Kisah Tiga Kelompok Orang
lay
Kelompok pertama: Sekelompok bhikkhu dalam perjalanan mereka untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Mereka berhenti di sebuah desa. Beberapa orang memasak makanan untuk didanakan kepada para bhikkhu. Salah satu rumah terbakar dan alarm kebakaran berkumandang di udara.
Pada saat itu, seekor burung gagak terbang mendekat dan mematuk alarm kebakaran, lalu jatuh mati di tengah-tengah desa. Para bhikkhu melihat burung gagak yang telah mati berpendapat bahwa hanya Sang Buddha-lah yang dapat menjelaskan kejahatan apa yang telah dilakukan burung gagak sehingga ia mati dengan cara itu.
Setelah menerima dana makanan, mereka melanjutkan perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha, dan juga untuk bertanya mengenai burung gagak yang malang.
Kelompok kedua: Kelompok bhikkhu lain yang sedang mengadakan perjalanan dengan sebuah kapal. Mereka juga dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha, ketika mereka sedang berada di tengah lautan, kapalnya tidak dapat bergerak. Lalu undian dilakukan untuk menemukan siapa yang membuat sial. Tiga kali undian menimpa istri kapten.
Kapten kapal berkata dengan sedih, “Banyak orang yang seharusnya tidak meninggal dunia karena wanita yang membuat sial ini; ikat sebuah pot penuh dengan pasir ke leher wanita ini dan lempar dia ke dalam laut sehingga saya tidak akan melihatnya lagi.”
Wanita itu dilempar ke dalam laut sesuai perintah kapten dan kapal pun dapat bergerak kembali.
Setibanya di tempat tujuan mereka, para bhikkhu turun dari kapal dan melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka berniat bertanya kepada Sang Buddha, perbuatan jahat apa yang menyebabkan wanita malang itu dilempar ke laut.
Kelompok ketiga: Sekelompok bhikkhu yang terdiri dari tujuh bhikkhu dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Mereka meminta keterangan pada sebuah vihara di mana terdapat tempat yang layak untuk berteduh pada malam hari di sekitar sana. Kepada mereka ditunjukkan sebuah gua, dan di sana mereka bermalam.
Tetapi di tengah malam sebuah batu karang besar jatuh dari atas dan menutupi pintu masuk gua.
Pada pagi harinya, bhikkhu-bhikkhu dari vihara di sekitar situ datang ke gua melihat apa yang terjadi dan mereka membawa orang-orang dari tujuh desa. Dengan bantuan penduduk desa, mereka mencoba menggeser batu karang tersebut. Tetapi usaha itu tidak ada gunanya. Dengan demikian, ketujuh bhikkhu terjebak di dalam gua tanpa makanan dan minuman selama tujuh hari.
Pada hari ke tujuh, batu karang itu secara ajaib bergerak sendiri, dan para bhikkhu bisa keluar dari gua, serta melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka juga berniat bertanya kepada Beliau, kejahatan apa yang telah mereka perbuat sebelumnya sehingga mereka terkurung selama tujuh hari di dalam gua.
Ketiga kelompok yang melakukan perjalanan itu bertemu dalam perjalanan dan mereka bersama-sama menghadap Sang Buddha. Tiap kelompok menceritakan kepada Sang Buddha apa yang telah mereka lihat atau alami dalam perjalanannya.
Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok pertama: “Para bhikkhu, dahulu kala ada seorang petani yang mempunyai seekor lembu jantan. Lembu jantan tersebut sangat malas dan juga sangat keras kepala. Lembu tersebut tidak dapat dibujuk untuk melakukan pekerjaan apapun, dia hanya berbaring mengunyah jerami atau tidur. Petani tersebut tiap kali kehilangan kesabaran disebabkan kemalasan dan keras kepalanya hewan tersebut. Dengan marah dia mengikat tali jerami di sekeliling leher lembu dan membakarnya, lembu jantan itupun mati. Disebabkan oleh kejahatan ini, petani tersebut menderita lama sekali di alam neraka (Niraya) dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia mati terbakar pada akhir kehidupan yang ketujuhnya.”
Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok kedua: “Para bhikkhu, saat itu terdapat seorang wanita yang mempunyai anjing peliharaan. Dia selalu membawa anjing tersebut bersamanya ke manapun dia pergi. Di kota itu terdapat pemuda-pemuda yang selalu menggoda wanita itu dan anjingnya, sehingga dia sangat marah, dan merasa malu. Akhirnya ia merencanakan untuk membunuh anjingnya. Dia mengisi sebuah pot dengan pasir, mengikatkan di leher anjingnya, melemparkannya ke dalam sungai, dan anjing itupun tenggelam. Akibat dari perbuatan jahat ini, wanita tersebut menderita dalam waktu lama di alam neraka (Niraya), dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia telah dilempar ke dalam laut, dan tenggelam pada akhir kehidupan yang keseratusnya”.
