GAMANI-CANDA-JATAKA
“Dia bukanlah seorang tukang bangunan yang ahli,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang pujian terhadap kebijaksanaan. Di dalam balai kebenaran, para bhikkhu duduk, memuji kebijaksanaan Sang Dasabala: “ Āvuso , Sang Tathāgata memiliki kebijaksanaan yang agung, kebijaksanaan yang luas, kebijaksanaan yang menyenangkan, kebijaksanaan yang cepat, keijaksanaan yang tajam, kebijaksanaan yang menembus. Dalam kebijaksanaan, Beliau unggul di alam manusia ini dan juga unggul di alam para dewa.” Sang Guru berjalan masuk, dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk di sana. Mereka memberi tahu Beliau. Beliau kemudian berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, Tathāgata menjadi orang yang bijak, sebelumnya juga Beliau adalah orang yang bijak.” Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Janasandha memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari permaisurinya. Wajahnya rupawan dan cerah, memiliki penampilan dari keindahan yang membawa keberuntungan, bagaikan cermin emas yang dipoles dengan indah. Pada hari pemberian namanya, mereka memberinya nama Ādāsamukha (Adasamukha), Wajah Cermin. Dalam kurun waktu tujuh tahun, ayahnya membuat dia diajari pengetahuan tiga kitab Weda dan semua kewajiban yang harus dilakukannya. Raja meninggal ketika anak laki-laki itu berusia tujuh tahun. Para menteri melakukan upacara pemakamam raja yang dihadiri oleh rombongan banyak orang, memberikan persembahan kepadanya. Pada hari ketujuh, mereka berkumpul bersama di dalam istana dan berdiskusi. Pangeran masih sangat muda, pikir mereka, dan dia tidak bisa dinobatkan menjadi raja. Sebelum menobatkannya menjadi raja, mereka mengujinya terlebih dahulu. Maka mereka menyiapkan pengadilan istana, dan sebuah dipan. Kemudian mereka menghadap kepada pangeran itu dan berkata, “Anda harus datang, Yang Mulia, ke pengadilan istana.” Pangeran mengikuti perkataan mereka; dan dengan rombongan yang besar dia pergi ke sana, duduk di dipan tersebut. Sebelum raja duduk untuk mengadili (kasus), mereka telah mendandani seekor kera dengan mengenakan pakaian seorang laki-laki yang ahli dalam ilmu pengetahuan yang mampu memberitahukan tempat-tempat yang baik untuk sebuah bangunan pada kera itu. Mereka membuat kera itu berjalan dengan dua kaki dan membawanya masuk ke balai pengadilan. “Yang Mulia,” kata mereka, “semasa pemerintahan raja, ayah Anda, orang inilah yang mengenali tempat-tempat yang baik dengan kekuatan gaibnya, dan dia sangat ahli dalam kemampuan ini. Jauh di bawah bumi, sedalam tujuh ratana, dia mampu melihat (jika ada) sesuatu yang buruk. Dengan bantuannya, ada sebuah tempat yang dipilih untuk kediaman raja. Mohon Yang Mulia memberikan imbalan kepadanya, dan memberikan jabatan kepadanya.” Pangeran memindai dirinya dari kepala sampai kaki. “Ini bukan seorang manusia, melainkan ini adalah seekor kera,” pikirnya, “dan kera bisa menghancurkan apa yang telah dibuat oleh orang lain, kera tidak bisa membuat apa-apa atau mengerjakan hal yang demikian.” Maka demikian dia mengulangi bait pertama berikut:
Dia bukanlah seorang tukang bangunan yang ahli, dia adalah seekor kera yang memiliki wajah keriput; Dia bisa menghancurkan apa yang dibuat orang lain; itulah kebiasaan bangsanya.
“Memang benar demikian, Yang Mulia!” kata para menterinya, dan mereka membawa kera itu pergi. Tetapi setelah satu atau dua hari berlalu, mereka mendandani makhluk yang sama dalam pakaian yang mewah dan membawanya kembali ke dalam balai pengadilan. “Semasa pemerintahan raja, ayah Anda, orang ini adalah seorang hakim yang memutuskan suatu perkara. Anda sebaiknya menerima dirinya untuk membantu dalam memutuskan perkara pengadilan secara adil.” Pangeran memerhatikan dirinya, kemudian berpikir, “Seorang manusia yang memiliki (akal) pikiran dan pertimbangan tidaklah memiliki bulu yang demikian banyak seperti dirinya. Kera yang tidak memiliki pikiran ini tidaklah mampu membuat keputusan secara adil.” Dan dia mengulangi bait kedua berikut:
Tidak ada (akal) pikiran dalam diri makhluk berbulu ini; dia tidak bisa memberikan kepercayaan; Dia tidak tahu apa-apa, seperti yang diajarkan oleh ayahku: hewan ini tidak memiliki pengetahuan!
“Memang benar, Yang Mulia!” kata para menterinya, dan mereka membawanya pergi. Kemudian, sekali lagi, mereka mendandani kera yang sama dan membawanya ke balai pengadilan. “Yang Mulia,” kata mereka, “semasa pemerintahan raja, ayah Anda, orang ini melaksanakan segala kewajibannya kepada ayah dan ibu, dan memberi hormat kepada orang-orang tua di dalam keluarganya. Anda harus mempekerjakannya.” Pangeran memerhatikan dirinya sekali lagi dan berpikir, “Kera memiliki pikiran yang selalu berubah-ubah; hal yang demikian tidak mungkin bisa dilakukan olehnya.” Dan dia mengulangi bait ketiga berikut:
Satu hal yang pernah Dasaratha ajarkan kepadaku: makhluk yang demikian ini tidak akan pernah memberikan bantuan kepada ayah atau ibu, kakak atau adik, atau siapa pun yang menyebutnya sebagai teman!
“Memang benar, Yang Mulia!” jawab para menterinya, dan mereka membawanya pergi. Kemudian mereka berkata satu sama lain, “Ini adalah seorang pangeran yang bijak. Dia pasti bisa memerintah (kerajaan).” Mereka menobatkan Bodhisatta menjadi raja; dan di seluruh penjuru kota, dengan tabuhan genderang, mereka mengumumkannya, dengan menyerukan, “Raja Adasamukha!” Sejak saat itu, Bodhisatta memerintah dengan benar dan kebijaksanaannya tersebar luas di seluruh Jambudīpa (India). Untuk menunjukkan masalah kebijaksanaannya, empat belas masalah berikut dibawa ke hadapannya untuk diselesaikan:
Seekor kerbau, seorang laki-laki, seekor kuda, seorang tukang tenun, seorang kepala desa, seorang wanita penghibur, seorang gadis, seekor ular, seekor rusa, seekor ketitir, seorang makhluk dewata, seekor nāga (naga), para petapa dan brahmana.
