Kisah Pilindavaccha Thera
lay
Pilindavaccha Thera mempunyai cara yang kurang sopan dalam menegur orang. Ia sering berkata, “Kemari, kamu orang sial”, atau “Kesana, kamu orang sial”, dan hal-hal lain seperti itu. Para bhikkhu yang lain melaporkan tentang hal itu kepada Sang Buddha.
Sang Buddha mengundangnya, dan berbicara kepadanya tentang masalah itu. Kemudian dalam refleksi batin Sang Buddha, Beliau mengetahui bahwa sepanjang lima ratus kehidupannya yang lampau, Sang Thera selalu dilahirkan hanya dalam lingkungan keluarga brahmana, yang menghormati diri mereka sendiri sebagai yang terbaik di antara orang lain.
Maka Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu! Vaccha Thera menegur orang lain sebagai ‘orang sial’ hanya karena kekuatan kebiasaan yang diperoleh dalam masa lima ratus kelahirannya sebagai seorang brahmana, dan bukan karena kebencian. Ia tidak mempunyai maksud untuk melukai orang lain, karena seorang arahat tidak melakukan kejahatan kepada yang lain.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 408 berikut :
Seseorang yang mengucapkan kata-kata halus,
yang mengandung Ajaran Kebenaran,
yang tidak menyinggung siapapun juga,
maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’.
----------
Notes :
Ada satu kisah dari Anguttara Atthakatha mengenai hal ini.
Suatu pagi ada seorang pedagang tippili (sejenis tumbuhan obat/rempah) yang membawa sekereta penuh tippili untuk dijual. Membawa sekeranjang tippili sebagai contoh barang, di gerbang vihara Jetavana, ia bertemu Pilindavaccha Thera yang sedang dalam perjalanan. Dan seperti biasa, menyapa dengan panggilan vasala, Sang Thera bertanya kepada orang itu “Benda apakah itu di dalam keranjangmu, Vasala?” Si pedagang kaget dan kesal karena disapa dengan ‘vasala’, maka dia dengan ketus menjawab, “Tahi tikus!”. “Ah, demikianlah,” jawab Sang Thera dan berlalu. Tippili sebenarnya memang agak mirip tahi tikus, bentuknya panjang-panjang dan hitam gelap, dan pedagang itu sangat terkejut sekali ketika mendapati bahwa contoh barang dan sekereta penuh tippili itu telah berubah menjadi tahi tikus.
Pedagang itu sedih dan marah sekali. Dalam keputusasaannya dia berpikir untuk mencari Thera tadi dan melampiaskan kemarahannya karena ia yakin Thera itulah penyebabnya. Untunglah ia bertemu dengan seorang bijaksana yang menanyakan persoalannya. Setelah mendengar cerita di atas, orang tersebut menjelaskan kepada si pedagang bahwa Pilindavaccha Thera adalah seorang arahat, dan si pedagang itu sendiri dapat menyelesaikan masalah ini. Ia disuruh untuk bertemu lagi dengan Thera seperti sebelumnya, dan ketika ditanya, hati-hatilah menjawab, katakan ‘tippili’. Kemudian Thera akan berkata ‘Ah, demikianlah, “dan kamu akan mendapatkan kembali barang aslimu”, kata orang itu. Si pedagang menuruti saran tersebut dan sangat gembira mendapatkan kembali barang dagangannya.
-------
Membaca kish diatas, sebagian besar orang mungkin akan berpikir, mengapa arahat masih berkata seperti itu?
Untuk memahami kisah diatas, kita perlu melihat dari berbagai sisi dan beberapa kemungkinan;
- Cetana (niat). Beliau memanggil ‘vasala’ dengan tanpa niat jahat, kebencian atau ingin menyakiti. Hal tsb hanya karena kebiasaan yang telah dilakukan selama 500 kehidupan sebagai brahmana, yang amat sulit sekali untuk diubah. Dikatakan hanya seorang Buddha yang dapat mengubah total kebiasaan. Secara pribadi, saya pikir sebagian besar kebiasaan bisa diubah jika sungguh-sungguh bertekad, tetapi saya juga menyadari, sebagian hal-hal tertentu akan sulit untuk diubah, semakin lama memiliki kebiasaan itu, semakin sulit untuk diubah.
