GUTILLA-JATAKA
“Saya memiliki seorang murid,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Veluvana, tentang Devadatta. Dalam kesempatan kali ini, para bhikkhu berkata kepada Devadatta, “Āvuso Devadatta, Yang Tercerahkan Sempurna ( Sammāsambuddha ) adalah gurumu; Dengan belajar dari Yang Tercerahkan Sempurna, Anda mengetahui tentang Tiga Keranjang ( Tipiṭaka ), tentang bagaimana mencapai empat tingkatan jhāna (jhana). Tidak seharusnyalah Anda bersikap sebagai seorang musuh terhadap gurumu sendiri!” Devadatta membalas, “Āvuso , apakah Petapa Gotama adalah guru-Ku? Jawabannya tidak sedikit pun. Bukankah dengan kekuatanku sendiri kupelajari Tipiṭaka, dan mencapai empat tingkat jhāna ?” Dia menolak untuk mengakui gurunya sendiri. Para bhikkhu kemudian membicarakan tentang ini di dalam balai kebenaran, “ Āvuso, Devadatta tidak mau mengakui gurunya sendiri! Dia menjadi seorang musuh bagi Yang Tercerahkan Sempurna, dan kehancuran yang besar akan menimpa dirinya.” Sang Guru berjalan masuk, dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan di sana. Mereka memberi tahu Beliau. Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya Devadatta menolak untuk mengakui gurunya dan menjadikan dirinya sendiri sebagai seorang musuh, kemudian mengalami akhir yang mengenaskan. Ini juga pernah terjadi sebelumnya.” Dan Beliau menceritakan kisah berikut kepada mereka.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga musisi. Namanya adalah Guttila. Ketika dewasa, dia menguasai semua keahlian dalam bermain musik, dan dengan nama Pemusik Gutilla, dia menjadi pemimpin di antara semua pemusik di seluruh Jambudīpa (India). Dia tidak menikah dan menghidupi kedua orang tuanya yang buta.
Kala itu, beberapa pedagang dari Benares berkunjung ke Ujjeni dengan tujuan berdagang. Waktu itu adalah waktu perayaan; mereka semua berkumpul bersama, mereka memperoleh untaian-untaian bunga, wewangian, perhiasaan, dan beragam jenis makanan. “Bayar harganya,” kata mereka, dan datangkanlah seorang pemusik!” Pada waktu itu, Mūsila (Musila) adalah pemimpin dari para pemusik di Ujjeni. Mereka pun memanggilnya dan memintanya untuk memainkan musik. Musila adalah seorang pemusik yang memainkan kecapi; dia menyetel kecapinya sampai pada nada tertinggi dan kemudian memainkannya. Mereka itu mengetahui permainan musik dari Guttila, dan bagi mereka musik yang dimainkan olehnya terdengar seperti gesekan pada peti kayu, sehingga tidak satu pun dari mereka menunjukkan kesenangan. Ketika melihat ini, Musila berkata dalam dirinya, “Kurasa terlalu tinggi,” sambil menyetel kecapinya pada nada sedang, kemudian memainkannya.
Akan tetapi, mereka juga tetap tidak menunjukkan kesenangan. Kemudian Musila berpikir, “Kurasa mereka ini tidak tahu apa-apa tentang ini (musik),” dan bertingkah seakan-akan dia juga tidak tahu tentang musik, dia memainkan musiknya kembali dengan nada rendah.
Seperti sebelumnya, mereka juga tidak menunjukkan kesenangan. Kemudian Musila bertanya kepada mereka, “Hai, Para Pedagang, mengapa kalian tidak menyukai permainan musikku? “Apa! Apakah Anda memainkan musik?” tanya mereka. “Kami berpikir Anda sedang menyetel musik.” “Apakah kalian mengetahui pemusik yang lebih baik,” tanyanya, “atau apakah kalian tidak tahu tentang musik sehingga tidak menyukai permainan musikku?” Para pedagang menjawab, “Kami pernah mendengar permainan musik dari Pemusik Guttila di Benares; dan permainan musikmu terdengar (oleh kami) seperti ibu-ibu yang sedang menyanyikan lagu untuk menenangkan bayi-bayi mereka.” “Ini, ambil kembali uang kalian,” katanya, “saya tidak menginginkannya. Akan tetapi, tolong izinkan saya ikut dengan kalian sewaktu kembali ke Benares.”
Mereka mengiyakannya dan pulang ke Benares dengan membawanya. Mereka menunjukkan kediaman Guttila kepadanya, kemudian masing-masing kembali ke rumah mereka. Musila masuk ke dalam kediaman Bodhisatta. Dia melihat kecapi indahnya yang diletakkan dalam posisi berdiri rapi, kemudian mengambilnya dan memainkannya. Mendengar ini, orang tuanya yang tidak bisa melihatnya karena buta, berkata dengan keras, “Tikus-tikus sedang menggigiti kecapi! Ssst! Ssst!” Dengan sigap, Musila meletakkan kecapi kembali ke tempatnya, dan menyapa kedua orang tua tersebut. “Anda berasal dari mana?” tanya mereka. Dia menjawab, “Saya berasal dari Ujjeni, saya datang untuk belajar di bawah bimbingan guru.” “Oh, baiklah,” kata mereka. Dia kemudian menanyakan di mana guru berada. “Dia sedang pergi keluar. Dia akan kembali hari ini juga,” terdengar jawabannya. Musila duduk dan menunggu kepulangannya. Setelah beruluk salam, dia pun memberitahukan maksud kedatangannya kepada Guttila.
