Sariputta | kataññukatavedi ( syukur kepada Guru) Sariputta

kataññukatavedi ( syukur kepada Guru)

👁 1 View
2023-03-11 12:20:04

Ini saya yang sedang berusaha mempraktikkannya , Ada keangkuhan, ada rasa tinggi hati yang tidak mengenakkan. Kita yang dibesarkan dalam kelas menengah (berkecukupan), kadang cenderung tidak tahu diri.menganggap semuanya itu memang sudah Hak-ku; Dari cara pandang semacam itu maka [saya berpikiran bahwa]: adalah memang sudah jadi kewajiban Ajahn Chah untuk mengajar dan membimbing saya.Terkadang ada rasa besar kepala bahwa kehadiran saya ini merupakan berkah luar biasa dan asset berharga bagi vihara. 
.
Di Thailand, Setelah lima masa vassa, seorang bhikkhu tak lagi dianggap seorang pemula (samanera), dan ia boleh berkelana sendiri. tahun 1974, saya memutuskan pergi sebagai seorang bhikkhu tudong yakni mengembara jalan kaki dari satu tempat ke tempat lainnya.Seorang umat memberi saya tiket dari Bangkok menuju Calcutta,dan jadilah saya di Calcutta dengan mangkok-rahib di tangan, berjubah dan tanpa uang sepeser pun (karena memang tidak boleh memegang uang sebagai bagian dari Vinaya). Di Thailand, hal begitu tidak menjadi masalah, tapi di India mengembara kemana-mana dengan hanya berbekal mangkok pindapatta dan tanpa uang bisa jadi cukup mengerikan. Sebagaimana yang terjadi, lima bulan saya lewati di India sungguh merupakan suatu petualangan dan cukup banyak kenangan mengasyikkan waktu itu.

Pada saat itulah saya mulai teringat akan Luang Por Chah. Hati saya mulai mengenali kebaikan yang beliau limpahkan. Jika Anda hendak menjadi bhikkhu, Anda bakal ingin seperti dia. Ia adalah manusia seutuh-utuhnya, seseorang yang menjadi inspirasi bagi saya. saya menganggap kebaikan-hati (metta)nya yang luar biasa dalam hidupnya.

Saya bersyukur sekali Ajahn Chah melakukan semua ini, menjalani hidupnya dengan melayani orang-orang awam maupun bhikkhu rewel seperti aku .kudu menampung kami semua yang tiada habis-habisnya suka menimbulkan masalah. kami ini begitu ter-obsesi dengan diri-kami-sendiri, kebimbang-raguan, opini-opini, dan pandangan-pandangan kami sendiri. Aku maunya: setiap orang di dalam Vihara selalu rukun, beres, harmonis, cocok satu sama lain, dan akur dengan saya sehingga tidak ada konflik ataupun perselisihan.Tetapi nyatanya di vihara Thailand selalu terdapat banyak masalah dan ketidak-beresan.

Barangkali, oleh karena mengunjungi tempat-tempat suci Buddhis, rasa kataññukatavedi pun mulai tumbuh begitu kuat dalam diri saya di India. Melihat semua ini, dan kemudian mengenang Luang Por Chah di Thailand, saya jadi ingat benak yang dulu saya berpikir : “Lima tahun sudah kutempuh, sekarang aku mau pergi. melakukan apa yang kumau lepas dari pengawasan si tua itu.”Saya baru menyadari bahwa sebenarnya: saya telah lari. Waktu itu banyak sekali orang Barat berdatangan ke biara kita di Thailand, dan saya tidak ingin direcoki oleh mereka. Jadi, motivasi kepergian saya sangatlah egois. Puncaknya adalah: saya tinggalkan Luang Por Chah sendiri bersama semua bule-bule yang sama sekali tidak becus bahasa Thai itu. Waktu itu, sayalah satu-satunya orang yang bisa menerjemahkan ajaran ke orang Barat [berhubung Luang Por Chah tidak bisa berbahasa Inggris].

Sewaktu merasakan kataññukatavedi ini, Saya bertekad: apapun yang bakal ia perintahkan, pasti akan saya laksanakan. Dengan ketetapan hati ini, saya lalu pulang setelah lima bulan di India.
Semenjak saat itu, saya dapati bahwa: justru meditasi saya mulai berkembang maju (!). -- KE-A Ku-AN keras itu telah hancur dalam diri saya: Tidak lagi duduk-duduk sembari terus berpikir, “Kamu mengganggu ketentraman-ku; Saya tidak suka vihara ini -- saya mau cari yang lain,” seperti kebiasaan saya dulu. Semua gerutuan ini biasanya kerap menjadi penghalang bagi latihan [meditasi] saya, namun sekarang tiba-tiba semuanya, dan berikut segala apa yang terjadi di biara tak lagi menjadi topik-penting bagiku.

Tahun 1975 kami mendirikan Wat Pah Nanachat, ‘Vihara Hutan Internasional’ di dekat desa ini. Sebelum kami ke sana, lahan tersebut sebenarnya adalah untuk tempat-mayat, kawasan pembakaran jenasah bagi desa tersebut, dan di percaya bahwa hutan itu banyak hantunya. Jadi orang-orang desa acapkali datang ke vihara dan bertanya-tanya, “Apa semuanya baik-baik saja?” -- Mulanya kami sungguh tidak menyadari makna tempat tersebut bagi para penduduk desa. Belakangan saya baru mendusin bahwa saya ini sedang tinggal di titik tepat di mana setan paling sangar dari hutan tersebut seharusnya tinggal .Maka sang Sesepuh Desa pun kemudian juga sering datang dan bertanya-tanya, "Apakah Anda bisa tidur nyenyak? Melihat sesuatu yang menarik?" - Sebenarnya saya sama sekali tidak melihat apapun, hantu-hantu itu tidak mengusik saya. Tapi pengalaman tersebut sungguh membantu memperkokoh kehidupan saya sebagai seorang bhikkhu, dan semuanya itu oleh karena kataññu.
sumber : Buku Syukur Kepada Orangtua

https://www.instagram.com/p/BzE-6kBAOvF/…

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com