Kisah Yang Berhubungan Dengan Ketanpa-intian (Anatta)
lay
Kisahnya sama dengan kisah Anicca dan kisah Dukkha. Sang Buddha mengetahui bahwa terdapat 500 bhikkhu lain lagi bermeditasi dengan obyek Anatta, sehingga Beliau berkata, “Para bhikkhu, segalanya perpaduan hidup adalah tanpa inti/substansi. Hal tersebut bukan subyek keakuan.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 279 berikut :
Segala sesuatu yang berkondisi
adalah tanpa inti.
Apabila dengan kebijaksanaan
orang dapat melihat ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.
Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
---------
Notes :
Anicca, Dukkha, dan Anatta, dikenal sebagai hukum Tilakkhana (Tiga corak/karakteristik).
Di antara Tilakkhana (Tiga corak/karakteristik), anatta mungkin adalah yang paling susah dijelaskan dan dipahami. Kita sudah sangat terkondisi dengan konsep aku, milikku, perasaanku, dll yang terbentuk sebagai hasil kombinasi ‘kemelekatan terhadap pandangan salah tentang aku’ dan konsep yang diajarkan/ditanamkan kepada kita sejak kita kecil baik dari keluarga, pendidikan maupun lingkungan sosial.
Secara singkat, anatta seringkali diterjemahkan sebagai tanpa aku, tanpa inti, tanpa jiwa yang kekal, ‘lenyapnya’ aku, shunyata. Penggunaan definisi singkat bisa menimbulkan kesalahpahaman, kadang diartikan secara literal yang berkonotasi negatif bahwa secara individual kita tidak ada.
Anatta seharusnya dipahami dari serangkaian Tilakkhana, yaitu sabbe sankhara anicca, sabbe sankhara dukkha, dan sabbe dhammā anattā - segala sesuatu yang berkondisi dan tidak berkondisi adalah tanpa inti yang abadi/kekal.
Di notes kisah sebelumnya, kita memahami bahwa manusia merupakan kumpulan khanda yang selalu berubah setiap saat, pikiran/perasaan/kesadaran/pencerapan yang timbul tenggelam, selalu berubah, tidak sama.
Jika semuanya selalu berubah silih berganti, bukankah itu hal yang tidak kekal dan tidak dapat disebut inti/jiwa/roh yang kekal? Mari kita stop sejenak, dan pikir, apa dan dimanakah jiwa kita itu? Di dalam hati/jantung, atau di otak, atau di jempol? J Seperti apa bentuknya? Tidak ada, dan kita tak tahu bentuknya. Mengapa? Karena memang tidak ada sesuatu benda seperti misalnya biji di tengah buah-buahan yang bisa kita sebut ‘jiwa’. Jiwa hanyalah istilah untuk memudahkan berkomunikasi.
Demikian pula dari sisi jasmani, penelitian ilmiah menyatakan tubuh manusia terbentuk dari 100 trilyun sel dan setiap detik, tubuh kita melalui proses kematian karena setiap 1 menit, ada jutaan sel yang mati dan diganti.
Orang sering salah mengerti akan konsep anatta, sehingga timbul pertanyaan : kalau tidak ada aku, lalu siapa yang lahir lagi? Siapa yang akan menerima buah karma?
Siapa yang lahir lagi? Dalam konteks kelahiran kembali, kesadaran yang berpindah atau arus kesadaran (samvattanika-viññana) adalah salah satu penyebab munculnya kelahiran baru. Perumpamaan yang dipakai adalah berpindahnya api dari satu lilin ke lilin yang lain. Jika api di lilin A sudah mau padam (misal karena lilinnya habis), lalu dekatkan sumbu lilin B ke api lilin A, maka lilin B akan menyala. Apakah api di lilin A sama atau tidak sama dengan api lilin B? Tidak sama, karena faktor udara, sumbu dan lilinnya pun tidak sama, tetapi merupakan kesinambungan dari lilin A. Jadi dibilang sama juga tidak, dibilang tidak sama juga tidak tepat.
