Kecocokan dan Pemilihan Agama
Tanya Jawab Bhikkhu Uttamo
👁 1 View2017-09-20 15:48:18
Dari: Joko, Jogja
Namo Buddhaya,
Bhante, saya ada beberapa pertanyaan, berharap penjelasan Bhante :
1. Saya memiliki saudara angkat yang bukan Buddhis. Dalam kehidupan sehari-hari, saya
memandang dia sebagai seorang yang sangat taat dan percaya pada agamanya. Hampir
setiap hari dia berdoa ( setelah bangun pagi, saat mau makan, atau pun saat dia sedang
gelisah ). Dalam Agama Buddha doa ( paritta ) apa yang bisa saya lakukan setiap harinya
tanpa saya harus pergi ke vihara. Saya akui, saya sangat jarang pergi ke vihara.
2. Seperti yang saya sebutkan di atas bahwa saya sangat jarang pergi ke vihara. Saya
mempunyai pikiran bahwa pergi ke vihara tanpa ada penerapan ajaran Buddha dalam
kehidupannya sehari-hari = nol. Karena saya melihat banyak umat Buddha ( teman-teman
saya ) yang pergi ke vihara, tapi kelakuannya tetap tidak baik ( terutama dalam ucapan ).
Oleh karena itu saya berpendapat, lebih baik saya tidak pergi ke vihara namun saya
berusaha untuk menerapkan ajaran Buddha. Apakah saya keliru ?
3. Karena teman-teman dekat saya kebanyakan bukan Buddhis, maka saya sering diajak
ikut ke tempat ibadah mereka. Terkadang saya menuruti ajakan mereka. Sampai saat ini
saya sudah beberapa kali ke tempat seperti itu. Terus terang saya tertarik akan uraian isi
kitab suci yang diberikan oleh para pemuka agama tersebut yang membuat saya ingin
mengetahui lebih banyak tentang agama tersebut. Apakah saya salah Bhante ? Karena
terkadang saya mengkaitkan ajaran agama lain dengan Agama Buddha.
4. Dalam agama lain, saya ketahui bahwa mereka percaya akan kesembuhan yang
diberikan oleh mahluk berkuasa. Sebagai contoh kasus, ada seseorang yang lumpuh dan
dia di 'doa' kan oleh pemuka agamanya, selama orang tersebut benar-benar percaya akan
kebesaran yang berkuasa, maka dia akan sembuh pada saat itu juga. Bagaimana
pandangan Agama Buddha akan hal ini ? Jujur saja, saya sangat tidak percaya akan hal
tersebut.
5. Kalau tidak salah, dalam kita berdoa kepada Sang Buddha atau pun Sang Tri Ratna,
sebaiknya kita tidak meminta-minta, karena pada intinya kita berdoa kepada Sang
Buddda agar kita dapat mengilhami segala kebajikan yang dilakukan Sang Buddha
selama hidupnya. Tapi dalam agama lain, mereka selalu memohon sesuatu dalam tiap
doanya dan itu 'diizinkan' atau bahkan mungkin 'dianjurkan' dalam ajaran mereka. Yang
mana sesungguhnya yang benar ?
6. Dalam kita membaca paritta, apakah manfaat dari pembacaan paritta tersebut akan
sama jika kita membacanya di dalam hati dengan jika kita membacanya dengan bersuara?
7. Dalam agama Buddha, apakah seseorang yang berpindah agama akan karma buruk ?
Bagaimana pandangan agama Buddha terhadap orang-orang yang berpindah agama ?
Terima kasih atas jawaban-jawaban Bhante.
Jawaban:
1. Idealnya, seorang umat Buddha rajin ke vihara. Walaupun dalam Agama Buddha, ke
vihara bukanlah keharusan, namun dengan ke vihara umat Buddha akan mendapatkan
banyak manfaat. Sebagian kecil di antaranya adalah di vihara, umat dapat melakukan
upacara ritual secara lengkap. Pada saat upacara ritual, umat mempunyai kesempatan
mendengarkan Dhamma Ajaran Sang Buddha. Umat juga mempunyai kesempatan
berdiskusi Dhamma dengan para pemuka Agama Buddha yang ada di vihara tersebut.
