GAGGA-JATAKA
“Gagga, hidup seratus tahun,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika berdiam di arama yang didirikan oleh Raja Pasenadi di depan Jetavana, tentang suatu bersin. Dikatakan bahwasanya ketika Sang Guru duduk memberikan khotbah dengan empat kelompok orang di sekeliling-Nya, Beliau bersin. “Semoga panjang umur Bhante, Yang Terberkahi; semoga panjang umur Yang Sempurna Menempuh Jalan!” semua bhikkhu berteriak dengan keras dan melakukan yang terbaik. Keributan ini mengganggu khotbah itu. Kemudian Sang Guru berkata kepada mereka: “Mengapa, Para Bhikkhu, seseorang meneriakkan ‘panjang umur’ ketika mendengar suara bersin, apakah seseorang hidup atau mati untuk itu?” Mereka menjawab, “Tidak, tidak, Bhante.” Beliau melanjutkan, “Kalian tidak seharusnya meneriakkan ‘panjang umur’ untuk suara bersin, Para Bhikkhu. Bhikkhu siapa pun yang melakukannya berarti melakukan pelanggaran dukkaṭa (perbuatan salah).” Dikatakan bahwa pada saat itu, ketika para bhikkhu bersin, orang-orang biasanya berteriak, “Panjang umur untukmu, Bhante!” Tetapi para bhikkhu merasa khawatir (akan melakukan perbuatan salah) dan tidak memberikan jawaban. Semua orang merasa kesal dan bertanya, “Mengapa para petapa siswa Buddha, sang Pangeran Sakya, tidak memberikan jawaban, ketika mereka bersin dan seseorang atau yang lain mendoakan mereka panjang umur?” Semua ini diceritakan kepada Yang Terberkahi. Beliau berkata: “Para Bhikkhu, orang-orang awam biasanya bersifat takhayul. Ketika kalian bersin dan mereka berkata, ‘Panjang umur untukmu, Bhante!’ Aku mengizinkan kalian untuk menjawab, ‘Sama untukmu’.” Kemudian para bhikkhu bertanya kepadaNya—“Bhante, sejak kapan orang mulai menjawab ‘panjang umur’ dengan ‘sama untukmu’?” Kata Sang Guru, “Itu sejak zaman dahulu”, dan Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.
________________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta dilahirkan sebagai seorang anak brahmana dari Kerajaan Kasi; dan ayahnya adalah seorang pedagang. Ketika anak laki-laki itu berusia sekitar enam belas tahun, ayahnya memberikan sebuah permata kepadanya dan mereka berdua mengadakan perjalanan dari kota ke kota, desa ke desa, sampai mereka tiba di Benares. Di sana laki-laki itu menyantap makanan yang dimasak di rumah penjaga gerbang; dan karena tidak dapat menemukan tempat untuk menginap, dia menanyakan di mana ada penginapan untuk pelancong yang datang terlalu malam. Orang itu memberitahunya bahwa ada sebuah bangunan di luar kota, tetapi angker; dia boleh menginap di sana jika dia suka. Anak laki-laki itu berkata kepada ayahnya, “Jangan takut pada hantu (yaksa), Ayah! Saya akan menundukkannya, dan membawanya ke kakimu.” Demikianlah dia membujuk ayahnya dan mereka pergi ke tempat itu bersama. Sang ayah berbaring di atas tempat tidur dan anaknya duduk di sampingnya sambil menggosok kakinya. Kala itu, yaksa yang gentayangan di tempat itu telah menerima tugas dari Vessavaṇa selama dua belas tahun, dengan catatan seperti ini: Jika ada seseorang, yang memasuki kediamannya ini, bersin dan jika selamat panjang umur diucapkan terhadapnya, dia harus menjawab, ‘Panjang umur untukmu!’ atau ‘Sama untukmu!’—semua orang, kecuali yang tidak melakukan ini, maka yaksa itu boleh memangsanya. Yaksa itu hidup di tengah kasau (bagian tengah atas) gubuk itu19. Dia bertekad untuk membuat ayah Bodhisatta bersin. Oleh sebab itu, dengan kekuatan gaibnya, dia membuat suatu gumpalan debu halus masuk ke lubang hidung laki-laki itu; dan saat dia berbaring di atas tempt tidur itu, dia pun bersin. Putra itu tidak mengucapkan ‘panjang umur!’ dan yaksa itu pun turun dari tempat tenggerannya, siap untuk memangsa korbannya. Tetapi Bodhisatta melihatnya turun, kemudian kata-kata ini muncul dalam pikirannya, “Tidak diragukan lagi, dirinyalah yang membuat ayahku bersin. Pasti dia adalah yaksa yang memangsa semua orang yang tidak mengatakan ‘panjang umur untukmu’.” Dan kepada ayahnya, dia mengulangi bait pertama sebagai berikut:—
Gagga, hidup seratus tahun—ya, dan lebih dua puluh lagi, saya doakan! Semoga tidak ada yaksa yang memangsamu; Panjang umur untukmu, saya ucapkan!
