CULLAKALINGA-JATAKA
“Buka pintu gerbang ,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang penahbisan empat petapa (pengembara) wanita. Menurut tradisi, keluarga pemimpin kaum Licchavi2 yang berjumlah tujuh ribu tujuh ratus tujuh orang, bertempat tinggal di Vesālī (Vesali), dan mereka semuanya bagus dalam argumentasi dan perdebatan.
Kala itu, seorang laki-laki pengikut ajaran jainisme, yang ahli dalam menghafal lima ratus tesis3 yang berbeda, datang ke Vesali dan disambut dengan baik di sana. Seorang wanita pengikut ajaran jainisme yang mempunyai ciri yang sama juga datang ke Vesali. Dan pemimpin kaum Licchavi mencoba kemampuan mereka dalam menghafal ajaran mereka. Dan ketika keduanya benar-benar terbukti sangat bagus sebagai penghafal, pemimpin itu berpikir bahwa pasangan ini akan melahirkan anak-anak yang cerdas. Maka orang-orang pun mengatur pernikahan mereka, dan dari pernikahan ini lahirlah empat orang putri dan satu orang putra. Putri-putri mereka diberi nama Saccā (Sacca), Lolā (Lola), Avavādakā (Avavadaka), dan Paṭācārā4 (Patacara), sedangkan putra mereka diberi nama Saccaka. Kelima anak ini sewaktu beranjak dewasa telah mempelajari seribu tesis yang berbeda, lima ratus dari ibu mereka dan lima ratus dari ayah mereka. Dan orang tua mereka mendidik putri-putri mereka dengan berpesan akan hal ini: “Jika laki-laki awam (atau perumah tangga) mampu membantah tesis kalian, maka kalian harus menjadi istri-istri mereka. Akan tetapi, jika seorang pabbajita5 yang melakukannya, maka kalian harus bertahbis menjadi siswa-siswanya.”
Tak lama kemudian, orang tua mereka meninggal dunia. Dan setelah mereka meninggal dunia, Jain Saccaka tetap tinggal di tempat yang sama di Vesali, sambil mendalami ajaran kaum Licchavi. Tetapi kakak-kakaknya, dengan membawa ranting pohon jambu, dan dalam pengembaraan mereka dari satu kota ke kota lain dengan tujuan berdebat tesis, akhirnya tiba di Sāvatthi (Savatthi). Di sana mereka menancapkan ranting pohon tersebut di pintu gerbang kota dan berkata kepada beberapa anak laki-laki yang ada di sana, “Jika seorang laki-laki, baik laki-laki awam maupun petapa, mampu membantah tesis kami, maka biarlah ia menyerakkan tumpukan pasir ini dengan kakinya dan memijak ranting ini di bawah kakinya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, mereka masuk ke dalam kota berkeliling untuk mendapatkan derma makanan.
Waktu itu Yang Mulia Sāriputta (Sariputta), setelah menyapu tempat yang perlu dibersihkan, mengisi air ke dalam tempayan yang kosong, dan merawat orang-orang yang sakit, pergi ke Savatthi pada siang hari untuk berpindapata. Dan ketika ia melihat dan mendengar tentang ranting pohon itu, ia menyuruh anak-anak tersebut untuk membuangnya dan memijaknya. Ia berkata, “Biarlah mereka yang menancapkan ranting pohon ini, sesudah mereka bersantap, datang dan menjumpai saya di satu ruangan di dalam gerbang Wihara Jetavana.”
Maka ia masuk ke dalam kota dan sesudah selesai bersantap, ia pun menunggu di ruangan tersebut di dalam seberang gerbang wihara. Para petapa wanita itu juga setelah selesai berkeliling untuk mendapatkan derma makanan, kembali ke tempat itu dan menemukan bahwa ranting pohonnya sudah dirusak. Dan ketika mereka menanyakan siapa yang melakukan hal tersebut, anak-anak tersebut menjawab bahwa Thera Sariputta yang melakukannya, dan juga menyampaikan pesannya bahwa jika mereka ingin berdebat, mereka harus pergi ke ruangan yang ada di dalam gerbang wihara itu.
Jadi mereka kembali ke kota, dengan diikuti oleh orang banyak, menuju ke gerbang wihara tersebut, dan mempertanyakan seribu tesis yang berbeda. Sang thera (bhikkhu senior) memecahkan semua kesulitan mereka dan menanyakan apakah mereka masih mempunyai yang lainnya lagi.
Mereka menjawab, “Tidak, Tuan.”
“Kalau begitu saya yang akan menanyakan sesuatu,” katanya.
“Silakan tanya, Tuan, dan jika kami tahu, kami pasti menjawabnya.”