Pada waktu itu, Bodhisatta memiliki kemampuan untuk meramal dengan melihat tanda-tanda dari penampilan luar seseorang. Dia mengetahui bahwa laki-laki itu bukanlah seorang yang baik, jadi dia pun menolaknya. “Pergilah, Teman, keahlian ini tidaklah cocok untukmu.” Musila kemudian memegang kaki dari kedua orang tua Bodhisatta, untuk dapat membantu mengabulkan permintaannya, dan memohon kepada mereka, “Tolonglah minta agar dia bersedia mengajariku!” Secara berulang-ulang, kedua orang tua itu meminta kepada Bodhisatta untuk mengajarinya, sampai akhirnya Bodhisatta tidak mampu untuk menolaknya dan setuju untuk melakukan sesuai dengan apa yang dimintanya.
Kemudian Musila pergi bersama Bodhisatta ke istana raja. “Siapakah ini, Guru?” tanya raja ketika melihat Musila. “Dia adalah muridku, Paduka!” jawabnya. Seiring berjalannya waktu, dia pun menjadi dekat dengan raja. Bodhisatta tidak membatasi keahliannya, dia mengajarkan semua yang dikuasainya kepada sang murid. Setelah semuanya diajarkan, dia berkata, “Keahlianmu sekarang telah sempurna.” Musila berpikir, “Sekarang telah kukuasai keahlian ini. Kota Benares adalah kota pemimpin di seluruh India. Guruku sudah tua, oleh karena itu, saya harus tinggal di sini.” Maka dia berkata kepada gurunya, “Guru, saya akan bekerja kepada raja.” “Bagus,” jawab gurunya, “saya akan memberitahukan ini kepada raja.” Dia kemudian menghadap kepada raja dan berkata, “Muridku ingin bekerja untukmu, Paduka. Tentukanlah bayaran yang akan diterimanya.” Raja menjawab, “Bayarannya adalah setengah dari bayaranmu.” Sang guru kemudian pulang dan memberitahukannya kepada muridnya. Musila berkata, “Jika saya mendapatkan bayaran yang sama seperti dirimu, saya akan bekerja untuk raja. Jika tidak, saya tidak akan bekerja untuknya.” “Mengapa?” “Katakan, apakah saya mengetahui semua yang Anda ketahui?” “Ya, benar.” “Kalau begitu, mengapa raja hanya menawarkan untuk memberikanku setengah dari bayaranmu?” Bodhisatta kemudian memberi tahu raja apa yang telah terjadi. Raja berkata, “Jika dia mampu menunjukkan keahlian yang sama dengan keahlianmu, maka dia akan menerima bayaran yang sama seperti dirimu.” Perkataan raja ini disampaikannya kepada sang murid. Musila menyetujui penawaran tersebut. Dan sewaktu diberitahukan mengenai persetujuannya itu, raja berkata, “Bagus sekali. Kapan kalian akan bertanding?” “Pada hari ketujuh, dihitung mulai dari hari ini, Paduka.” Raja kemudian memanggil Musila. “Apakah benar Anda akan bertanding dengan gurumu?” “Ya, Paduka.” Raja sebenarnya ingin memintanya untuk tidak melakukan hal itu. Raja berkata, “Janganlah lakukan itu, seharusnya tidak ada pertandingan antara guru dan muridnya.” “Sabar, Paduka!” balasnya, “tunggu sampai saya bertemu dengannya pada hari ketujuh. Kita akan tahu nanti siapa di antara kami yang sebenarnya adalah guru. Kemudian raja mengiyakannya. Raja memerintahkan pengawal untuk menabuh genderang, menyampaikan pengumuman: “Pada hari ketujuh mulai dari hari ini, Guttila sang guru dan Musila sang murid akan bertanding di depan istana kerajaan untuk menunjukkan keahlian mereka. Bagi mereka yang ingin menyaksikannya, silakan datang dan berkumpul di sana!” Bodhisatta berpikir sendiri, “Musila masih muda dan bertenaga, sedangkan saya sudah tua dan tak bertenaga lagi. Apa yang dilakukan oleh seorang yang tua tidak akan berhasil dengan baik. Jika muridku kalah, tidak akan ada sesuatu hal yang besar di baliknya. Akan tetapi, jika muridku mengalahkanku, maka kematian di dalam hutan akan lebih baik bagiku daripada harus menanggung malu yang akan kuterima nantinya.”
Maka dia pergi ke dalam hutan. Tetapi kemudian dia kembali lagi ke rumah disebabkan oleh rasa takut akan kematian, dan pergi kembali ke dalam hutan disebabkan oleh rasa takut akan malu. Dengan cara seperti ini, enam hari pun dilaluinya. Rerumputan mati ketika dia berjalan melewatinya, dan jejak kakinya membuat jalan setapak. Kala itu, takhta Sakka menjadi panas. Dengan kekuatannya memindai, dia mengetahui apa yang sedang terjadi. “Pemusik Guttila sedang amat menderita disebabkan oleh muridnya. Saya harus membantunya!” Maka dia segera pergi dan berdiri di depan Bodhisatta. “Guru,” katanya, “mengapa Anda masuk ke dalam hutan?” “Anda siapa?” tanyanya. “Saya adalah Sakka.” Kemudian Bodhisatta berkata, “Saya takut dikalahkan oleh muridku, wahai Raja Dewa. Oleh karena itu, saya melarikan diri dengan masuk ke dalam hutan.”
Dan dia mengulangi bait pertama berikut:
Saya memiliki seorang murid, yang dariku mempelajari keahlian melodi tujuh tali kecapi; Sekarang dia ingin melebihi keahlian gurunya.
Oh Kosiya, jadilah penolongku! “Jangan takut,” kata Sakka, “saya adalah penaunganmu dan perteduhanmu,” dan dia mengulangi bait kedua berikut:
Jangan takut, karena saya akan membantumu; Kehormatan adalah ganjaran bagi para guru. Tidak perlu takut! Muridmu tidak akan mengalahkanmu, Anda akan keluar sebagai pemenang.
