ALINACITTA-JATAKA
“Pangeran Alīnacitta,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan Sang Guru di Jetavana, tentang bhikkhu yang berhenti berusaha. Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Saṁvara-Jātaka . Ketika Sang Guru bertanya kepada bhikkhu ini apakah benar dia telah berhenti berusaha, seperti yang dilaporkan, dia menjawab, “Ya, Yang Terberkahi (Bhagavā).”
Terhadap ini, Sang Guru berkata, “Bhikkhu, pada masa lampau, bukankah Anda mendapatkan kekuasaan penuh atas Kerajaan Benares, dua belas yojana setiap sisi, dan memberikannya kepada seorang bayi laki-laki, seperti potongan daging dan tidak lebih dari itu, dan semua ini hanyalah dengan usaha? Dan sekarang Anda telah memeluk ajaran yang akan memberikan pembebasan, mengapa Anda harus berhenti berusaha?” Beliau pun menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, ada sebuah desa tukang kayu yang tidak jauh dari kota, tempat lima ratus orang tukang kayu tinggal. Mereka biasanya mendayung ke hulu sungai dengan sebuah kapal, dan masuk ke dalam hutan, tempat mereka membuat balok-balok dan papan-papan untuk membangun rumah, dan mengumpulkan kerangka untuk rumah-rumah satu tingkat atau dua tingkat, memberi nomor semua potongan mulai dari balok utama; semuanya ini kemudian mereka bawa ke tepi sungai dan menaikkannya ke kapal; kemudian mendayung ke hilir sungai lagi, mereka selanjutnya akan membangun rumah-rumah sesuai pesanan; setelah itu, kalau mereka telah menerima upah, mereka akan kembali lagi untuk bahan-bahan baku yang lebih banyak untuk bangunan itu, demikianlah mata pencaharian mereka.
Suatu hari, di tempat mereka bekerja untuk mengukir kayu, seekor gajah memijak serpihan kayu akasia dan tertusuk di kakinya, menyebabkan kakinya bengkak dan bernanah dan dia sangat kesakitan. Pada puncak kesakitannya, dia menangkap suara para tukang kayu sedang memotong kayu. “Bakal ada beberapa tukang kayu yang akan mengobati saya,” pikirnya; dan dengan pincang di atas tiga kakinya, dia memunculkan diri di depan mereka dan berbaring di dekat situ. Para tukang kayu yang mengetahui kakinya bengkak pergi melihat; ada serpihan kayu yang tertusuk di kakinya. Dengan sebuah alat yang tajam mereka mengiris serpihan kayu tersebut dan mengikatnya ke sepotong tali kemudian menariknya keluar. Mereka kemudian membuka luka itu dan mencucinya dengan air hangat dan mengobatinya dengan baik; dan dalam waktu singkat luka itu pun sembuh.
Karena rasa terima kasih atas pengobatan ini, sang gajah berpikir: “Nyawaku telah diselamatkan oleh para tukang kayu ini. Sekarang saya harus membuat diriku bermanfaat bagi mereka.” Jadi semenjak itu, dia pun digunakan untuk mencabut pohon-pohon oleh mereka, atau kalau mereka sedang memotong kayu, dialah yang mengangkat balok-balok itu; atau membawakan mereka kapak atau perkakas lain yang mereka perlu, memegang segalanya sekuat-kuatnya dengan belalai. Dan para tukang kayu, pada saat memberi makan kepadanya, biasanya mereka masing-masing membawa sepotong makanan, jadi keseluruhannya ada lima ratus potong makanan.