Maka sang thera mengajukan hanya satu pertanyaan kepada mereka, dan ketika mereka menyerah, ia pun memberitahukan jawabannya.
Kemudian mereka berkata; “Kami kalah, kemenangan ada padamu.”
“Apa yang akan kalian lakukan sekarang?” tanyanya.
Mereka menjawab, “Orang tua kami berpesan: ‘jika kalian dikalahkan oleh laki-laki awam, kalian harus menjadi istri- istri mereka, tetapi jika kalah oleh seorang pabbajita, kalian harus bertahbis dan menjadi siswa-siswanya.’—Oleh karena itu, perkenankanlah kami menjadi pengikutmu dalam menjalani kehidupan suci.”
Sang thera menyetujuinya dan meminta Uppalavaṇṇā Therī untuk menahbiskan mereka. Dan mereka semuanya mencapai tingkat kesucian Arahat dalam waktu yang tidak lama.
Kemudian pada suatu hari, para bhikkhu memulai sebuah pembicaraan di dalam balai kebenaran (dhammasabhā), tentang bagaimana Thera Sariputta menjadi tempat berlindung bagi empat petapa wanita, dan dikarenakan dirinya juga mereka mencapai kesucian Arahat. Ketika Sang Guru datang dan mendengar pokok pembicaraan mereka, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau Sāriputta (Sariputta) menjadi tempat berlindung bagi wanita-wanita ini. Pada saat ini, ia menerima mereka di dalam kehidupan suci, tetapi di masa lampau, ia mengasuh mereka di dalam kehidupan mereka sebagai permaisuri.” Kemudian Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
Dahulu kala, Kāliṅga (Kalinga) memerintah Kota Dantapura di Kerajaan Kāliṅga, Assaka menjadi raja di Kota Potali dalam Kerajaan Assaka. Pada saat itu Raja Kalinga mempunyai pasukan yang sangat kuat dan dirinya sendiri sekuat gajah, tetapi ia tidak dapat menemukan lawan tanding. Jadi dikarenakan menginginkan sebuah pertarungan, ia berkata kepada para menterinya: “Saya ingin bertarung, tetapi tidak dapat menemukan siapa pun untuk bertarung denganku.”
Para menterinya berkata, “Paduka, ada satu jalan terbuka bagimu. Anda mempunyai empat orang putri yang luar biasa cantiknya, mintalah mereka mempercantik diri dengan hiasan permata kemudian dudukkan mereka di dalam tandu yang bercadar, dan bawa mereka keliling ke setiap desa, kota dan kerajaan dengan dikawal oleh pengawal bersenjata. Dan jika ada raja mana pun yang ingin menjadikan putri-putri Anda sebagai selir mereka, kita akan bertanding dengannya.”
Raja mengikuti nasihat mereka. Tetapi para raja di berbagai kerajaan, dari mana pun mereka datang, takut untuk membiarkan mereka masuk ke dalam kota-kota mereka, hanya mengirimkan hadiah dan membuat barak di luar tembok kota untuk mereka. Demikianlah mereka melewati hampir semua tempat sepanjang India sampai mereka sampai di Potali di Kerajaan Assaka. Tetapi Assaka juga menutup pintu gerbangnya dan hanya mengirimkan hadiah kepada mereka. Kala itu, raja memiliki seorang penasihat yang bijak dan cakap bernama Nandisena, yang sangat menguasai cara menyelesaikan masalah. Ia berpikir dalam dirinya sendiri: “Para putri ini, dikatakan, telah menjelajahi hampir seluruh India tanpa ada menemukan orang yang bersedia bertarung untuk mendapatkan mereka. Kalau keadaannya seperti ini terus menerus, negeri India akan menjadi bukan apa-apa, melainkan hanya sebuah nama kosong. Saya sendiri yang akan melakukan pertarungan dengan Raja Kalinga.”
Kemudian ia pergi dan memerintahkan penjaga untuk membuka gerbangnya bagi mereka dan mengucapkan bait pertama ini:
Buka pintu gerbang untuk para wanita ini:
Dengan kekuatan Nandisena, singa cerdasnya Raja Aruna, kota kami akan terjaga dengan baik.
Dengan kata-kata ini ia membuka gerbangnya, membawa para wanita itu ke hadapan Raja Assaka, dan berkata kepadanya, “Jangan takut. Jika harus ada pertarungan, saya yang akan melakukannya. Jadikanlah putri-putri yang cantik ini sebagai permaisurimu.” Kemudian ia menjadikan mereka sebagai ratu dengan memercikkan air suci, dan membubarkan para pengawalnya, dengan meminta mereka pergi dan memberi tahu Kalinga bahwa putri-putrinya telah diangkat menjadi permaisuri. Maka pergilah mereka dan memberitahukannya, Kalinga pun berkata, “Menurutku, ia tidak tahu seberapa kuatnya saya,” dan segera ia berangkat dengan pasukan yang besar.
