DHAMMADAJA-JATAKA
“Anda kelihatan seakan-akan,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veḷuvana , tentang usaha-usaha untuk membunuh-Nya. Pada kesempatan ini, seperti sebelumnya, Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya Devadatta mencoba untuk membunuh-Ku dan tidak berhasil membuat-Ku takut, tetapi dia juga melakukan hal yang sama sebelumnya.” Dan Beliau menceritakan kisah ini.
Dahulu kala seorang raja yang bernama Yasapāṇi (Yasapani) memerintah di Benares. Panglimanya bernama Kāḷaka (Kalaka). Pada masa itu, Bodhisatta adalah pendeta kerajaannya, bernama Dhammaddhaja. Ada juga seorang pemuda bernama Chattapāṇi (Chattapani). Raja adalah seorang yang baik, tetapi panglimanya menerima suap dalam mengadili perkara; dia adalah seorang pengkhianat; dia menerima uang suap, dan menipu pemilik yang sah. Suatu hari, seseorang yang telah kalah dalam gugatan keluar dari pengadilan, sedang meratap dan menjulurkan tangannya ketika dia berjumpa dengan Bodhisatta, sewaktu Bodhisatta hendak pergi melayani raja. Sambil berlutut, orang tersebut berteriak menceritakan bagaimana dia telah dicurangi dalam perkaranya: “Meskipun orang seperti Anda, Tuanku, menasihati raja hal-hal di dunia ini dan yang akan datang, panglima tetap menerima uang suap, dan menipu pemilik yang sah!” Bodhisatta merasa kasihan kepadanya. “Kemarilah, Teman,” katanya, “saya akan mengadili perkara Anda untukmu!” dan dia menuju ke pengadilan. Orang banyak berkumpul bersama. Bodhisatta mencabut hukumannya dan memberikan keadilan hukum kepadanya, yang berhak. Para penonton bertepuk tangan. Suara yang ditimbulkan sangat riuh. Raja mendengarnya, dan bertanya—“Suara apa yang kudengar ini?” “Paduka,” jawab mereka, “ada sebuah perkara yang diadili dengan salah dan telah diadili dengan benar oleh Yang Bijak Dhammaddhaja; itulah sebabnya mengapa ada sorakan.” Raja senang dan memanggil Bodhisatta. “Mereka memberitahuku,” dia memulai, “bahwa Anda telah mengadili sebuah perkara?” “Ya, Paduka, saya mengadili apa yang Kalaka tidak adili dengan benar.” “Jadilah Anda seorang hakim mulai hari ini,” kata raja; “Ini akan menjadi hiburan bagi telingaku, dan kemakmuran bagi dunia!” Bodhisatta enggan, tetapi raja memohon kepadanya— “Atas belas kasihan terhadap semua makhluk, duduklah Anda dalam pengadilan!” dan raja pun mendapatkan persetujuannya. Sejak saat itu, Kalaka tidak lagi menerima hadiah-hadiah, dan kehilangan keuntungannya. Dia memfitnah Bodhisatta di depan raja, dengan berkata, “Oh Paduka, Dhammaddhaja yang bijaksana mendambakan kerajaanmu!” Tetapi raja tidak percaya dan memintanya untuk tidak berkata demikian.