Gajah ini memiliki seekor anak, badannya serba putih, jenis keturunan yang sangat baik. Sang induk gajah berpikir bahwa dia sekarang sudah tua dan sebaiknya membawa anaknya untuk membantu para tukang kayu, dan dia sendiri bisa bebas pergi. Jadi tanpa sepatah kata pun kepada para tukang kayu, dia pergi ke dalam hutan dan membawa anaknya kepada mereka sambil berkata, “Gajah muda ini adalah anakku. Kalian telah menyelamatkan nyawaku dan saya berikan dia kepada kalian sebagai balasan atas pengobatan kalian; Mulai saat ini, dia akan bekerja untuk kalian.” Maka dia menjelaskan kepada gajah muda itu bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk mengerjakan apa yang biasanya dia sendiri lakukan, dan kemudian dia pun masuk ke dalam hutan, meninggalkannya dengan para tukang kayu. Demikianlah sejak saat itu, gajah muda tersebut melakukan semua tugasnya dengan setia dan patuh; dan mereka memberinya makan seperti yang mereka berikan kepada gajah sebelumnya, dengan lima ratus potong untuk sekali makan.
Kalau pekerjaannya telah selesai, gajah itu akan pergi bermain di sungai dan kemudian kembali lagi. Anak-anak tukang kayu suka menarik belalainya dan bersenda gurau dengannya di dalam air maupun di darat. Sebagai makhluk mulia, apakah mereka itu gajah, kuda atau manusia, tidak akan pernah membuang kotoran di dalam air. Jadi gajah ini tidak melakukan hal seperti itu ketika dia berada di dalam air, tetapi menunggu sampai dia keluar ke tepi sungai.
Suatu hari, hujan membanjiri sungai; dan oleh banjir itu, kotorannya yang setengah kering terbawa ke dalam sungai, terhanyut sampai ke Benares, dan kotoran ini tersangkut di semak-semak. Tidak lama setelah itu, para penjaga gajah raja membawa lima ratus gajah untuk dimandikan. Tetapi makhluk-makhluk itu mencium bau tanah itu berasal dari seekor binatang mulia dan tidak ada satu pun yang mau masuk ke dalam air; mengangkat ekor mereka dan berlarian pergi. Para penjaga gajah menceritakan hal ini kepada para pawang gajah; mereka pun menjawab, “Kalau begitu, pasti ada sesuatu di dalam air.” Maka perintah diberikan untuk membersihkan air itu; dan di dalam semak-semak, gumpalan (kotoran) itu terlihat. “Itu adalah masalahnya!” teriak orang-orang itu. Jadi mereka membawa sebuah botol, dan mengisinya dengan air; dan memasukkan benda itu ke dalamnya, mereka memerciki air itu ke gajah-gajah, kemudian badan-badan mereka pun menjadi wangi. Secara bersamaan mereka pun turun ke sungai dan mandi.
Ketika para pawang melaporkan hal ini kepada raja, mereka memberikan saran kepada raja untuk menangkap gajah tersebut untuk dipergunakan demi kepentingannya.
Maka raja pun berangkat dengan kapal, dan mengayuh ke hulu sungai sampai dia tiba di tempat para tukang kayu tinggal. Gajah muda setelah mendengar suara genderang ketika sedang bermain di air, keluar dan menghadap para tukang kayu, semua datang memberi hormat atas kedatangan raja, dan berkata kepadanya, “Paduka, jika hasil kerajinan kayu yang diinginkan, apa perlu sampai datang ke sini? Mengapa tidak mengutus pengawal datang saja dan kami akan mempersembahkannya untukmu?”
“Bukan, bukan, Teman-teman baikku,” jawab raja, “Bukan karena kayu, saya datang kesini, tetapi karena gajah ini.”
“Dia milikmu, Paduka!”—Tetapi sang gajah menolak untuk bergerak.
“Apa yang harus saya lakukan untuk Anda, gajah yang menjadi bahan pembicaraan?” tanya sang raja.
“Perintahkan untuk membayar para tukang kayu atas apa yang telah mereka habiskan untuk saya, Paduka.”
“Dengan senang hati, Teman.” Dan raja pun memerintahkan untuk memberikan seratus ribu keping uang untuk ekornya, belalainya dan juga keempat kakinya. Tetapi ini tidak cukup untuk sang gajah; dia belum mau pergi. Jadi untuk setiap tukang kayu diberikan sepasang pakaian dan untuk setiap istri mereka jubah untuk dipakai, dia masih merasa tidak cukup karena teman-teman mainnya, anak-anak masih harus diasuh; kemudian dengan melihat terakhir kalinya kepada para tukang kayu, para wanita, dan anak-anak, dia pun berangkat bersama dengan raja.