Nandisena mendengar tentang kedatangannya dan mengirimkan pesan yang berbunyi; “Tetaplah Kalinga berada dalam batas kerajaannya, jangan melewati batas kerajaan kami, dan pertempurannya akan dilaksanakan di perbatasan daripada kedua kerajaan.” Sewaktu menerima pesan ini, Kalinga berhenti di dalam batas wilayahnya dan begitu juga halnya dengan Assaka.
Pada saat ini, Bodhisatta terlahir menjadi seorang petapa suci (resi) dan hidup menjalani pertapaan di sebuah gubuk daun tepat diantara batas kedua kerajaan tersebut. Kalinga berkata, “Para petapa adalah orang yang serba tahu, yang bisa memberitahukan siapa dari kami yang akan menang, dan yang kalah. Saya akan bertanya kepada petapa ini.” Maka ia datang dengan menyamar menjumpai Bodhisatta, kemudian duduk dengan penuh hormat di satu sisi, dan setelah mengucapkan salam, ia berkata, “Bhante, Kalinga dan Assaka masing-masing dengan pasukannya menunggu di wilayah mereka, menanti untuk bertarung. Siapakah yang akan memperoleh kemenangan, dan siapakah yang akan menderita kekalahan?”
“Yang Mulia,” ia menjawab, “Salah satu dari mereka akan menaklukkan, dan yang satunya lagi akan ditaklukkan. Saya tidak bisa memberitahukan lebih banyak lagi sekarang ini. Tetapi Sakka, raja para dewa, akan datang ke tempat ini nanti. Saya akan bertanya kepadanya dan memberitahukanmu jawabannya jika Anda kembali lagi besok.”
Jadi ketika Dewa Sakka datang untuk memberi hormat kepada Bodhisatta, ia bertanya kepadanya, dan Sakka menjawab, “Yang Mulia, Kalinga yang akan menaklukkan, Assaka yang akan ditaklukkan, dan pertanda-pertanda anu akan dapat terlihat sebelumnya.” Hari berikutnya Kalinga datang dan mengulangi pertanyaannya, dan Bodhisatta pun memberitahukan jawaban dari Sakka. Dan Kalinga, tanpa bertanya apa pun tentang pertandanya, berpikir dalam dirinya: “Mereka mengatakan saya yang akan menaklukkan,” dan pergi dengan perasaan cukup puas. Kabar ini pun menyebar luas. Dan ketika Assaka mendengar hal ini, ia memanggil Nandisena dan berkata, “Kalinga, kata mereka, akan berjaya dan kita akan kalah. Apa yang harus kita lakukan?”
“Paduka,” jawabnya, “siapa yang tahu akan hal ini?
Jangan menyusahkan diri tentang siapa yang akan memperoleh kemenangan dan siapa yang akan menderita kekalahan.”
Dengan kata-kata ini, ia menghibur raja. Kemudian ia pergi dan memberi hormat kepada Bodhisatta, setelah duduk dengan penuh hormat di satu sisi, ia berkata, “Bhante, siapakah yang akan menaklukkan, dan siapakah yang akan ditaklukkan?”
“Kalinga,” jawabnya, “akan memenangkan hari tersebut dan Assaka akan dikalahkan.”
“Dan, Bhante, apa yang akan menjadi pertanda bagi ia yang akan menaklukkan, dan pertanda bagi ia yang ditaklukkan?”
“Yang Mulia,” ia menjawab, “dewata pelindung bagi yang sang penakluk akan berupa seekor sapi jantan putih, dan yang satunya lagi adalah sapi jantan hitam, dan kedua dewata pelindung dari kedua raja itu juga akan bertarung sendiri dan akan terbagi dalam kemenangan dan kekalahan.”
Mendengar akan hal ini, Nandisena bangkit dan pergi dan membawa pasukan raja—mereka berjumlah ribuan dan semuanya adalah kesatria tangguh—mengarahkan mereka ke sebuah gunung yang ada di dekat sana dan bertanya kepada mereka dengan berkata, “Bersediakah kalian mengorbankan diri untuk raja kita?”
“Ya, Tuan, kami bersedia,” jawab mereka.
“Kalau begitu buanglah diri kalian dari tebing curam ini,” katanya.
Mereka langsung mencoba melakukannya, kemudian ia menghentikan mereka, dengan berkata, “Jangan dilanjutkan lagi.
Kalian menunjukkan bahwa kalian adalah teman-teman raja yang bisa diandalkan, dan bertarunglah dengan gagah untuknya.”