Sang Buddha menjawab pada kelompok ketiga: “Para bhikkhu, saat itu tujuh orang gembala melihat seekor iguana masuk ke dalam anak bukit, dan mereka menutup ketujuh jalan keluar dari anak bukit tersebut dengan ranting-ranting dan cabang-cabang pohon. Setelah menutup ketujuh jalan keluar, mereka pergi serta melupakan iguana yang terperangkap di dalam anak bukit tersebut. Tujuh hari kemudian, mereka teringat apa yang telah mereka lakukan dan dengan cepat kembali ke tempat perbuatan usil mereka dan mengeluarkan iguana tersebut. Akibat dari perbuatan jahat ini, ketujuh orang itu telah terkurung bersama selama tujuh hari tanpa makanan dan minuman pada akhir kehidupan yang keempatbelasnya.”
Kemudian para bhikkhu berkata, “O memang benar! Tidak ada tempat pelarian dari akibat kejahatan bagi orang yang telah melakukan perbuatan jahat, walaupun dia berada di langit, atau di dalam samudra, ataupun di dalam gua”.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Benar, bhikkhu! Kamu benar, walaupun di langit atau di mana saja, tidak ada tempat yang tidak terjangkau oleh akibat kejahatan.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 127 berikut:
Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga,
dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya.
Semua bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
---------
Notes :
Tidak ada tempat kita dapat bersembunyi dari akibat perbuatan jahat.
Renungkanlah bait ini ketika kita mendapat musibah, kematian, dll yang sudah terjadi. Tetapi tidak untuk hal-hal yang belum terjadi.
Jangan salah mengerti menganggap bahwa hukum karma adalah fatalitas ataupun pesimis.
Jangan pernah berpikir, ya sudah, apa boleh buat, sudah karmaku, lalu tidak mau berusaha lagi. Ini namanya kurang usaha :)
Dalam landasan untuk mencapai kebuddhaan, usaha itu urutannya di nomer 1, nomer 2 nya barulah kepandaian/kecerdasan.
Jika masih belum terjadi, kita tetap harus berusaha sekeras mungkin, karena usaha itu sendiri adalah menciptakan karma baru. Karma artinya perbuatan. Apa yang kita lakukan di masa lalu (termasuk sedetik lalu, semenit lalu, sejam lalu, kemarin, minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu dst..s/d kehidupan-kehidupan lalu) akan memberi hasil.
Ada sebagian karma yang berbuah langsung, ada yang menunggu saat dan kondisi yang tepat. Karenanya kita harus berusaha sekuat mungkin dan jangan lupa memupuk banyak kebajikan, karena sesungguhnya masa depan ada di tangan kita sendiri.
Pada saat itu, seekor burung gagak terbang mendekat dan mematuk alarm kebakaran, lalu jatuh mati di tengah-tengah desa. Para bhikkhu melihat burung gagak yang telah mati berpendapat bahwa hanya Sang Buddha-lah yang dapat menjelaskan kejahatan apa yang telah dilakukan burung gagak sehingga ia mati dengan cara itu.
Setelah menerima dana makanan, mereka melanjutkan perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha, dan juga untuk bertanya mengenai burung gagak yang malang.
Kelompok kedua: Kelompok bhikkhu lain yang sedang mengadakan perjalanan dengan sebuah kapal. Mereka juga dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha, ketika mereka sedang berada di tengah lautan, kapalnya tidak dapat bergerak. Lalu undian dilakukan untuk menemukan siapa yang membuat sial. Tiga kali undian menimpa istri kapten.
Kapten kapal berkata dengan sedih, “Banyak orang yang seharusnya tidak meninggal dunia karena wanita yang membuat sial ini; ikat sebuah pot penuh dengan pasir ke leher wanita ini dan lempar dia ke dalam laut sehingga saya tidak akan melihatnya lagi.”
Wanita itu dilempar ke dalam laut sesuai perintah kapten dan kapal pun dapat bergerak kembali.
Setibanya di tempat tujuan mereka, para bhikkhu turun dari kapal dan melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka berniat bertanya kepada Sang Buddha, perbuatan jahat apa yang menyebabkan wanita malang itu dilempar ke laut.
Kelompok ketiga: Sekelompok bhikkhu yang terdiri dari tujuh bhikkhu dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Mereka meminta keterangan pada sebuah vihara di mana terdapat tempat yang layak untuk berteduh pada malam hari di sekitar sana. Kepada mereka ditunjukkan sebuah gua, dan di sana mereka bermalam.
Tetapi di tengah malam sebuah batu karang besar jatuh dari atas dan menutupi pintu masuk gua.
Pada pagi harinya, bhikkhu-bhikkhu dari vihara di sekitar situ datang ke gua melihat apa yang terjadi dan mereka membawa orang-orang dari tujuh desa. Dengan bantuan penduduk desa, mereka mencoba menggeser batu karang tersebut. Tetapi usaha itu tidak ada gunanya. Dengan demikian, ketujuh bhikkhu terjebak di dalam gua tanpa makanan dan minuman selama tujuh hari.