Ke pusat kota raja membawanya; kota dan kandang semuanya dihiasi dengan megah. Dia memimpin sang gajah keliling kota dengan berpradaksina22 dan kemudian ke dalam kandangnya, yang telah diatur dengan indah dan megah. Di sana dia memerciki sang gajah dengan khidmat dan menunjuknya sebagai tunggangannya sendiri; seperti seorang sahabat, dia memperlakukannya dan memberikannya separuh dari kerajaannya, menjaganya seperti dia menjaga dirinya sendiri. Setelah kedatangan gajah itu, raja memenangkan kekuasaan penuh di seluruh Jambudīpa (India).
Sejalan dengan waktu, permaisuri mengandung Bodhisatta; dan pada saat telah dekat dengan waktu melahirkan, sang raja wafat. Jika sang gajah mengetahui kematian raja, dia pasti akan sedih sekali; jadi dia tetap dilayani seperti sebelumnya dan tidak ada sepatah kata pun yang dikatakan (kepadanya). Tetapi tetangga sebelah, Raja Kosala, mendengar kematian raja. “Pastilah daerahnya menjadi kekuasaanku,” pikirnya; dan dia menggerakkan satu pasukan yang kuat ke kota, dan mengepungnya. Langsung gerbang-gerbang ditutup semua dan sebuah pesan dikirim ke Raja Kosala:—“Permaisuri kami sedang dekat dengan waktu melahirkan dan para ahli bintang telah meramalkan dalam tujuh hari dia bakal melahirkan seorang putra.
Jika dia melahirkan seorang putra, kami tidak akan menyerahkan kerajaan ini, tetapi pada hari ketujuh kita akan bertempur. Untuk waktu selama itulah kami harapkan Anda bisa menanti.” Dan terhadap ini, raja menyetujuinya.
Dalam tujuh hari, permaisuri melahirkan seorang putra. Pada hari penamaannya, mereka memberinya nama Alīnacitta (Pangeran Pemenang Hati); karena, kata mereka, dia dilahirkan untuk memenangkan hati rakyat.
Pada hari yang sama di saat dia dilahirkan, para penduduk kota mulai bertempur dengan Raja Kosala. Tetapi karena mereka tidak mempunyai seorang pemimpin, sedikit demi sedikit pasukan mundur, meskipun sangat hebat. Orang-orang istana pun menceritakan berita ini kepada permaisuri, menambahkan, “Karena pasukan kita mulai terdesak, ditakutkan kita akan kalah. Tetapi gajah kerajaan, teman karib sang raja, tidak pernah mendapat kabar bahwa raja telah wafat dan beliau telah dikaruniai seorang putra dan juga Raja Kosala datang bertempur dengan kita. Haruskah kita ceritakan kepadanya?“
“Ya, lakukanlah,” kata permaisuri. Jadi dia mendandani putranya dan menempatkannya di kain halus; setelah itu dia bersama orang-orang istana turun dari istana dan masuk ke kandang sang gajah. Di sana dia meletakkan bayinya di kaki gajah, sambil berkata, “Guru, sahabat Anda telah wafat, tetapi untuk menceritakannya kepadamu, kami takut kalau-kalau akan membuatmu sangat sedih. Ini adalah anak sahabatmu; Raja Kosala telah mengerahkan pasukan ke kota dan sedang bertempur dengan pasukan anak sahabatmu; pasukan kita telah terdesak; jadi bunuhlah anak sahabatmu sendiri atau menangkanlah kerajaan ini untuknya!”
Dengan segera sang gajah menyambar anak itu dengan belalainya dan mengangkatnya ke atas kepalanya; kemudian sambil mengerang dan meratap, dia menurunkan anak itu dan meletakkannya ke tangan ibunya, dan dengan kata-kata—“Saya akan mengatasi Raja Kosala!” dia pergi dengan tergesa-gesa.