Mereka semua berikrar untuk melakukannya. Dan ketika waktu pertempurannya sudah dekat, Kalinga berkesimpulan dalam pemikirannya sendiri bahwa ia akan menang, dan pasukannya juga berpikir, “Kemenangan akan menjadi milik kami.” Dan kemudian mereka mengenakan baju perang, membentuk formasi yang terpisah (detasemen), mereka bergerak maju seperti apa yang mereka pikir pantas untuk dilakukan, dan ketika saatnya tiba untuk mengerahkan seluruh tenaganya, mereka gagal melakukannya.
Tetapi kedua raja, yang menunggang kuda, mulai bergerak maju saling mendekat dengan tujuan untuk bertarung.
Dan kedua dewata pelindung mereka bergerak di depan mereka, kepunyaan Kalinga berupa seekor sapi jantan putih, dan yang satunya lagi, kepunyaan Assaka, berupa seekor sapi jantan hitam. Dan ketika kedua raja itu maju mendekat, mereka juga bersiap-siap untuk bertarung. Tetapi kedua sapi ini hanya dapat terlihat oleh kedua raja, yang lainnya tidak bisa. Dan Nandisena bertanya kepada Assaka, “Paduka, dapatkah Anda melihat dewata pelindung itu?”
“Ya, bisa,” jawabnya.
“Dalam bentuk apa?” tanyanya.
“Dewata pelindung Kalinga terlihat berupa sapi jantan putih, sedangkan kepunyaan kita berbentuk sapi jantan hitam dan terlihat lesu.”
“Jangan takut, Paduka, kita yang akan menaklukkan dan Kalinga yang akan ditaklukkan. Turun saja dari kuda Sindhavā yang terlatih ini, dan dengan memegang tombak ini, gunakan tangan kirimu, pukullah ia di bagian rusuk, kemudian dengan ribuan orang bergerak maju dengan cepat dan dengan tusukan senjatamu jatuhkan dewata pelindung si Kalinga, sedangkan kami dengan ribuan tombak akan menusuknya, maka dewata pelindung Kalinga akan mati, dan kemudian Kalinga akan kalah dan kita akan menang.”
“Bagus,” kata raja, dan pada tanda yang diberikan oleh Nandisena, ia pun menusukkan tombaknya dan para pengikutnya juga menusukkan ribuan tombak, dan dewata pelindung Kalinga mati di sana.
Sementara itu, Kalinga kalah dan melarikan diri. Pada saat ribuan pengawal raja melihatnya, mereka berteriak dengan suara keras, “Kalinga melarikan diri.” Kemudian Kalinga dengan rasa takut akan kematian dirinya, ketika dalam pelariannya, mendekati petapa itu dan mengucapkan bait kedua berikut:
“Kāliṅga pasti akan mendapatkan kemenangan, mengalahkan Kerajaan Assaka.”
Demikianlah ramalanmu, Yang Mulia, dan orang yang menapaki kehidupan suci tidaklah seharusnya berkata tidak benar.
Demikianlah Kalinga, ketika dalam pelariannya, mencerca petapa itu. Dan dalam pelariannya kembali ke kotanya sendiri, ia hanya menoleh sekali ke belakang. Beberapa hari kemudian, Dewa Sakka datang mengunjungi Bodhisatta. Dan Bodhisatta berbicara dengannya dengan mengucapkan bait ketiga ini:
Para dewa seharusnya bebas dari berkata tidak benar,
kebenaran menjadi harta utama mereka yang berharga.
Dalam hal ini, Sakka, Anda berkata tidak benar;
Beri tahu saya apa alasannya.
Mendengar ini, Sakka mengucapkan bait keempat ini:
Apakah Anda, wahai brahmana, tidak pernah
diberitahukan bahwa dewa tidaklah iri dengan orang yang berani?
Keteguhan hati yang mantap yang tidak luntur,
kemahiran yang diikuti keberanian dalam medan perang,
semangat juang tinggi dan kekuatan,
Itulah yang membuat Assaka memenangkan pertarungan.
Dan dengan kepergian Kalinga, Raja Assaka kembali dengan membawa hadiah perangnya ke kotanya sendiri. Dan Nandisena mengirim sebuah pesan kepada Kalinga bahwasanya ia harus mengirimkan bagiannya sebagai mas kawin terhadap keempat putri kerajaan ini. “Kalau tidak,” tambahnya, “saya akan tahu bagaimana membereskannya.” Dan Kalinga, begitu mendengar pesan ini, menjadi begitu terkejut sehingga ia mengirimkan bagian yang pantas bagi mereka. Dan sejak saat itu kedua raja hidup damai bersama.
