Kisah Para Pertapa Bukan Pengikut Sang Buddha
lay
Terhadap orang yang mempersembahkan makanan atau benda-benda lain kepada para pertapa, mereka akan mengucapkan kata-kata pemberkahan. Mereka akan berkata, “Semoga engkau bebas dari bahaya, semoga engkau menjadi makmur dan kaya, semoga engkau panjang umur,” dan sebagainya. pada waktu itu, para bhikkhu murid Sang Buddha tidak mengucapkan apapun setelah menerima sesuatu persembahan dari murid awam mereka.
Hal ini karena selama masa dua puluh tahun pertama setelah Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna, para bhikkhu tetap berdiam diri sedangkan para pertapa bukan pengikut Sang Buddha mengucapkan hal-hal yang menyenangkan bagi murid-murid mereka, orang-orang mulai membandingkan kedua kelompok tersebut.
Ketika Sang Buddha mendengarkan itu, Beliau mengizinkan para bhikkhu mengucapkan kata-kata pemberkahan kepada murid-murid mereka setelah menerima persembahan. Akibatnya, semakin banyak orang yang mengundang para pengikut Sang Buddha untuk menerima dana makanan.
Kemudian para pertapa dari ajaran lain berkata dengan menghina, “Kami taat pada praktek pertapaan dan berdiam diri, tetapi pengikut Samana Gotama berbicara banyak sekali di tempat makan.” Mendengar kata-kata yang merendahkan itu Sang Buddha berkata, ” Para bhikkhu! Ada orang yang tetap berdiam karena mereka bodoh dan takut, dan ada yang tetap berdiam karena mereka tidak mau membagi pengetahuan mereka yang mendalam kepada orang lain. Jadi, orang tidak menjadi seorang pertapa hanya dengan tetap berdiam. Hanya orang yang telah mengatasi kejahatan yang dapat disebut seorang pertapa.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 268 dan 269 berikut ini :
Tidak hanya karena berdiam diri seorang menjadi orang suci (muni),
apabila ia dungu dan bodoh.
Bagaikan memegang sepasang neraca,
orang bijaksana melaksanakan sesuatu yang baik
dan menghindari yang jahat.
Karena seseorang dapat memilih apa yang baik
dan menghindari apa yang buruk,
maka ia disebut sebagai orang suci.
Demikianlah, ia yang telah mengerti kedua kelompok (batin maupun jasmani),
patut disebut orang suci.
Hal ini karena selama masa dua puluh tahun pertama setelah Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna, para bhikkhu tetap berdiam diri sedangkan para pertapa bukan pengikut Sang Buddha mengucapkan hal-hal yang menyenangkan bagi murid-murid mereka, orang-orang mulai membandingkan kedua kelompok tersebut.
Ketika Sang Buddha mendengarkan itu, Beliau mengizinkan para bhikkhu mengucapkan kata-kata pemberkahan kepada murid-murid mereka setelah menerima persembahan. Akibatnya, semakin banyak orang yang mengundang para pengikut Sang Buddha untuk menerima dana makanan.
Kemudian para pertapa dari ajaran lain berkata dengan menghina, “Kami taat pada praktek pertapaan dan berdiam diri, tetapi pengikut Samana Gotama berbicara banyak sekali di tempat makan.” Mendengar kata-kata yang merendahkan itu Sang Buddha berkata, ” Para bhikkhu! Ada orang yang tetap berdiam karena mereka bodoh dan takut, dan ada yang tetap berdiam karena mereka tidak mau membagi pengetahuan mereka yang mendalam kepada orang lain. Jadi, orang tidak menjadi seorang pertapa hanya dengan tetap berdiam. Hanya orang yang telah mengatasi kejahatan yang dapat disebut seorang pertapa.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 268 dan 269 berikut ini :
Tidak hanya karena berdiam diri seorang menjadi orang suci (muni),
apabila ia dungu dan bodoh.
Bagaikan memegang sepasang neraca,
orang bijaksana melaksanakan sesuatu yang baik
dan menghindari yang jahat.
Karena seseorang dapat memilih apa yang baik
dan menghindari apa yang buruk,
maka ia disebut sebagai orang suci.
Demikianlah, ia yang telah mengerti kedua kelompok (batin maupun jasmani),
patut disebut orang suci.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com