ANABHIRATI-JATAKA
“Air berlumpur, pekat,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang brahmana muda. Dikatakan bahwasanya seorang brahmana muda bertempat tinggal di Sāvatthi yang telah menguasai tiga kitab Weda mengajarkan syair-syair suci tersebut kepada sejumlah brahmana muda lainnya dan para kesatria. Pada waktunya, dia hidup sebagai seorang perumah tangga. Pikirannya kala itu disibukkan dengan harta dan perhiasaan, melayani laki-laki dan melayani perempuan, tanah dan unsur-unsur, sapi dan kerbau, putra dan putri, dia cenderung dipenuhi dengan nafsu, kebencian, dan kegelapan batin. Kesemuanya ini menutupi akal sehatnya, hingga dia menjadi lupa bagaimana untuk melantunkan syairsyairnya dalam susunan yang benar dan kadang-kadang syairsyairnya itu tidak muncul dengan jelas di dalam pikirannya. Orang ini, pada suatu hari, mendapatkan sejumlah bunga dan wewangian, dan dengan ini, dia membawakannya untuk Sang Guru di Jetavana. Setelah memberi salam, dia duduk di satu sisi.
Sang Guru, setelah beruluk salam, berkata kepadanya, “Brahmana Muda, Anda adalah seorang guru yang mengajarkan syair-syair suci. Apakah Anda menghafal semuanya di luar kepala?” “Ya, Bhante, tadinya saya telah menghapal semuanya dengan baik. Akan tetapi, sejak menikah, pikiranku menjadi keruh dan saya tidak lagi mampu menghapalnya.” “Brahmana Muda,” Sang Guru berkata, “kejadian yang sama telah terjadi sebelumnya; pada awalnya, pikiranmu jernih dan Anda mampu menghapal semua syairmu dengan sempurna, tetapi setelah pikiranmu keruh dikarenakan nafsu dan yang lainnya, Anda tidak lagi mampu melihat semuanya dengan jelas.” Kemudian atas permintaannya, Sang Guru menceritakan kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga seorang brahmana yang terkemuka. Ketika tumbuh dewasa, dia belajar di bawah bimbingan seorang guru yang termasyhur di Takkasilā , tempat dia belajar semua syair suci. Sekembalinya ke Benares, dia mengajarkan syair-syair itu kepada sejumlah brahmana dan para kesatria muda. Di antara orang-orang muda tersebut, terdapat seorang brahmana yang mampu mempelajari tiga kitab Weda di luar kepala, dan dia menjadi pemimpin, dan dapat mengulangi seluruh syair suci tanpa kesalahan, meskipun satu baris. Sampai suatu saat, dia menikah dan berumah tangga. Kemudian masalah rumah tangga mengeruhkan pikirannya dan dia tidak mampu lagi mengulangi syair-syair suci tersebut. Suatu hari Sang Guru mengunjunginya. “Brahmana Muda,” dia bertanya, “apakah Anda menghafal semua syairmu di luar kepala?” “Sejak saya menjadi kepala keluarga,” balasnya “pikiranku menjadi keruh dan saya tidak mampu lagi menghafalnya.” “Anakku,” kata gurunya, “ketika pikiran keruh, tidak peduli bagaimana sempurnanya kitab itu telah dipelajari, maka semuanya akan menjadi tidak jelas. Akan tetapi ketika pikiran jernih, Anda tidak akan melupakannya.” Dan kemudian dia mengulangi dua bait berikut:
Air berlumpur, pekat, tidak akan memperlihatkan ikan atau kerang atau pasir atau batu kerikil yang mungkin berada di bawahnya: Demikian dengan pikiran yang keruh, tidak ada kebajikan dalam dirimu sendiri atau orang lain yang dapat terlihat. Air yang jernih dan tenang selalu memperlihatkan semuanya, baik itu ikan atau kerang, yang berada di bawahnya; Demikian dengan pikiran yang jernih: kebajikan dalam dirimu sendiri dan orang lain dapat terlihat dengan jelas.