- Betapa pentingnya kita menjaga ucapan dan perbuatan kita, janganlah sampai menimbun kebiasaan buruk. 500 kehidupan dengan kebiasaan buruk, setelah menjadi arahat pun masih sulit untuk melepas kebiasaan itu, untungnya sudah tidak menimbulkan karma buruk baru lagi karena sudah arahat. Seorang arahat telah memadamkan kilesanya, jadi ketika beliau menyapa dengan panggilan ‘vasala’ hal ini tidak lagi menciptakan karma baru. Tetapi kita yang masih orang biasa akan melakukan karma buruk dengan kebiasaan buruk kita. Kita yang belum mencapai arahat, janganlah meniru ucapan seperti itu dan berdalih saya tidak berniat, karena keadaan batin kita dengan seorang arahat jelas berbeda. Jangan sampai ketika kita melakukan kesalahan, lalu kita berkelit mengatakan tidak niat, jika kita sembrono, itu pun akan menjadi kebiasaan. Tipis sekali perbedaan antara tidak berniat dengan sembrono.
- Selain itu, perlu juga diingat, etiket atau kebiasaan seseorang berbeda-beda dengan yang lain. Seorang mungkin dianggap kasar oleh orang yang satu, tetapi dianggap wajar saja oleh orang lainnya.
- Dan ada kemungkinan lain, bahwa orang yang dipanggilnya vasala adalah vasala di kehidupan lampaunya. Seperti kisah brahmana yang mengaku sebagai ayah Sang Buddha (kisah 225).
- Setelah dipanggil oleh Sang Buddha, apakah Pilindavaccha Thera masih terus dengan kebiasaannya, tidak disebutkan. Bisa jadi Pilindavaccha Thera kemudian mengubah kebiasaannya itu. Sejauh yang saya ketahui, jika bhikkhu yang sama terus-menerus menimbulkan masalah yang sama, maka akan ditegur lagi. Sejauh yang kutemukan, Pilindavaccha Thera hanya dipanggil sekali ini.
- Apa/siapakah arahat itu? Mari lihat uraian 10 belenggu dibawah ini, apa saja yang telah dipadamkan oleh arahat? Ketika seseorang menjadi arahat, mereka tidaklah tiba-tiba menjadi seseorang yang paling sempurna di dunia, tiba-tiba menjadi pakar etiket dll. Mereka tetap memiliki karakter dasar pribadi masing-masing.
Ada 10 belenggu (dasa samyojana) :
1. Pandangan salah tentang aku (Sakkāya-diṭṭhi)
2. Keragu-raguan terhadap Buddha, Dharma, Sangha (Vicikicchā)
3. Kemelekatan terhadap peraturan dan ritual (Sīlabbata-parāmāsa)
4. Nafsu indria (Kāma-rāga)
5. Benci, dendam atau dengki (Vyāpāda)
6. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk (Ruparãga)
7. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk (Aruparãga)
8. Ketinggian hati yang halus, memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain (Mãna)
9. Batin yang belum seimbang benar, kegelisahan (Uddhacca)
10. Kegelapan batin (Avijjã)
Ada 4 macam tingkat kesucian :
1. sotapanna (pemasuk arus) :
hanya akan ada maksimum 7 kelahiran lagi baginya dan tidak akan lahir ke alam rendah.
Mereka disebut pemasuk arus / pemenang arus, karena ia telah memasuki arus yang menuju ke Nibbana.
Mereka telah mematahkan 3 belenggu pertama; sakkaya-ditthi, vicikiccha, dan silabataparamasa.
Sotapatti adalah tingkat kesuciannya, orangnya disebut sotapanna.
2. sakadagami (hanya akan ada 1 kelahiran lagi baginya sebagai manusia),
Mereka telah mematahkan 3 belenggu pertama, dan melemahkan belenggu ke 4 dan ke 5.
3. anagami (tidak akan lahir kembali menjadi manusia, tetapi di alam Suddhavasa), dan
Mereka telah mematahkan 5 belenggu pertama.
