Meditasi dan Hasilnya
Bhikkhu Sri Pannavaro Dayaka Mahathera
👁 1 View2017-09-17 17:14:24
Saya tidak akan banyak-banyak membahas meditasi. Cobalah melakukan meditasi yang sederhana saja, metta bhavana, mengembangkan cinta kasih. Itu kan perenungan, Bhante, bukan vipassana? Iyalah, tidak apa-apa. Perenungan memang— daripada tidak mau perenungan, vipassana juga tidak mau. Syukur mulai latihan memperhatikan nafas (anapanasati). Umat beragama lain banyak yang belajar meditasi. Di vihara-vihara kita, kalau ada meditation course, umat beragama lain jumlahnya yang paling banyak, umat Buddha tidak pernah menjadi nomor satu. Kalau di Vihara Mendut ada meditasi, yang nomor satu adalah umat Katolik atau Islam. Kalau tidak Islam, ya Katolik. Buddhis nomor tiga. Kadang-kadang dari dua puluh atau tiga puluh orang, Buddhis-nya hanya dua atau tiga orang saja, kecuali meditasi satu minggu pada akhir tahun—umat Buddhisnya paling banyak.
Mereka bukan sekadar mau tahu, mau praktik dengan kesungguhan. Meditasi itulah yang membersihkan pikiran. Dan kita tahu pikiran itu yang menggerakkan ucapan, tindakan, perbuatan—semua perilaku kita dimulai dari pikiran kita. Kalau pikiran kita bersih, baik, otomatis sila kita baik. Tidak perlu berbicara tentang sila apabila Anda sudah mempunyai latihan meditasi yang baik, menjaga pikiran dengan kesadaran dengan baik. Dan meditasi bukan wacana, meditasi harus dilakukan, amat berbeda dengan wacana. Tadi dijelaskan bahwa wacana itu tidak sekadar mengerti , tetapi juga menerima. Tidak sekadar menerima, tetapi juga melaksanakan.
Ada seorang pertapa yang bertapa di tempat yang sepi selama bertahun-tahun. Suatu hari ada seorang penggembala datang ke tempat pertapa tersebut. Penggembala itu bertanya, “Bapak sedang apa di sini?” “Sedang semedi”, sahut sang pertapa. “Apa semedi itu?” tanya si penggembala lagi. “Merenungkan, berusaha untuk tahu ketidakkekalan (anicca), penderitaan (dukkha), tidak ada aku, hanyalah perpaduan (anatta). Kalau kita bisa mengerti dan melihat itu, kita menjadi orang suci—bebas dari penderitaan, tidak menderita lagi”, sambung sang pertapa. “Berapa lama bapak bersemedi (meditasi) di sini?” “Kira-kira hampir dua puluh tahun.” Penggembala ini sedikit nakal, lalu ia mengatakan kepada pertapa bahwa jenggot yang dimiliki oleh kambingnya lebih baik dibandingkan dengan jenggot si pertapa. Spontan pertapa itu ngamuk, “Apa maksudmu?! Ke sini cuma mau mengolok-olok orang tua. Jenggot saya dikatakan lebih jelek dibandingkan jenggot kambing. Pergi kamu.” Lantas sang penggembala berpikir, “Kok begitu ya? Meditasi selama dua puluh tahun, dikatakan jenggotnya lebih jelek dibandingkan jenggot kambing saya langsung ngamuk.”
Sederhana sekali, sangat sederhana. Kepancing begitu saja langsung ngamuk sang pertapa itu. Kalau di buku Ajahn Bram ‘Membuka Pintu Hati ’ itu kan ada cerita lain lagi. Ada seorang bhiksu yang merasa sudah mencapai kesucian, dia membuat syair.
Saya tidak ingat persis syair tersebut. Kira-kira bunyinya seperti ini, “Kalau yang bertentangan sudah diatasi, maka batin akan menjadi hening. Batin hening bebas dari ikatan, bebas dari ikatan adalah kesucian.” Syair tersebut diberikan kepada gurunya. Zaman dulu, apabila ada yang mencapai kesucian, maka membuat syair. Gurunya membaca lalu menambahkan ke dalam syair tersebut, “Kalau bebas dari yang bertentangan kentut, batin tidak terikat kentut, batin menjadi suci kentut, batin menjadi suci sudah bebas kentut.” Lalu syair tersebut dikembalikan kepada muridnya. Ngamuklah sang murid yang membuat syair itu. “Guru ini kurang ajar, tidak menghargai murid, apa ini, orang sudah susah-susah bikin syair, keluar dari pencapaian, malah ditulisi dengan kata-kata kentut, kentut, kentut.” Gurunya tertawa dan mengatakan, “Orang suci kok kalah sama kentut!” Katanya mengerti anatta, sunyata, tanpa aku; kok dikatakan kentut saja sudah ngamuk. Jadi kognitif berbeda sekali, berbeda jauh dengan pelaksanaan.