Yaksa itu berpikir, “Yang satu ini, saya tidak dapat memakannya, karena dia mengatakan ‘panjang umur untukmu’. Saya akan memangsa ayahnya,” dan dia pun datang mendekati sang ayah. Tetapi laki-laki itu telah meramalkan kebenaran akan hal itu—“Ini pastilah seorang yaksa,” pikirnya, “yang memakan siapa saja yang tidak menjawab ‘sama untukmu!’ dan demikian dia membalas putranya, mengulangi bait kedua:—
Anda juga hidup seratus tahun—ya, dan lebih dua puluh tahun lagi, saya doakan; Semoga yaksa yang memangsamu menjadi teracuni; hidup seratus tahun, saya ucapkan!”
Yaksa itu mendengar perkataan tersebut, berpaling dan berpikir, “Tidak ada dari mereka yang dapat kumakan.” Bodhisatta memberikan sebuah pertanyaan kepadanya: “Datanglah, Yaksa; bagaimanakah Anda bisa memakan orangorang yang masuk ke tempat ini?” “Saya memperoleh hak atas jasa yang kuberikan selama dua belas tahun kepada Vessavaṇa .” “Apa, apakah Anda diijinkan untuk memakan semua orang?”
“Semua orang, kecuali mereka yang mengatakan ‘sama untukmu’ ketika yang lain mengucapkan ‘panjang umur’ kepada mereka.” “Yaksa,” kata anak laki-laki itu, “Anda telah melakukan beberapa kejahatan di kehidupan lampau, yang menyebabkan dirimu sekarang ini lahir menjadi bengis, kejam dan menjadi pembunuh terhadap yang lain. Jika Anda melakukan sesuatu yang sama sekarang, Anda akan masuk dari kegelapan ke dalam kegelapan (kembali). Oleh karena itu, mulai saat ini jauhkanlah dirimu dari semua hal yang menghabisi nyawa.” Dengan katakata itu, dia menundukkan sang yaksa, menakuti dirinya dengan ketakutan terhadap neraka, mengajarkannya lima sila dan membuatnya menjadi patuh bagaikan seorang pelayan. Hari berikutnya, ketika orang-orang datang dan melihat yaksa itu, mengetahui bagaimana Bodhisatta menundukkannya, dan mereka pulang kemudian memberitahu raja: “Paduka, seseorang telah menundukkan yaksa itu, dan membuatnya patuh bagaikan seorang pelayan!” Demikian raja memanggilnya dan mengangkatnya menjadi Panglima Tertinggi; dia mengumpulkan kehormatan untuk ayahnya. Setelah membuat yaksa itu menjadi pemungut pajak dan mengukuhkannya dalam latihan moralitas, dan setelah mempraktikkan perbuatan memberikan derma dan melakukan kebajikan lainnya, dia terlahir kembali di alam surga.
____________________________
Ketika Sang Guru telah mengakhiri kisah itu, yang diceritakan untuk menjelaskan sejak kapan kebiasaan untuk menjawab ‘panjang umur’ atau ‘sama untukmu’ timbul, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada saat itu, Ānanda adalah raja, Kassapa adalah sang ayah, dan diri-Ku sendiri adalah anak laki-laki, putranya.