“Jika Anda tidak percaya,” kata Kalaka, “lihatlah keluar jendela saat kedatangannya. Maka Anda akan melihat bahwa dia telah mendapatkan seluruh kota di tangannya.” Raja melihat orang banyak di sekelilingnya di balai pengadilannya. “Itulah rombongannya,” pikirnya. Raja pun mengalah. “Apa yang harus kita lakukan, Panglima?” tanyanya. “Paduka, dia harus dihukum mati.” “Bagaimana kita dapat menghukum mati dirinya tanpa menemukan kejahatan besar?” “Ada sebuah cara.” kata yang lain. “Cara apakah itu?” “Suruh dia lakukan apa yang tidak mungkin, dan jika dia tidak dapat, maka hukum mati dirinya untuk itu.” “Tetapi apa yang tidak mungkin untuknya?” “Paduka,” jawabnya, “perlu waktu dua atau empat tahun bagi sebuah kebun berbuah, dengan tanah yang subur, bila ditanam dan dirawat. Panggillah Bodhisatta untuk menghadapmu dan katakan—‘Kami menginginkan sebuah taman hiburan (untuk bersenang-senang) besok. Buatlah sebuah taman untuk kami!’ dia tidak akan sanggup untuk melakukan ini, dan kita akan membunuhnya untuk kesalahan itu.” Raja berbicara sendiri kepada Bodhisatta. “Tuan Bijak, kami telah bermain cukup lama di taman yang tua; sekarang kami sangat membutuhkan sebuah taman baru untuk bermain. Buatkanlah sebuah taman untuk kami! Jika Anda tidak dapat membuatnya, Anda akan mati.” Bodhisatta berpikir, “Pasti Kalaka telah menghasut raja untuk melawanku, karena dia tidak lagi mendapatkan hadiahhadiah.”—“Jika saya bisa,” katanya kepada raja, “Paduka, saya akan melakukannya.” Dan dia pulang ke rumah. Setelah makan, dia berbaring di tempat tidurnya, sambil berpikir keras. Istana Sakka menjadi panas. Sakka merasakan kesulitan Bodhisatta. Dia segera datang kepadanya, masuk ke ruangannya, dan bertanya kepadanya—“Tuan yang Bijak, apa yang sedang Anda pikirkan?”—sambil melayang di udara. “Siapakah Anda?” tanya Bodhisatta. “Saya adalah Sakka.” “Raja memintaku untuk membuat sebuah taman: itulah yang sedang saya pikirkan.” “Tuan yang Bijak, jangan bersusah hati: saya akan membuatkan Anda sebuah taman seperti Hutan Nandana dan Cittalatā! Di manakah harus saya buat taman itu?” “Di tempat anu,” katanya kepada Sakka. Sakka membuatkannnya, dan kembali ke alam dewa. Hari berikutnya, Bodhisatta melihat taman itu benarbenar ada di sana, dan menantikan kehadiran raja. “Oh Paduka, taman sudah siap, pergilah ke tempat bermainmu!” Raja datang ke tempat itu dan melihat sebuah kebun dengan sebuah pagar yang panjangnya delapan belas hasta, diwarnai dengan merah terang, mempunyai gerbang-gerbang dan kolam-kolam, sangat indah dengan beragam jenis pohon penuh dengan bunga dan buah! “Orang bijak itu telah menyelesaikan apa yang kuminta,” katanya kepada Kalaka, “sekarang apa yang harus kita lakukan?”
“Oh Paduka!” jawabnya, “jika dia dapat membuat sebuah taman dalam semalam, tidak dapatkah dia merampas kerajaanmu?” “Baiklah, apa yang harus kita lakukan?” “Kita akan memintanya melakukan sesuatu yang lain yang tidak mungkin.” “Apa itu?” tanya raja. “Kita akan memintanya membuat sebuah danau yang memiliki tujuh batu permata!” Raja setuju, lalu meminta kepada Bodhisatta: “Guru, Anda telah membuatkan sebuah taman. Sekarang buatlah sebuah danau untuk memadaninya, dengan tujuh batu permata. Jika Anda tidak dapat membuatnya, Anda tidak layak