JAMBUKA-JATAKA
“Berhati-hatilah, wahai serigala,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veḷuvana (Veluvana), tentang percobaan Devadatta untuk meniru Yang Sempurna Menempuh Jalan (Sugata). Cerita pembukanya telah dikemukakan dengan lengkap sebelumnya. Berikut ini adalah ringkasan kisahnya.
Ketika Sang Guru menanyakan kepada Sāriputta (Sariputta) apa yang dilakukan oleh Devadatta ketika ia melihat Beliau, Sariputta menjawab, “Bhante, dengan meniru dirimu, ia meletakkan sebuah kipas di tanganku dan berbaring, dan kemudian Kokālika menghantam dadanya dengan menggunakan kakinya. Demikian ia mendapatkan masalah dengan meniru dirimu.” Sang Guru kemudian berkata, “Hal yang sama terjadi kepada Devadatta sebelumnya,” dan atas permintaan sang thera, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor singa, dan bertempat tinggal di sebuah gua di pegunungan Himalaya.
Suatu hari, setelah memangsa seekor kerbau, ia meminum air dan berjalan kembali ke gua. Seekor serigala, yang melihatnya, berbaring telungkup karena tidak dapat melarikan diri.
Singa berkata, “Apa maksudnya ini, Serigala?”
“Singa,” katanya, “saya akan menjadi pelayanmu.”
Singa berkata, “Baiklah kalau begitu, ikutlah denganku,” dan membawanya ke tempat ia tinggal. Setiap hari singa membawakan daging untuknya dan memberikannya makan. Serigala pun kemudian tumbuh menjadi gemuk. Pada suatu hari, perasaan sombong muncul di dalam dirinya, ia mendekati singa seraya berkata, “Tuanku, saya selalu menjadi suatu hambatan bagimu. Setiap hari Anda membawakan daging untukku dan memberiku makan. Hari ini, Anda tingal di gua, saya yang akan pergi dan membunuh seekor gajah, kemudian membawakan dagingnya untukmu.” Singa berkata, “Teman serigala, janganlah melihat ini sebagai suatu yang hal yang bagus. Anda bukan berasal dari golongan hewan yang memangsa daging gajah.
Saya yang akan membunuh seekor gajah dan membawakan dagingnya untukmu. Badan gajah itu besar. Janganlah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan sifat aslimu, dengarlah kata-kataku ini.” Berikut ia mengucapkan bait pertama:
Berhati-hatilah, wahai serigala!
Gading gajah itu panjang.
Kaum lemah seperti dirimu tidak bisa menghadapi seekor
hewan buas yang demikian besar dan kuat.
Meskipun telah dilarang oleh singa, serigala tetap pergi keluar dari gua dan melolong sebanyak tiga kali. Ketika memandang ke dasar sebuah gunung, ia melihat seekor gajah hitam yang sedang melintas. Berpikir untuk melompat di atas kepala gajah, ia pun melompat untuk menerkamnya, tetapi ia terbalik di udara sampai akhirnya mendarat di kaki gajah.
Dengan mengangkat kaki depannya, gajah itu memijak kepalanya dan meremukkannya. Serigala berbaring kesakitan di sana dan gajah pergi, dengan mengeluarkan raungannya. Bodhisatta datang, dan dengan berdiri di tepi tebing yang curam itu, melihat bagaimana serigala menemui ajalnya, dan berkata, “Serigala ini mati disebabkan oleh kesombongannya”, kemudian mengucapkan bait keempat berikut:
Suatu ketika seekor serigala menganggap dirinya
sehebat singa, ingin menantang lawannya, seekor gajah.
Setelah terbaring di tanah, telungkup merintih kesakitan,
ia terlambat menyesali ketidakberuntungan yang dihadapinya.
Ia yang menantang sesuatu yang bukan tandingannya,
atau ia yang tidak menyadari sejauh mana kekuatannya
dirinya sendiri, akan mengalami nasib yang sama seperti
yang dialami oleh serigala.
Ia yang tidak menantang sesuatu yang bukan
tandingannya, atau ia yang menyadari batas
kemampuannya, akan mampu menjalani kehidupan
dengan baik dan mendapatkan kemenangan atas lawanlawannya.