Ketika mengakhiri uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran, brahmana muda tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna :—“Pada masa itu, brahmana muda dalam kisah ini adalah brahmana muda itu, dan Aku sendiri adalah gurunya.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang brahmana muda. Dikatakan bahwasanya seorang brahmana muda bertempat tinggal di Sāvatthi yang telah menguasai tiga kitab Weda mengajarkan syair-syair suci tersebut kepada sejumlah brahmana muda lainnya dan para kesatria. Pada waktunya, dia hidup sebagai seorang perumah tangga. Pikirannya kala itu disibukkan dengan harta dan perhiasaan, melayani laki-laki dan melayani perempuan, tanah dan unsur-unsur, sapi dan kerbau, putra dan putri, dia cenderung dipenuhi dengan nafsu, kebencian, dan kegelapan batin. Kesemuanya ini menutupi akal sehatnya, hingga dia menjadi lupa bagaimana untuk melantunkan syairsyairnya dalam susunan yang benar dan kadang-kadang syairsyairnya itu tidak muncul dengan jelas di dalam pikirannya. Orang ini, pada suatu hari, mendapatkan sejumlah bunga dan wewangian, dan dengan ini, dia membawakannya untuk Sang Guru di Jetavana. Setelah memberi salam, dia duduk di satu sisi.
Sang Guru, setelah beruluk salam, berkata kepadanya, “Brahmana Muda, Anda adalah seorang guru yang mengajarkan syair-syair suci. Apakah Anda menghafal semuanya di luar kepala?” “Ya, Bhante, tadinya saya telah menghapal semuanya dengan baik. Akan tetapi, sejak menikah, pikiranku menjadi keruh dan saya tidak lagi mampu menghapalnya.” “Brahmana Muda,” Sang Guru berkata, “kejadian yang sama telah terjadi sebelumnya; pada awalnya, pikiranmu jernih dan Anda mampu menghapal semua syairmu dengan sempurna, tetapi setelah pikiranmu keruh dikarenakan nafsu dan yang lainnya, Anda tidak lagi mampu melihat semuanya dengan jelas.” Kemudian atas permintaannya, Sang Guru menceritakan kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga seorang brahmana yang terkemuka. Ketika tumbuh dewasa, dia belajar di bawah bimbingan seorang guru yang termasyhur di Takkasilā , tempat dia belajar semua syair suci. Sekembalinya ke Benares, dia mengajarkan syair-syair itu kepada sejumlah brahmana dan para kesatria muda. Di antara orang-orang muda tersebut, terdapat seorang brahmana yang mampu mempelajari tiga kitab Weda di luar kepala, dan dia menjadi pemimpin, dan dapat mengulangi seluruh syair suci tanpa kesalahan, meskipun satu baris. Sampai suatu saat, dia menikah dan berumah tangga. Kemudian masalah rumah tangga mengeruhkan pikirannya dan dia tidak mampu lagi mengulangi syair-syair suci tersebut. Suatu hari Sang Guru mengunjunginya. “Brahmana Muda,” dia bertanya, “apakah Anda menghafal semua syairmu di luar kepala?” “Sejak saya menjadi kepala keluarga,” balasnya “pikiranku menjadi keruh dan saya tidak mampu lagi menghafalnya.” “Anakku,” kata gurunya, “ketika pikiran keruh, tidak peduli bagaimana sempurnanya kitab itu telah dipelajari, maka semuanya akan menjadi tidak jelas. Akan tetapi ketika pikiran jernih, Anda tidak akan melupakannya.” Dan kemudian dia mengulangi dua bait berikut:
Air berlumpur, pekat, tidak akan memperlihatkan ikan atau kerang atau pasir atau batu kerikil yang mungkin berada di bawahnya: Demikian dengan pikiran yang keruh, tidak ada kebajikan dalam dirimu sendiri atau orang lain yang dapat terlihat. Air yang jernih dan tenang selalu memperlihatkan semuanya, baik itu ikan atau kerang, yang berada di bawahnya; Demikian dengan pikiran yang jernih: kebajikan dalam dirimu sendiri dan orang lain dapat terlihat dengan jelas.
Ketika mengakhiri uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran, brahmana muda tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna :—“Pada masa itu, brahmana muda dalam kisah ini adalah brahmana muda itu, dan Aku sendiri adalah gurunya.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com