hidup!” “Baiklah, Paduka,” jawab Bodhisatta, “saya akan membuatnya jika saya sanggup.” Kemudian Sakka membuatkan sebuah danau besar yang sangat indah, mempunyai seratus tempat pendaratan, seribu teluk kecil, ditutupi semuanya oleh bunga teratai dengan lima warna yang berbeda, seperti danau di Nandana. Hari berikutnya, Bodhisatta melihat ini juga, dan berkata kepada raja: “Lihat, danau telah dibuat!” Dan raja melihat, menanyakan Kalaka apa yang harus dilakukan. “Mintalah kepadanya, Paduka, buatkan sebuah rumah untuk memadaninya,” katanya. “Buatkanlah sebuah rumah, Guru,” kata raja kepada Bodhisatta, “semua terbuat dari gading, untuk memadani kebun dan danau: jika Anda tidak dapat membuatnya, Anda harus mati!” Sakka membuatkan sebuah rumah yang demikian juga. Hari berikutnya Bodhisatta melihat dan mengatakannya kepada raja. Ketika raja melihatnya, dia menanyakan Kalaka kembali mengenai apa yang harus dilakukan. Kalaka berkata kepadanya untuk meminta Bodhisatta membuatkan sebuah permata untuk memadani rumah tersebut. Raja berkata kepada Bodhisatta, “Guru, buatkanlah sebuah permata untuk memadaninya dengan rumah gading ini; Saya akan berkeliling melihatnya dengan kilauan permata; jika Anda tidak dapat membuatkannya, Anda harus mati!” Kemudian Sakka membuatkan sebuah permata juga untuknya. Hari berikutnya Bodhisatta melihat dan mengatakannya kepada raja. Ketika raja melihatnya, dia kembali menanyakan Kalaka apa yang harus dilakukan selanjutnya. “Paduka!” jawabnya, “saya kira pasti ada makhluk dewata yang melakukan apa saja yang diharapkan oleh Brahmana Dhammaddhaja. Sekarang mintalah kepadanya sesuatu yang bahkan dewa pun tidak sanggup membuatnya. Bahkan seorang dewa pun tidak akan sanggup membuat seseorang dengan empat moralitas; karena itu mintalah kepadanya untuk membuatkan seorang penjaga dengan empat kualitas ini.” Jadi raja berkata, “Guru, Anda telah membuatkan sebuah kebun, sebuah danau, sebuah istana (rumah untuk raja), dan sebuah permata untuk memberikan sinar. Sekarang buatkanlah seorang penjaga dengan empat moralitas untukku, untuk menjaga kebun; jika Anda tidak dapat melakukannya, Anda harus mati.” “Baiklah,” jawabnya, “jika itu memungkinkan, saya akan melakukannya.” Dia pulang ke rumah, makan, dan berbaring.
Kemudian dia bangun di pagi hari, duduk di tempat tidurnya, dan berpikir demikian, “Apa yang Raja Sakka dapat buat dengan kekuatannya, telah dibuatnya. Dia tidak dapat membuat seorang penjaga taman dengan empat moralitas. Sudah begini, lebih baik mati kesepian di dalam hutan, daripada mati di tangan orang lain.” Jadi tanpa berkata apa pun kepada siapa pun, dia turun dari tempat tinggalnya dan melewati kota dari gerbang utama, dan masuk ke hutan, dan dia duduk di bawah sebuah pohon dan merenung dengan keyakinan yang baik. Sakka merasakannya; dan dengan wujud seorang penjaga hutan, dia menghampiri Bodhisatta, sambil berkata, “Brahmana, Anda masih muda dan berhati mulia. Mengapa Anda duduk di sini di dalam hutan ini, seperti Anda tidak pernah merasakan sakit sebelumnya?” Sambil bertanya, dia mengulangi bait pertama:—
Anda kelihatan seakan-akan kehidupanmu bahagia; tetapi di dalam hutan liar, Anda akan menjadi tunawisma, seperti orang malang yang hidupnya sengsara dan merana di bawah pohon ini, dalam kesepian.