Apakah kamu sama dengan kamu waktu masih SD dulu? Siapa yang belajar berhitung? Dan siapa yang sekarang sudah menuai hasil karena bisa berhitung? Bukankah tetap kamu juga? Semua sudah berubah, tubuh sudah berubah, cara pikir sudah berubah, tetapi secara umum ya tetap kamu juga yang bisa berhitung. Sama halnya dengan karma, ya kamu juga yang akan menerima buahnya.
Lalu, jika demikian, apakah saya saat ini sama dengan saya kemarin atau saya yang besok? Jawabannya adalah tidak, ‘aku’ saat ini bahkan tidak sama dengan ‘aku’ detik yang lalu karena kombinasi kumpulan khanda (maupun khanda itu sendiri) senantiasa berubah.
Jika demikian adanya, dimanakah inti yang kekal? Tidak ada inti yang kekal. Tetapi juga bukan nihilisme.
Ini adalah keunikan ajaran Sang Buddha. Agama lain mengajarkan konsep inti/jiwa yang kekal (yang akan menjalani hukuman di neraka abadi atau menikmati surga abadi) sebagai bagian integral dari doktrin ajaran. Inti yang kekal ini biasanya disebut jiwa, roh, dll yang kekal, yang sifatnya tidak berubah dan tidak terbatas oleh waktu (timeless soul, eternal inner core).
Tetapi Buddhisme menyatakan bahwa sabbe dhamma anatta : tiada inti/jiwa yang kekal.
Kemelekatan terhadap konsep ‘inti diri yang kekal’ adalah salah satu kategori kemelekatan yang dijelaskan dalam Paticca Samuppada (Paticca Samuppada Vibhanga Sutta). Sang Buddha mengajarkan bahwa pandangan salah tentang aku yang kekal menyebabkan adanya pikiran negatif ‘milik saya’, nafsu keinginan, kemelekatan, kebencian dan kekotoran batin yang lain.
Untuk menghindari kebingungan, perlu dipahami bahwa ada dua kategori ‘kebenaran/truth’: kebenaran berdasarkan konvensi, persetujuan atau pandangan umum (sammuti sacca) dan kebenaran yang tertinggi/sesungguhnya berdasarkan realitas (paramattha sacca).
Di tataran ‘konvensi/pemahaman umum’, untuk memudahkan berkomunikasi, kita menyebut ‘aku’, ‘saya’, kita menempelkan label di Nama
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 279 berikut :
Segala sesuatu yang berkondisi
adalah tanpa inti.
Apabila dengan kebijaksanaan
orang dapat melihat ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.
Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
---------
Notes :
Anicca, Dukkha, dan Anatta, dikenal sebagai hukum Tilakkhana (Tiga corak/karakteristik).
Di antara Tilakkhana (Tiga corak/karakteristik), anatta mungkin adalah yang paling susah dijelaskan dan dipahami. Kita sudah sangat terkondisi dengan konsep aku, milikku, perasaanku, dll yang terbentuk sebagai hasil kombinasi ‘kemelekatan terhadap pandangan salah tentang aku’ dan konsep yang diajarkan/ditanamkan kepada kita sejak kita kecil baik dari keluarga, pendidikan maupun lingkungan sosial.
Secara singkat, anatta seringkali diterjemahkan sebagai tanpa aku, tanpa inti, tanpa jiwa yang kekal, ‘lenyapnya’ aku, shunyata. Penggunaan definisi singkat bisa menimbulkan kesalahpahaman, kadang diartikan secara literal yang berkonotasi negatif bahwa secara individual kita tidak ada.
Anatta seharusnya dipahami dari serangkaian Tilakkhana, yaitu sabbe sankhara anicca, sabbe sankhara dukkha, dan sabbe dhammā anattā - segala sesuatu yang berkondisi dan tidak berkondisi adalah tanpa inti yang abadi/kekal.
Di notes kisah sebelumnya, kita memahami bahwa manusia merupakan kumpulan khanda yang selalu berubah setiap saat, pikiran/perasaan/kesadaran/pencerapan yang timbul tenggelam, selalu berubah, tidak sama.