Hasil diskusi Dhamma akan dapat meningkatkan keyakinan umat untuk lebih
bersemangat dalam melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Pelaksanaan Ajaran Sang
Buddha akan memberikan kebahagiaan lahir dan batin. Kebahagiaan dalam
melaksanakan Dhamma ini akan meningkatkan keyakinan umat akan Ajaran Sang
Buddha.
Selain itu, di vihara umat juga dapat bersosialisasi dan berkumpul dengan sesama umat
Buddha. Biasanya, dalam pertemuan seperti ini akan dibahas tentang pelaksanaan
Dhamma yang telah dilakukan oleh masing-masing fihak. Adanya tukar pikiran dalam
melaksanakan Dhamma akan lebih menambah semangat menjadikan Ajaran Sang
Buddha sebagai pedoman hidup. Kondisi mental inilah yang nantinya akan memberikan
kebahagiaan dan keyakinan sebagai umat Buddha. Tentu saja masih sangat banyak
manfaat yang diperoleh umat Buddha apabila ia rajin ke vihara.
Namun, karena berbagai alasan, mungkin saja ada umat Buddha yang tidak terlalu rajin
ke vihara. Oleh karena itu, agar batin dapat tetap memiliki keyakinan pada Ajaran Sang
Buddha, ia boleh saja melakukan puja bakti di rumah sendiri. Tentu tindakan ini akan
lebih baik apabila didukung dengan adanya altar di rumah. Ia dapat melakukan puja bakti
serta bermeditasi di depan altar tersebut. Adapun susunan paritta yang hendak dibaca
dapat dilihat pada tuntunan puja bakti yang terdapat dalam buku Paritta Suci. Buku ini
menjadi pedoman puja bakti di vihara binaan Sangha Theravada Indonesia.
Tentu telah diketahui bahwa Agama Buddha tidak melakukan doa yang sering diartikan
sebagai upaya meminta-minta pada fihak lain. Umat Buddha dalam ritual melakukan
pembacaan paritta atau mengulang kotbah Sang Buddha. Pengulangan kotbah Sang
Buddha ini bertujuan untuk perenungan sekaligus menjadikannya sebagai pedoman hidup
sehari-hari.
Jadi, menjawab pertanyaan tentang "doa" yang dapat dilakukan setiap hari tanpa ke
vihara, maka umat Buddha dapat mengucapkan secara berulang-ulang dalam batin
kalimat SEMOGA SEMUA MAHLUK BERBAHAGIA. Kalimat ini mempunyai makna
adanya harapan agar semua mahluk termasuk diri sendiri berbahagia sesuai dengan
kondisi kamma masing-masing. Kiranya, harapan agar semua mahluk tidak terkecuali
para musuh ini berbahagia merupakan harapan luhur yang juga dimiliki dalam semua doa
yang dilakukan oleh semua umat beragama.
2. Idealnya menjadi umat Buddha bukan hanya rajin melakukan upacara ritual saja di
vihara maupun di rumah. Umat Buddha hendaknya selalu bersemangat melaksanakan
Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari sehingga terwujud kebahagiaan diri
sendiri maupun lingkungan tempat ia bertinggal.
Kenyataannya, memang ada umat Buddha yang rajin ke vihara namun ia masih memiliki
perilaku maupun ucapan yang kurang sesuai dengan Ajaran Sang Buddha. Hal ini wajar
terjadi. Seseorang rajin ke vihara bukan berarti ia langsung menjadi orang baik. Ia
sesungguhnya sedang berproses dan belajar menjadi orang yang lebih baik dalam
perilaku, ucapan serta cara berpikir.
Oleh karena itu, adanya kenyataan umat Buddha yang rajin ke vihara namun berperilaku
kurang sesuai Dhamma ini hendaknya dapat dijadikan perenungan bahwa 'sudah rajin ke
vihara pun masih berperilaku demikian, apalagi jika ia tidak rajin ke vihara.'
Sebaliknya, ada orang yang sudah merasa melaksanakan Ajaran Sang Buddha walaupun
ia jarang ke vihara, maka ia hendaknya mampu merenungkan bahwa 'jarang ke vihara
pun sudah mampu melaksanakan Ajaran Sang Buddha, apalagi jika ia lebih sering ke
vihara.'