Terhadap ini Bodhisatta menjawab dengan bait kedua:—
Saya kelihatan seakan-akan hidupku bahagia; tetapi di dalam hutan saya akan menjadi tunawisma, seperti orang malang yang hidupnya sengsara dan merana di bawah pohon ini, dalam kesepian, merenungkan kebenaran yang diketahui oleh para suci Kemudian Sakka berkata, “Jika begitu, mengapa, Brahmana, Anda duduk di sini?” “Raja,” jawabnya, “memerlukan seorang penjaga kebun dengan empat moralitas. Orang seperti itu tidak bisa ditemukan; jadi saya berpikir—‘Mengapa harus binasa di tangan orang? Saya akan pergi ke hutan dan mati kesepian’. Maka ke sinilah saya datang dan di sinilah saya duduk.” Kemudian yang lain menjawab, “Brahmana, saya adalah Sakka, raja dari para dewa. Oleh saya, kebunmu dibuat dan juga semua yang lainnya. Seorang penjaga kebun yang memiliki empat moralitas tidak dapat dibuat, tetapi di negerimu ada seorang yang bernama Chattapani, yang membuat perhiasan untuk raja dan dia adalah orang itu. Jika seorang penjaga kebun dibutuhkan, pergilah dan jadikanlah pekerja ini sebagai penjaga kebun.” Dengan kata-kata ini, Sakka kembali ke alam dewa, setelah menghiburnya dan memintanya untuk tidak takut. Bodhisatta pulang ke rumah dan setelah sarapan, dia pergi ke gerbang-gerbang istana dan di sanalah dia melihat Chattapani. Dia memegang tangannya dan bertanya kepadanya—“Benarkah, seperti yang kudengar, Chattapani, apakah Anda diberkahi dengan empat moralitas?” “Siapa yang mengatakan demikian?” tanya yang lain. “Sakka, raja para dewa.” “Mengapa dia berkata begitu kepadamu?” Dia menceritakan semua dan menjelaskan alasannya. Yang lain berkata, “Ya, saya diberkahi dengan empat moralitas.” Bodhisatta, sambil memegang tangannya, membawanya ke hadapan raja. “Ini, Paduka, adalah Chattapani, yang diberkahi dengan empat moralitas. Jika dibutuhkan seorang penjaga kebun, jadikanlah dia sebagai penjaga kebun itu.” “Benarkah, seperti yang kudengar,” tanya raja kepada Chattapani, “apakah Anda mempunyai empat moralitas?” “Benar, Paduka.” “Apa saja itu?” tanya raja.
“Saya tidak iri dan tidak minum minuman keras, tidak memiliki nafsu yang besar, kemarahan bukan milikku,” katanya demikian. “Chattapani,” teriak raja, “apakah Anda mengatakan Anda tidak memiliki rasa iri?” “Ya, Paduka, saya tidak memiliki rasa iri.” “Apa saja yang Anda tidak iri?” “Dengarlah, Paduka!” katanya, dan dia menceritakan bagaimana dia tidak merasa iri dalam bait berikut:–
Seorang pendeta kerajaan yang terikat saya campakkan— Yang seorang wanita membuat saya melakukannya: Dia mendidikku dalam pengetahuan suci, sejak saat itu saya tidak pernah iri lagi.
Kemudian raja berkata, “Chattapani, mengapa Anda berpantang minuman keras?” dan dia menjawab dengan bait berikut—
Pernah suatu ketika saya mabuk dan saya memakan daging putraku sendiri di atas piringku: Kemudian, tersentuh dengan duka dan penderitaan, bertekad untuk tidak pernah meminumnya lagi.
Kemudian raja berkata, “Tetapi apa, Tuan, yang membuat Anda biasa saja, tidak memiliki cinta (nafsu)?” Orang tersebut menjelaskan dengan kata-kata ini:–
Raja Kitavāsa adalah namaku: Seorang raja yang mulia adalah diriku; Putraku memecahkan patta Pacceka Buddha dan karena itu dia harus mati.
Kata raja kemudian, “Apakah yang membuatmu tidak memiliki kemarahan?” Dan dia membuat masalah itu lebih jelas dalam kalimat-kalimat ini:
Sebagai Araka, selama tujuh tahun saya mempraktikkan kemurahan hati; dan kemudian selama tujuh zaman menetap di alam brahma yang tinggi.
Ketika Chattapani telah menjelaskan empat kebajikannya, raja memberikan pertanda kepada pelayannya.
Dan dalam sekejap seluruh istana, para petapa dan orang awam, semuanya bangkit dan berteriak terhadap Kalaka—“Anda, pemakan suap, pencuri, dan orang rendah! Anda tidak bisa lagi mendapatkan suap, dan Anda hendak membunuh orang bijaksana dengan memfitnahnya!” Mereka menangkap Kalaka pada tangan dan kakinya, kemudian mengusirnya keluar istana; lalu mengambil apa pun yang dapat mereka raih, batu dan kayu, mereka memecahkan kepalanya dan melakukannya sampai dia mati. Sambil menarik kakinya, mereka melemparkannya ke dalam tempat tumpukan kotoran. Sejak saat itu, raja memerintah dengan benar, sampai dia wafat sesuai dengan hasil dari perbuatannya.
Uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Devadatta adalah Panglima Kāḷaka (Kalaka), Sāriputta adalah Chattapāṇi (Chattapani), dan Aku sendiri adalah Dhammaddhaja.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veḷuvana , tentang usaha-usaha untuk membunuh-Nya. Pada kesempatan ini, seperti sebelumnya, Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya Devadatta mencoba untuk membunuh-Ku dan tidak berhasil membuat-Ku takut, tetapi dia juga melakukan hal yang sama sebelumnya.” Dan Beliau menceritakan kisah ini.
Dahulu kala seorang raja yang bernama Yasapāṇi (Yasapani) memerintah di Benares. Panglimanya bernama Kāḷaka (Kalaka). Pada masa itu, Bodhisatta adalah pendeta kerajaannya, bernama Dhammaddhaja. Ada juga seorang pemuda bernama Chattapāṇi (Chattapani). Raja adalah seorang yang baik, tetapi panglimanya menerima suap dalam mengadili perkara; dia adalah seorang pengkhianat; dia menerima uang suap, dan menipu pemilik yang sah. Suatu hari, seseorang yang telah kalah dalam gugatan keluar dari pengadilan, sedang meratap dan menjulurkan tangannya ketika dia berjumpa dengan Bodhisatta, sewaktu Bodhisatta hendak pergi melayani raja. Sambil berlutut, orang tersebut berteriak menceritakan bagaimana dia telah dicurangi dalam perkaranya: “Meskipun orang seperti Anda, Tuanku, menasihati raja hal-hal di dunia ini dan yang akan datang, panglima tetap menerima uang suap, dan menipu pemilik yang sah!” Bodhisatta merasa kasihan kepadanya. “Kemarilah, Teman,” katanya, “saya akan mengadili perkara Anda untukmu!” dan dia menuju ke pengadilan. Orang banyak berkumpul bersama. Bodhisatta mencabut hukumannya dan memberikan keadilan hukum kepadanya, yang berhak. Para penonton bertepuk tangan. Suara yang ditimbulkan sangat riuh. Raja mendengarnya, dan bertanya—“Suara apa yang kudengar ini?” “Paduka,” jawab mereka, “ada sebuah perkara yang diadili dengan salah dan telah diadili dengan benar oleh Yang Bijak Dhammaddhaja; itulah sebabnya mengapa ada sorakan.” Raja senang dan memanggil Bodhisatta. “Mereka memberitahuku,” dia memulai, “bahwa Anda telah mengadili sebuah perkara?” “Ya, Paduka, saya mengadili apa yang Kalaka tidak adili dengan benar.” “Jadilah Anda seorang hakim mulai hari ini,” kata raja; “Ini akan menjadi hiburan bagi telingaku, dan kemakmuran bagi dunia!” Bodhisatta enggan, tetapi raja memohon kepadanya— “Atas belas kasihan terhadap semua makhluk, duduklah Anda dalam pengadilan!” dan raja pun mendapatkan persetujuannya. Sejak saat itu, Kalaka tidak lagi menerima hadiah-hadiah, dan kehilangan keuntungannya. Dia memfitnah Bodhisatta di depan raja, dengan berkata, “Oh Paduka, Dhammaddhaja yang bijaksana mendambakan kerajaanmu!” Tetapi raja tidak percaya dan memintanya untuk tidak berkata demikian.
