INDASAMANAGOTTA-JATAKA
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seseorang yang sulit dinasihati; dan cerita pembukanya akan dikemukakan di Gijjha-Jataka, Buku IX. Sang Guru berkata kepada bhikkhu ini — “Pada zaman dahulu, seperti sekarang, Anda diinjak mati oleh seekor gajah yang marah karena sulit dinasihati dan mengabaikan nasihat orang bijaksana.” Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga seorang brahmana. Ketika beranjak dewasa, dia meninggalkan keduniawian dan menjalani kehidupan suci sebagai seorang pabbajita, dan pada waktunya menjadi pemimpin sebuah kelompok lima ratus petapa, yang semuanya hidup bersama di daerah pegunungan Himalaya.
Di antara petapa itu terdapat seorang yang sulit dinasihati dan mengabaikan nasihat, yang bernama (Indasamanagotta). Dia memiliki seekor gajah peliharaan. Bodhisatta memanggilnya ketika mengetahui hal ini dan menanyakan apakah benar dia memelihara seekor gajah muda? “Ya, Guru” orang itu menjawab. Dia memiliki seekor gajah yang kehilangan induknya. “Baik,” kata Bodhisatta, “ketika gajah-gajah menjadi dewasa, mereka akan membunuh orang-orang, bahkan orang yang membesarkan mereka; jadi Anda lebih baik jangan memeliharanya lebih lama lagi.” “Tetapi saya tidak dapat hidup tanpa dirinya, Guru!” balasnya. “Oh, baik,” kata Bodhisatta, “Anda akan menyesalinya di kemudian hari.” Bagaimanapun dia masih tetap memelihara hewan itu, seiring berjalannya waktu, hewan itu tumbuh menjadi besar.
Suatu ketika para petapa semuanya pergi jauh untuk mengumpulkan akar-akaran dan buah-buahan di dalam hutan dan mereka tidak pulang selama beberapa hari. Tiupan angin selatan membuat gajah itu menjadi liar. “Hancurkan gubuk ini!” pikirnya, “Saya akan menghancurkan kendi air! Saya akan menjungkir-balikkan papan batu itu! Saya akan merobek-robek kasur jerami itu! Saya akan membunuh petapa dan kemudian pergi!” Maka dia kabur masuk ke dalam hutan dan menunggu, sambil melihat kepulangan mereka.
Majikannya pulang duluan, penuh dengan makanan untuk peliharaannya. Segera setelah melihatnya, dia mempercepat langkah, berpikir semuanya baik-baik saja. Dengan tergesa-gesa, gajah itu keluar dari semak belukar dan menangkapnya dengan belalai, melemparkannya ke tanah, kemudian dengan pukulan di kepala dia mengakhiri nyawanya; dan sambil mengeluarkan suara dengan menggila, dia berlari masuk ke dalam hutan.
Para petapa lainnya menyampaikan kabar ini kepada Bodhisatta. Kata Bodhisatta, “Kita tidak seharusnya berurusan dengan yang jahat,” dan kemudian dia mengulangi dua bait berikut:
Yang baik seharusnya menghindar dari pergaulan dengan yang jahat;
Yang baik tahu akan kewajiban apa yang seharusnya mereka lakukan:
Yang jahat akan melakukan kejahatan, cepat atau lambat,
seperti gajah membunuh majikannya itu.
Akan tetapi, jika Anda bertemu dengan seseorang yang
baik dalam moralitas, kebijaksanaan, dan pembelajaran,
maka pilihlah yang demikian untuk dijadikan teman baik;
Teman baik dan berkah berjalan seiring.
Dengan cara ini, Bodhisatta menunjukkan kepada kelompok petapanya bahwa sebaiknya menjadi orang patuh dan tidak sulit dinasihati. Kemudian dia mengadakan pemakaman Indasamanagotta, dan melanjutkan hidup dengan mengembangkan kediaman luhur (brahma vihara), dan akhirnya terlahir kembali di alam brahma.