Kemudian orang-orang istana memasangkan perisai dan senjata di badannya, membuka gerbang kota, kemudian mengantarkannya ke sana. Sang gajah muncul dengan raungan keras dan menakuti semua pasukan supaya mereka melarikan diri, dan merusak perkemahan mereka; kemudian dia mencengkam rambut Raja Kosala dan membawanya ke depan pangeran muda, kemudian dia jatuhkan raja itu ke kaki pangeran muda. Sebagian orang bangkit untuk membunuhnya, tetapi sang gajah menahan mereka; dan membiarkan raja tawanan itu pergi dengan nasihat: “Ke depannya, berhati-hatilah dan jangan lancang karena melihat pangeran kami yang masih muda ini.”
Setelah itu, semua kekuasaan atas seluruh India jatuh ke tangan Bodhisatta dan tidak ada seorang musuh pun yang berani melawannya. Bodhisatta dinobatkan pada usia tujuh tahun sebagai Raja Alīnacitta; demikianlah dia memerintah dan pada akhir hidupnya, dia terlahir di alam surga.
____________________
Ketika Sang Guru selesai menyampaikan uraian ini, dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, Beliau mengulangi beberapa bait berikut:—
Pangeran Alīnacitta menerima keburukan Raja Kosala
dan menolong dengan semua yang dimilikinya;
Dengan menangkap raja rakus itu, dia membuat rakyat senang.
Demikian juga bhikkhu siapa saja yang kuat dalam berusaha,
yang berlindung, yang gemar melakukan kebajikan,
yang mengamalkan jalan-jalan menuju nibbana,
lambat laun akan menghancurkan segala ikatan (saṁyojana).
Dan demikianlah Sang Guru membawa ajaran-Nya sampai ke puncak nibbana, melanjutkan untuk memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran-kebenaran ini, bhikkhu yang tadinya telah berhenti berusaha itu mencapai tingkat kesucian Arahat:—“Mahāmāyā adalah sang ibu; bhikkhu yang berhenti berusaha adalah gajah yang mengambil alih kerajaan dan menyerahkannya kepada anak itu; Sāriputta adalah ayah dari gajah itu, dan diri-Ku sendiri adalah Pangeran Alīnacitta.”
Kisah ini diceritakan Sang Guru di Jetavana, tentang bhikkhu yang berhenti berusaha. Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Saṁvara-Jātaka . Ketika Sang Guru bertanya kepada bhikkhu ini apakah benar dia telah berhenti berusaha, seperti yang dilaporkan, dia menjawab, “Ya, Yang Terberkahi (Bhagavā).”
Terhadap ini, Sang Guru berkata, “Bhikkhu, pada masa lampau, bukankah Anda mendapatkan kekuasaan penuh atas Kerajaan Benares, dua belas yojana setiap sisi, dan memberikannya kepada seorang bayi laki-laki, seperti potongan daging dan tidak lebih dari itu, dan semua ini hanyalah dengan usaha? Dan sekarang Anda telah memeluk ajaran yang akan memberikan pembebasan, mengapa Anda harus berhenti berusaha?” Beliau pun menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, ada sebuah desa tukang kayu yang tidak jauh dari kota, tempat lima ratus orang tukang kayu tinggal. Mereka biasanya mendayung ke hulu sungai dengan sebuah kapal, dan masuk ke dalam hutan, tempat mereka membuat balok-balok dan papan-papan untuk membangun rumah, dan mengumpulkan kerangka untuk rumah-rumah satu tingkat atau dua tingkat, memberi nomor semua potongan mulai dari balok utama; semuanya ini kemudian mereka bawa ke tepi sungai dan menaikkannya ke kapal; kemudian mendayung ke hilir sungai lagi, mereka selanjutnya akan membangun rumah-rumah sesuai pesanan; setelah itu, kalau mereka telah menerima upah, mereka akan kembali lagi untuk bahan-bahan baku yang lebih banyak untuk bangunan itu, demikianlah mata pencaharian mereka.