Kejadian-kejadian tersebut di atas akan dijelaskan sekarang. Ketika Bodhisatta dinobatkan sebagai raja, seorang pelayan Raja Janasandha yang bernama Gāmaṇicaṇḍa (Gamanicanda), berpikir demikian di dalam dirinya, “Kerajaan ini akan menjadi lebih berjaya jika dipimpin oleh mereka-mereka yang masih seusia dengan raja. Saya sudah tua sekarang, dan saya tidak bisa melayani seorang pangeran muda lagi. Saya akan menghidupi diriku sendiri dengan bertani di desa.” Maka dia pergi meninggalkan kota pada jarak sejauh tiga yojana, dan tinggal di sebuah desa. Akan tetapi, dia tidak memiliki kerbau untuk bertani. Dan demikian, setelah musim hujan tiba, dia memohon kepada seorang temannya untuk meminjamkan dua ekor kerbau kepadanya. Sepanjang hari dia membajak dengan kedua kerbau itu, kemudian memberi mereka makan rumput, dan pergi ke rumah pemilik kerbau untuk mengembalikan kerbaukerbau miliknya. Pada waktu itu, pemilik kerbau sedang makan bersama dengan istrinya; kerbau-kerbau itu masuk ke dalam kandang, tenang berada di dalam rumahnya. Di saat mereka masuk, pemilik kerbau itu sedang mengangkat piringnya naik ke atas dan istrinya sedang menurunkan piringnya. Melihat mereka tidak mengundangnya untuk makan bersama, Gamanicanda pun pergi tanpa menyerahkan kerbau-kerbau itu secara resmi kepada mereka. Di malam hari, para perampok membobol masuk kandang kerbau dan mencuri mereka. Keesokan paginya, sang pemilik kerbau masuk ke kandang kerbaunya, dan melihat hewan peliharaannya tidak ada di sana; dia menduga bahwa kerbaukerbaunya dicuri oleh para perampok. “Akan kubuat Gamani membayar ganti rugi ini!” pikirnya, dan dia pun pergi menjumpai Gamani. “Kembalikan kerbau-kerbauku!” teriaknya. “Apa mereka tidak ada di dalam kandangnya?” “Apakah kamu ada mengembalikan mereka kepadaku?” “Tidak.” “Ini adalah pengawal kerajaan: ayo ikut!” Kala itu, orang-orang memiliki suatu peraturan bahwasanya ketika mereka memungut sebuah batu atau tanah liat, kemudian berkata—‘Ini adalah pengawal kerajaan; ayo ikut!’ orang yang menolak untuk pergi akan mendapatkan hukuman. Maka ketika mendengar kata ‘pengawal kerajaan’, Gamani pun terpaksa ikut. Mereka berdua pergi menuju ke balai pengadilan raja. Dalam perjalanannya, mereka tiba di sebuah desa, tempat seorang teman Gamani tinggal. “Saya sangat lapar. Tunggulah di sini, saya akan masuk ke dalam dan mencari sesuatu untuk dimakan!” Dan dia masuk ke dalam rumah temannya itu. Tetapi temannya sedang tidak berada di rumah. Istrinya berkata, “Tuan, tidak ada makanan. Tunggulah sebentar, saya akan masak dan menghidangkannya kepadamu.” Wanita itu menaiki sebuah tangga untuk mengambil jagung, dan karena tergesa-gesa, dia pun terjatuh ke tanah. Saat itu, dia sedang hamil tujuh bulan; dia mengalami keguguran. Persis ketika itu terjadi, suaminya pulang ke rumah dan melihat apa yang terjadi. “Kamu memukul istriku,” teriaknya, “dan menyebabkan dia mengalami keguguran! Ini adalah pengawal kerajaan—ayo ikut!” dan dia pun membawanya pergi. Setelah kejadian ini, mereka melanjutkan perjalanannya, dengan Gamani berada di antara kedua orang tersebut. Ketika mereka berjalan, terlihat seekor kuda yang berada di gerbang suatu desa; tukang kudanya tidak bisa menghentikannya, kuda itu berlari ke arah mereka. Tukang kuda itu berteriak kepada Gamani, “Paman Gamanicanda, pukullah kuda itu dengan sesuatu dan buat dia berlari kembali ke sini!” Gamani mengambil sebuah batu dan melemparkannya pada kuda itu. Batu tersebut mengenai satu kakinya dan mematahkannya seperti tangkai tanaman eraṇḍa . Kemudian tukang kuda itu berkata kepadanya, “Oh, Anda telah mematahkan kaki kudaku! Ini adalah pengawal kerajaan—ayo ikut!” dan dia pun menahannya. Demikianlah Gamani menjadi tawanan dari ketiga orang tersebut. Ketika mereka membawanya melanjutkan perjalanan, Gamani berpikir, “Kedua orang ini akan melaporkanku kepada raja; saya tidak mampu membayar (ganti rugi) atas kerbau, tidak mampu membayar atas keguguran, dan tidak mampu membayar atas kuda. Lebih baik saya mati saja.” Maka, ketika mereka sedang berjalan, dia melihat sebuah hutan yang ada di dekat jalan, yang di dalamnya terdapat sebuah bukit dengan jurang di sisinya. Di bawah jurang tersebut terdapat dua orang tukang tenun, seorang ayah dan anaknya, yang sedang menenun sebuah tikar. Gamani kemudian berkata, “Saya ingin buang air sebentar: Tunggulah di sini selagi saya pergi ke sana.” Setelah berkata demikian, dia pun memanjat bukit tersebut kemudian terjun ke bawah jurang. Dia terjatuh tepat di bagian punggung sang ayah, tukang tenun, dan menyebabkan dia mati di tempat. Gamani kemudian bangun dan berdiri diam tidak bergerak. “Kamu telah membunuh ayahku!” teriak sang anak, tukang tenun, “ini adalah pengawal kerajaan—ayo ikut!” Dia menggenggam tangan Gamani dan membawanya keluar dari dalam hutan tersebut. “Ada apa ini?” tanya ketiga orang tersebut. “Orang jahat ini telah membunuh ayahku!” Mereka pun melanjutkan perjalanan, mereka berempat dengan Gamani di tengah. Mereka kemudian tiba di suatu desa yang lain. Kepala desa itu yang melihat Gamani berkata, “Paman Gamani, Anda hendak pergi ke mana?” “Pergi menjumpai raja,” balasnya. “Oh, menjumpai raja, kebetulan sekali. Saya ingin menanyakan sesuatu kepada raja, maukah Anda menyampaikannya untukku?” “Ya, akan saya sampaikan.” “Begini, dulu saya terlihat rupawan, kaya, terhormat dan sehat, tetapi sekarang saya menjadi miskin dan terlihat pucat. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya. Raja adalah seorang yang bijak, demikian dikatakan oleh orang-orang; dia pasti bisa memberitahukan jawabannya kepadamu, dan tolong beri tahukan jawabannya kepadaku nanti.” Gamani mengiyakannya. Di desa berikutnya, seorang wanita penghibur menyapanya, “Paman Gamani, Anda hendak pergi ke mana?” “Pergi menjumpai raja,” balasnya. “Raja adalah seorang yang bijak, demikian dikatakan oleh orang-orang; tolong tanyakanlah sebuah pertanyaan dariku kepadanya,” kata wanita itu. [303] “Dulu saya bisa mendapatkan banyak uang, sekarang saya tidak bisa mendapatkan uang sedikit pun, bahkan untuk membeli sirih206, tidak ada yang menginginkan diriku lagi. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya, dan tolong beri tahukan jawabannya kepadaku nanti.” Dalam perjalanan selanjutnya, di sebuah desa berikutnya, terdapat seorang wanita yang berkata demikian kepada Gamani, “Saya tidak bisa tinggal dengan tenang bersama dengan suami atau dengan keluargaku sendiri. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya, dan tolong beri tahukan jawabannya kepadaku nanti.” Selanjutnya, seekor ular yang tinggal di dalam suatu gundukan rumah semut di tepi jalan, melihat Gamani dan menyapanya, “Anda hendak pergi ke mana, Gamanicanda?” “Pergi menjumpai raja.” “Raja adalah seorang yang bijak, demikian dikatakan oleh orang-orang; tolong tanyakanlah sebuah pertanyaan dariku kepadanya. Di saat saya keluar untuk mencari makanan, (di saat) saya merasa lemah dan lapar, badanku terhalangi oleh lubang masuk sehingga membuatku bersusah payah untuk dapat keluar, dengan menyeret-nyeret tubuhku. Akan tetapi, di saat saya kembali, (di saat) saya merasa bertenaga dan kenyang, dengan cepat saya bisa melalui lubang masuk itu tanpa menyentuh sisi-sisinya. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya, dan tolong beri tahukan jawabannya kepadaku nanti.” Selanjutnya, seekor rusa melihatnya dan berkata, “Saya tidak bisa memakan rumput-rumput di tempat yang lain, kecuali di bawah pohon ini. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya.” Berikutnya, seekor burung ketitir berkata, “Ketika berada (duduk) di bawah gundukan rumah semut ini dan berkicau, saya bisa melakukannya dengan merdu, tetapi saya tidak bisa melakukannya di tempat yang lain. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya.” Berikutnya, seorang makhluk dewata penghuni sebuah pohon (dewa pohon) melihatnya dan berkata, “Anda hendak pergi ke mana, Canda?” “Pergi menjumpai raja.” “Raja adalah seorang yang bijak, demikian dikatakan oleh orang-orang. Dulu, saya amat dihormati, sekarang saya tidak lagi mendapatkan apa-apa, bahkan segenggam rebung. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya. Berikutnya, seekor raja nāga (naga) melihatnya dan berkata, “Raja adalah seorang yang bijak, demikian dikatakan oleh orang-orang. Tolong tanyakanlah sebuah pertanyaan dariku kepadanya. Dulu, air di sini bening bagaikan kristal, mengapa sekarang air di sini menjadi keruh, ditumbuhi oleh lumut di sekelilingnya?” Berikutnya, tidak jauh dari sebuah kota, beberapa petapa yang tinggal di dalam taman melihatnya, dan berkata dengan cara yang sama, “Raja adalah orang bijak, demikian dikatakan oleh orang-orang. Dulu terdapat banyak buah-buah manis di dalam taman ini, tetapi sekarang buah-buah itu telah menjadi tidak enak dan kering. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya.” Berikutnya lagi, beberapa murid brahmana yang sedang berada di dalam sebuah balai di gerbang sebuah kota, berkata kepadanya, “Anda hendak pergi ke mana, Canda?” “Pergi menjumpai raja,” balasnya. “Tolong tanyakanlah sebuah pertanyaan dari kami kepadanya. Dulu, pelajaran apa pun yang kami pelajari jelas dan dimengerti, sekarang tidak lagi, pelajarannya tidak dimengerti dan semuanya gelap, bagaikan air yang berada di dalam kendi bocor. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya.”