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Orang yang mengabaikan nasihat itu adalah Indasamanagotta, dan diri-Ku sendiri adalah guru dari kelompok petapa.
*****
Sumber: ITC Jataka Volume 2
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga seorang brahmana. Ketika beranjak dewasa, dia meninggalkan keduniawian dan menjalani kehidupan suci sebagai seorang pabbajita, dan pada waktunya menjadi pemimpin sebuah kelompok lima ratus petapa, yang semuanya hidup bersama di daerah pegunungan Himalaya.
Di antara petapa itu terdapat seorang yang sulit dinasihati dan mengabaikan nasihat, yang bernama (Indasamanagotta). Dia memiliki seekor gajah peliharaan. Bodhisatta memanggilnya ketika mengetahui hal ini dan menanyakan apakah benar dia memelihara seekor gajah muda? “Ya, Guru” orang itu menjawab. Dia memiliki seekor gajah yang kehilangan induknya. “Baik,” kata Bodhisatta, “ketika gajah-gajah menjadi dewasa, mereka akan membunuh orang-orang, bahkan orang yang membesarkan mereka; jadi Anda lebih baik jangan memeliharanya lebih lama lagi.” “Tetapi saya tidak dapat hidup tanpa dirinya, Guru!” balasnya. “Oh, baik,” kata Bodhisatta, “Anda akan menyesalinya di kemudian hari.” Bagaimanapun dia masih tetap memelihara hewan itu, seiring berjalannya waktu, hewan itu tumbuh menjadi besar.
Suatu ketika para petapa semuanya pergi jauh untuk mengumpulkan akar-akaran dan buah-buahan di dalam hutan dan mereka tidak pulang selama beberapa hari. Tiupan angin selatan membuat gajah itu menjadi liar. “Hancurkan gubuk ini!” pikirnya, “Saya akan menghancurkan kendi air! Saya akan menjungkir-balikkan papan batu itu! Saya akan merobek-robek kasur jerami itu! Saya akan membunuh petapa dan kemudian pergi!” Maka dia kabur masuk ke dalam hutan dan menunggu, sambil melihat kepulangan mereka.
Majikannya pulang duluan, penuh dengan makanan untuk peliharaannya. Segera setelah melihatnya, dia mempercepat langkah, berpikir semuanya baik-baik saja. Dengan tergesa-gesa, gajah itu keluar dari semak belukar dan menangkapnya dengan belalai, melemparkannya ke tanah, kemudian dengan pukulan di kepala dia mengakhiri nyawanya; dan sambil mengeluarkan suara dengan menggila, dia berlari masuk ke dalam hutan.
Para petapa lainnya menyampaikan kabar ini kepada Bodhisatta. Kata Bodhisatta, “Kita tidak seharusnya berurusan dengan yang jahat,” dan kemudian dia mengulangi dua bait berikut:
Yang baik seharusnya menghindar dari pergaulan dengan yang jahat;
Yang baik tahu akan kewajiban apa yang seharusnya mereka lakukan:
Yang jahat akan melakukan kejahatan, cepat atau lambat,
seperti gajah membunuh majikannya itu.
Akan tetapi, jika Anda bertemu dengan seseorang yang
baik dalam moralitas, kebijaksanaan, dan pembelajaran,
maka pilihlah yang demikian untuk dijadikan teman baik;
Teman baik dan berkah berjalan seiring.
Dengan cara ini, Bodhisatta menunjukkan kepada kelompok petapanya bahwa sebaiknya menjadi orang patuh dan tidak sulit dinasihati. Kemudian dia mengadakan pemakaman Indasamanagotta, dan melanjutkan hidup dengan mengembangkan kediaman luhur (brahma vihara), dan akhirnya terlahir kembali di alam brahma.
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Orang yang mengabaikan nasihat itu adalah Indasamanagotta, dan diri-Ku sendiri adalah guru dari kelompok petapa.
*****
Sumber: ITC Jataka Volume 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com