Suatu hari, di tempat mereka bekerja untuk mengukir kayu, seekor gajah memijak serpihan kayu akasia dan tertusuk di kakinya, menyebabkan kakinya bengkak dan bernanah dan dia sangat kesakitan. Pada puncak kesakitannya, dia menangkap suara para tukang kayu sedang memotong kayu. “Bakal ada beberapa tukang kayu yang akan mengobati saya,” pikirnya; dan dengan pincang di atas tiga kakinya, dia memunculkan diri di depan mereka dan berbaring di dekat situ. Para tukang kayu yang mengetahui kakinya bengkak pergi melihat; ada serpihan kayu yang tertusuk di kakinya. Dengan sebuah alat yang tajam mereka mengiris serpihan kayu tersebut dan mengikatnya ke sepotong tali kemudian menariknya keluar. Mereka kemudian membuka luka itu dan mencucinya dengan air hangat dan mengobatinya dengan baik; dan dalam waktu singkat luka itu pun sembuh.
Karena rasa terima kasih atas pengobatan ini, sang gajah berpikir: “Nyawaku telah diselamatkan oleh para tukang kayu ini. Sekarang saya harus membuat diriku bermanfaat bagi mereka.” Jadi semenjak itu, dia pun digunakan untuk mencabut pohon-pohon oleh mereka, atau kalau mereka sedang memotong kayu, dialah yang mengangkat balok-balok itu; atau membawakan mereka kapak atau perkakas lain yang mereka perlu, memegang segalanya sekuat-kuatnya dengan belalai. Dan para tukang kayu, pada saat memberi makan kepadanya, biasanya mereka masing-masing membawa sepotong makanan, jadi keseluruhannya ada lima ratus potong makanan.
Gajah ini memiliki seekor anak, badannya serba putih, jenis keturunan yang sangat baik. Sang induk gajah berpikir bahwa dia sekarang sudah tua dan sebaiknya membawa anaknya untuk membantu para tukang kayu, dan dia sendiri bisa bebas pergi. Jadi tanpa sepatah kata pun kepada para tukang kayu, dia pergi ke dalam hutan dan membawa anaknya kepada mereka sambil berkata, “Gajah muda ini adalah anakku. Kalian telah menyelamatkan nyawaku dan saya berikan dia kepada kalian sebagai balasan atas pengobatan kalian; Mulai saat ini, dia akan bekerja untuk kalian.” Maka dia menjelaskan kepada gajah muda itu bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk mengerjakan apa yang biasanya dia sendiri lakukan, dan kemudian dia pun masuk ke dalam hutan, meninggalkannya dengan para tukang kayu. Demikianlah sejak saat itu, gajah muda tersebut melakukan semua tugasnya dengan setia dan patuh; dan mereka memberinya makan seperti yang mereka berikan kepada gajah sebelumnya, dengan lima ratus potong untuk sekali makan.
Kalau pekerjaannya telah selesai, gajah itu akan pergi bermain di sungai dan kemudian kembali lagi. Anak-anak tukang kayu suka menarik belalainya dan bersenda gurau dengannya di dalam air maupun di darat. Sebagai makhluk mulia, apakah mereka itu gajah, kuda atau manusia, tidak akan pernah membuang kotoran di dalam air. Jadi gajah ini tidak melakukan hal seperti itu ketika dia berada di dalam air, tetapi menunggu sampai dia keluar ke tepi sungai.
Suatu hari, hujan membanjiri sungai; dan oleh banjir itu, kotorannya yang setengah kering terbawa ke dalam sungai, terhanyut sampai ke Benares, dan kotoran ini tersangkut di semak-semak. Tidak lama setelah itu, para penjaga gajah raja membawa lima ratus gajah untuk dimandikan. Tetapi makhluk-makhluk itu mencium bau tanah itu berasal dari seekor binatang mulia dan tidak ada satu pun yang mau masuk ke dalam air; mengangkat ekor mereka dan berlarian pergi. Para penjaga gajah menceritakan hal ini kepada para pawang gajah; mereka pun menjawab, “Kalau begitu, pasti ada sesuatu di dalam air.” Maka perintah diberikan untuk membersihkan air itu; dan di dalam semak-semak, gumpalan (kotoran) itu terlihat. “Itu adalah masalahnya!” teriak orang-orang itu. Jadi mereka membawa sebuah botol, dan mengisinya dengan air; dan memasukkan benda itu ke dalamnya, mereka memerciki air itu ke gajah-gajah, kemudian badan-badan mereka pun menjadi wangi. Secara bersamaan mereka pun turun ke sungai dan mandi.
