhikkhu). Kemudian dana berupa makanan itu (berupa nasi, lauk pauk, kue-kue, buah-buahan, dan lain-lain) dimasukkan kedalam patta para Bhikkhu/Bhikkhuni, makanan yang campur aduk itulah yang akan dimakan oleh para Bhikkhu/ Bhikkhuni setelah mereka kembali ke Vihara, tanpa merasa jijik atau tidak suka pada makanan yang diberikan karena bagi seorang Bhikkhu/Bhikkhuni makanan hanyalah untuk kelangsungan hidup agar Dhamma dapat lebih lama dilestarikan dan dapat melatih diri lebih lama untuk mencapai kesucian, bukan untuk kenikmatan ataupun untuk mempercantik diri.
Pemberian dana makanan kepada para Bhikkhu/Bhikkhuni ini tidak sama dengan pemberian sedekah atau berdana kepada seorang pengemis, peminta-minta, dan sebagainya. Dalam Pindapatta ini seorang Bhikkhu/Bhikkhuni tidak boleh mengucapkan kata-kata meminta, tetapi umatlah yang secara sadar dan ikhlas, serta semangat bakti memberikan/ mendanakan makanan demi membantu kelangsungan kehidupan suci para anggota Sangha dan membantu kelangsungan serta melestarikan Buddha Dhamma itu sendiri. Bagi para Bhikkhu/ Bhikkhuni sendiri, pindapatta ini merupakan cara untuk melatih diri hidup sederhana/ prihatin, belajar menghargai pemberian orang lain, dan melatih Sati (perhatian/kesadaran murni), serta merenungkan bahwa fungsi utama makanan adalah untuk memenuhi kebutuhan badan jasmani agar tidak cepat sakit dan lapuk, bukan untuk kesenangan dan mencari kenikmatan. Sedangkan bagi umat Buddha, pindapatta ini merupakan ladang yang subur untuk menanam jasa kebajikan sebab berdana kepada Mereka yang menjalani kehidupan suci merupakan suatu berkah yang utama.
Materi referensi : http://www.jambiekspres.co.id