“Di saat Anda memainkan musik nanti, putuskanlah salah satu tali kecapimu, Anda akan tetap bisa melanjutkan permainan musikmu, dan permainan musikmu akan terdengar bagus sama seperti sebelumnya. Sedangkan Musila juga akan memutuskan tali kecapinya, tetapi dia tidak bisa melanjutkan permainan musiknya dan akan mengalami kekalahan. Dan ketika Anda melihat dia telah kalah, putuskanlah tali kecapimu yang kedua, kemudian tali ketiga sampai tali ketujuh, tetapi Anda tetap bisa melanjutkan permainan musikmu meskipun hanya menggunakan badannya saja, tanpa tali-tali kecapi; dan dari ujung-ujung tali yang putus tersebut akan tetap keluar nada-nada, nada-nada ini akan mengisi seluruh Benares sampai pada jarak seluas dua belas yojana.” Setelah mengucapkan kata-kata ini, Sakka memberikan tiga batu dadu kepada Bodhisatta, dan kemudian berkata, “Di saat nada-nada tersebut telah memenuhi seluruh pelosok kota, Anda harus melempar salah satu dari batu dadu ke angkasa, dan tiga ratus bidadari dewa (apsara) akan turun dan menari di hadapanmu. Di saat mereka menari, lemparkanlah batu dadu kedua, dan tiga ratus apsara lagi akan menari di depan kecapimu. Kemudian lemparkanlah batu dadu ketiga, dan tiga ratus apsara lagi akan turun dan menari di dalam arena pertandingan. Saya juga akan datang bersama mereka. Pergilah, tidak perlu takut!”
Pada pagi hari, Bodhisatta pulang kembali ke rumah. Di depan pintu istana dibangun sebuah paviliun, dan tempat raja duduk pun telah disiapkan. Raja turun dari istananya, mengambil tempat duduk di atas dipan yang berada di paviliun. Yang mengelilinginya adalah ribuan pelayan, wanita-wanita yang berpakaian dengan indah, para pejabat kerajaan, brahmana, dan penduduk. Semua orang telah datang berkumpul. Di halaman istana, mereka mengatur tempat duduk yang bulat dengan yang bulat, tempat duduk dipan dengan dipan. Setelah makan berbagai jenis makanan terbaik, Bodhisatta mandi dan berhias diri. Kemudian dengan kecapi di tangannya, dia pun duduk menunggu di tempat yang telah disiapkan. Sakka juga berada di sana, tidak terlihat, melayang di angkasa, dikelilingi oleh rombongan yang banyak. Tetapi, Bodhisatta dapat melihatnya. Musila juga telah berada di sana, duduk pada tempat duduknya. Terdapat satu kumpulan orang yang amat banyak di sekeliling arena pertandingan. Awalnya, mereka berdua memainkan kecapi yang sama utuhnya. Ketika mereka bermain, keduanya terdengar sama bagusnya, orang-orang merasa senang dan bertepuk tangan dengan meriah.
Sakka kemudian berkata kepada Bodhisatta, dari posisinya yang melayang di angkasa: “Putuskanlah salah satu tali kecapimu!” Bodhisatta pun memutuskan satu tali kecapinya. Tali kecapi tersebut, meskipun telah putus, tetap mengeluarkan nada dari ujungnya, dan itu terdengar seperti musik surgawi. Musila juga ikut memutuskan satu tali kecapinya, tetapi setelah itu tidak ada nada yang keluar dari ujungnya. Sang guru memutuskan tali kedua, dan seterusnya sampai pada tali ketujuh, dia hanya bermain dengan badan kecapinya dan permainan musiknya tetap berlangsung dan mengisi seluruh pelosok kota. Ribuan orang melambai-lambaikan saputangan ke udara dan bertepuk tangan dengan meriah. Bodhisatta melemparkan salah satu batu dadu tersebut ke udara, dan tiga ratus apsara turun dan mulai menari. Dan ketika dia melemparkan batu dadu kedua dan ketiga, terdapat sembilan ratus apsara yang menari, sama seperti yang dikatakan oleh Sakka. Kemudian raja membuat suatu gerakan isyarat, orang-orang bangkit berdiri, dan berteriak
—
“Anda telah membuat sebuah kesalahan besar bertanding dengan gurumu! Anda tidak tahu batasan dirimu sendiri!” Demikian mereka meneriaki Musila. Dengan batu, kayu dan apa saja yang bisa diambil oleh tangan mereka, orang-orang melempari dan memukulinya sampai mati. Kemudian dengan menyeret kakinya, mereka membuangnya ke tempat tumpukan sampah. Dalam kegembiraannya, raja memberikan banyak hadiah kepada Bodhisatta, dan demikian juga halnya para penduduk. Setelah beruluk salam dengan Bodhisatta, Sakka berkata, “Orang Bijak, saya akan mengirimkan saisku, Mātali (Matali), datang dengan kereta yang ditarik oleh seribu ekor kuda terbaik. Naiklah Anda ke kereta surgawi itu, yang ditarik oleh seribu ekor kuda, dan datanglah ke alam dewaku,” kemudian dia pergi.
Sewaktu Sakka kembali ke kediamannya dan duduk di takhtanya yang terbuat dari batu permata, putri-putrinya bertanya, “Anda pergi ke mana, Maharaja?” Sakka menceritakan semua yang terjadi secara lengkap kepada mereka semua, dan melantunkan pujian terhadap moralitas dan kualitas bagus dari Bodhisatta. Kemudian mereka berkata, “Maharaja, kami ingin sekali bertemu dengan guru ini. Bawalah dia ke sini!” Sakka pun memanggil Matali. “Para Bidadari Dewa,” katanya, “ingin bertemu dengan Pemusik Guttila. Pergilah, bawa dia dengan kereta surgawiku untuk datang ke sini.” Sang sais pun pergi dan menjemput Bodhisatta. Sakka beruluk salam kepadanya. “Guru, para dewi kayangan ingin mendengar permainan musikmu.” Kami, para pemusik, Maharaja,” katanya, “hidup dari permainan musik sebagai keahlian kami. Kami akan memainkan musik jika ada bayarannya.” “Mainkanlah musikmu, dan saya akan memberikanmu bayaran.” “Saya tidak menginginkan bayaran lain, selain ini: Saya ingin para dewi kayangan tersebut memberitahukan kepadaku perbuatan kebajikan apa yang membuat mereka terlahir di alam ini. Setelah itu, saya akan memainkan musik.” Kemudian para putri dewa tersebut berkata, “Kami akan dengan senang hati memberitahukan kepadamu tentang perbuatan kebajikan yang kami lakukan. Akan tetapi, mainkanlah dahulu musikmu, Guru.”