Gamanicanda akhirnya tiba di hadapan raja dengan empat belas pertanyaannya. Ketika bertemu dengannya, raja mengenali dirinya. “Orang ini adalah pelayan ayahku, yang biasa menimangku dalam pelukannya. Tinggal di manakah dia sekarang?” Kemudian raja bertanya, “Gamanicanda, di manakah Anda tinggal sekarang? Sudah lama tidak berjumpa denganmu, apa yang membuatmu datang ke sini?” “Oh, Paduka, setelah Yang Mulia ayahanda raja meninggal dunia dan terlahir di alam surga, saya pun pindah ke sebuah desa dan hidup bertani. Kemudian orang ini menuntutku karena kerbaunya, dan dia membawaku ke sini.” “Kalau Anda tidak dibawa datang ke sini, Anda pasti tidak pernah datang (lagi); saya senang Anda dibawa ke sini. Saya bisa berjumpa kembali denganmu. Yang mana orang itu?” “Ini, Paduka.” “Apakah Anda yang membawa Gamanicanda ke sini?” “Benar, Paduka.” “Ada apa?” “Dia tidak mau mengembalikan dua ekor kerbauku!” “Benarkah itu, Canda?” “Dengarkanlah ceritaku juga, Paduka!” kata Canda, dan kemudian memberitahukan semuanya kepada raja. Setelah mendengar ceritanya, raja bertanya kepada sang pemilik kerbau, “Apakah Anda melihat kerbau-kerbau itu masuk ke dalam kandangnya?” “Tidak, Paduka,” jawabnya. “Tidak pernahkah Anda mendengar namaku? Orang-orang memanggilku Wajah Cermin. Jawablah dengan jujur.” “Saya melihatnya, Paduka!” katanya kemudian. “Canda,” kata raja, “Anda gagal dalam mengembalikan kerbau-kerbau itu, oleh karenanya Anda berutang atas hilangnya kerbau-kerbau itu. Tetapi orang ini, sewaktu mengatakan dia tidak melihat kerbau-kerbau itu, telah melakukan kebohongan secara langsung. Oleh karena itu pula, maka Anda harus mencungkil matanya keluar dan Anda harus membayar kepadanya sebanyak dua puluh empat keping sebagai bayaran atas kerbau-kerbau itu.” Kemudian para pengawal membawa pemilik kerbau itu ke luar. “Jika saya kehilangan mata, apa lagi untungnya mendapatkan uang?” pikirnya. Dan dia bersujud di kaki Gamani, memohon kepadanya, “Tuan Canda, simpan saja uang dua puluh empat keping itu dan ambillah uang ini!” Dia memberikannya kepingan-kepingan uang lainnya dan kemudian lari. Orang kedua berkata, “Paduka, orang ini memukul istriku, dan menyebabkan dirinya mengalami keguguran.” “Benarkah itu, Canda?” tanya raja. Canda memohon raja untuk mendengar ceritanya, kemudian menceritakan semuanya. Apakah Anda benar-benar memukulnya dan menyebabkan dia mengalami keguguran?” tanya raja. “Tidak, Paduka! Saya tidak melakukan hal seperti itu.” “Sekarang, dapatkah,”—kepada sang suami—“Anda mengembalikan kehamilan dari keguguran yang disebabkannya?” “Tidak bisa, Paduka.” “Apa yang Anda inginkan?” “Saya ingin mendapatkan seorang putra.” “Kalau begitu, Canda, bawalah istri dari laki-laki ini ke rumahmu; dan di saat Anda mendapatkan kelahiran seorang putra, bawalah putra itu kepada orang ini.” Kemudian orang itu juga bersujud di kaki Gamani, berkata, “Jangan hancurkan rumah (tanggaku), Tuan!” Dan dia memberikan uang kepadanya, kemudian pergi. Orang ketiga menuduh Canda membuat kaki kudanya menjadi patah. Seperti sebelumnya, Canda menceritakan apa yang terjadi. Kemudian raja bertanya kepada tukang kuda, “Benarkah bahwasanya Anda meminta Canda untuk memukul kudamu dan mengarahkannya kembali?” “Tidak, Paduka, tidak.” Akan tetapi, ketika terus-menerus didesak, akhirnya dia pun mengakui bahwa benar dia mengatakan demikian. “Orang ini,” kata raja, “telah melakukan suatu kebohongan secara langsung, dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah memintamu untuk membuat kuda itu mengarah kembali kepadanya. Anda boleh mencabut lidahnya keluar, kemudian bayarlah seribu keping uang, yang akan saya berikan kepadamu nantinya, kepada orang itu sebagai ganti rugi atas kudanya.” Orang tersebut kemudian malah memberikan sejumlah uang kepadanya, dan pergi. Kemudian anak tukang tenun itu berkata, “Orang ini adalah seorang pembunuh, dia membunuh ayahku!” “Benarkah demikian, Canda?” “Dengarkanlah ceritaku, Paduka,” kata Canda, dan memberitahukan semuanya kepada raja. “Sekarang, apa yang Anda inginkan?” tanya raja (kepada anak tersebut). “Paduka, saya menginginkan ayahku.” “Canda,” kata raja, “Dia menginginkan seorang ayah. Tetapi Anda tidak mungkin membangkitkannya kembali dari kematian. Kalau begitu, bawalah ibunya ke rumahmu, dan jadilah seorang ayah baginya.” “Oh, Tuan!” kata anak laki-laki itu, “jangan merusak rumah ayahku yang sudah meninggal!” Dia pun memberikan sejumlah uang kepada Gamani, dan pergi dengan tergesa-gesa. Demikianlah Gamani memenangkan sejumlah penuntutan atas dirinya, dan dalam kegembiraannya, dia berkata kepada raja, “Paduka, saya memiliki beberapa pertanyaan untukmu yang dititipkan oleh beberapa orang. Boleh saya tanyakan kepada Anda sekarang?” “Tanyakan saja,” kata raja. Gamani menanyakannya kepada raja dalam urutan terbalik, dimulai dari para murid brahmana. Raja pun menjawab semuanya secara bergiliran. Atas pertanyaan pertama, raja menjawab, “Di tempat mereka tinggal, dulunya terdapat seekor ayam jantan yang berkokok tepat pada waktunya. Ketika mendengar kokok ayam jantan ini, mereka akan bangun, mengulangi pelajaran mereka sampai matahari terbit. Dengan demikian mereka tidak lupa akan apa yang telah mereka pelajari. Tetapi sekarang terdapat seekor ayam jantan yang berkokok tidak pada waktunya; dia berkokok pada tengah malam atau hari menjelang siang. Ketika dia berkokok di tengah malam, mereka bangun tetapi mereka terlalu mengantuk untuk mengulangi pelajaran, dan ketika dia berkokok ketika hari menjelang siang, mereka bangun tetapi mereka tidak memiliki waktu untuk mengulangi pelajaran mereka lagi. Dengan demikian, apa pun yang mereka pelajari akan segera terlupakan oleh mereka.” Atas pertanyaan kedua, raja menjawab, “Dulunya para petapa itu menjalankan segala kewajiban petapa mereka, dan melakukan (praktik) meditasi kasiṇa . Tetapi sekarang, mereka telah mengabaikan kewajiban petapa, dan mereka melakukan apa yang tidak seharusnya dilakukan; buah-buahan yang tumbuh di dalam taman itu diberikan kepada para pelayan mereka; mereka menjalani hidup dengan cara yang salah, saling menukar (dan memberi) benda-benda derma. Inilah sebabnya mengapa buah-buah itu tidak manis rasanya. [308] Jika mereka kembali menjalankan kewajiban petapa mereka, maka buah-buah itu akan menjadi manis kembali rasanya. Para petapa itu tidak tahu akan kebijaksanaan raja; beri tahu mereka untuk menjalankan kewajiban petapa kembali. Atas pertanyaan ketiga, raja menjawab, “Para raja naga itu berselisih satu sama lain, itulah sebabnya mengapa air itu menjadi keruh. Jika mereka bisa berdamai seperti sebelumnya, maka air itu juga akan menjadi bening kembali. Atas pertanyaan keempat, raja menjawab, “Dulu dewa pohon itu melindungi orang-orang yang melewati hutannya, dan oleh karena itu dia mendapatkan banyak persembahan. Sekarang, dia tidak lagi melindungi orang-orang yang melewati hutannya sehingga dia pun tidak lagi mendapatkan persembahan. Jika dia kembali melindungi mereka seperti sebelumnya, maka dia akan mendapatkan persembahan. Dia tidak tahu bahwa ada raja di kehidupan ini. Beri tahu dia untuk melindungi orang-orang yang melewati hutannya.” Atas pertanyaan kelima, raja menjawab, “Di bawah gundukan rumah semut itu tempat burung ketitir tersebut dapat berkicau dengan merdu terdapat sebuah kumba harta; galilah dan ambillah kumba itu.” Atas pertanyaan keenam, raja menjawab, “Di atas pohon itu, yang di bawahnya rusa itu merasa bisa memakan rumputrumputnya, terdapat sebuah sarang madu. Dia sudah terlalu terikat kepada rumput-rumput yang dibasahi oleh madu yang menetes dari sarang lebah tersebut sehingga dia tidak bisa memakan rumput yang lainnya. Ambillah sarang madu itu, bawakan yang terbaik untukku dan makanlah sisanya.”
Atas pertanyaan ketujuh, raja menjawab, “Di bawah gundukan rumah semut milik ular itu terdapat sebuah kumba harta, dan dia tinggal di sana untuk menjaganya. Jadi ketika keluar, dikarenakan keserakahannya terhadap harta tersebut, badannya menjadi terhalangi. Tetapi, setelah makan, keserakahannya terhadap harta tersebut menjadi berkurang sehingga membuat badannya tidak terhalangi, dan bisa masuk dengan cepat dan mudah ke dalamnya. Galilah dan simpanlah harta karun tersebut.” Atas pertanyaan kedelapan, raja menjawab, “Di antara desa tempat suami wanita tersebut tinggal dan desa tempat orang tua wanita tersebut tinggal, terdapat sebuah rumah tempat seorang kekasihnya tinggal. Wanita itu selalu teringat akan kekasihnya ini dan keinginan hatinya selalu tertuju kepada kekasihnya ini; oleh karenanya, wanita itu tidak bisa tinggal dengan tenang di dalam rumah suaminya, dia selalu mengatakan bahwa dia ingin pergi menjenguk orang tuanya, di tengah perjalanan dia selalu tinggal bersama dengan kekasihnya selama beberapa hari. Setelah berada di rumah orang tuanya selama beberapa hari, dia akan kembali lagi menjumpai kekasihnya. Beri tahu dirinya bahwa ada raja di dalam kehidupan ini; katakan kepadanya bahwa dia harus tinggal bersama dengan suaminya saja, dan jika dia tidak mau, maka dia akan mendapatkan sesuatu, raja akan memerintahkan pengawal untuk menangkapnya dan dia akan mati.” Atas pertanyaan kesembilan, raja menjawab, “Dulu, wanita penghibur itu hanya menerima bayaran dari tangan satu laki-laki saja, dan tidak pergi dengan laki-laki lain sebelum dia selesai dengan laki-laki yang pertama, sehingga dia bisa mendapatkan banyak uang. Sekarang dia telah mengubah kelakuannya, sebelum selesai dengan satu laki-laki, dia pergi dengan laki-laki yang lain, sehingga dia tidak mendapatkan apa pun dan tidak ada yang menginginkannya. Jika dia kembali berkelakuan seperti sebelumnya, maka keadaannya juga akan kembali seperti sediakala. Beri tahu dirinya bahwa dia harus kembali berkelakuan seperti itu.” Atas pertanyaan kesepuluh, raja menjawab, “Dulu, kepala desa itu memberikan keputusan dengan adil sehingga orang-orang merasa senang dan gembira bersama dengannya, dan dalam kebahagiaan, mereka memberikannya banyak hadiah. Inilah yang membuatnya menjadi terlihat rupawan, kaya, terhormat dan sehat. Sekarang dia menjadi menerima suap dan keputusan yang dibuatnya menjadi tidak adil sehingga dia menjadi miskin dan terlihat pucat. Jika dia kembali memberikan keputusan dengan adil, maka dia juga akan menjadi seperti sediakala. Dia tidak tahu bahwa ada raja di dalam kehidupan ini. Beri tahu dirinya bahwa dia harus adil dalam memberikan keputusan.” Demikian Gamani menyampaikan pertanyaanpertanyaan itu, sama seperti yang diberitahukan kepada dirinya. Setelah memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan kebijaksanaannya, layaknya Buddha Yang Mahatahu, raja memberikan banyak hadiah kepada Gamanicanda; dan desa tempat Gamani tinggal itu pun diberikan kepadanya, sebagai hadiah seorang brahmana, dan mengizinkannya pergi. Gamanicanda kemudian pergi dari kerajaan, dan memberitahukan jawaban-jawaban itu kepada para murid brahmana, petapa, raja naga, dewa pohon; dia mengambil harta dari tempat burung ketitir itu berada (duduk), sarang madu dari pohon tempat rusa itu makan rumput di bawahnya kemudian mengirimkan madunya kepada raja; dia menerobos masuk gundukan rumah semut tempat ular itu tinggal dan mengeluarkan kumba harta di dalamnya; dan kepada wanita (rumah tangga), wanita penghibur, dan kepala desa itu, dia memberitahukan jawaban-jawabannya sama seperti yang diberitahukan oleh raja kepadanya. Kemudian dia kembali ke desanya, tinggal di sana selama sisa hidupnya, kemudian meninggal dan menerima buah (hasil perbuatan) sesuai dengan perbuatannya. Dan Raja Adasamukha mempraktikkan pemberian derma dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya, kemudian setelah wafat, terlahir kembali di alam surga.
Setelah menyampaikan uraian ini, untuk menunjukkan bahwa bukan hanya kali ini saja Sang Tathāgata adalah orang yang bijak, tetapi sebelumnya juga Beliau adalah orang yang bijak, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka (di akhir kebenarannya, banyak orang yang mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, Sakadāgāmi , Anāgāmi, dan bahkan Arahat): “Pada masa itu, Ānanda adalah Gamanicanda ( Gāmaṇicaṇḍa ), dan Raja Adasamukha ( Ādāsamukha ) adalah diri-Ku sendiri.