Setelah menyampaikan uraian (Dhamma) ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini:—“Pada masa itu, para petapa (pengembara) wanita adalah para putri dari Raja Kāliṅga (Kalinga), Sāriputta (Sariputta) adalah Nandisena, dan saya sendiri adalah sang petapa.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang penahbisan empat petapa (pengembara) wanita. Menurut tradisi, keluarga pemimpin kaum Licchavi2 yang berjumlah tujuh ribu tujuh ratus tujuh orang, bertempat tinggal di Vesālī (Vesali), dan mereka semuanya bagus dalam argumentasi dan perdebatan.
Kala itu, seorang laki-laki pengikut ajaran jainisme, yang ahli dalam menghafal lima ratus tesis3 yang berbeda, datang ke Vesali dan disambut dengan baik di sana. Seorang wanita pengikut ajaran jainisme yang mempunyai ciri yang sama juga datang ke Vesali. Dan pemimpin kaum Licchavi mencoba kemampuan mereka dalam menghafal ajaran mereka. Dan ketika keduanya benar-benar terbukti sangat bagus sebagai penghafal, pemimpin itu berpikir bahwa pasangan ini akan melahirkan anak-anak yang cerdas. Maka orang-orang pun mengatur pernikahan mereka, dan dari pernikahan ini lahirlah empat orang putri dan satu orang putra. Putri-putri mereka diberi nama Saccā (Sacca), Lolā (Lola), Avavādakā (Avavadaka), dan Paṭācārā4 (Patacara), sedangkan putra mereka diberi nama Saccaka. Kelima anak ini sewaktu beranjak dewasa telah mempelajari seribu tesis yang berbeda, lima ratus dari ibu mereka dan lima ratus dari ayah mereka. Dan orang tua mereka mendidik putri-putri mereka dengan berpesan akan hal ini: “Jika laki-laki awam (atau perumah tangga) mampu membantah tesis kalian, maka kalian harus menjadi istri-istri mereka. Akan tetapi, jika seorang pabbajita5 yang melakukannya, maka kalian harus bertahbis menjadi siswa-siswanya.”
Tak lama kemudian, orang tua mereka meninggal dunia. Dan setelah mereka meninggal dunia, Jain Saccaka tetap tinggal di tempat yang sama di Vesali, sambil mendalami ajaran kaum Licchavi. Tetapi kakak-kakaknya, dengan membawa ranting pohon jambu, dan dalam pengembaraan mereka dari satu kota ke kota lain dengan tujuan berdebat tesis, akhirnya tiba di Sāvatthi (Savatthi). Di sana mereka menancapkan ranting pohon tersebut di pintu gerbang kota dan berkata kepada beberapa anak laki-laki yang ada di sana, “Jika seorang laki-laki, baik laki-laki awam maupun petapa, mampu membantah tesis kami, maka biarlah ia menyerakkan tumpukan pasir ini dengan kakinya dan memijak ranting ini di bawah kakinya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, mereka masuk ke dalam kota berkeliling untuk mendapatkan derma makanan.
Waktu itu Yang Mulia Sāriputta (Sariputta), setelah menyapu tempat yang perlu dibersihkan, mengisi air ke dalam tempayan yang kosong, dan merawat orang-orang yang sakit, pergi ke Savatthi pada siang hari untuk berpindapata. Dan ketika ia melihat dan mendengar tentang ranting pohon itu, ia menyuruh anak-anak tersebut untuk membuangnya dan memijaknya. Ia berkata, “Biarlah mereka yang menancapkan ranting pohon ini, sesudah mereka bersantap, datang dan menjumpai saya di satu ruangan di dalam gerbang Wihara Jetavana.”
Maka ia masuk ke dalam kota dan sesudah selesai bersantap, ia pun menunggu di ruangan tersebut di dalam seberang gerbang wihara. Para petapa wanita itu juga setelah selesai berkeliling untuk mendapatkan derma makanan, kembali ke tempat itu dan menemukan bahwa ranting pohonnya sudah dirusak. Dan ketika mereka menanyakan siapa yang melakukan hal tersebut, anak-anak tersebut menjawab bahwa Thera Sariputta yang melakukannya, dan juga menyampaikan pesannya bahwa jika mereka ingin berdebat, mereka harus pergi ke ruangan yang ada di dalam gerbang wihara itu.
Jadi mereka kembali ke kota, dengan diikuti oleh orang banyak, menuju ke gerbang wihara tersebut, dan mempertanyakan seribu tesis yang berbeda. Sang thera (bhikkhu senior) memecahkan semua kesulitan mereka dan menanyakan apakah mereka masih mempunyai yang lainnya lagi.
Mereka menjawab, “Tidak, Tuan.”
“Kalau begitu saya yang akan menanyakan sesuatu,” katanya.
“Silakan tanya, Tuan, dan jika kami tahu, kami pasti menjawabnya.”
Maka sang thera mengajukan hanya satu pertanyaan kepada mereka, dan ketika mereka menyerah, ia pun memberitahukan jawabannya.