4. arahat (tiada kelahiran lagi baginya di manapun juga).
Mereka telah mematahkan semua belenggu di atas.
Sang Buddha mengundangnya, dan berbicara kepadanya tentang masalah itu. Kemudian dalam refleksi batin Sang Buddha, Beliau mengetahui bahwa sepanjang lima ratus kehidupannya yang lampau, Sang Thera selalu dilahirkan hanya dalam lingkungan keluarga brahmana, yang menghormati diri mereka sendiri sebagai yang terbaik di antara orang lain.
Maka Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu! Vaccha Thera menegur orang lain sebagai ‘orang sial’ hanya karena kekuatan kebiasaan yang diperoleh dalam masa lima ratus kelahirannya sebagai seorang brahmana, dan bukan karena kebencian. Ia tidak mempunyai maksud untuk melukai orang lain, karena seorang arahat tidak melakukan kejahatan kepada yang lain.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 408 berikut :
Seseorang yang mengucapkan kata-kata halus,
yang mengandung Ajaran Kebenaran,
yang tidak menyinggung siapapun juga,
maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’.
----------
Notes :
Ada satu kisah dari Anguttara Atthakatha mengenai hal ini.
Suatu pagi ada seorang pedagang tippili (sejenis tumbuhan obat/rempah) yang membawa sekereta penuh tippili untuk dijual. Membawa sekeranjang tippili sebagai contoh barang, di gerbang vihara Jetavana, ia bertemu Pilindavaccha Thera yang sedang dalam perjalanan. Dan seperti biasa, menyapa dengan panggilan vasala, Sang Thera bertanya kepada orang itu “Benda apakah itu di dalam keranjangmu, Vasala?” Si pedagang kaget dan kesal karena disapa dengan ‘vasala’, maka dia dengan ketus menjawab, “Tahi tikus!”. “Ah, demikianlah,” jawab Sang Thera dan berlalu. Tippili sebenarnya memang agak mirip tahi tikus, bentuknya panjang-panjang dan hitam gelap, dan pedagang itu sangat terkejut sekali ketika mendapati bahwa contoh barang dan sekereta penuh tippili itu telah berubah menjadi tahi tikus.
Pedagang itu sedih dan marah sekali. Dalam keputusasaannya dia berpikir untuk mencari Thera tadi dan melampiaskan kemarahannya karena ia yakin Thera itulah penyebabnya. Untunglah ia bertemu dengan seorang bijaksana yang menanyakan persoalannya. Setelah mendengar cerita di atas, orang tersebut menjelaskan kepada si pedagang bahwa Pilindavaccha Thera adalah seorang arahat, dan si pedagang itu sendiri dapat menyelesaikan masalah ini. Ia disuruh untuk bertemu lagi dengan Thera seperti sebelumnya, dan ketika ditanya, hati-hatilah menjawab, katakan ‘tippili’. Kemudian Thera akan berkata ‘Ah, demikianlah, “dan kamu akan mendapatkan kembali barang aslimu”, kata orang itu. Si pedagang menuruti saran tersebut dan sangat gembira mendapatkan kembali barang dagangannya.
-------
Membaca kish diatas, sebagian besar orang mungkin akan berpikir, mengapa arahat masih berkata seperti itu?
Untuk memahami kisah diatas, kita perlu melihat dari berbagai sisi dan beberapa kemungkinan;
- Cetana (niat). Beliau memanggil ‘vasala’ dengan tanpa niat jahat, kebencian atau ingin menyakiti. Hal tsb hanya karena kebiasaan yang telah dilakukan selama 500 kehidupan sebagai brahmana, yang amat sulit sekali untuk diubah. Dikatakan hanya seorang Buddha yang dapat mengubah total kebiasaan. Secara pribadi, saya pikir sebagian besar kebiasaan bisa diubah jika sungguh-sungguh bertekad, tetapi saya juga menyadari, sebagian hal-hal tertentu akan sulit untuk diubah, semakin lama memiliki kebiasaan itu, semakin sulit untuk diubah.