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang pujian terhadap kebijaksanaan. Di dalam balai kebenaran, para bhikkhu duduk, memuji kebijaksanaan Sang Dasabala: “ Āvuso , Sang Tathāgata memiliki kebijaksanaan yang agung, kebijaksanaan yang luas, kebijaksanaan yang menyenangkan, kebijaksanaan yang cepat, keijaksanaan yang tajam, kebijaksanaan yang menembus. Dalam kebijaksanaan, Beliau unggul di alam manusia ini dan juga unggul di alam para dewa.” Sang Guru berjalan masuk, dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk di sana. Mereka memberi tahu Beliau. Beliau kemudian berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, Tathāgata menjadi orang yang bijak, sebelumnya juga Beliau adalah orang yang bijak.” Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Janasandha memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari permaisurinya. Wajahnya rupawan dan cerah, memiliki penampilan dari keindahan yang membawa keberuntungan, bagaikan cermin emas yang dipoles dengan indah. Pada hari pemberian namanya, mereka memberinya nama Ādāsamukha (Adasamukha), Wajah Cermin. Dalam kurun waktu tujuh tahun, ayahnya membuat dia diajari pengetahuan tiga kitab Weda dan semua kewajiban yang harus dilakukannya. Raja meninggal ketika anak laki-laki itu berusia tujuh tahun. Para menteri melakukan upacara pemakamam raja yang dihadiri oleh rombongan banyak orang, memberikan persembahan kepadanya. Pada hari ketujuh, mereka berkumpul bersama di dalam istana dan berdiskusi. Pangeran masih sangat muda, pikir mereka, dan dia tidak bisa dinobatkan menjadi raja. Sebelum menobatkannya menjadi raja, mereka mengujinya terlebih dahulu. Maka mereka menyiapkan pengadilan istana, dan sebuah dipan. Kemudian mereka menghadap kepada pangeran itu dan berkata, “Anda harus datang, Yang Mulia, ke pengadilan istana.” Pangeran mengikuti perkataan mereka; dan dengan rombongan yang besar dia pergi ke sana, duduk di dipan tersebut. Sebelum raja duduk untuk mengadili (kasus), mereka telah mendandani seekor kera dengan mengenakan pakaian seorang laki-laki yang ahli dalam ilmu pengetahuan yang mampu memberitahukan tempat-tempat yang baik untuk sebuah bangunan pada kera itu. Mereka membuat kera itu berjalan dengan dua kaki dan membawanya masuk ke balai pengadilan. “Yang Mulia,” kata mereka, “semasa pemerintahan raja, ayah Anda, orang inilah yang mengenali tempat-tempat yang baik dengan kekuatan gaibnya, dan dia sangat ahli dalam kemampuan ini. Jauh di bawah bumi, sedalam tujuh ratana, dia mampu melihat (jika ada) sesuatu yang buruk. Dengan bantuannya, ada sebuah tempat yang dipilih untuk kediaman raja. Mohon Yang Mulia memberikan imbalan kepadanya, dan memberikan jabatan kepadanya.” Pangeran memindai dirinya dari kepala sampai kaki. “Ini bukan seorang manusia, melainkan ini adalah seekor kera,” pikirnya, “dan kera bisa menghancurkan apa yang telah dibuat oleh orang lain, kera tidak bisa membuat apa-apa atau mengerjakan hal yang demikian.” Maka demikian dia mengulangi bait pertama berikut:
Dia bukanlah seorang tukang bangunan yang ahli, dia adalah seekor kera yang memiliki wajah keriput; Dia bisa menghancurkan apa yang dibuat orang lain; itulah kebiasaan bangsanya.
“Memang benar demikian, Yang Mulia!” kata para menterinya, dan mereka membawa kera itu pergi. Tetapi setelah satu atau dua hari berlalu, mereka mendandani makhluk yang sama dalam pakaian yang mewah dan membawanya kembali ke dalam balai pengadilan. “Semasa pemerintahan raja, ayah Anda, orang ini adalah seorang hakim yang memutuskan suatu perkara. Anda sebaiknya menerima dirinya untuk membantu dalam memutuskan perkara pengadilan secara adil.” Pangeran memerhatikan dirinya, kemudian berpikir, “Seorang manusia yang memiliki (akal) pikiran dan pertimbangan tidaklah memiliki bulu yang demikian banyak seperti dirinya. Kera yang tidak memiliki pikiran ini tidaklah mampu membuat keputusan secara adil.” Dan dia mengulangi bait kedua berikut:
Tidak ada (akal) pikiran dalam diri makhluk berbulu ini; dia tidak bisa memberikan kepercayaan; Dia tidak tahu apa-apa, seperti yang diajarkan oleh ayahku: hewan ini tidak memiliki pengetahuan!
“Memang benar, Yang Mulia!” kata para menterinya, dan mereka membawanya pergi. Kemudian, sekali lagi, mereka mendandani kera yang sama dan membawanya ke balai pengadilan. “Yang Mulia,” kata mereka, “semasa pemerintahan raja, ayah Anda, orang ini melaksanakan segala kewajibannya kepada ayah dan ibu, dan memberi hormat kepada orang-orang tua di dalam keluarganya. Anda harus mempekerjakannya.” Pangeran memerhatikan dirinya sekali lagi dan berpikir, “Kera memiliki pikiran yang selalu berubah-ubah; hal yang demikian tidak mungkin bisa dilakukan olehnya.” Dan dia mengulangi bait ketiga berikut:
Satu hal yang pernah Dasaratha ajarkan kepadaku: makhluk yang demikian ini tidak akan pernah memberikan bantuan kepada ayah atau ibu, kakak atau adik, atau siapa pun yang menyebutnya sebagai teman!
“Memang benar, Yang Mulia!” jawab para menterinya, dan mereka membawanya pergi. Kemudian mereka berkata satu sama lain, “Ini adalah seorang pangeran yang bijak. Dia pasti bisa memerintah (kerajaan).” Mereka menobatkan Bodhisatta menjadi raja; dan di seluruh penjuru kota, dengan tabuhan genderang, mereka mengumumkannya, dengan menyerukan, “Raja Adasamukha!” Sejak saat itu, Bodhisatta memerintah dengan benar dan kebijaksanaannya tersebar luas di seluruh Jambudīpa (India). Untuk menunjukkan masalah kebijaksanaannya, empat belas masalah berikut dibawa ke hadapannya untuk diselesaikan:
Seekor kerbau, seorang laki-laki, seekor kuda, seorang tukang tenun, seorang kepala desa, seorang wanita penghibur, seorang gadis, seekor ular, seekor rusa, seekor ketitir, seorang makhluk dewata, seekor nāga (naga), para petapa dan brahmana.