Ketika para pawang melaporkan hal ini kepada raja, mereka memberikan saran kepada raja untuk menangkap gajah tersebut untuk dipergunakan demi kepentingannya.
Maka raja pun berangkat dengan kapal, dan mengayuh ke hulu sungai sampai dia tiba di tempat para tukang kayu tinggal. Gajah muda setelah mendengar suara genderang ketika sedang bermain di air, keluar dan menghadap para tukang kayu, semua datang memberi hormat atas kedatangan raja, dan berkata kepadanya, “Paduka, jika hasil kerajinan kayu yang diinginkan, apa perlu sampai datang ke sini? Mengapa tidak mengutus pengawal datang saja dan kami akan mempersembahkannya untukmu?”
“Bukan, bukan, Teman-teman baikku,” jawab raja, “Bukan karena kayu, saya datang kesini, tetapi karena gajah ini.”
“Dia milikmu, Paduka!”—Tetapi sang gajah menolak untuk bergerak.
“Apa yang harus saya lakukan untuk Anda, gajah yang menjadi bahan pembicaraan?” tanya sang raja.
“Perintahkan untuk membayar para tukang kayu atas apa yang telah mereka habiskan untuk saya, Paduka.”
“Dengan senang hati, Teman.” Dan raja pun memerintahkan untuk memberikan seratus ribu keping uang untuk ekornya, belalainya dan juga keempat kakinya. Tetapi ini tidak cukup untuk sang gajah; dia belum mau pergi. Jadi untuk setiap tukang kayu diberikan sepasang pakaian dan untuk setiap istri mereka jubah untuk dipakai, dia masih merasa tidak cukup karena teman-teman mainnya, anak-anak masih harus diasuh; kemudian dengan melihat terakhir kalinya kepada para tukang kayu, para wanita, dan anak-anak, dia pun berangkat bersama dengan raja.
Ke pusat kota raja membawanya; kota dan kandang semuanya dihiasi dengan megah. Dia memimpin sang gajah keliling kota dengan berpradaksina22 dan kemudian ke dalam kandangnya, yang telah diatur dengan indah dan megah. Di sana dia memerciki sang gajah dengan khidmat dan menunjuknya sebagai tunggangannya sendiri; seperti seorang sahabat, dia memperlakukannya dan memberikannya separuh dari kerajaannya, menjaganya seperti dia menjaga dirinya sendiri. Setelah kedatangan gajah itu, raja memenangkan kekuasaan penuh di seluruh Jambudīpa (India).
Sejalan dengan waktu, permaisuri mengandung Bodhisatta; dan pada saat telah dekat dengan waktu melahirkan, sang raja wafat. Jika sang gajah mengetahui kematian raja, dia pasti akan sedih sekali; jadi dia tetap dilayani seperti sebelumnya dan tidak ada sepatah kata pun yang dikatakan (kepadanya). Tetapi tetangga sebelah, Raja Kosala, mendengar kematian raja. “Pastilah daerahnya menjadi kekuasaanku,” pikirnya; dan dia menggerakkan satu pasukan yang kuat ke kota, dan mengepungnya. Langsung gerbang-gerbang ditutup semua dan sebuah pesan dikirim ke Raja Kosala:—“Permaisuri kami sedang dekat dengan waktu melahirkan dan para ahli bintang telah meramalkan dalam tujuh hari dia bakal melahirkan seorang putra.
Jika dia melahirkan seorang putra, kami tidak akan menyerahkan kerajaan ini, tetapi pada hari ketujuh kita akan bertempur. Untuk waktu selama itulah kami harapkan Anda bisa menanti.” Dan terhadap ini, raja menyetujuinya.
Dalam tujuh hari, permaisuri melahirkan seorang putra. Pada hari penamaannya, mereka memberinya nama Alīnacitta (Pangeran Pemenang Hati); karena, kata mereka, dia dilahirkan untuk memenangkan hati rakyat.