Kemudian mereka berkata; “Kami kalah, kemenangan ada padamu.”
“Apa yang akan kalian lakukan sekarang?” tanyanya.
Mereka menjawab, “Orang tua kami berpesan: ‘jika kalian dikalahkan oleh laki-laki awam, kalian harus menjadi istri- istri mereka, tetapi jika kalah oleh seorang pabbajita, kalian harus bertahbis dan menjadi siswa-siswanya.’—Oleh karena itu, perkenankanlah kami menjadi pengikutmu dalam menjalani kehidupan suci.”
Sang thera menyetujuinya dan meminta Uppalavaṇṇā Therī untuk menahbiskan mereka. Dan mereka semuanya mencapai tingkat kesucian Arahat dalam waktu yang tidak lama.
Kemudian pada suatu hari, para bhikkhu memulai sebuah pembicaraan di dalam balai kebenaran (dhammasabhā), tentang bagaimana Thera Sariputta menjadi tempat berlindung bagi empat petapa wanita, dan dikarenakan dirinya juga mereka mencapai kesucian Arahat. Ketika Sang Guru datang dan mendengar pokok pembicaraan mereka, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau Sāriputta (Sariputta) menjadi tempat berlindung bagi wanita-wanita ini. Pada saat ini, ia menerima mereka di dalam kehidupan suci, tetapi di masa lampau, ia mengasuh mereka di dalam kehidupan mereka sebagai permaisuri.” Kemudian Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
Dahulu kala, Kāliṅga (Kalinga) memerintah Kota Dantapura di Kerajaan Kāliṅga, Assaka menjadi raja di Kota Potali dalam Kerajaan Assaka. Pada saat itu Raja Kalinga mempunyai pasukan yang sangat kuat dan dirinya sendiri sekuat gajah, tetapi ia tidak dapat menemukan lawan tanding. Jadi dikarenakan menginginkan sebuah pertarungan, ia berkata kepada para menterinya: “Saya ingin bertarung, tetapi tidak dapat menemukan siapa pun untuk bertarung denganku.”
Para menterinya berkata, “Paduka, ada satu jalan terbuka bagimu. Anda mempunyai empat orang putri yang luar biasa cantiknya, mintalah mereka mempercantik diri dengan hiasan permata kemudian dudukkan mereka di dalam tandu yang bercadar, dan bawa mereka keliling ke setiap desa, kota dan kerajaan dengan dikawal oleh pengawal bersenjata. Dan jika ada raja mana pun yang ingin menjadikan putri-putri Anda sebagai selir mereka, kita akan bertanding dengannya.”
Raja mengikuti nasihat mereka. Tetapi para raja di berbagai kerajaan, dari mana pun mereka datang, takut untuk membiarkan mereka masuk ke dalam kota-kota mereka, hanya mengirimkan hadiah dan membuat barak di luar tembok kota untuk mereka. Demikianlah mereka melewati hampir semua tempat sepanjang India sampai mereka sampai di Potali di Kerajaan Assaka. Tetapi Assaka juga menutup pintu gerbangnya dan hanya mengirimkan hadiah kepada mereka. Kala itu, raja memiliki seorang penasihat yang bijak dan cakap bernama Nandisena, yang sangat menguasai cara menyelesaikan masalah. Ia berpikir dalam dirinya sendiri: “Para putri ini, dikatakan, telah menjelajahi hampir seluruh India tanpa ada menemukan orang yang bersedia bertarung untuk mendapatkan mereka. Kalau keadaannya seperti ini terus menerus, negeri India akan menjadi bukan apa-apa, melainkan hanya sebuah nama kosong. Saya sendiri yang akan melakukan pertarungan dengan Raja Kalinga.”
Kemudian ia pergi dan memerintahkan penjaga untuk membuka gerbangnya bagi mereka dan mengucapkan bait pertama ini:
Buka pintu gerbang untuk para wanita ini:
Dengan kekuatan Nandisena, singa cerdasnya Raja Aruna, kota kami akan terjaga dengan baik.
Dengan kata-kata ini ia membuka gerbangnya, membawa para wanita itu ke hadapan Raja Assaka, dan berkata kepadanya, “Jangan takut. Jika harus ada pertarungan, saya yang akan melakukannya. Jadikanlah putri-putri yang cantik ini sebagai permaisurimu.” Kemudian ia menjadikan mereka sebagai ratu dengan memercikkan air suci, dan membubarkan para pengawalnya, dengan meminta mereka pergi dan memberi tahu Kalinga bahwa putri-putrinya telah diangkat menjadi permaisuri. Maka pergilah mereka dan memberitahukannya, Kalinga pun berkata, “Menurutku, ia tidak tahu seberapa kuatnya saya,” dan segera ia berangkat dengan pasukan yang besar.