“Jika Anda tidak percaya,” kata Kalaka, “lihatlah keluar jendela saat kedatangannya. Maka Anda akan melihat bahwa dia telah mendapatkan seluruh kota di tangannya.” Raja melihat orang banyak di sekelilingnya di balai pengadilannya. “Itulah rombongannya,” pikirnya. Raja pun mengalah. “Apa yang harus kita lakukan, Panglima?” tanyanya. “Paduka, dia harus dihukum mati.” “Bagaimana kita dapat menghukum mati dirinya tanpa menemukan kejahatan besar?” “Ada sebuah cara.” kata yang lain. “Cara apakah itu?” “Suruh dia lakukan apa yang tidak mungkin, dan jika dia tidak dapat, maka hukum mati dirinya untuk itu.” “Tetapi apa yang tidak mungkin untuknya?” “Paduka,” jawabnya, “perlu waktu dua atau empat tahun bagi sebuah kebun berbuah, dengan tanah yang subur, bila ditanam dan dirawat. Panggillah Bodhisatta untuk menghadapmu dan katakan—‘Kami menginginkan sebuah taman hiburan (untuk bersenang-senang) besok. Buatlah sebuah taman untuk kami!’ dia tidak akan sanggup untuk melakukan ini, dan kita akan membunuhnya untuk kesalahan itu.” Raja berbicara sendiri kepada Bodhisatta. “Tuan Bijak, kami telah bermain cukup lama di taman yang tua; sekarang kami sangat membutuhkan sebuah taman baru untuk bermain. Buatkanlah sebuah taman untuk kami! Jika Anda tidak dapat membuatnya, Anda akan mati.” Bodhisatta berpikir, “Pasti Kalaka telah menghasut raja untuk melawanku, karena dia tidak lagi mendapatkan hadiahhadiah.”—“Jika saya bisa,” katanya kepada raja, “Paduka, saya akan melakukannya.” Dan dia pulang ke rumah. Setelah makan, dia berbaring di tempat tidurnya, sambil berpikir keras. Istana Sakka menjadi panas. Sakka merasakan kesulitan Bodhisatta. Dia segera datang kepadanya, masuk ke ruangannya, dan bertanya kepadanya—“Tuan yang Bijak, apa yang sedang Anda pikirkan?”—sambil melayang di udara. “Siapakah Anda?” tanya Bodhisatta. “Saya adalah Sakka.” “Raja memintaku untuk membuat sebuah taman: itulah yang sedang saya pikirkan.” “Tuan yang Bijak, jangan bersusah hati: saya akan membuatkan Anda sebuah taman seperti Hutan Nandana dan Cittalatā! Di manakah harus saya buat taman itu?” “Di tempat anu,” katanya kepada Sakka. Sakka membuatkannnya, dan kembali ke alam dewa. Hari berikutnya, Bodhisatta melihat taman itu benarbenar ada di sana, dan menantikan kehadiran raja. “Oh Paduka, taman sudah siap, pergilah ke tempat bermainmu!” Raja datang ke tempat itu dan melihat sebuah kebun dengan sebuah pagar yang panjangnya delapan belas hasta, diwarnai dengan merah terang, mempunyai gerbang-gerbang dan kolam-kolam, sangat indah dengan beragam jenis pohon penuh dengan bunga dan buah! “Orang bijak itu telah menyelesaikan apa yang kuminta,” katanya kepada Kalaka, “sekarang apa yang harus kita lakukan?”
“Oh Paduka!” jawabnya, “jika dia dapat membuat sebuah taman dalam semalam, tidak dapatkah dia merampas kerajaanmu?” “Baiklah, apa yang harus kita lakukan?” “Kita akan memintanya melakukan sesuatu yang lain yang tidak mungkin.” “Apa itu?” tanya raja. “Kita akan memintanya membuat sebuah danau yang memiliki tujuh batu permata!” Raja setuju, lalu meminta kepada Bodhisatta: “Guru, Anda telah membuatkan sebuah taman. Sekarang buatlah sebuah danau untuk memadaninya, dengan tujuh batu permata. Jika Anda tidak dapat membuatnya, Anda tidak layak