Tradisi (Sekte) Buddhis
Bhikshuni Thubten Chodron
👁 1 View2018-07-16 16:21:05
Mengapa sejumlah bhikshu dan bhikshuni memakai jubah kuning
sementara yang lain memakai jubah merah tua, abu-abu atau hitam?
Menyebar dari satu negeri ke negeri yang lain, Ajaran Buddha dengan lentur beradaptasi dengan kebudayaan dan cara berpikir masyarakat setempat, tanpa mengubah esensi dan artinya. Jadi tidak perlu di herankan jika corak jubah bhikshu pun bervariasi.
Di Srilanka, Thailand, dan Myanmar, jubah bhikshu berwarna kuning dan tanpa lengan, seperti jubah di zaman Sang Buddha. Tetapi, di Tibet bahan pewarna kuning tidak tersedia, sehingga di gunakan warna yang lebih gelap, merah. Sedangkan di China, orang beranggapan tidak sopan untuk menampakkan kulit badan, jadi pakaian bhikshu pun di sesuaikan, kemudian dipilihlah kostum berlengan panjang dari Dinasti Tang.
Kebudayaan tertentu menganggap warna kuning terlalu cerah untuk maksud keagamaan, dan kemudian di pakai warna abu-abu.
Tetapi, spirit yang di bawa oleh jubah itu tetap di pertahankan dalam bentuk tujuh dan sembilan keping jubah luar walau berwarna coklat, kuning, maupun merah.
Cara paritta di lafalkan di tiap-tiap tempat juga berbeda, tergantung pada kebudayaan dan bahasa di tempat itu. Bahkan ada alat bunyi-bunyian yang di gunakan, dan juga caranya dalam memberi hormat.
Orang Chinese berdiri saat mereka membaca mantra/paritta, sementara orang Tibet duduk.
Variasi ini di sebabkan oleh adaptasi kebudayaan. Adalah penting untuk mengerti bahwa bentuk luar dan cara melakukan sesuatu bukanlah inti Dharma.
Itu semua hanyalah alat untuk membantu kita mempraktekkan Dharma dengan lebih baik sesuai dengan kebudayaan dan tempat dimana kita tinggal. Tetapi, Dharma sejati tidak dapat di lihat dengan mata atau di dengar dengan telinga. Dharma sejati adalah untuk di selami oleh pikiran. Dharma sejati adalah apa yang mesti kita tekankan dan perhatikan, bukannya penampilan luar yang bisa saja berbeda dari suatu tempat ke tempat lain.
Mengapa begitu banyak tradisi dalam agama Buddha?
Sang Buddha membabarkan ajaran-Nya dengan banyak cara karena makhluk hidup (semua makhluk yang memiliki kesadaran tetapi belum menjadi Buddha, termasuk juga yang berada di alam-alam kehidupan lain) mempunyai watak, kebiasaan, dan minat yang berbeda-beda. Beliau tidak pernah mengharapkan kita semua cocok dengan satu bentuk sehingga ajaran-Nya pun di berikan dalam banyak cara dan dalam beragam cara melatih diri - dengan demikian tiap orang bisa menemukan sesuatu yang sesuai dengan tingkat kesadaran dan kepribadiannya. Dengan keahlian dan belas-kasih-Nya dalam menuntun yang lain, Sang Buddha memutar roda Dharma sebanyak tiga kali - setiap kali selalu dengan sedikit perubahan sistem filosofi. Tetapi esensi dari semua ajaran itu sama: tekad yang teguh untuk keluar dari lingkaran penderitaan yang berulang-ulang (samsara), belas-kasih kepada makhluk lain, dan kebijaksanaan ketanpa-akuan.
