Kisah Samanera Sumana
lay
Samanera Sumana adalah murid dari Anuruddha Thera. Meskipun ia baru berusia tujuh tahun, tetapi ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, dan memiliki kemampuan batin luar biasa. Suatu saat, ketika gurunya, Anuruddha Thera, jatuh sakit di vihara yang berada di lereng pegunungan Himalaya, ia mengambil air dari danau Anotatta yang jauhnya lima ratus yojana dari vihara.
Perjalanan itu tidak dilakukan dengan jalan darat, tetapi melalui jalan udara (terbang) berkat kemampuan batin luar biasanya. Suatu hari, Anuruddha Thera membawa Samanera Sumana menghadap Sang Buddha, yang saat itu sedang berdiam di Vihara Pubbarama sebuah vihara persembahan Visakha.
Di sana, para bhikkhu muda dan samanera mengganggu Samanera Sumana, dengan menepuk kepalanya, memegang telinganya, hidungnya, tangannya, dan bersendau gurau menanyakan apa ia tidak merasa bosan. Sang Buddha melihat mereka, dan berpikir bahwa akan menunjukkan kepada para bhikkhu suatu kualitas luar biasa dari Samanera Sumana yang masih muda.
Sudah direncanakan oleh Sang Buddha bahwa beliau berharap beberapa samanera mengambil air satu guci dari danau Anotatta. Y.A.Ananda mencari di antara para bhikkhu dan samanera yang berdiam di Vihara Pubbarama yang dapat melakukan pekerjaan itu, tetapi tidak ada satupun yang dapat melaksanakan tugas itu. Akhirnya, Y.A.Ananda meminta Samanera Sumana yang telah siap untuk mengambil air dari danau Anotatta.
Ia mengambil sebuah guci emas besar milik vihara dan segera membawa air dari danau Anotatta untuk Sang Buddha. Seperti hal sebelumnya, ia pergi ke danau Anotatta dan kembali ke vihara melalui jalan udara berkat kemampuan batin luar biasanya.
Pada saat pertemuan para bhikkhu sore hari, para bhikkhu bercerita kepada Sang Buddha perihal perjalanan luar biasa yang telah dilakukan oleh Samanera Sumana.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, seseorang yang melaksanakan Dhamma dengan tekun dan bersemangat, akan dapat memiliki kemampuan batin luar biasa meskipun usianya masih muda.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 382 berikut :
Walaupun seorang bhikkhu masih berusia muda,
namun bila ia tekun menghayati ajaran Sang Buddha,
maka ia akan menerangi dunia ini,
bagaikan bulan yang terbebas dari awan.
----------
Notes :
Kisah di kehidupan sebelumnya.
Di masa Buddha Padumuttara, seorang pemuda (sekarang Anuruddha Thera) melihat seorang bhikkhu dinyatakan sebagai yang paling terkemuka dalam kemampuan dibbacakkhu (mata batin/mata dewa). Setelah memberikan dana makanan selama 7 hari kepada Sangha, ia ber-adhiṭṭhāna (bertekad) untuk menjadi murid Buddha yang paling terkemuka dalam kemampuan dibbacakkhu. Ketika Sang Buddha parinibbana, sebagai penghormatan terakhirnya, ia juga berdana ribuan pelita sebagai persembahan. Setelah meninggal dunia, pemuda itu terlahir di alam para dewa, dan setelah berulang kali terlahir dari satu kelahiran ke kelahiran berikutnya selama seratus ribu kehidupan, ia terlahir kembali sebagai orang miskin bernama Annabhara. Ia bekerja sebagai pemotong rumput bagi Bendahara kaya Sumana.
Suatu hari Annabhara bertemu dengan seorang Paccekabuddha bernama Uparittha. Melihat patta (mangkuk) beliau masih kosong, ia meminta beliau untuk menunggu sebentar. Ia segera pulang, bertanya kepada isterinya, apakah ada makanan untuk dirinya. Isterinya mengiyakan, maka iapun segera memberikan makanannya itu kepada Paccekabuddha Uparittha. Ia berpikir, “Selama ini, ketika aku ingin berdana, aku tidak punya apa-apa untuk didanakan; dan ketika aku punya sesuatu untuk didanakan, aku tidak dapat menemukan siapapun untuk menerima dananya. Hari ini aku beruntung sekali, tidak hanya aku bertemu seseorang untuk menerima danaku, tetapi aku juga memiliki sesuatu untuk didanakan!”
Kali ini ia ber-adhitthana agar ia tidak pernah lagi dilahirkan dalam kehidupan yang menderita dan tidak akan pernah mendengar kata ‘tidak ada’.