hidup!” “Baiklah, Paduka,” jawab Bodhisatta, “saya akan membuatnya jika saya sanggup.” Kemudian Sakka membuatkan sebuah danau besar yang sangat indah, mempunyai seratus tempat pendaratan, seribu teluk kecil, ditutupi semuanya oleh bunga teratai dengan lima warna yang berbeda, seperti danau di Nandana. Hari berikutnya, Bodhisatta melihat ini juga, dan berkata kepada raja: “Lihat, danau telah dibuat!” Dan raja melihat, menanyakan Kalaka apa yang harus dilakukan. “Mintalah kepadanya, Paduka, buatkan sebuah rumah untuk memadaninya,” katanya. “Buatkanlah sebuah rumah, Guru,” kata raja kepada Bodhisatta, “semua terbuat dari gading, untuk memadani kebun dan danau: jika Anda tidak dapat membuatnya, Anda harus mati!” Sakka membuatkan sebuah rumah yang demikian juga. Hari berikutnya Bodhisatta melihat dan mengatakannya kepada raja. Ketika raja melihatnya, dia menanyakan Kalaka kembali mengenai apa yang harus dilakukan. Kalaka berkata kepadanya untuk meminta Bodhisatta membuatkan sebuah permata untuk memadani rumah tersebut. Raja berkata kepada Bodhisatta, “Guru, buatkanlah sebuah permata untuk memadaninya dengan rumah gading ini; Saya akan berkeliling melihatnya dengan kilauan permata; jika Anda tidak dapat membuatkannya, Anda harus mati!” Kemudian Sakka membuatkan sebuah permata juga untuknya. Hari berikutnya Bodhisatta melihat dan mengatakannya kepada raja. Ketika raja melihatnya, dia kembali menanyakan Kalaka apa yang harus dilakukan selanjutnya. “Paduka!” jawabnya, “saya kira pasti ada makhluk dewata yang melakukan apa saja yang diharapkan oleh Brahmana Dhammaddhaja. Sekarang mintalah kepadanya sesuatu yang bahkan dewa pun tidak sanggup membuatnya. Bahkan seorang dewa pun tidak akan sanggup membuat seseorang dengan empat moralitas; karena itu mintalah kepadanya untuk membuatkan seorang penjaga dengan empat kualitas ini.” Jadi raja berkata, “Guru, Anda telah membuatkan sebuah kebun, sebuah danau, sebuah istana (rumah untuk raja), dan sebuah permata untuk memberikan sinar. Sekarang buatkanlah seorang penjaga dengan empat moralitas untukku, untuk menjaga kebun; jika Anda tidak dapat melakukannya, Anda harus mati.” “Baiklah,” jawabnya, “jika itu memungkinkan, saya akan melakukannya.” Dia pulang ke rumah, makan, dan berbaring.
Kemudian dia bangun di pagi hari, duduk di tempat tidurnya, dan berpikir demikian, “Apa yang Raja Sakka dapat buat dengan kekuatannya, telah dibuatnya. Dia tidak dapat membuat seorang penjaga taman dengan empat moralitas. Sudah begini, lebih baik mati kesepian di dalam hutan, daripada mati di tangan orang lain.” Jadi tanpa berkata apa pun kepada siapa pun, dia turun dari tempat tinggalnya dan melewati kota dari gerbang utama, dan masuk ke hutan, dan dia duduk di bawah sebuah pohon dan merenung dengan keyakinan yang baik. Sakka merasakannya; dan dengan wujud seorang penjaga hutan, dia menghampiri Bodhisatta, sambil berkata, “Brahmana, Anda masih muda dan berhati mulia. Mengapa Anda duduk di sini di dalam hutan ini, seperti Anda tidak pernah merasakan sakit sebelumnya?” Sambil bertanya, dia mengulangi bait pertama:—
Anda kelihatan seakan-akan kehidupanmu bahagia; tetapi di dalam hutan liar, Anda akan menjadi tunawisma, seperti orang malang yang hidupnya sengsara dan merana di bawah pohon ini, dalam kesepian.