Sumber: ITC, Jataka Vol 2
Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika berdiam di arama yang didirikan oleh Raja Pasenadi di depan Jetavana, tentang suatu bersin. Dikatakan bahwasanya ketika Sang Guru duduk memberikan khotbah dengan empat kelompok orang di sekeliling-Nya, Beliau bersin. “Semoga panjang umur Bhante, Yang Terberkahi; semoga panjang umur Yang Sempurna Menempuh Jalan!” semua bhikkhu berteriak dengan keras dan melakukan yang terbaik. Keributan ini mengganggu khotbah itu. Kemudian Sang Guru berkata kepada mereka: “Mengapa, Para Bhikkhu, seseorang meneriakkan ‘panjang umur’ ketika mendengar suara bersin, apakah seseorang hidup atau mati untuk itu?” Mereka menjawab, “Tidak, tidak, Bhante.” Beliau melanjutkan, “Kalian tidak seharusnya meneriakkan ‘panjang umur’ untuk suara bersin, Para Bhikkhu. Bhikkhu siapa pun yang melakukannya berarti melakukan pelanggaran dukkaṭa (perbuatan salah).” Dikatakan bahwa pada saat itu, ketika para bhikkhu bersin, orang-orang biasanya berteriak, “Panjang umur untukmu, Bhante!” Tetapi para bhikkhu merasa khawatir (akan melakukan perbuatan salah) dan tidak memberikan jawaban. Semua orang merasa kesal dan bertanya, “Mengapa para petapa siswa Buddha, sang Pangeran Sakya, tidak memberikan jawaban, ketika mereka bersin dan seseorang atau yang lain mendoakan mereka panjang umur?” Semua ini diceritakan kepada Yang Terberkahi. Beliau berkata: “Para Bhikkhu, orang-orang awam biasanya bersifat takhayul. Ketika kalian bersin dan mereka berkata, ‘Panjang umur untukmu, Bhante!’ Aku mengizinkan kalian untuk menjawab, ‘Sama untukmu’.” Kemudian para bhikkhu bertanya kepadaNya—“Bhante, sejak kapan orang mulai menjawab ‘panjang umur’ dengan ‘sama untukmu’?” Kata Sang Guru, “Itu sejak zaman dahulu”, dan Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.
________________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta dilahirkan sebagai seorang anak brahmana dari Kerajaan Kasi; dan ayahnya adalah seorang pedagang. Ketika anak laki-laki itu berusia sekitar enam belas tahun, ayahnya memberikan sebuah permata kepadanya dan mereka berdua mengadakan perjalanan dari kota ke kota, desa ke desa, sampai mereka tiba di Benares. Di sana laki-laki itu menyantap makanan yang dimasak di rumah penjaga gerbang; dan karena tidak dapat menemukan tempat untuk menginap, dia menanyakan di mana ada penginapan untuk pelancong yang datang terlalu malam. Orang itu memberitahunya bahwa ada sebuah bangunan di luar kota, tetapi angker; dia boleh menginap di sana jika dia suka. Anak laki-laki itu berkata kepada ayahnya, “Jangan takut pada hantu (yaksa), Ayah! Saya akan menundukkannya, dan membawanya ke kakimu.” Demikianlah dia membujuk ayahnya dan mereka pergi ke tempat itu bersama. Sang ayah berbaring di atas tempat tidur dan anaknya duduk di sampingnya sambil menggosok kakinya. Kala itu, yaksa yang gentayangan di tempat itu telah menerima tugas dari Vessavaṇa selama dua belas tahun, dengan catatan seperti ini: Jika ada seseorang, yang memasuki kediamannya ini, bersin dan jika selamat panjang umur diucapkan terhadapnya, dia harus menjawab, ‘Panjang umur untukmu!’ atau ‘Sama untukmu!’—semua orang, kecuali yang tidak melakukan ini, maka yaksa itu boleh memangsanya. Yaksa itu hidup di tengah kasau (bagian tengah atas) gubuk itu19. Dia bertekad untuk membuat ayah Bodhisatta bersin. Oleh sebab itu, dengan kekuatan gaibnya, dia membuat suatu gumpalan debu halus masuk ke lubang hidung laki-laki itu; dan saat dia berbaring di atas tempt tidur itu, dia pun bersin. Putra itu tidak mengucapkan ‘panjang umur!’ dan yaksa itu pun turun dari tempat tenggerannya, siap untuk memangsa korbannya. Tetapi Bodhisatta melihatnya turun, kemudian kata-kata ini muncul dalam pikirannya, “Tidak diragukan lagi, dirinyalah yang membuat ayahku bersin. Pasti dia adalah yaksa yang memangsa semua orang yang tidak mengatakan ‘panjang umur untukmu’.” Dan kepada ayahnya, dia mengulangi bait pertama sebagai berikut:—
Gagga, hidup seratus tahun—ya, dan lebih dua puluh lagi, saya doakan! Semoga tidak ada yaksa yang memangsamu; Panjang umur untukmu, saya ucapkan!