Kejadian-kejadian tersebut di atas akan dijelaskan sekarang. Ketika Bodhisatta dinobatkan sebagai raja, seorang pelayan Raja Janasandha yang bernama Gāmaṇicaṇḍa (Gamanicanda), berpikir demikian di dalam dirinya, “Kerajaan ini akan menjadi lebih berjaya jika dipimpin oleh mereka-mereka yang masih seusia dengan raja. Saya sudah tua sekarang, dan saya tidak bisa melayani seorang pangeran muda lagi. Saya akan menghidupi diriku sendiri dengan bertani di desa.” Maka dia pergi meninggalkan kota pada jarak sejauh tiga yojana, dan tinggal di sebuah desa. Akan tetapi, dia tidak memiliki kerbau untuk bertani. Dan demikian, setelah musim hujan tiba, dia memohon kepada seorang temannya untuk meminjamkan dua ekor kerbau kepadanya. Sepanjang hari dia membajak dengan kedua kerbau itu, kemudian memberi mereka makan rumput, dan pergi ke rumah pemilik kerbau untuk mengembalikan kerbaukerbau miliknya. Pada waktu itu, pemilik kerbau sedang makan bersama dengan istrinya; kerbau-kerbau itu masuk ke dalam kandang, tenang berada di dalam rumahnya. Di saat mereka masuk, pemilik kerbau itu sedang mengangkat piringnya naik ke atas dan istrinya sedang menurunkan piringnya. Melihat mereka tidak mengundangnya untuk makan bersama, Gamanicanda pun pergi tanpa menyerahkan kerbau-kerbau itu secara resmi kepada mereka. Di malam hari, para perampok membobol masuk kandang kerbau dan mencuri mereka. Keesokan paginya, sang pemilik kerbau masuk ke kandang kerbaunya, dan melihat hewan peliharaannya tidak ada di sana; dia menduga bahwa kerbaukerbaunya dicuri oleh para perampok. “Akan kubuat Gamani membayar ganti rugi ini!” pikirnya, dan dia pun pergi menjumpai Gamani. “Kembalikan kerbau-kerbauku!” teriaknya. “Apa mereka tidak ada di dalam kandangnya?” “Apakah kamu ada mengembalikan mereka kepadaku?” “Tidak.” “Ini adalah pengawal kerajaan: ayo ikut!” Kala itu, orang-orang memiliki suatu peraturan bahwasanya ketika mereka memungut sebuah batu atau tanah liat, kemudian berkata—‘Ini adalah pengawal kerajaan; ayo ikut!’ orang yang menolak untuk pergi akan mendapatkan hukuman. Maka ketika mendengar kata ‘pengawal kerajaan’, Gamani pun terpaksa ikut. Mereka berdua pergi menuju ke balai pengadilan raja. Dalam perjalanannya, mereka tiba di sebuah desa, tempat seorang teman Gamani tinggal. “Saya sangat lapar. Tunggulah di sini, saya akan masuk ke dalam dan mencari sesuatu untuk dimakan!” Dan dia masuk ke dalam rumah temannya itu. Tetapi temannya sedang tidak berada di rumah. Istrinya berkata, “Tuan, tidak ada makanan. Tunggulah sebentar, saya akan masak dan menghidangkannya kepadamu.” Wanita itu menaiki sebuah tangga untuk mengambil jagung, dan karena tergesa-gesa, dia pun terjatuh ke tanah. Saat itu, dia sedang hamil tujuh bulan; dia mengalami keguguran. Persis ketika itu terjadi, suaminya pulang ke rumah dan melihat apa yang terjadi. “Kamu memukul istriku,” teriaknya, “dan menyebabkan dia mengalami keguguran! Ini adalah pengawal kerajaan—ayo ikut!” dan dia pun membawanya pergi. Setelah kejadian ini, mereka melanjutkan perjalanannya, dengan Gamani berada di antara kedua orang tersebut. Ketika mereka berjalan, terlihat seekor kuda yang berada di gerbang suatu desa; tukang kudanya tidak bisa menghentikannya, kuda itu berlari ke arah mereka. Tukang kuda itu berteriak kepada Gamani, “Paman Gamanicanda, pukullah kuda itu dengan sesuatu dan buat dia berlari kembali ke sini!” Gamani mengambil sebuah batu dan melemparkannya pada kuda itu. Batu tersebut mengenai satu kakinya dan mematahkannya seperti tangkai tanaman eraṇḍa . Kemudian tukang kuda itu berkata kepadanya, “Oh, Anda telah mematahkan kaki kudaku! Ini adalah pengawal kerajaan—ayo ikut!” dan dia pun menahannya. Demikianlah Gamani menjadi tawanan dari ketiga orang tersebut. Ketika mereka membawanya melanjutkan perjalanan, Gamani berpikir, “Kedua orang ini akan melaporkanku kepada raja; saya tidak mampu membayar (ganti rugi) atas kerbau, tidak mampu membayar atas keguguran, dan tidak mampu membayar atas kuda. Lebih baik saya mati saja.” Maka, ketika mereka sedang berjalan, dia melihat sebuah hutan yang ada di dekat jalan, yang di dalamnya terdapat sebuah bukit dengan jurang di sisinya. Di bawah jurang tersebut terdapat dua orang tukang tenun, seorang ayah dan anaknya, yang sedang menenun sebuah tikar. Gamani kemudian berkata, “Saya ingin buang air sebentar: Tunggulah di sini selagi saya pergi ke sana.” Setelah berkata demikian, dia pun memanjat bukit tersebut kemudian terjun ke bawah jurang. Dia terjatuh tepat di bagian punggung sang ayah, tukang tenun, dan menyebabkan dia mati di tempat. Gamani kemudian bangun dan berdiri diam tidak bergerak. “Kamu telah membunuh ayahku!” teriak sang anak, tukang tenun, “ini adalah pengawal kerajaan—ayo ikut!” Dia menggenggam tangan Gamani dan membawanya keluar dari dalam hutan tersebut. “Ada apa ini?” tanya ketiga orang tersebut. “Orang jahat ini telah membunuh ayahku!” Mereka pun melanjutkan perjalanan, mereka berempat dengan Gamani di tengah. Mereka kemudian tiba di suatu desa yang lain. Kepala desa itu yang melihat Gamani berkata, “Paman Gamani, Anda hendak pergi ke mana?” “Pergi menjumpai raja,” balasnya. “Oh, menjumpai raja, kebetulan sekali. Saya ingin menanyakan sesuatu kepada raja, maukah Anda menyampaikannya untukku?” “Ya, akan saya sampaikan.” “Begini, dulu saya terlihat rupawan, kaya, terhormat dan sehat, tetapi sekarang saya menjadi miskin dan terlihat pucat. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya. Raja adalah seorang yang bijak, demikian dikatakan oleh orang-orang; dia pasti bisa memberitahukan jawabannya kepadamu, dan tolong beri tahukan jawabannya kepadaku nanti.” Gamani mengiyakannya. Di desa berikutnya, seorang wanita penghibur menyapanya, “Paman Gamani, Anda hendak pergi ke mana?” “Pergi menjumpai raja,” balasnya. “Raja adalah seorang yang bijak, demikian dikatakan oleh orang-orang; tolong tanyakanlah sebuah pertanyaan dariku kepadanya,” kata wanita itu. [303] “Dulu saya bisa mendapatkan banyak uang, sekarang saya tidak bisa mendapatkan uang sedikit pun, bahkan untuk membeli sirih206, tidak ada yang menginginkan diriku lagi. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya, dan tolong beri tahukan jawabannya kepadaku nanti.” Dalam perjalanan selanjutnya, di sebuah desa berikutnya, terdapat seorang wanita yang berkata demikian kepada Gamani, “Saya tidak bisa tinggal dengan tenang bersama dengan suami atau dengan keluargaku sendiri. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya, dan tolong beri tahukan jawabannya kepadaku nanti.” Selanjutnya, seekor ular yang tinggal di dalam suatu gundukan rumah semut di tepi jalan, melihat Gamani dan menyapanya, “Anda hendak pergi ke mana, Gamanicanda?” “Pergi menjumpai raja.” “Raja adalah seorang yang bijak, demikian dikatakan oleh orang-orang; tolong tanyakanlah sebuah pertanyaan dariku kepadanya. Di saat saya keluar untuk mencari makanan, (di saat) saya merasa lemah dan lapar, badanku terhalangi oleh lubang masuk sehingga membuatku bersusah payah untuk dapat keluar, dengan menyeret-nyeret tubuhku. Akan tetapi, di saat saya kembali, (di saat) saya merasa bertenaga dan kenyang, dengan cepat saya bisa melalui lubang masuk itu tanpa menyentuh sisi-sisinya. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya, dan tolong beri tahukan jawabannya kepadaku nanti.” Selanjutnya, seekor rusa melihatnya dan berkata, “Saya tidak bisa memakan rumput-rumput di tempat yang lain, kecuali di bawah pohon ini. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya.” Berikutnya, seekor burung ketitir berkata, “Ketika berada (duduk) di bawah gundukan rumah semut ini dan berkicau, saya bisa melakukannya dengan merdu, tetapi saya tidak bisa melakukannya di tempat yang lain. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya.” Berikutnya, seorang makhluk dewata penghuni sebuah pohon (dewa pohon) melihatnya dan berkata, “Anda hendak pergi ke mana, Canda?” “Pergi menjumpai raja.” “Raja adalah seorang yang bijak, demikian dikatakan oleh orang-orang. Dulu, saya amat dihormati, sekarang saya tidak lagi mendapatkan apa-apa, bahkan segenggam rebung. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya. Berikutnya, seekor raja nāga (naga) melihatnya dan berkata, “Raja adalah seorang yang bijak, demikian dikatakan oleh orang-orang. Tolong tanyakanlah sebuah pertanyaan dariku kepadanya. Dulu, air di sini bening bagaikan kristal, mengapa sekarang air di sini menjadi keruh, ditumbuhi oleh lumut di sekelilingnya?” Berikutnya, tidak jauh dari sebuah kota, beberapa petapa yang tinggal di dalam taman melihatnya, dan berkata dengan cara yang sama, “Raja adalah orang bijak, demikian dikatakan oleh orang-orang. Dulu terdapat banyak buah-buah manis di dalam taman ini, tetapi sekarang buah-buah itu telah menjadi tidak enak dan kering. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya.” Berikutnya lagi, beberapa murid brahmana yang sedang berada di dalam sebuah balai di gerbang sebuah kota, berkata kepadanya, “Anda hendak pergi ke mana, Canda?” “Pergi menjumpai raja,” balasnya. “Tolong tanyakanlah sebuah pertanyaan dari kami kepadanya. Dulu, pelajaran apa pun yang kami pelajari jelas dan dimengerti, sekarang tidak lagi, pelajarannya tidak dimengerti dan semuanya gelap, bagaikan air yang berada di dalam kendi bocor. Tolong tanyakan kepada raja apa penyebabnya.”