Nandisena mendengar tentang kedatangannya dan mengirimkan pesan yang berbunyi; “Tetaplah Kalinga berada dalam batas kerajaannya, jangan melewati batas kerajaan kami, dan pertempurannya akan dilaksanakan di perbatasan daripada kedua kerajaan.” Sewaktu menerima pesan ini, Kalinga berhenti di dalam batas wilayahnya dan begitu juga halnya dengan Assaka.
Pada saat ini, Bodhisatta terlahir menjadi seorang petapa suci (resi) dan hidup menjalani pertapaan di sebuah gubuk daun tepat diantara batas kedua kerajaan tersebut. Kalinga berkata, “Para petapa adalah orang yang serba tahu, yang bisa memberitahukan siapa dari kami yang akan menang, dan yang kalah. Saya akan bertanya kepada petapa ini.” Maka ia datang dengan menyamar menjumpai Bodhisatta, kemudian duduk dengan penuh hormat di satu sisi, dan setelah mengucapkan salam, ia berkata, “Bhante, Kalinga dan Assaka masing-masing dengan pasukannya menunggu di wilayah mereka, menanti untuk bertarung. Siapakah yang akan memperoleh kemenangan, dan siapakah yang akan menderita kekalahan?”
“Yang Mulia,” ia menjawab, “Salah satu dari mereka akan menaklukkan, dan yang satunya lagi akan ditaklukkan. Saya tidak bisa memberitahukan lebih banyak lagi sekarang ini. Tetapi Sakka, raja para dewa, akan datang ke tempat ini nanti. Saya akan bertanya kepadanya dan memberitahukanmu jawabannya jika Anda kembali lagi besok.”
Jadi ketika Dewa Sakka datang untuk memberi hormat kepada Bodhisatta, ia bertanya kepadanya, dan Sakka menjawab, “Yang Mulia, Kalinga yang akan menaklukkan, Assaka yang akan ditaklukkan, dan pertanda-pertanda anu akan dapat terlihat sebelumnya.” Hari berikutnya Kalinga datang dan mengulangi pertanyaannya, dan Bodhisatta pun memberitahukan jawaban dari Sakka. Dan Kalinga, tanpa bertanya apa pun tentang pertandanya, berpikir dalam dirinya: “Mereka mengatakan saya yang akan menaklukkan,” dan pergi dengan perasaan cukup puas. Kabar ini pun menyebar luas. Dan ketika Assaka mendengar hal ini, ia memanggil Nandisena dan berkata, “Kalinga, kata mereka, akan berjaya dan kita akan kalah. Apa yang harus kita lakukan?”
“Paduka,” jawabnya, “siapa yang tahu akan hal ini?
Jangan menyusahkan diri tentang siapa yang akan memperoleh kemenangan dan siapa yang akan menderita kekalahan.”
Dengan kata-kata ini, ia menghibur raja. Kemudian ia pergi dan memberi hormat kepada Bodhisatta, setelah duduk dengan penuh hormat di satu sisi, ia berkata, “Bhante, siapakah yang akan menaklukkan, dan siapakah yang akan ditaklukkan?”
“Kalinga,” jawabnya, “akan memenangkan hari tersebut dan Assaka akan dikalahkan.”
“Dan, Bhante, apa yang akan menjadi pertanda bagi ia yang akan menaklukkan, dan pertanda bagi ia yang ditaklukkan?”
“Yang Mulia,” ia menjawab, “dewata pelindung bagi yang sang penakluk akan berupa seekor sapi jantan putih, dan yang satunya lagi adalah sapi jantan hitam, dan kedua dewata pelindung dari kedua raja itu juga akan bertarung sendiri dan akan terbagi dalam kemenangan dan kekalahan.”
Mendengar akan hal ini, Nandisena bangkit dan pergi dan membawa pasukan raja—mereka berjumlah ribuan dan semuanya adalah kesatria tangguh—mengarahkan mereka ke sebuah gunung yang ada di dekat sana dan bertanya kepada mereka dengan berkata, “Bersediakah kalian mengorbankan diri untuk raja kita?”
“Ya, Tuan, kami bersedia,” jawab mereka.
“Kalau begitu buanglah diri kalian dari tebing curam ini,” katanya.
Mereka langsung mencoba melakukannya, kemudian ia menghentikan mereka, dengan berkata, “Jangan dilanjutkan lagi.
Kalian menunjukkan bahwa kalian adalah teman-teman raja yang bisa diandalkan, dan bertarunglah dengan gagah untuknya.”