Pada hari yang sama di saat dia dilahirkan, para penduduk kota mulai bertempur dengan Raja Kosala. Tetapi karena mereka tidak mempunyai seorang pemimpin, sedikit demi sedikit pasukan mundur, meskipun sangat hebat. Orang-orang istana pun menceritakan berita ini kepada permaisuri, menambahkan, “Karena pasukan kita mulai terdesak, ditakutkan kita akan kalah. Tetapi gajah kerajaan, teman karib sang raja, tidak pernah mendapat kabar bahwa raja telah wafat dan beliau telah dikaruniai seorang putra dan juga Raja Kosala datang bertempur dengan kita. Haruskah kita ceritakan kepadanya?“
“Ya, lakukanlah,” kata permaisuri. Jadi dia mendandani putranya dan menempatkannya di kain halus; setelah itu dia bersama orang-orang istana turun dari istana dan masuk ke kandang sang gajah. Di sana dia meletakkan bayinya di kaki gajah, sambil berkata, “Guru, sahabat Anda telah wafat, tetapi untuk menceritakannya kepadamu, kami takut kalau-kalau akan membuatmu sangat sedih. Ini adalah anak sahabatmu; Raja Kosala telah mengerahkan pasukan ke kota dan sedang bertempur dengan pasukan anak sahabatmu; pasukan kita telah terdesak; jadi bunuhlah anak sahabatmu sendiri atau menangkanlah kerajaan ini untuknya!”
Dengan segera sang gajah menyambar anak itu dengan belalainya dan mengangkatnya ke atas kepalanya; kemudian sambil mengerang dan meratap, dia menurunkan anak itu dan meletakkannya ke tangan ibunya, dan dengan kata-kata—“Saya akan mengatasi Raja Kosala!” dia pergi dengan tergesa-gesa.
Kemudian orang-orang istana memasangkan perisai dan senjata di badannya, membuka gerbang kota, kemudian mengantarkannya ke sana. Sang gajah muncul dengan raungan keras dan menakuti semua pasukan supaya mereka melarikan diri, dan merusak perkemahan mereka; kemudian dia mencengkam rambut Raja Kosala dan membawanya ke depan pangeran muda, kemudian dia jatuhkan raja itu ke kaki pangeran muda. Sebagian orang bangkit untuk membunuhnya, tetapi sang gajah menahan mereka; dan membiarkan raja tawanan itu pergi dengan nasihat: “Ke depannya, berhati-hatilah dan jangan lancang karena melihat pangeran kami yang masih muda ini.”
Setelah itu, semua kekuasaan atas seluruh India jatuh ke tangan Bodhisatta dan tidak ada seorang musuh pun yang berani melawannya. Bodhisatta dinobatkan pada usia tujuh tahun sebagai Raja Alīnacitta; demikianlah dia memerintah dan pada akhir hidupnya, dia terlahir di alam surga.
____________________
Ketika Sang Guru selesai menyampaikan uraian ini, dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, Beliau mengulangi beberapa bait berikut:—
Pangeran Alīnacitta menerima keburukan Raja Kosala
dan menolong dengan semua yang dimilikinya;
Dengan menangkap raja rakus itu, dia membuat rakyat senang.
Demikian juga bhikkhu siapa saja yang kuat dalam berusaha,
yang berlindung, yang gemar melakukan kebajikan,
yang mengamalkan jalan-jalan menuju nibbana,
lambat laun akan menghancurkan segala ikatan (saṁyojana).
Dan demikianlah Sang Guru membawa ajaran-Nya sampai ke puncak nibbana, melanjutkan untuk memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran-kebenaran ini, bhikkhu yang tadinya telah berhenti berusaha itu mencapai tingkat kesucian Arahat:—“Mahāmāyā adalah sang ibu; bhikkhu yang berhenti berusaha adalah gajah yang mengambil alih kerajaan dan menyerahkannya kepada anak itu; Sāriputta adalah ayah dari gajah itu, dan diri-Ku sendiri adalah Pangeran Alīnacitta.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com