Gamanicanda akhirnya tiba di hadapan raja dengan empat belas pertanyaannya. Ketika bertemu dengannya, raja mengenali dirinya. “Orang ini adalah pelayan ayahku, yang biasa menimangku dalam pelukannya. Tinggal di manakah dia sekarang?” Kemudian raja bertanya, “Gamanicanda, di manakah Anda tinggal sekarang? Sudah lama tidak berjumpa denganmu, apa yang membuatmu datang ke sini?” “Oh, Paduka, setelah Yang Mulia ayahanda raja meninggal dunia dan terlahir di alam surga, saya pun pindah ke sebuah desa dan hidup bertani. Kemudian orang ini menuntutku karena kerbaunya, dan dia membawaku ke sini.” “Kalau Anda tidak dibawa datang ke sini, Anda pasti tidak pernah datang (lagi); saya senang Anda dibawa ke sini. Saya bisa berjumpa kembali denganmu. Yang mana orang itu?” “Ini, Paduka.” “Apakah Anda yang membawa Gamanicanda ke sini?” “Benar, Paduka.” “Ada apa?” “Dia tidak mau mengembalikan dua ekor kerbauku!” “Benarkah itu, Canda?” “Dengarkanlah ceritaku juga, Paduka!” kata Canda, dan kemudian memberitahukan semuanya kepada raja. Setelah mendengar ceritanya, raja bertanya kepada sang pemilik kerbau, “Apakah Anda melihat kerbau-kerbau itu masuk ke dalam kandangnya?” “Tidak, Paduka,” jawabnya. “Tidak pernahkah Anda mendengar namaku? Orang-orang memanggilku Wajah Cermin. Jawablah dengan jujur.” “Saya melihatnya, Paduka!” katanya kemudian. “Canda,” kata raja, “Anda gagal dalam mengembalikan kerbau-kerbau itu, oleh karenanya Anda berutang atas hilangnya kerbau-kerbau itu. Tetapi orang ini, sewaktu mengatakan dia tidak melihat kerbau-kerbau itu, telah melakukan kebohongan secara langsung. Oleh karena itu pula, maka Anda harus mencungkil matanya keluar dan Anda harus membayar kepadanya sebanyak dua puluh empat keping sebagai bayaran atas kerbau-kerbau itu.” Kemudian para pengawal membawa pemilik kerbau itu ke luar. “Jika saya kehilangan mata, apa lagi untungnya mendapatkan uang?” pikirnya. Dan dia bersujud di kaki Gamani, memohon kepadanya, “Tuan Canda, simpan saja uang dua puluh empat keping itu dan ambillah uang ini!” Dia memberikannya kepingan-kepingan uang lainnya dan kemudian lari. Orang kedua berkata, “Paduka, orang ini memukul istriku, dan menyebabkan dirinya mengalami keguguran.” “Benarkah itu, Canda?” tanya raja. Canda memohon raja untuk mendengar ceritanya, kemudian menceritakan semuanya. Apakah Anda benar-benar memukulnya dan menyebabkan dia mengalami keguguran?” tanya raja. “Tidak, Paduka! Saya tidak melakukan hal seperti itu.” “Sekarang, dapatkah,”—kepada sang suami—“Anda mengembalikan kehamilan dari keguguran yang disebabkannya?” “Tidak bisa, Paduka.” “Apa yang Anda inginkan?” “Saya ingin mendapatkan seorang putra.” “Kalau begitu, Canda, bawalah istri dari laki-laki ini ke rumahmu; dan di saat Anda mendapatkan kelahiran seorang putra, bawalah putra itu kepada orang ini.” Kemudian orang itu juga bersujud di kaki Gamani, berkata, “Jangan hancurkan rumah (tanggaku), Tuan!” Dan dia memberikan uang kepadanya, kemudian pergi. Orang ketiga menuduh Canda membuat kaki kudanya menjadi patah. Seperti sebelumnya, Canda menceritakan apa yang terjadi. Kemudian raja bertanya kepada tukang kuda, “Benarkah bahwasanya Anda meminta Canda untuk memukul kudamu dan mengarahkannya kembali?” “Tidak, Paduka, tidak.” Akan tetapi, ketika terus-menerus didesak, akhirnya dia pun mengakui bahwa benar dia mengatakan demikian. “Orang ini,” kata raja, “telah melakukan suatu kebohongan secara langsung, dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah memintamu untuk membuat kuda itu mengarah kembali kepadanya. Anda boleh mencabut lidahnya keluar, kemudian bayarlah seribu keping uang, yang akan saya berikan kepadamu nantinya, kepada orang itu sebagai ganti rugi atas kudanya.” Orang tersebut kemudian malah memberikan sejumlah uang kepadanya, dan pergi. Kemudian anak tukang tenun itu berkata, “Orang ini adalah seorang pembunuh, dia membunuh ayahku!” “Benarkah demikian, Canda?” “Dengarkanlah ceritaku, Paduka,” kata Canda, dan memberitahukan semuanya kepada raja. “Sekarang, apa yang Anda inginkan?” tanya raja (kepada anak tersebut). “Paduka, saya menginginkan ayahku.” “Canda,” kata raja, “Dia menginginkan seorang ayah. Tetapi Anda tidak mungkin membangkitkannya kembali dari kematian. Kalau begitu, bawalah ibunya ke rumahmu, dan jadilah seorang ayah baginya.” “Oh, Tuan!” kata anak laki-laki itu, “jangan merusak rumah ayahku yang sudah meninggal!” Dia pun memberikan sejumlah uang kepada Gamani, dan pergi dengan tergesa-gesa. Demikianlah Gamani memenangkan sejumlah penuntutan atas dirinya, dan dalam kegembiraannya, dia berkata kepada raja, “Paduka, saya memiliki beberapa pertanyaan untukmu yang dititipkan oleh beberapa orang. Boleh saya tanyakan kepada Anda sekarang?” “Tanyakan saja,” kata raja. Gamani menanyakannya kepada raja dalam urutan terbalik, dimulai dari para murid brahmana. Raja pun menjawab semuanya secara bergiliran. Atas pertanyaan pertama, raja menjawab, “Di tempat mereka tinggal, dulunya terdapat seekor ayam jantan yang berkokok tepat pada waktunya. Ketika mendengar kokok ayam jantan ini, mereka akan bangun, mengulangi pelajaran mereka sampai matahari terbit. Dengan demikian mereka tidak lupa akan apa yang telah mereka pelajari. Tetapi sekarang terdapat seekor ayam jantan yang berkokok tidak pada waktunya; dia berkokok pada tengah malam atau hari menjelang siang. Ketika dia berkokok di tengah malam, mereka bangun tetapi mereka terlalu mengantuk untuk mengulangi pelajaran, dan ketika dia berkokok ketika hari menjelang siang, mereka bangun tetapi mereka tidak memiliki waktu untuk mengulangi pelajaran mereka lagi. Dengan demikian, apa pun yang mereka pelajari akan segera terlupakan oleh mereka.” Atas pertanyaan kedua, raja menjawab, “Dulunya para petapa itu menjalankan segala kewajiban petapa mereka, dan melakukan (praktik) meditasi kasiṇa . Tetapi sekarang, mereka telah mengabaikan kewajiban petapa, dan mereka melakukan apa yang tidak seharusnya dilakukan; buah-buahan yang tumbuh di dalam taman itu diberikan kepada para pelayan mereka; mereka menjalani hidup dengan cara yang salah, saling menukar (dan memberi) benda-benda