Dewa yang tinggal di rumah Bendahara Sumana memuji perbuatan Annabhara, hingga Sumana menjadi sangat tertarik dan menawarkan Annabhara sejumlah uang agar memberikan kebajikan itu kepada Sumana. Setelah mendapat penjelasan dari Paccekabuddha bahwa kebajikan yang dibagi kepada orang lain tidak akan berkurang sama sekali, maka Annabhara dengan senang hati memberikan kebajikan itu kepada Sumana dengan cuma-cuma. Sumana kemudian meminta agar Annabhara menerima uang pemberiannya, melarangnya bekerja lagi, dan mempersilakan untuk mengambil apapun yang diinginkan dari gudang hartanya. Raja yang mendengar kejadian ini, juga memanggil Annabhara, meminta bagian kebajikan Annabhara, memberi banyak kekayaan, dan menjadikannya Bendahara. Maka Annabhara pun menjadi teman baik Sumana.
Setelah melakukan banyak kebajikan lainnya sampai akhir hidupnya, Annabhara meninggal dunia dan terlahir di alam para dewa dan manusia selama beberapa kehidupan, kemudian ia terlahir di masa Buddha Gotama sebagai salah satu pangeran suku Sakya, bernama Anuruddha, dimana ia tidak pernah kesusahan dan tidak pernah mendengar kata ‘tidak ada’. Ketika ibu Anuruddha kehabisan kue-kue dan mengatakan tidak ada lagi, Anuruddha yang tidak mengerti kata ‘tidak ada’ berkata, ya, kirimkan saya kue ‘tidak ada’. Ibunya akhirnya mengirimkan mangkuk kosong dengan tutupnya. Tetapi para dewa mengisinya dengan kue surgawi yang sangat harum dan lezat. Sejak saat itu Anuruddha selalu memesan kue ‘tidak ada’ dan dikirimi mangkuk kosong oleh ibunya, yang kemudian diisi oleh para dewa.
Setelah menjadi bhikkhu dan mencapai Arahat, Anuruddha Thera mengingat kehidupan lampaunya dan berpikir mencari sahabatnya Sumana. Ia melihat bahwa Sumana telah lahir di kota Munda dekat Hutan Vinjha, sebagai anak bungsu bernama Culla Sumana berumur 7 tahun, anak dari Maha Munda. Mengetahui bahwa jika ia kesana Culla Sumana dapat mencapai tingkat kesucian arahat, ia pergi menemui mereka dengan terbang .
Maha Munda dalam kehidupan sebelumnya juga pernah menjadi teman baik Anuruddha Thera, dan ia memberikan persembahan yang banyak kepada Anuruddha Thera. Anuruddha Thera menolak pemberian itu dengan mengatakan bahwa ia tidak memiliki murid pendamping ataupun samanera, Maha Munda mengatakan bahwa anaknya, Culla Sumana, dapat menjadi samanera. Ketika Culla Sumana sedang dicukur rambutnya untuk dijadikan samanera, ia mencapai tingkat kesucian Arahat.
Perjalanan itu tidak dilakukan dengan jalan darat, tetapi melalui jalan udara (terbang) berkat kemampuan batin luar biasanya. Suatu hari, Anuruddha Thera membawa Samanera Sumana menghadap Sang Buddha, yang saat itu sedang berdiam di Vihara Pubbarama sebuah vihara persembahan Visakha.
Di sana, para bhikkhu muda dan samanera mengganggu Samanera Sumana, dengan menepuk kepalanya, memegang telinganya, hidungnya, tangannya, dan bersendau gurau menanyakan apa ia tidak merasa bosan. Sang Buddha melihat mereka, dan berpikir bahwa akan menunjukkan kepada para bhikkhu suatu kualitas luar biasa dari Samanera Sumana yang masih muda.
Sudah direncanakan oleh Sang Buddha bahwa beliau berharap beberapa samanera mengambil air satu guci dari danau Anotatta. Y.A.Ananda mencari di antara para bhikkhu dan samanera yang berdiam di Vihara Pubbarama yang dapat melakukan pekerjaan itu, tetapi tidak ada satupun yang dapat melaksanakan tugas itu. Akhirnya, Y.A.Ananda meminta Samanera Sumana yang telah siap untuk mengambil air dari danau Anotatta.
Ia mengambil sebuah guci emas besar milik vihara dan segera membawa air dari danau Anotatta untuk Sang Buddha. Seperti hal sebelumnya, ia pergi ke danau Anotatta dan kembali ke vihara melalui jalan udara berkat kemampuan batin luar biasanya.
Pada saat pertemuan para bhikkhu sore hari, para bhikkhu bercerita kepada Sang Buddha perihal perjalanan luar biasa yang telah dilakukan oleh Samanera Sumana.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, seseorang yang melaksanakan Dhamma dengan tekun dan bersemangat, akan dapat memiliki kemampuan batin luar biasa meskipun usianya masih muda.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 382 berikut :
Walaupun seorang bhikkhu masih berusia muda,
namun bila ia tekun menghayati ajaran Sang Buddha,
maka ia akan menerangi dunia ini,
bagaikan bulan yang terbebas dari awan.
----------
Notes :
Kisah di kehidupan sebelumnya.