Selama satu minggu Bodhisatta memainkan musik untuk mereka, dan permainan musiknya itu melebihi musik surgawi. Pada hari ketujuh, dia menanyakan para putri dewa tersebut mengenai perbuatan kebajikan yang telah mereka lakukan, dimulai dari yang pertama. Bidadari pertama, pada masa Buddha Kassapa, mendanakan pakaian yang bagus kepada seorang bhikkhu. Oleh karenanya, dia mendapatkan kelahiran kembali sebagai pelayan Dewa Sakka, menjadi pemimpin di antara para putri dewa, dengan memiliki pelayan sebanyak seribu bidadari. Kepadanya, Bodhisatta bertanya—“Apa yang telah Anda lakukan di kehidupan sebelumnya sehingga dapat membuatmu terlahir kembali di alam ini?” Pertanyaannya ini dan benda yang diberikan olehnya (putri yang pertama itu) diceritakan di dalam Vimānavatthu : Berikut ini, mereka berbincang:— Wahai Dewi yang Cemerlang, laksana bintang pagi hari, memancarkan sinar kecantikan di tempat jauh dan dekat, berasal dari manakah kecantikan ini? Berasal dari manakah kebahagiaan ini? Berasal dari manakah semua berkah yang didapatkan ini? Saya bertanya kepadamu, wahai Dewi yang Cemerlang, berasal dari manakah sinar indah nan menyebar ini? Ketika terlahir sebagai manusia, apa yang Anda lakukan sehingga mendapatkan kejayaan seperti ini sekarang?
Dia yang mendanakan pakaian menjadi pemimpin di antara manusia. Dia yang memberikan benda-benda yang bagus pasti mendapatkan kediaman surgawi nan indah untuk ditempati. Lihatlah hasil ini, betapa menyenangkannya! Sebagai hasil dari kebajikanku, kediaman ini adalah milikku: seribu bidadari siap sedia memenuhi permintaanku; para bidadari yang cantik—dan saya adalah yang paling cantik di antara mereka semua. Oleh karena itulah saya memiliki kejayaan bagus ini; Dari sanalah berasal sinar indah nan menyebar ini.
Putri yang berikutnya mempersembahkan bunga (melati) kepada seorang bhikkhu yang sedang berkeliling untuk mendapatkan dana makanan; putri berikutnya memberikan wewangian; putri berikutnya memberikan buah-buahan yang bagus; putri berikutnya memberikan sari tebu; putri berikutnya memberikan wewangian lima jari (di cetiya Yang Terberkahi); putri berikutnya mendengar khotbah Dhamma dari para bhikkhu dan bhikkhuni yang sedang mengembara atau yang sedang berada di rumah keluarga penopang; putri berikutnya berdiri di dalam air dan memberikan air kepada seorang bhikkhu yang sedang makan di atas sebuah perahu; putri berikutnya, dalam kehidupan rumah tangga, melayani ayah dan ibu mertuanya yang berperangai buruk, tanpa kemarahan; putri berikutnya berbagi makanan yang didapatkannya dan memiliki moralitas baik; putri berikutnya yang terlahir sebagai seorang pelayan, tanpa kemarahan dan keangkuhan, memberikan bagiannya dan kemudian terlahir sebagai pelayan dari raja para dewa; dan seterusnya seperti yang tertulis di dalam Guttilavimāna , tiga puluh enam putri dewa, yang ditanya oleh Bodhisatta apa yang telah mereka lakukan masing-masing sehingga dapat terlahir di sana, dan mereka memberitahukan apa yang telah mereka lakukan, dengan cara yang sama dalam bait yang sama.
Setelah mendengar semuanya ini, Bodhisatta berseru, “Hal ini bagus untukku, sungguh, ini adalah hal yang bagus untukku, saya datang ke tempat ini dan mendengar bagaimana sebuah kebajikan yang kecil dapat memberikan kejayaan yang besar. Mulai saat ini, setelah kembali ke alam manusia, saya akan memberikan beragam jenis dana dan melakukan kebajikankebajikan lainnya.” Dan dia mengucapkan tekad berikut: Oh hari yang menggembirakan! Oh, betapa gembiranya diriku! Oh pengembara berbahagia, saya berjumpa dengan putri-putri dewa ini, yang demikian cantik, dan mendengar cerita-cerita indah mereka. Mulai saat ini, saya bertekad untuk menjalani hidup selalu penuh dengan kedamaian, kebaikan hati, kesabaran dan kebenaran, sampai saya tiba di tempat tidak adanya penderitaan.
Setelah tujuh hari berlalu, raja para dewa memerintahkan Matali, sang sais, untuk membawa Guttila naik ke dalam kereta dan mengantarnya kembali ke Benares. Sekembalinya ke Benares, dia menceritakan kepada orang-orang apa yang telah dilihatnya sendiri di alam dewa ( Tāvatiṁsā ). Sejak saat itu, orang-orang bertekad untuk melakukan kebajikan sedaya upaya mereka.