Mereka semua berikrar untuk melakukannya. Dan ketika waktu pertempurannya sudah dekat, Kalinga berkesimpulan dalam pemikirannya sendiri bahwa ia akan menang, dan pasukannya juga berpikir, “Kemenangan akan menjadi milik kami.” Dan kemudian mereka mengenakan baju perang, membentuk formasi yang terpisah (detasemen), mereka bergerak maju seperti apa yang mereka pikir pantas untuk dilakukan, dan ketika saatnya tiba untuk mengerahkan seluruh tenaganya, mereka gagal melakukannya.
Tetapi kedua raja, yang menunggang kuda, mulai bergerak maju saling mendekat dengan tujuan untuk bertarung.
Dan kedua dewata pelindung mereka bergerak di depan mereka, kepunyaan Kalinga berupa seekor sapi jantan putih, dan yang satunya lagi, kepunyaan Assaka, berupa seekor sapi jantan hitam. Dan ketika kedua raja itu maju mendekat, mereka juga bersiap-siap untuk bertarung. Tetapi kedua sapi ini hanya dapat terlihat oleh kedua raja, yang lainnya tidak bisa. Dan Nandisena bertanya kepada Assaka, “Paduka, dapatkah Anda melihat dewata pelindung itu?”
“Ya, bisa,” jawabnya.
“Dalam bentuk apa?” tanyanya.
“Dewata pelindung Kalinga terlihat berupa sapi jantan putih, sedangkan kepunyaan kita berbentuk sapi jantan hitam dan terlihat lesu.”
“Jangan takut, Paduka, kita yang akan menaklukkan dan Kalinga yang akan ditaklukkan. Turun saja dari kuda Sindhavā yang terlatih ini, dan dengan memegang tombak ini, gunakan tangan kirimu, pukullah ia di bagian rusuk, kemudian dengan ribuan orang bergerak maju dengan cepat dan dengan tusukan senjatamu jatuhkan dewata pelindung si Kalinga, sedangkan kami dengan ribuan tombak akan menusuknya, maka dewata pelindung Kalinga akan mati, dan kemudian Kalinga akan kalah dan kita akan menang.”
“Bagus,” kata raja, dan pada tanda yang diberikan oleh Nandisena, ia pun menusukkan tombaknya dan para pengikutnya juga menusukkan ribuan tombak, dan dewata pelindung Kalinga mati di sana.
Sementara itu, Kalinga kalah dan melarikan diri. Pada saat ribuan pengawal raja melihatnya, mereka berteriak dengan suara keras, “Kalinga melarikan diri.” Kemudian Kalinga dengan rasa takut akan kematian dirinya, ketika dalam pelariannya, mendekati petapa itu dan mengucapkan bait kedua berikut:
“Kāliṅga pasti akan mendapatkan kemenangan, mengalahkan Kerajaan Assaka.”
Demikianlah ramalanmu, Yang Mulia, dan orang yang menapaki kehidupan suci tidaklah seharusnya berkata tidak benar.
Demikianlah Kalinga, ketika dalam pelariannya, mencerca petapa itu. Dan dalam pelariannya kembali ke kotanya sendiri, ia hanya menoleh sekali ke belakang. Beberapa hari kemudian, Dewa Sakka datang mengunjungi Bodhisatta. Dan Bodhisatta berbicara dengannya dengan mengucapkan bait ketiga ini:
Para dewa seharusnya bebas dari berkata tidak benar,
kebenaran menjadi harta utama mereka yang berharga.
Dalam hal ini, Sakka, Anda berkata tidak benar;
Beri tahu saya apa alasannya.
Mendengar ini, Sakka mengucapkan bait keempat ini:
Apakah Anda, wahai brahmana, tidak pernah
diberitahukan bahwa dewa tidaklah iri dengan orang yang berani?
Keteguhan hati yang mantap yang tidak luntur,
kemahiran yang diikuti keberanian dalam medan perang,
semangat juang tinggi dan kekuatan,
Itulah yang membuat Assaka memenangkan pertarungan.
Dan dengan kepergian Kalinga, Raja Assaka kembali dengan membawa hadiah perangnya ke kotanya sendiri. Dan Nandisena mengirim sebuah pesan kepada Kalinga bahwasanya ia harus mengirimkan bagiannya sebagai mas kawin terhadap keempat putri kerajaan ini. “Kalau tidak,” tambahnya, “saya akan tahu bagaimana membereskannya.” Dan Kalinga, begitu mendengar pesan ini, menjadi begitu terkejut sehingga ia mengirimkan bagian yang pantas bagi mereka. Dan sejak saat itu kedua raja hidup damai bersama.
Setelah menyampaikan uraian (Dhamma) ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini:—“Pada masa itu, para petapa (pengembara) wanita adalah para putri dari Raja Kāliṅga (Kalinga), Sāriputta (Sariputta) adalah Nandisena, dan saya sendiri adalah sang petapa.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com