Di masa Buddha Padumuttara, seorang pemuda (sekarang Anuruddha Thera) melihat seorang bhikkhu dinyatakan sebagai yang paling terkemuka dalam kemampuan dibbacakkhu (mata batin/mata dewa). Setelah memberikan dana makanan selama 7 hari kepada Sangha, ia ber-adhiṭṭhāna (bertekad) untuk menjadi murid Buddha yang paling terkemuka dalam kemampuan dibbacakkhu. Ketika Sang Buddha parinibbana, sebagai penghormatan terakhirnya, ia juga berdana ribuan pelita sebagai persembahan. Setelah meninggal dunia, pemuda itu terlahir di alam para dewa, dan setelah berulang kali terlahir dari satu kelahiran ke kelahiran berikutnya selama seratus ribu kehidupan, ia terlahir kembali sebagai orang miskin bernama Annabhara. Ia bekerja sebagai pemotong rumput bagi Bendahara kaya Sumana.
Suatu hari Annabhara bertemu dengan seorang Paccekabuddha bernama Uparittha. Melihat patta (mangkuk) beliau masih kosong, ia meminta beliau untuk menunggu sebentar. Ia segera pulang, bertanya kepada isterinya, apakah ada makanan untuk dirinya. Isterinya mengiyakan, maka iapun segera memberikan makanannya itu kepada Paccekabuddha Uparittha. Ia berpikir, “Selama ini, ketika aku ingin berdana, aku tidak punya apa-apa untuk didanakan; dan ketika aku punya sesuatu untuk didanakan, aku tidak dapat menemukan siapapun untuk menerima dananya. Hari ini aku beruntung sekali, tidak hanya aku bertemu seseorang untuk menerima danaku, tetapi aku juga memiliki sesuatu untuk didanakan!”
Kali ini ia ber-adhitthana agar ia tidak pernah lagi dilahirkan dalam kehidupan yang menderita dan tidak akan pernah mendengar kata ‘tidak ada’.
Dewa yang tinggal di rumah Bendahara Sumana memuji perbuatan Annabhara, hingga Sumana menjadi sangat tertarik dan menawarkan Annabhara sejumlah uang agar memberikan kebajikan itu kepada Sumana. Setelah mendapat penjelasan dari Paccekabuddha bahwa kebajikan yang dibagi kepada orang lain tidak akan berkurang sama sekali, maka Annabhara dengan senang hati memberikan kebajikan itu kepada Sumana dengan cuma-cuma. Sumana kemudian meminta agar Annabhara menerima uang pemberiannya, melarangnya bekerja lagi, dan mempersilakan untuk mengambil apapun yang diinginkan dari gudang hartanya. Raja yang mendengar kejadian ini, juga memanggil Annabhara, meminta bagian kebajikan Annabhara, memberi banyak kekayaan, dan menjadikannya Bendahara. Maka Annabhara pun menjadi teman baik Sumana.
Setelah melakukan banyak kebajikan lainnya sampai akhir hidupnya, Annabhara meninggal dunia dan terlahir di alam para dewa dan manusia selama beberapa kehidupan, kemudian ia terlahir di masa Buddha Gotama sebagai salah satu pangeran suku Sakya, bernama Anuruddha, dimana ia tidak pernah kesusahan dan tidak pernah mendengar kata ‘tidak ada’. Ketika ibu Anuruddha kehabisan kue-kue dan mengatakan tidak ada lagi, Anuruddha yang tidak mengerti kata ‘tidak ada’ berkata, ya, kirimkan saya kue ‘tidak ada’. Ibunya akhirnya mengirimkan mangkuk kosong dengan tutupnya. Tetapi para dewa mengisinya dengan kue surgawi yang sangat harum dan lezat. Sejak saat itu Anuruddha selalu memesan kue ‘tidak ada’ dan dikirimi mangkuk kosong oleh ibunya, yang kemudian diisi oleh para dewa.
Setelah menjadi bhikkhu dan mencapai Arahat, Anuruddha Thera mengingat kehidupan lampaunya dan berpikir mencari sahabatnya Sumana. Ia melihat bahwa Sumana telah lahir di kota Munda dekat Hutan Vinjha, sebagai anak bungsu bernama Culla Sumana berumur 7 tahun, anak dari Maha Munda. Mengetahui bahwa jika ia kesana Culla Sumana dapat mencapai tingkat kesucian arahat, ia pergi menemui mereka dengan terbang .
Maha Munda dalam kehidupan sebelumnya juga pernah menjadi teman baik Anuruddha Thera, dan ia memberikan persembahan yang banyak kepada Anuruddha Thera. Anuruddha Thera menolak pemberian itu dengan mengatakan bahwa ia tidak memiliki murid pendamping ataupun samanera, Maha Munda mengatakan bahwa anaknya, Culla Sumana, dapat menjadi samanera. Ketika Culla Sumana sedang dicukur rambutnya untuk dijadikan samanera, ia mencapai tingkat kesucian Arahat.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com