Ketika uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Devadatta adalah Mūsila (Musila), Anuruddha adalah Sakka, Ānanda adalah raja, dan Aku sendiri adalah Pemusik Guttila.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Veluvana, tentang Devadatta. Dalam kesempatan kali ini, para bhikkhu berkata kepada Devadatta, “Āvuso Devadatta, Yang Tercerahkan Sempurna ( Sammāsambuddha ) adalah gurumu; Dengan belajar dari Yang Tercerahkan Sempurna, Anda mengetahui tentang Tiga Keranjang ( Tipiṭaka ), tentang bagaimana mencapai empat tingkatan jhāna (jhana). Tidak seharusnyalah Anda bersikap sebagai seorang musuh terhadap gurumu sendiri!” Devadatta membalas, “Āvuso , apakah Petapa Gotama adalah guru-Ku? Jawabannya tidak sedikit pun. Bukankah dengan kekuatanku sendiri kupelajari Tipiṭaka, dan mencapai empat tingkat jhāna ?” Dia menolak untuk mengakui gurunya sendiri. Para bhikkhu kemudian membicarakan tentang ini di dalam balai kebenaran, “ Āvuso, Devadatta tidak mau mengakui gurunya sendiri! Dia menjadi seorang musuh bagi Yang Tercerahkan Sempurna, dan kehancuran yang besar akan menimpa dirinya.” Sang Guru berjalan masuk, dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan di sana. Mereka memberi tahu Beliau. Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya Devadatta menolak untuk mengakui gurunya dan menjadikan dirinya sendiri sebagai seorang musuh, kemudian mengalami akhir yang mengenaskan. Ini juga pernah terjadi sebelumnya.” Dan Beliau menceritakan kisah berikut kepada mereka.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga musisi. Namanya adalah Guttila. Ketika dewasa, dia menguasai semua keahlian dalam bermain musik, dan dengan nama Pemusik Gutilla, dia menjadi pemimpin di antara semua pemusik di seluruh Jambudīpa (India). Dia tidak menikah dan menghidupi kedua orang tuanya yang buta.
Kala itu, beberapa pedagang dari Benares berkunjung ke Ujjeni dengan tujuan berdagang. Waktu itu adalah waktu perayaan; mereka semua berkumpul bersama, mereka memperoleh untaian-untaian bunga, wewangian, perhiasaan, dan beragam jenis makanan. “Bayar harganya,” kata mereka, dan datangkanlah seorang pemusik!” Pada waktu itu, Mūsila (Musila) adalah pemimpin dari para pemusik di Ujjeni. Mereka pun memanggilnya dan memintanya untuk memainkan musik. Musila adalah seorang pemusik yang memainkan kecapi; dia menyetel kecapinya sampai pada nada tertinggi dan kemudian memainkannya. Mereka itu mengetahui permainan musik dari Guttila, dan bagi mereka musik yang dimainkan olehnya terdengar seperti gesekan pada peti kayu, sehingga tidak satu pun dari mereka menunjukkan kesenangan. Ketika melihat ini, Musila berkata dalam dirinya, “Kurasa terlalu tinggi,” sambil menyetel kecapinya pada nada sedang, kemudian memainkannya.
Akan tetapi, mereka juga tetap tidak menunjukkan kesenangan. Kemudian Musila berpikir, “Kurasa mereka ini tidak tahu apa-apa tentang ini (musik),” dan bertingkah seakan-akan dia juga tidak tahu tentang musik, dia memainkan musiknya kembali dengan nada rendah.
Seperti sebelumnya, mereka juga tidak menunjukkan kesenangan. Kemudian Musila bertanya kepada mereka, “Hai, Para Pedagang, mengapa kalian tidak menyukai permainan musikku? “Apa! Apakah Anda memainkan musik?” tanya mereka. “Kami berpikir Anda sedang menyetel musik.” “Apakah kalian mengetahui pemusik yang lebih baik,” tanyanya, “atau apakah kalian tidak tahu tentang musik sehingga tidak menyukai permainan musikku?” Para pedagang menjawab, “Kami pernah mendengar permainan musik dari Pemusik Guttila di Benares; dan permainan musikmu terdengar (oleh kami) seperti ibu-ibu yang sedang menyanyikan lagu untuk menenangkan bayi-bayi mereka.” “Ini, ambil kembali uang kalian,” katanya, “saya tidak menginginkannya. Akan tetapi, tolong izinkan saya ikut dengan kalian sewaktu kembali ke Benares.”
Mereka mengiyakannya dan pulang ke Benares dengan membawanya. Mereka menunjukkan kediaman Guttila kepadanya, kemudian masing-masing kembali ke rumah mereka. Musila masuk ke dalam kediaman Bodhisatta. Dia melihat kecapi indahnya yang diletakkan dalam posisi berdiri rapi, kemudian mengambilnya dan memainkannya. Mendengar ini, orang tuanya yang tidak bisa melihatnya karena buta, berkata dengan keras, “Tikus-tikus sedang menggigiti kecapi! Ssst! Ssst!” Dengan sigap, Musila meletakkan kecapi kembali ke tempatnya, dan menyapa kedua orang tua tersebut. “Anda berasal dari mana?” tanya mereka. Dia menjawab, “Saya berasal dari Ujjeni, saya datang untuk belajar di bawah bimbingan guru.” “Oh, baiklah,” kata mereka. Dia kemudian menanyakan di mana guru berada. “Dia sedang pergi keluar. Dia akan kembali hari ini juga,” terdengar jawabannya. Musila duduk dan menunggu kepulangannya. Setelah beruluk salam, dia pun memberitahukan maksud kedatangannya kepada Guttila.