Dengan demikian, alangkah bagusnya kalau semua umat Buddha rajin ke vihara sehingga
perilaku yang sudah baik dapat terus ditingkatkan sedangkan perilaku yang masih kurang
baik dapat segera diperbaiki.
3. Seorang umat Buddha tidak pernah dilarang untuk mengikuti ibadah agama lain.
Dalam banyak hal, agama-agama memang mempunyai beberapa kesamaan. Namun
upaya mengaitkan serta mencari berbagai kesamaan maupun perbedaan antar agama yang
ada dalam masyarakat tentunya akan menimbulkan berbagai kebingungan. Tindakan
memperbandingkan agama ini membutuhkan pemahaman khusus tentang hal itu.
Oleh karena itu, tentu akan lebih bijaksana apabila umat Buddha lebih mengutamakan
mempelajari satu agama yang dianggap cocok untuk dirinya, dalam hal ini adalah Agama
Buddha. Salah satu tanda kecocokan seseorang dengan suatu agama adalah timbulnya
perbaikan dalam cara berperilaku, berucap maupun berpikir. Ia akan merasakan bahagia
dengan melaksanakan ajaran agama yang cocok dengannya. Ia pun menjadi sumber
kebahagiaan serta kedamaian untuk lingkungan tempat ia bertinggal.
4. Memang cukup banyak kejadian yang tampak aneh bahkan sering dikatakan 'mukjijad'
sebagai hasil doa. Namun, dalam pengertian Buddhis, keadaan itu adalah sangat wajar
dan tidak aneh sama sekali. Bahwa sesungguhnya seseorang dapat sembuh dari sakit
karena adanya cukup banyak timbunan kamma baik atau kebajikan yang ia miliki saat itu.
Apabila timbunan kebajikan yang ia miliki sudah waktunya berbuah dalam bentuk
kesehatan, maka didoakan oleh siapapun juga, bahkan tanpa doa sekalipun, ia pasti akan
sembuh. Namun, jikalau kamma baik yang ia miliki belum waktunya berbuah dalam
bentuk kesembuhan, maka didoakan oleh ribuan orang sekalipun ia masih tetap sakit.
Seandainya memang hanya doa seseorang mampu menyembuhkan penyakit, tentunya
saat ini tidak ada satu orang pun yang datang berobat ke dokter maupun dirawat di rumah
sakit. Semua orang pasti telah berduyun-duyun datang untuk minta disembuhkan dengan
doa. Sayangnya, apabila ada orang yang tidak sembuh ketika telah didoakan, maka
biasanya keyakinanlah yang dijadikan alasan dan kambing hitamnya. Padahal, bahkan
pemuka agama yang sangat yakin dengan agamanya pun bisa menderita sakit dan tidak
sembuh ketika ia didoakan oleh banyak orang.
Jadi, sekali lagi, menurut pandangan Buddhis, kekuatan serta kemujaraban doa sangat
tergantung pada timbunan kamma baik yang dimiliki oleh orang yang didoakan tersebut.
5. Menyikapi adanya perbedaan cara melakukan upacara ritual dari agama-agama yang
terdapat dalam masyarakat, maka tentu saja seseorang tidak dapat menyebutkan cara
yang paling benar. Kebenaran tentang hal ini sangatlah relatif. Masing-masing hanya
berpedoman pada kitab suci agama sendiri yang bisa saja bertentangan dengan kitab suci
agama lain.
Oleh karena itu, semua cara ritual tersebut bisa saja dipergunakan setelah dipilih salah
satu. Pemilihan cara melakukan ritual termasuk memilih agama sangatlah tergantung
pada kecocokan setiap individu.
Dalam Agama Buddha memang tidak diajarkan berdoa dengan meminta-minta kepada
fihak manapun juga. Umat Buddha justru diajarkan selalu memberi atau melakukan
kebajikan dengan tindakan badan, ucapan serta pikiran. Dengan memperbanyak
kebajikan, maka kebahagiaan pasti akan dapat dirasakan pada waktunya nanti. Hal ini
sesuai dengan pengertian Hukum Perbuatan atau Hukum Kamma bahwa mereka yang
menanam padi akan memetik padi pada saat panen nanti. Dengan demikian, mereka yang
menanam atau melakukan kebajikan pasti akan mendapatkan kebahagiaan.