Yaksa itu berpikir, “Yang satu ini, saya tidak dapat memakannya, karena dia mengatakan ‘panjang umur untukmu’. Saya akan memangsa ayahnya,” dan dia pun datang mendekati sang ayah. Tetapi laki-laki itu telah meramalkan kebenaran akan hal itu—“Ini pastilah seorang yaksa,” pikirnya, “yang memakan siapa saja yang tidak menjawab ‘sama untukmu!’ dan demikian dia membalas putranya, mengulangi bait kedua:—
Anda juga hidup seratus tahun—ya, dan lebih dua puluh tahun lagi, saya doakan; Semoga yaksa yang memangsamu menjadi teracuni; hidup seratus tahun, saya ucapkan!”
Yaksa itu mendengar perkataan tersebut, berpaling dan berpikir, “Tidak ada dari mereka yang dapat kumakan.” Bodhisatta memberikan sebuah pertanyaan kepadanya: “Datanglah, Yaksa; bagaimanakah Anda bisa memakan orangorang yang masuk ke tempat ini?” “Saya memperoleh hak atas jasa yang kuberikan selama dua belas tahun kepada Vessavaṇa .” “Apa, apakah Anda diijinkan untuk memakan semua orang?”
“Semua orang, kecuali mereka yang mengatakan ‘sama untukmu’ ketika yang lain mengucapkan ‘panjang umur’ kepada mereka.” “Yaksa,” kata anak laki-laki itu, “Anda telah melakukan beberapa kejahatan di kehidupan lampau, yang menyebabkan dirimu sekarang ini lahir menjadi bengis, kejam dan menjadi pembunuh terhadap yang lain. Jika Anda melakukan sesuatu yang sama sekarang, Anda akan masuk dari kegelapan ke dalam kegelapan (kembali). Oleh karena itu, mulai saat ini jauhkanlah dirimu dari semua hal yang menghabisi nyawa.” Dengan katakata itu, dia menundukkan sang yaksa, menakuti dirinya dengan ketakutan terhadap neraka, mengajarkannya lima sila dan membuatnya menjadi patuh bagaikan seorang pelayan. Hari berikutnya, ketika orang-orang datang dan melihat yaksa itu, mengetahui bagaimana Bodhisatta menundukkannya, dan mereka pulang kemudian memberitahu raja: “Paduka, seseorang telah menundukkan yaksa itu, dan membuatnya patuh bagaikan seorang pelayan!” Demikian raja memanggilnya dan mengangkatnya menjadi Panglima Tertinggi; dia mengumpulkan kehormatan untuk ayahnya. Setelah membuat yaksa itu menjadi pemungut pajak dan mengukuhkannya dalam latihan moralitas, dan setelah mempraktikkan perbuatan memberikan derma dan melakukan kebajikan lainnya, dia terlahir kembali di alam surga.
____________________________
Ketika Sang Guru telah mengakhiri kisah itu, yang diceritakan untuk menjelaskan sejak kapan kebiasaan untuk menjawab ‘panjang umur’ atau ‘sama untukmu’ timbul, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada saat itu, Ānanda adalah raja, Kassapa adalah sang ayah, dan diri-Ku sendiri adalah anak laki-laki, putranya.
Sumber: ITC, Jataka Vol 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com