Pada waktu itu, Bodhisatta memiliki kemampuan untuk meramal dengan melihat tanda-tanda dari penampilan luar seseorang. Dia mengetahui bahwa laki-laki itu bukanlah seorang yang baik, jadi dia pun menolaknya. “Pergilah, Teman, keahlian ini tidaklah cocok untukmu.” Musila kemudian memegang kaki dari kedua orang tua Bodhisatta, untuk dapat membantu mengabulkan permintaannya, dan memohon kepada mereka, “Tolonglah minta agar dia bersedia mengajariku!” Secara berulang-ulang, kedua orang tua itu meminta kepada Bodhisatta untuk mengajarinya, sampai akhirnya Bodhisatta tidak mampu untuk menolaknya dan setuju untuk melakukan sesuai dengan apa yang dimintanya.
Kemudian Musila pergi bersama Bodhisatta ke istana raja. “Siapakah ini, Guru?” tanya raja ketika melihat Musila. “Dia adalah muridku, Paduka!” jawabnya. Seiring berjalannya waktu, dia pun menjadi dekat dengan raja. Bodhisatta tidak membatasi keahliannya, dia mengajarkan semua yang dikuasainya kepada sang murid. Setelah semuanya diajarkan, dia berkata, “Keahlianmu sekarang telah sempurna.” Musila berpikir, “Sekarang telah kukuasai keahlian ini. Kota Benares adalah kota pemimpin di seluruh India. Guruku sudah tua, oleh karena itu, saya harus tinggal di sini.” Maka dia berkata kepada gurunya, “Guru, saya akan bekerja kepada raja.” “Bagus,” jawab gurunya, “saya akan memberitahukan ini kepada raja.” Dia kemudian menghadap kepada raja dan berkata, “Muridku ingin bekerja untukmu, Paduka. Tentukanlah bayaran yang akan diterimanya.” Raja menjawab, “Bayarannya adalah setengah dari bayaranmu.” Sang guru kemudian pulang dan memberitahukannya kepada muridnya. Musila berkata, “Jika saya mendapatkan bayaran yang sama seperti dirimu, saya akan bekerja untuk raja. Jika tidak, saya tidak akan bekerja untuknya.” “Mengapa?” “Katakan, apakah saya mengetahui semua yang Anda ketahui?” “Ya, benar.” “Kalau begitu, mengapa raja hanya menawarkan untuk memberikanku setengah dari bayaranmu?” Bodhisatta kemudian memberi tahu raja apa yang telah terjadi. Raja berkata, “Jika dia mampu menunjukkan keahlian yang sama dengan keahlianmu, maka dia akan menerima bayaran yang sama seperti dirimu.” Perkataan raja ini disampaikannya kepada sang murid. Musila menyetujui penawaran tersebut. Dan sewaktu diberitahukan mengenai persetujuannya itu, raja berkata, “Bagus sekali. Kapan kalian akan bertanding?” “Pada hari ketujuh, dihitung mulai dari hari ini, Paduka.” Raja kemudian memanggil Musila. “Apakah benar Anda akan bertanding dengan gurumu?” “Ya, Paduka.” Raja sebenarnya ingin memintanya untuk tidak melakukan hal itu. Raja berkata, “Janganlah lakukan itu, seharusnya tidak ada pertandingan antara guru dan muridnya.” “Sabar, Paduka!” balasnya, “tunggu sampai saya bertemu dengannya pada hari ketujuh. Kita akan tahu nanti siapa di antara kami yang sebenarnya adalah guru. Kemudian raja mengiyakannya. Raja memerintahkan pengawal untuk menabuh genderang, menyampaikan pengumuman: “Pada hari ketujuh mulai dari hari ini, Guttila sang guru dan Musila sang murid akan bertanding di depan istana kerajaan untuk menunjukkan keahlian mereka. Bagi mereka yang ingin menyaksikannya, silakan datang dan berkumpul di sana!” Bodhisatta berpikir sendiri, “Musila masih muda dan bertenaga, sedangkan saya sudah tua dan tak bertenaga lagi. Apa yang dilakukan oleh seorang yang tua tidak akan berhasil dengan baik. Jika muridku kalah, tidak akan ada sesuatu hal yang besar di baliknya. Akan tetapi, jika muridku mengalahkanku, maka kematian di dalam hutan akan lebih baik bagiku daripada harus menanggung malu yang akan kuterima nantinya.”
Maka dia pergi ke dalam hutan. Tetapi kemudian dia kembali lagi ke rumah disebabkan oleh rasa takut akan kematian, dan pergi kembali ke dalam hutan disebabkan oleh rasa takut akan malu. Dengan cara seperti ini, enam hari pun dilaluinya. Rerumputan mati ketika dia berjalan melewatinya, dan jejak kakinya membuat jalan setapak. Kala itu, takhta Sakka menjadi panas. Dengan kekuatannya memindai, dia mengetahui apa yang sedang terjadi. “Pemusik Guttila sedang amat menderita disebabkan oleh muridnya. Saya harus membantunya!” Maka dia segera pergi dan berdiri di depan Bodhisatta. “Guru,” katanya, “mengapa Anda masuk ke dalam hutan?” “Anda siapa?” tanyanya. “Saya adalah Sakka.” Kemudian Bodhisatta berkata, “Saya takut dikalahkan oleh muridku, wahai Raja Dewa. Oleh karena itu, saya melarikan diri dengan masuk ke dalam hutan.”
Dan dia mengulangi bait pertama berikut:
Saya memiliki seorang murid, yang dariku mempelajari keahlian melodi tujuh tali kecapi; Sekarang dia ingin melebihi keahlian gurunya.
Oh Kosiya, jadilah penolongku! “Jangan takut,” kata Sakka, “saya adalah penaunganmu dan perteduhanmu,” dan dia mengulangi bait kedua berikut:
Jangan takut, karena saya akan membantumu; Kehormatan adalah ganjaran bagi para guru. Tidak perlu takut! Muridmu tidak akan mengalahkanmu, Anda akan keluar sebagai pemenang.