Jika seseorang merasa cocok dengan pengertian Hukum Perbuatan ini, ia dapat mengikuti
cara ritual yang dilaksanakan oleh umat Buddha.
6. Menyambung pengertian di atas bahwa umat Buddha dalam melakukan upacara ritual
tidak meminta kepada fihak manapun juga karena umat Buddha diajarkan untuk
mengulang kotbah Sang Buddha. Kotbah Sang Buddha disebut sutta dan sebagian dari
sutta adalah paritta. Jadi, umat Buddha ketika sedang melakukan upacara ritual biasa
disebut dengan membaca paritta.
Adapun tujuan membaca paritta adalah untuk mengulang serta merenungkan kotbah
Sang Buddha. Dengan demikian, umat Buddha mempunyai pedoman hidup untuk
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Diharapkan, semakin sering umat Buddha
membaca serta merenungkan isi paritta, sikap hidup umat tersebut akan semakin baik.
Hal ini tercermin dari perilaku, ucapan dan cara berpikir yang semakin sesuai dengan
Ajaran Sang Buddha yaitu cinta kasih serta bijaksana.
Sedangkan, pada saat membaca paritta, umat boleh saja melakukan dengan bersuara
maupun membaca dalam batin tanpa suara sama sekali. Kedua cara itu sama saja hasil
dan manfaatnya. Karena hal terpenting dalam ritual Buddhis adalah memahami makna
kotbah Sang Buddha, bukan cara pengucapan yang bersuara atau tidak. Namun, dengan
bersuara, seseorang akan lebih mudah memusatkan pikiran sehingga urutan paritta yang
dibaca tidak mudah terlupakan. Kondisi lupa sering timbul ketika seseorang tidak mampu
memusatkan pikiran pada saat ia sedang membaca paritta. Kelupaan ini mungkin
menimbulkan kebingungan serta keraguan saat ia hendak melanjutkan bacaan paritta
yang sedang dilakukannya.
Oleh karena itu, biasanya umat Buddha disarankan membaca paritta sambil bersuara.
7. Kejadian pindah agama sering tampak dalam kehidupan masyarakat kehari-hari.
Seorang umat Buddha karena berbagai hal kemudian menjadi umat agama lain. Demikian
pula sebaliknya, mereka yang semula bukan Buddhis kemudian memilih Agama Buddha
sebagai pedoman hidupnya.
Dalam pandangan Buddhis, seseorang memutuskan untuk pindah agama adalah hal yang
sangat wajar. Apalagi dalam Dhamma diajarkan bahwa segala sesuatu tidak kekal. Pindah
agama adalah bukti ketidakkekalan dalam diri seseorang.
Hal terpenting dalam pemilihan agama adalah kecocokan. Dengan demikian, diharapkan
ketika seseorang telah menganut suatu agama, ia hendaknya berperilaku yang baik. Kalau
bisa, ia berperilaku jauh lebih baik daripada sebelumnya. Perubahan perilaku yang positif
ini akan mengkondisikan masyarakat dan lingkungannya menghormati dirinya serta
agama yang ia anut. Jika seseorang setelah memilih agama tertentu kemudian perilakunya
menjadi lebih buruk dari sebelumnya serta ia menjadi figur yang menakutkan
lingkungannya, maka sikap seperti ini sesungguhnya menunjukkan bahwa orang tersebut
tidak mampu menghargai dirinya sendiri maupun agama yang ia anut.
Jadi, apapun agama yang dianut seseorang, ia hendaknya menjadikannya sebagai
pedoman hidup agar ia menjadi lebih baik serta menjadi sumber kebahagiaan untuk
lingkungan tempat ia bertinggal.
Semoga berbagai jawaban ini dapat memberikan manfaat serta kebahagiaan.
Semoga semuanya selalu berbahagia.
Salam metta,
B. Uttamo