Pada hari ke tujuh, batu karang itu secara ajaib bergerak sendiri, dan para bhikkhu bisa keluar dari gua, serta melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka juga berniat bertanya kepada Beliau, kejahatan apa yang telah mereka perbuat sebelumnya sehingga mereka terkurung selama tujuh hari di dalam gua.
Ketiga kelompok yang melakukan perjalanan itu bertemu dalam perjalanan dan mereka bersama-sama menghadap Sang Buddha. Tiap kelompok menceritakan kepada Sang Buddha apa yang telah mereka lihat atau alami dalam perjalanannya.
Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok pertama: “Para bhikkhu, dahulu kala ada seorang petani yang mempunyai seekor lembu jantan. Lembu jantan tersebut sangat malas dan juga sangat keras kepala. Lembu tersebut tidak dapat dibujuk untuk melakukan pekerjaan apapun, dia hanya berbaring mengunyah jerami atau tidur. Petani tersebut tiap kali kehilangan kesabaran disebabkan kemalasan dan keras kepalanya hewan tersebut. Dengan marah dia mengikat tali jerami di sekeliling leher lembu dan membakarnya, lembu jantan itupun mati. Disebabkan oleh kejahatan ini, petani tersebut menderita lama sekali di alam neraka (Niraya) dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia mati terbakar pada akhir kehidupan yang ketujuhnya.”
Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok kedua: “Para bhikkhu, saat itu terdapat seorang wanita yang mempunyai anjing peliharaan. Dia selalu membawa anjing tersebut bersamanya ke manapun dia pergi. Di kota itu terdapat pemuda-pemuda yang selalu menggoda wanita itu dan anjingnya, sehingga dia sangat marah, dan merasa malu. Akhirnya ia merencanakan untuk membunuh anjingnya. Dia mengisi sebuah pot dengan pasir, mengikatkan di leher anjingnya, melemparkannya ke dalam sungai, dan anjing itupun tenggelam. Akibat dari perbuatan jahat ini, wanita tersebut menderita dalam waktu lama di alam neraka (Niraya), dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia telah dilempar ke dalam laut, dan tenggelam pada akhir kehidupan yang keseratusnya”.
Sang Buddha menjawab pada kelompok ketiga: “Para bhikkhu, saat itu tujuh orang gembala melihat seekor iguana masuk ke dalam anak bukit, dan mereka menutup ketujuh jalan keluar dari anak bukit tersebut dengan ranting-ranting dan cabang-cabang pohon. Setelah menutup ketujuh jalan keluar, mereka pergi serta melupakan iguana yang terperangkap di dalam anak bukit tersebut. Tujuh hari kemudian, mereka teringat apa yang telah mereka lakukan dan dengan cepat kembali ke tempat perbuatan usil mereka dan mengeluarkan iguana tersebut. Akibat dari perbuatan jahat ini, ketujuh orang itu telah terkurung bersama selama tujuh hari tanpa makanan dan minuman pada akhir kehidupan yang keempatbelasnya.”
Kemudian para bhikkhu berkata, “O memang benar! Tidak ada tempat pelarian dari akibat kejahatan bagi orang yang telah melakukan perbuatan jahat, walaupun dia berada di langit, atau di dalam samudra, ataupun di dalam gua”.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Benar, bhikkhu! Kamu benar, walaupun di langit atau di mana saja, tidak ada tempat yang tidak terjangkau oleh akibat kejahatan.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 127 berikut:
Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga,
dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya.
Semua bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
---------
Notes :
Tidak ada tempat kita dapat bersembunyi dari akibat perbuatan jahat.
Renungkanlah bait ini ketika kita mendapat musibah, kematian, dll yang sudah terjadi. Tetapi tidak untuk hal-hal yang belum terjadi.
Jangan salah mengerti menganggap bahwa hukum karma adalah fatalitas ataupun pesimis.
Jangan pernah berpikir, ya sudah, apa boleh buat, sudah karmaku, lalu tidak mau berusaha lagi. Ini namanya kurang usaha :)
Dalam landasan untuk mencapai kebuddhaan, usaha itu urutannya di nomer 1, nomer 2 nya barulah kepandaian/kecerdasan.
Jika masih belum terjadi, kita tetap harus berusaha sekeras mungkin, karena usaha itu sendiri adalah menciptakan karma baru. Karma artinya perbuatan. Apa yang kita lakukan di masa lalu (termasuk sedetik lalu, semenit lalu, sejam lalu, kemarin, minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu dst..s/d kehidupan-kehidupan lalu) akan memberi hasil.
Ada sebagian karma yang berbuah langsung, ada yang menunggu saat dan kondisi yang tepat. Karenanya kita harus berusaha sekuat mungkin dan jangan lupa memupuk banyak kebajikan, karena sesungguhnya masa depan ada di tangan kita sendiri.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com