“Di saat Anda memainkan musik nanti, putuskanlah salah satu tali kecapimu, Anda akan tetap bisa melanjutkan permainan musikmu, dan permainan musikmu akan terdengar bagus sama seperti sebelumnya. Sedangkan Musila juga akan memutuskan tali kecapinya, tetapi dia tidak bisa melanjutkan permainan musiknya dan akan mengalami kekalahan. Dan ketika Anda melihat dia telah kalah, putuskanlah tali kecapimu yang kedua, kemudian tali ketiga sampai tali ketujuh, tetapi Anda tetap bisa melanjutkan permainan musikmu meskipun hanya menggunakan badannya saja, tanpa tali-tali kecapi; dan dari ujung-ujung tali yang putus tersebut akan tetap keluar nada-nada, nada-nada ini akan mengisi seluruh Benares sampai pada jarak seluas dua belas yojana.” Setelah mengucapkan kata-kata ini, Sakka memberikan tiga batu dadu kepada Bodhisatta, dan kemudian berkata, “Di saat nada-nada tersebut telah memenuhi seluruh pelosok kota, Anda harus melempar salah satu dari batu dadu ke angkasa, dan tiga ratus bidadari dewa (apsara) akan turun dan menari di hadapanmu. Di saat mereka menari, lemparkanlah batu dadu kedua, dan tiga ratus apsara lagi akan menari di depan kecapimu. Kemudian lemparkanlah batu dadu ketiga, dan tiga ratus apsara lagi akan turun dan menari di dalam arena pertandingan. Saya juga akan datang bersama mereka. Pergilah, tidak perlu takut!”
Pada pagi hari, Bodhisatta pulang kembali ke rumah. Di depan pintu istana dibangun sebuah paviliun, dan tempat raja duduk pun telah disiapkan. Raja turun dari istananya, mengambil tempat duduk di atas dipan yang berada di paviliun. Yang mengelilinginya adalah ribuan pelayan, wanita-wanita yang berpakaian dengan indah, para pejabat kerajaan, brahmana, dan penduduk. Semua orang telah datang berkumpul. Di halaman istana, mereka mengatur tempat duduk yang bulat dengan yang bulat, tempat duduk dipan dengan dipan. Setelah makan berbagai jenis makanan terbaik, Bodhisatta mandi dan berhias diri. Kemudian dengan kecapi di tangannya, dia pun duduk menunggu di tempat yang telah disiapkan. Sakka juga berada di sana, tidak terlihat, melayang di angkasa, dikelilingi oleh rombongan yang banyak. Tetapi, Bodhisatta dapat melihatnya. Musila juga telah berada di sana, duduk pada tempat duduknya. Terdapat satu kumpulan orang yang amat banyak di sekeliling arena pertandingan. Awalnya, mereka berdua memainkan kecapi yang sama utuhnya. Ketika mereka bermain, keduanya terdengar sama bagusnya, orang-orang merasa senang dan bertepuk tangan dengan meriah.
Sakka kemudian berkata kepada Bodhisatta, dari posisinya yang melayang di angkasa: “Putuskanlah salah satu tali kecapimu!” Bodhisatta pun memutuskan satu tali kecapinya. Tali kecapi tersebut, meskipun telah putus, tetap mengeluarkan nada dari ujungnya, dan itu terdengar seperti musik surgawi. Musila juga ikut memutuskan satu tali kecapinya, tetapi setelah itu tidak ada nada yang keluar dari ujungnya. Sang guru memutuskan tali kedua, dan seterusnya sampai pada tali ketujuh, dia hanya bermain dengan badan kecapinya dan permainan musiknya tetap berlangsung dan mengisi seluruh pelosok kota. Ribuan orang melambai-lambaikan saputangan ke udara dan bertepuk tangan dengan meriah. Bodhisatta melemparkan salah satu batu dadu tersebut ke udara, dan tiga ratus apsara turun dan mulai menari. Dan ketika dia melemparkan batu dadu kedua dan ketiga, terdapat sembilan ratus apsara yang menari, sama seperti yang dikatakan oleh Sakka. Kemudian raja membuat suatu gerakan isyarat, orang-orang bangkit berdiri, dan berteriak
—
“Anda telah membuat sebuah kesalahan besar bertanding dengan gurumu! Anda tidak tahu batasan dirimu sendiri!” Demikian mereka meneriaki Musila. Dengan batu, kayu dan apa saja yang bisa diambil oleh tangan mereka, orang-orang melempari dan memukulinya sampai mati. Kemudian dengan menyeret kakinya, mereka membuangnya ke tempat tumpukan sampah. Dalam kegembiraannya, raja memberikan banyak hadiah kepada Bodhisatta, dan demikian juga halnya para penduduk. Setelah beruluk salam dengan Bodhisatta, Sakka berkata, “Orang Bijak, saya akan mengirimkan saisku, Mātali (Matali), datang dengan kereta yang ditarik oleh seribu ekor kuda terbaik. Naiklah Anda ke kereta surgawi itu, yang ditarik oleh seribu ekor kuda, dan datanglah ke alam dewaku,” kemudian dia pergi.
Sewaktu Sakka kembali ke kediamannya dan duduk di takhtanya yang terbuat dari batu permata, putri-putrinya bertanya, “Anda pergi ke mana, Maharaja?” Sakka menceritakan semua yang terjadi secara lengkap kepada mereka semua, dan melantunkan pujian terhadap moralitas dan kualitas bagus dari Bodhisatta. Kemudian mereka berkata, “Maharaja, kami ingin sekali bertemu dengan guru ini. Bawalah dia ke sini!” Sakka pun memanggil Matali. “Para Bidadari Dewa,” katanya, “ingin bertemu dengan Pemusik Guttila. Pergilah, bawa dia dengan kereta surgawiku untuk datang ke sini.” Sang sais pun pergi dan menjemput Bodhisatta. Sakka beruluk salam kepadanya. “Guru, para dewi kayangan ingin mendengar permainan musikmu.” Kami, para pemusik, Maharaja,” katanya, “hidup dari permainan musik sebagai keahlian kami. Kami akan memainkan musik jika ada bayarannya.” “Mainkanlah musikmu, dan saya akan memberikanmu bayaran.” “Saya tidak menginginkan bayaran lain, selain ini: Saya ingin para dewi kayangan tersebut memberitahukan kepadaku perbuatan kebajikan apa yang membuat mereka terlahir di alam ini. Setelah itu, saya akan memainkan musik.” Kemudian para putri dewa tersebut berkata, “Kami akan dengan senang hati memberitahukan kepadamu tentang perbuatan kebajikan yang kami lakukan. Akan tetapi, mainkanlah dahulu musikmu, Guru.”