Jika semuanya selalu berubah silih berganti, bukankah itu hal yang tidak kekal dan tidak dapat disebut inti/jiwa/roh yang kekal? Mari kita stop sejenak, dan pikir, apa dan dimanakah jiwa kita itu? Di dalam hati/jantung, atau di otak, atau di jempol? J Seperti apa bentuknya? Tidak ada, dan kita tak tahu bentuknya. Mengapa? Karena memang tidak ada sesuatu benda seperti misalnya biji di tengah buah-buahan yang bisa kita sebut ‘jiwa’. Jiwa hanyalah istilah untuk memudahkan berkomunikasi.
Demikian pula dari sisi jasmani, penelitian ilmiah menyatakan tubuh manusia terbentuk dari 100 trilyun sel dan setiap detik, tubuh kita melalui proses kematian karena setiap 1 menit, ada jutaan sel yang mati dan diganti.
Orang sering salah mengerti akan konsep anatta, sehingga timbul pertanyaan : kalau tidak ada aku, lalu siapa yang lahir lagi? Siapa yang akan menerima buah karma?
Siapa yang lahir lagi? Dalam konteks kelahiran kembali, kesadaran yang berpindah atau arus kesadaran (samvattanika-viññana) adalah salah satu penyebab munculnya kelahiran baru. Perumpamaan yang dipakai adalah berpindahnya api dari satu lilin ke lilin yang lain. Jika api di lilin A sudah mau padam (misal karena lilinnya habis), lalu dekatkan sumbu lilin B ke api lilin A, maka lilin B akan menyala. Apakah api di lilin A sama atau tidak sama dengan api lilin B? Tidak sama, karena faktor udara, sumbu dan lilinnya pun tidak sama, tetapi merupakan kesinambungan dari lilin A. Jadi dibilang sama juga tidak, dibilang tidak sama juga tidak tepat.
Apakah kamu sama dengan kamu waktu masih SD dulu? Siapa yang belajar berhitung? Dan siapa yang sekarang sudah menuai hasil karena bisa berhitung? Bukankah tetap kamu juga? Semua sudah berubah, tubuh sudah berubah, cara pikir sudah berubah, tetapi secara umum ya tetap kamu juga yang bisa berhitung. Sama halnya dengan karma, ya kamu juga yang akan menerima buahnya.
Lalu, jika demikian, apakah saya saat ini sama dengan saya kemarin atau saya yang besok? Jawabannya adalah tidak, ‘aku’ saat ini bahkan tidak sama dengan ‘aku’ detik yang lalu karena kombinasi kumpulan khanda (maupun khanda itu sendiri) senantiasa berubah.
Jika demikian adanya, dimanakah inti yang kekal? Tidak ada inti yang kekal. Tetapi juga bukan nihilisme.
Ini adalah keunikan ajaran Sang Buddha. Agama lain mengajarkan konsep inti/jiwa yang kekal (yang akan menjalani hukuman di neraka abadi atau menikmati surga abadi) sebagai bagian integral dari doktrin ajaran. Inti yang kekal ini biasanya disebut jiwa, roh, dll yang kekal, yang sifatnya tidak berubah dan tidak terbatas oleh waktu (timeless soul, eternal inner core).
Tetapi Buddhisme menyatakan bahwa sabbe dhamma anatta : tiada inti/jiwa yang kekal.
Kemelekatan terhadap konsep ‘inti diri yang kekal’ adalah salah satu kategori kemelekatan yang dijelaskan dalam Paticca Samuppada (Paticca Samuppada Vibhanga Sutta). Sang Buddha mengajarkan bahwa pandangan salah tentang aku yang kekal menyebabkan adanya pikiran negatif ‘milik saya’, nafsu keinginan, kemelekatan, kebencian dan kekotoran batin yang lain.
Untuk menghindari kebingungan, perlu dipahami bahwa ada dua kategori ‘kebenaran/truth’: kebenaran berdasarkan konvensi, persetujuan atau pandangan umum (sammuti sacca) dan kebenaran yang tertinggi/sesungguhnya berdasarkan realitas (paramattha sacca).
Di tataran ‘konvensi/pemahaman umum’, untuk memudahkan berkomunikasi, kita menyebut ‘aku’, ‘saya’, kita menempelkan label di Nama
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com