Terhadap ini Bodhisatta menjawab dengan bait kedua:—
Saya kelihatan seakan-akan hidupku bahagia; tetapi di dalam hutan saya akan menjadi tunawisma, seperti orang malang yang hidupnya sengsara dan merana di bawah pohon ini, dalam kesepian, merenungkan kebenaran yang diketahui oleh para suci Kemudian Sakka berkata, “Jika begitu, mengapa, Brahmana, Anda duduk di sini?” “Raja,” jawabnya, “memerlukan seorang penjaga kebun dengan empat moralitas. Orang seperti itu tidak bisa ditemukan; jadi saya berpikir—‘Mengapa harus binasa di tangan orang? Saya akan pergi ke hutan dan mati kesepian’. Maka ke sinilah saya datang dan di sinilah saya duduk.” Kemudian yang lain menjawab, “Brahmana, saya adalah Sakka, raja dari para dewa. Oleh saya, kebunmu dibuat dan juga semua yang lainnya. Seorang penjaga kebun yang memiliki empat moralitas tidak dapat dibuat, tetapi di negerimu ada seorang yang bernama Chattapani, yang membuat perhiasan untuk raja dan dia adalah orang itu. Jika seorang penjaga kebun dibutuhkan, pergilah dan jadikanlah pekerja ini sebagai penjaga kebun.” Dengan kata-kata ini, Sakka kembali ke alam dewa, setelah menghiburnya dan memintanya untuk tidak takut. Bodhisatta pulang ke rumah dan setelah sarapan, dia pergi ke gerbang-gerbang istana dan di sanalah dia melihat Chattapani. Dia memegang tangannya dan bertanya kepadanya—“Benarkah, seperti yang kudengar, Chattapani, apakah Anda diberkahi dengan empat moralitas?” “Siapa yang mengatakan demikian?” tanya yang lain. “Sakka, raja para dewa.” “Mengapa dia berkata begitu kepadamu?” Dia menceritakan semua dan menjelaskan alasannya. Yang lain berkata, “Ya, saya diberkahi dengan empat moralitas.” Bodhisatta, sambil memegang tangannya, membawanya ke hadapan raja. “Ini, Paduka, adalah Chattapani, yang diberkahi dengan empat moralitas. Jika dibutuhkan seorang penjaga kebun, jadikanlah dia sebagai penjaga kebun itu.” “Benarkah, seperti yang kudengar,” tanya raja kepada Chattapani, “apakah Anda mempunyai empat moralitas?” “Benar, Paduka.” “Apa saja itu?” tanya raja.
“Saya tidak iri dan tidak minum minuman keras, tidak memiliki nafsu yang besar, kemarahan bukan milikku,” katanya demikian. “Chattapani,” teriak raja, “apakah Anda mengatakan Anda tidak memiliki rasa iri?” “Ya, Paduka, saya tidak memiliki rasa iri.” “Apa saja yang Anda tidak iri?” “Dengarlah, Paduka!” katanya, dan dia menceritakan bagaimana dia tidak merasa iri dalam bait berikut:–
Seorang pendeta kerajaan yang terikat saya campakkan— Yang seorang wanita membuat saya melakukannya: Dia mendidikku dalam pengetahuan suci, sejak saat itu saya tidak pernah iri lagi.
Kemudian raja berkata, “Chattapani, mengapa Anda berpantang minuman keras?” dan dia menjawab dengan bait berikut—
Pernah suatu ketika saya mabuk dan saya memakan daging putraku sendiri di atas piringku: Kemudian, tersentuh dengan duka dan penderitaan, bertekad untuk tidak pernah meminumnya lagi.
Kemudian raja berkata, “Tetapi apa, Tuan, yang membuat Anda biasa saja, tidak memiliki cinta (nafsu)?” Orang tersebut menjelaskan dengan kata-kata ini:–
Raja Kitavāsa adalah namaku: Seorang raja yang mulia adalah diriku; Putraku memecahkan patta Pacceka Buddha dan karena itu dia harus mati.
Kata raja kemudian, “Apakah yang membuatmu tidak memiliki kemarahan?” Dan dia membuat masalah itu lebih jelas dalam kalimat-kalimat ini:
Sebagai Araka, selama tujuh tahun saya mempraktikkan kemurahan hati; dan kemudian selama tujuh zaman menetap di alam brahma yang tinggi.
Ketika Chattapani telah menjelaskan empat kebajikannya, raja memberikan pertanda kepada pelayannya.
Dan dalam sekejap seluruh istana, para petapa dan orang awam, semuanya bangkit dan berteriak terhadap Kalaka—“Anda, pemakan suap, pencuri, dan orang rendah! Anda tidak bisa lagi mendapatkan suap, dan Anda hendak membunuh orang bijaksana dengan memfitnahnya!” Mereka menangkap Kalaka pada tangan dan kakinya, kemudian mengusirnya keluar istana; lalu mengambil apa pun yang dapat mereka raih, batu dan kayu, mereka memecahkan kepalanya dan melakukannya sampai dia mati. Sambil menarik kakinya, mereka melemparkannya ke dalam tempat tumpukan kotoran. Sejak saat itu, raja memerintah dengan benar, sampai dia wafat sesuai dengan hasil dari perbuatannya.
Uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Devadatta adalah Panglima Kāḷaka (Kalaka), Sāriputta adalah Chattapāṇi (Chattapani), dan Aku sendiri adalah Dhammaddhaja.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com