Selama satu minggu Bodhisatta memainkan musik untuk mereka, dan permainan musiknya itu melebihi musik surgawi. Pada hari ketujuh, dia menanyakan para putri dewa tersebut mengenai perbuatan kebajikan yang telah mereka lakukan, dimulai dari yang pertama. Bidadari pertama, pada masa Buddha Kassapa, mendanakan pakaian yang bagus kepada seorang bhikkhu. Oleh karenanya, dia mendapatkan kelahiran kembali sebagai pelayan Dewa Sakka, menjadi pemimpin di antara para putri dewa, dengan memiliki pelayan sebanyak seribu bidadari. Kepadanya, Bodhisatta bertanya—“Apa yang telah Anda lakukan di kehidupan sebelumnya sehingga dapat membuatmu terlahir kembali di alam ini?” Pertanyaannya ini dan benda yang diberikan olehnya (putri yang pertama itu) diceritakan di dalam Vimānavatthu : Berikut ini, mereka berbincang:— Wahai Dewi yang Cemerlang, laksana bintang pagi hari, memancarkan sinar kecantikan di tempat jauh dan dekat, berasal dari manakah kecantikan ini? Berasal dari manakah kebahagiaan ini? Berasal dari manakah semua berkah yang didapatkan ini? Saya bertanya kepadamu, wahai Dewi yang Cemerlang, berasal dari manakah sinar indah nan menyebar ini? Ketika terlahir sebagai manusia, apa yang Anda lakukan sehingga mendapatkan kejayaan seperti ini sekarang?
Dia yang mendanakan pakaian menjadi pemimpin di antara manusia. Dia yang memberikan benda-benda yang bagus pasti mendapatkan kediaman surgawi nan indah untuk ditempati. Lihatlah hasil ini, betapa menyenangkannya! Sebagai hasil dari kebajikanku, kediaman ini adalah milikku: seribu bidadari siap sedia memenuhi permintaanku; para bidadari yang cantik—dan saya adalah yang paling cantik di antara mereka semua. Oleh karena itulah saya memiliki kejayaan bagus ini; Dari sanalah berasal sinar indah nan menyebar ini.
Putri yang berikutnya mempersembahkan bunga (melati) kepada seorang bhikkhu yang sedang berkeliling untuk mendapatkan dana makanan; putri berikutnya memberikan wewangian; putri berikutnya memberikan buah-buahan yang bagus; putri berikutnya memberikan sari tebu; putri berikutnya memberikan wewangian lima jari (di cetiya Yang Terberkahi); putri berikutnya mendengar khotbah Dhamma dari para bhikkhu dan bhikkhuni yang sedang mengembara atau yang sedang berada di rumah keluarga penopang; putri berikutnya berdiri di dalam air dan memberikan air kepada seorang bhikkhu yang sedang makan di atas sebuah perahu; putri berikutnya, dalam kehidupan rumah tangga, melayani ayah dan ibu mertuanya yang berperangai buruk, tanpa kemarahan; putri berikutnya berbagi makanan yang didapatkannya dan memiliki moralitas baik; putri berikutnya yang terlahir sebagai seorang pelayan, tanpa kemarahan dan keangkuhan, memberikan bagiannya dan kemudian terlahir sebagai pelayan dari raja para dewa; dan seterusnya seperti yang tertulis di dalam Guttilavimāna , tiga puluh enam putri dewa, yang ditanya oleh Bodhisatta apa yang telah mereka lakukan masing-masing sehingga dapat terlahir di sana, dan mereka memberitahukan apa yang telah mereka lakukan, dengan cara yang sama dalam bait yang sama.
Setelah mendengar semuanya ini, Bodhisatta berseru, “Hal ini bagus untukku, sungguh, ini adalah hal yang bagus untukku, saya datang ke tempat ini dan mendengar bagaimana sebuah kebajikan yang kecil dapat memberikan kejayaan yang besar. Mulai saat ini, setelah kembali ke alam manusia, saya akan memberikan beragam jenis dana dan melakukan kebajikankebajikan lainnya.” Dan dia mengucapkan tekad berikut: Oh hari yang menggembirakan! Oh, betapa gembiranya diriku! Oh pengembara berbahagia, saya berjumpa dengan putri-putri dewa ini, yang demikian cantik, dan mendengar cerita-cerita indah mereka. Mulai saat ini, saya bertekad untuk menjalani hidup selalu penuh dengan kedamaian, kebaikan hati, kesabaran dan kebenaran, sampai saya tiba di tempat tidak adanya penderitaan.
Setelah tujuh hari berlalu, raja para dewa memerintahkan Matali, sang sais, untuk membawa Guttila naik ke dalam kereta dan mengantarnya kembali ke Benares. Sekembalinya ke Benares, dia menceritakan kepada orang-orang apa yang telah dilihatnya sendiri di alam dewa ( Tāvatiṁsā ). Sejak saat itu, orang-orang bertekad untuk melakukan kebajikan sedaya upaya mereka.
Ketika uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Devadatta adalah Mūsila (Musila), Anuruddha adalah Sakka, Ānanda adalah raja, dan Aku sendiri adalah Pemusik Guttila.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com