- Betapa pentingnya kita menjaga ucapan dan perbuatan kita, janganlah sampai menimbun kebiasaan buruk. 500 kehidupan dengan kebiasaan buruk, setelah menjadi arahat pun masih sulit untuk melepas kebiasaan itu, untungnya sudah tidak menimbulkan karma buruk baru lagi karena sudah arahat. Seorang arahat telah memadamkan kilesanya, jadi ketika beliau menyapa dengan panggilan ‘vasala’ hal ini tidak lagi menciptakan karma baru. Tetapi kita yang masih orang biasa akan melakukan karma buruk dengan kebiasaan buruk kita. Kita yang belum mencapai arahat, janganlah meniru ucapan seperti itu dan berdalih saya tidak berniat, karena keadaan batin kita dengan seorang arahat jelas berbeda. Jangan sampai ketika kita melakukan kesalahan, lalu kita berkelit mengatakan tidak niat, jika kita sembrono, itu pun akan menjadi kebiasaan. Tipis sekali perbedaan antara tidak berniat dengan sembrono.
- Selain itu, perlu juga diingat, etiket atau kebiasaan seseorang berbeda-beda dengan yang lain. Seorang mungkin dianggap kasar oleh orang yang satu, tetapi dianggap wajar saja oleh orang lainnya.
- Dan ada kemungkinan lain, bahwa orang yang dipanggilnya vasala adalah vasala di kehidupan lampaunya. Seperti kisah brahmana yang mengaku sebagai ayah Sang Buddha (kisah 225).
- Setelah dipanggil oleh Sang Buddha, apakah Pilindavaccha Thera masih terus dengan kebiasaannya, tidak disebutkan. Bisa jadi Pilindavaccha Thera kemudian mengubah kebiasaannya itu. Sejauh yang saya ketahui, jika bhikkhu yang sama terus-menerus menimbulkan masalah yang sama, maka akan ditegur lagi. Sejauh yang kutemukan, Pilindavaccha Thera hanya dipanggil sekali ini.
- Apa/siapakah arahat itu? Mari lihat uraian 10 belenggu dibawah ini, apa saja yang telah dipadamkan oleh arahat? Ketika seseorang menjadi arahat, mereka tidaklah tiba-tiba menjadi seseorang yang paling sempurna di dunia, tiba-tiba menjadi pakar etiket dll. Mereka tetap memiliki karakter dasar pribadi masing-masing.
Ada 10 belenggu (dasa samyojana) :
1. Pandangan salah tentang aku (Sakkāya-diṭṭhi)
2. Keragu-raguan terhadap Buddha, Dharma, Sangha (Vicikicchā)
3. Kemelekatan terhadap peraturan dan ritual (Sīlabbata-parāmāsa)
4. Nafsu indria (Kāma-rāga)
5. Benci, dendam atau dengki (Vyāpāda)
6. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk (Ruparãga)
7. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk (Aruparãga)
8. Ketinggian hati yang halus, memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain (Mãna)
9. Batin yang belum seimbang benar, kegelisahan (Uddhacca)
10. Kegelapan batin (Avijjã)
Ada 4 macam tingkat kesucian :
1. sotapanna (pemasuk arus) :
hanya akan ada maksimum 7 kelahiran lagi baginya dan tidak akan lahir ke alam rendah.
Mereka disebut pemasuk arus / pemenang arus, karena ia telah memasuki arus yang menuju ke Nibbana.
Mereka telah mematahkan 3 belenggu pertama; sakkaya-ditthi, vicikiccha, dan silabataparamasa.
Sotapatti adalah tingkat kesuciannya, orangnya disebut sotapanna.
2. sakadagami (hanya akan ada 1 kelahiran lagi baginya sebagai manusia),
Mereka telah mematahkan 3 belenggu pertama, dan melemahkan belenggu ke 4 dan ke 5.
3. anagami (tidak akan lahir kembali menjadi manusia, tetapi di alam Suddhavasa), dan
Mereka telah mematahkan 5 belenggu pertama.
4. arahat (tiada kelahiran lagi baginya di manapun juga).
Mereka telah mematahkan semua belenggu di atas.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com