Tidak semua orang menyukai menu yang sama. Jika sebuah jamuan besar terhampar di depan kita, kita akan memilih makanan yang kita senangi. Tidak ada keharusan untuk menyukai semuanya. Akan tetapi, meski kita lebih menyukai makanan yang manis-manis, tidak berarti bahwa yang asin tidak baik dan mesti di buang! Demikian juga halnya, kita bisa saja memilih suatu pendekatan khusus dari Ajaran: apakah itu Theravada, Tanah Suci (Sukhavati), Zen, Vajrayana, dan sebagainya. Kita memiliki kebebasan untuk memilih pendekatan yang paling sesuai, yang dengannya kita merasa paling nyaman. Walaupun begitu, kita harus tetap mempertahankan pikiran yang terbuka dan menghormati tradisi yang lain. Seiring dengan berkembangnya batin, kita bisa mengerti unsur-unsur dalam tradisi yang lain yang gagal kita pahami pada awalnya.
Singkatnya, apa saja yang berguna dan bermanfaat bagi kita untuk hidup lebih baik, kita praktekkan, dan kita kesampingkan segala yang belum kita mengerti, tanpa perlu menolaknya.
Sementara itu, jangan menempelkan identitas padanya dengan cara-cara yang konkret, seperti: "#Saya_seorang_Mahayanis, #engkau_seorang_Theravadin," atau "Saya seorang Buddhis, engkau bukan.."
Adalah penting untuk di ingat di sini bahwa kita semua adalah makhluk hidup yang mencari kebahagiaan dan ingin menyelami Kebenaran, yang masing-masing akan menemukan satu metoda yang sesuai.
Bagaimanapun, mempertahankan pikiran yang terbuka terhadap pendekatan yang berbeda tidak berarti mencampur-adukkan semuanya dengan acak, dan membuat latihan kita seperti masakan cap-cai.
Jangan mencampur teknik-teknik meditasi dari tradisi yang berbeda dalam satu latihan meditasi.
Dalam satu masa latihan, lebih baik mempraktekkan satu cara saja.
Jika kita mengambil sedikit dari teknik ini dan secuil dari teknik itu, tanpa benar-benar mengerti satu teknik pun, hasilnya barangkali hanya kebingungan !
Meskipun ajaran dari suatu tradisi bisa memperkaya pengertian dan latihan dari teknik yang lain, di nasihatkan untuk #mempraktekkan_hanya_satu_metoda dalam latihan sehari-hari.
Jika kita melakukan :
*meditasi pernafasan hari ini,
*melafalkan Buddha Amitabha keesokan harinya,
*berlatih meditasi analitis pada hari ketiga,
maka kita #Tidak_Akan memperoleh kemajuan dalam satu metoda pun karena tidak adanya kontinuitas dalam latihan tersebut.
Apakah esensi Ajaran Buddha?
Singkat kata, esensi ajaran Buddha adalah berusaha untuk tidak menyakiti dan sebanyak mungkin memberikan pertolongan kepada orang lain.
Atau,
Tidak berbuat jahat; Berusahalah melakukan kebajikan; Sucikan pikiran; Inilah ajaran para Buddha.
Dengan tidak berbuat jahat (membunuh, dan sebagainya) dan melenyapkan pikiran-pikiran yang merusak (kebencian, kemelekatan, kepicikan dan sebagainya), kita telah berhenti merusak diri sendiri dan orang lain. Dengan menumbuhkan kebajikan luhur, kita mengembangkan sikap-sikap yang membangun, seperti cinta dan belas kasih universal, dan bertindak berdasarkan pikiran-pikiran bajik itu. Dengan menyucikan pikiran, kita membuang semua pandangan salah, sehingga menjadi tenang dan damai dengan menyadari kesunyataan.
Esensi Ajaran Buddha juga tercakup dalam tiga kaidah dari Jalan :
*pelepasan yang pasti,
*hati yang mengabdi, dan
*kebijaksanaan dalam menyadari kekosongan (sunyata).
Pada awalnya, kita berusaha untuk keluar dari kemelut masalah-masalah kita dan sebab-sebabnya. Lalu, kita melihat orang lain juga mempunyai masalahnya sendiri, dan dengan cinta kasih dan belas kasih, kita mengabdikan hati ini untuk menjadi seorang Buddha, agar kita dapat benar-benar menolong yang lain.
Untuk melakukan hal ini, kita mengembangkan kebijaksanaan dengan menyadari hakikat sebenarnya dari diri kita dan fenomena lainnya.