derma. Inilah sebabnya mengapa buah-buah itu tidak manis rasanya. [308] Jika mereka kembali menjalankan kewajiban petapa mereka, maka buah-buah itu akan menjadi manis kembali rasanya. Para petapa itu tidak tahu akan kebijaksanaan raja; beri tahu mereka untuk menjalankan kewajiban petapa kembali. Atas pertanyaan ketiga, raja menjawab, “Para raja naga itu berselisih satu sama lain, itulah sebabnya mengapa air itu menjadi keruh. Jika mereka bisa berdamai seperti sebelumnya, maka air itu juga akan menjadi bening kembali. Atas pertanyaan keempat, raja menjawab, “Dulu dewa pohon itu melindungi orang-orang yang melewati hutannya, dan oleh karena itu dia mendapatkan banyak persembahan. Sekarang, dia tidak lagi melindungi orang-orang yang melewati hutannya sehingga dia pun tidak lagi mendapatkan persembahan. Jika dia kembali melindungi mereka seperti sebelumnya, maka dia akan mendapatkan persembahan. Dia tidak tahu bahwa ada raja di kehidupan ini. Beri tahu dia untuk melindungi orang-orang yang melewati hutannya.” Atas pertanyaan kelima, raja menjawab, “Di bawah gundukan rumah semut itu tempat burung ketitir tersebut dapat berkicau dengan merdu terdapat sebuah kumba harta; galilah dan ambillah kumba itu.” Atas pertanyaan keenam, raja menjawab, “Di atas pohon itu, yang di bawahnya rusa itu merasa bisa memakan rumputrumputnya, terdapat sebuah sarang madu. Dia sudah terlalu terikat kepada rumput-rumput yang dibasahi oleh madu yang menetes dari sarang lebah tersebut sehingga dia tidak bisa memakan rumput yang lainnya. Ambillah sarang madu itu, bawakan yang terbaik untukku dan makanlah sisanya.”
Atas pertanyaan ketujuh, raja menjawab, “Di bawah gundukan rumah semut milik ular itu terdapat sebuah kumba harta, dan dia tinggal di sana untuk menjaganya. Jadi ketika keluar, dikarenakan keserakahannya terhadap harta tersebut, badannya menjadi terhalangi. Tetapi, setelah makan, keserakahannya terhadap harta tersebut menjadi berkurang sehingga membuat badannya tidak terhalangi, dan bisa masuk dengan cepat dan mudah ke dalamnya. Galilah dan simpanlah harta karun tersebut.” Atas pertanyaan kedelapan, raja menjawab, “Di antara desa tempat suami wanita tersebut tinggal dan desa tempat orang tua wanita tersebut tinggal, terdapat sebuah rumah tempat seorang kekasihnya tinggal. Wanita itu selalu teringat akan kekasihnya ini dan keinginan hatinya selalu tertuju kepada kekasihnya ini; oleh karenanya, wanita itu tidak bisa tinggal dengan tenang di dalam rumah suaminya, dia selalu mengatakan bahwa dia ingin pergi menjenguk orang tuanya, di tengah perjalanan dia selalu tinggal bersama dengan kekasihnya selama beberapa hari. Setelah berada di rumah orang tuanya selama beberapa hari, dia akan kembali lagi menjumpai kekasihnya. Beri tahu dirinya bahwa ada raja di dalam kehidupan ini; katakan kepadanya bahwa dia harus tinggal bersama dengan suaminya saja, dan jika dia tidak mau, maka dia akan mendapatkan sesuatu, raja akan memerintahkan pengawal untuk menangkapnya dan dia akan mati.” Atas pertanyaan kesembilan, raja menjawab, “Dulu, wanita penghibur itu hanya menerima bayaran dari tangan satu laki-laki saja, dan tidak pergi dengan laki-laki lain sebelum dia selesai dengan laki-laki yang pertama, sehingga dia bisa mendapatkan banyak uang. Sekarang dia telah mengubah kelakuannya, sebelum selesai dengan satu laki-laki, dia pergi dengan laki-laki yang lain, sehingga dia tidak mendapatkan apa pun dan tidak ada yang menginginkannya. Jika dia kembali berkelakuan seperti sebelumnya, maka keadaannya juga akan kembali seperti sediakala. Beri tahu dirinya bahwa dia harus kembali berkelakuan seperti itu.” Atas pertanyaan kesepuluh, raja menjawab, “Dulu, kepala desa itu memberikan keputusan dengan adil sehingga orang-orang merasa senang dan gembira bersama dengannya, dan dalam kebahagiaan, mereka memberikannya banyak hadiah. Inilah yang membuatnya menjadi terlihat rupawan, kaya, terhormat dan sehat. Sekarang dia menjadi menerima suap dan keputusan yang dibuatnya menjadi tidak adil sehingga dia menjadi miskin dan terlihat pucat. Jika dia kembali memberikan keputusan dengan adil, maka dia juga akan menjadi seperti sediakala. Dia tidak tahu bahwa ada raja di dalam kehidupan ini. Beri tahu dirinya bahwa dia harus adil dalam memberikan keputusan.” Demikian Gamani menyampaikan pertanyaanpertanyaan itu, sama seperti yang diberitahukan kepada dirinya. Setelah memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan kebijaksanaannya, layaknya Buddha Yang Mahatahu, raja memberikan banyak hadiah kepada Gamanicanda; dan desa tempat Gamani tinggal itu pun diberikan kepadanya, sebagai hadiah seorang brahmana, dan mengizinkannya pergi. Gamanicanda kemudian pergi dari kerajaan, dan memberitahukan jawaban-jawaban itu kepada para murid brahmana, petapa, raja naga, dewa pohon; dia mengambil harta dari tempat burung ketitir itu berada (duduk), sarang madu dari pohon tempat rusa itu makan rumput di bawahnya kemudian mengirimkan madunya kepada raja; dia menerobos masuk gundukan rumah semut tempat ular itu tinggal dan mengeluarkan kumba harta di dalamnya; dan kepada wanita (rumah tangga), wanita penghibur, dan kepala desa itu, dia memberitahukan jawaban-jawabannya sama seperti yang diberitahukan oleh raja kepadanya. Kemudian dia kembali ke desanya, tinggal di sana selama sisa hidupnya, kemudian meninggal dan menerima buah (hasil perbuatan) sesuai dengan perbuatannya. Dan Raja Adasamukha mempraktikkan pemberian derma dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya, kemudian setelah wafat, terlahir kembali di alam surga.
Setelah menyampaikan uraian ini, untuk menunjukkan bahwa bukan hanya kali ini saja Sang Tathāgata adalah orang yang bijak, tetapi sebelumnya juga Beliau adalah orang yang bijak, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka (di akhir kebenarannya, banyak orang yang mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, Sakadāgāmi , Anāgāmi, dan bahkan Arahat): “Pada masa itu, Ānanda adalah Gamanicanda ( Gāmaṇicaṇḍa ), dan Raja Adasamukha ( Ādāsamukha ) adalah diri-Ku sendiri.
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com