Demikianlah Bodhisatta memaparkan kewajibankewajiban yang harus dilaksanakan di kehidupan ini dalam bait-bait kalimat tersebut.
Setelah menyampaikan uraian-Nya, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Devadatta adalah serigala dan saya adalah singa.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veḷuvana (Veluvana), tentang percobaan Devadatta untuk meniru Yang Sempurna Menempuh Jalan (Sugata). Cerita pembukanya telah dikemukakan dengan lengkap sebelumnya. Berikut ini adalah ringkasan kisahnya.
Ketika Sang Guru menanyakan kepada Sāriputta (Sariputta) apa yang dilakukan oleh Devadatta ketika ia melihat Beliau, Sariputta menjawab, “Bhante, dengan meniru dirimu, ia meletakkan sebuah kipas di tanganku dan berbaring, dan kemudian Kokālika menghantam dadanya dengan menggunakan kakinya. Demikian ia mendapatkan masalah dengan meniru dirimu.” Sang Guru kemudian berkata, “Hal yang sama terjadi kepada Devadatta sebelumnya,” dan atas permintaan sang thera, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor singa, dan bertempat tinggal di sebuah gua di pegunungan Himalaya.
Suatu hari, setelah memangsa seekor kerbau, ia meminum air dan berjalan kembali ke gua. Seekor serigala, yang melihatnya, berbaring telungkup karena tidak dapat melarikan diri.
Singa berkata, “Apa maksudnya ini, Serigala?”
“Singa,” katanya, “saya akan menjadi pelayanmu.”
Singa berkata, “Baiklah kalau begitu, ikutlah denganku,” dan membawanya ke tempat ia tinggal. Setiap hari singa membawakan daging untuknya dan memberikannya makan. Serigala pun kemudian tumbuh menjadi gemuk. Pada suatu hari, perasaan sombong muncul di dalam dirinya, ia mendekati singa seraya berkata, “Tuanku, saya selalu menjadi suatu hambatan bagimu. Setiap hari Anda membawakan daging untukku dan memberiku makan. Hari ini, Anda tingal di gua, saya yang akan pergi dan membunuh seekor gajah, kemudian membawakan dagingnya untukmu.” Singa berkata, “Teman serigala, janganlah melihat ini sebagai suatu yang hal yang bagus. Anda bukan berasal dari golongan hewan yang memangsa daging gajah.
Saya yang akan membunuh seekor gajah dan membawakan dagingnya untukmu. Badan gajah itu besar. Janganlah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan sifat aslimu, dengarlah kata-kataku ini.” Berikut ia mengucapkan bait pertama:
Berhati-hatilah, wahai serigala!
Gading gajah itu panjang.
Kaum lemah seperti dirimu tidak bisa menghadapi seekor
hewan buas yang demikian besar dan kuat.
Meskipun telah dilarang oleh singa, serigala tetap pergi keluar dari gua dan melolong sebanyak tiga kali. Ketika memandang ke dasar sebuah gunung, ia melihat seekor gajah hitam yang sedang melintas. Berpikir untuk melompat di atas kepala gajah, ia pun melompat untuk menerkamnya, tetapi ia terbalik di udara sampai akhirnya mendarat di kaki gajah.
Dengan mengangkat kaki depannya, gajah itu memijak kepalanya dan meremukkannya. Serigala berbaring kesakitan di sana dan gajah pergi, dengan mengeluarkan raungannya. Bodhisatta datang, dan dengan berdiri di tepi tebing yang curam itu, melihat bagaimana serigala menemui ajalnya, dan berkata, “Serigala ini mati disebabkan oleh kesombongannya”, kemudian mengucapkan bait keempat berikut:
Suatu ketika seekor serigala menganggap dirinya
sehebat singa, ingin menantang lawannya, seekor gajah.
Setelah terbaring di tanah, telungkup merintih kesakitan,
ia terlambat menyesali ketidakberuntungan yang dihadapinya.
Ia yang menantang sesuatu yang bukan tandingannya,
atau ia yang tidak menyadari sejauh mana kekuatannya
dirinya sendiri, akan mengalami nasib yang sama seperti
yang dialami oleh serigala.
Ia yang tidak menantang sesuatu yang bukan
tandingannya, atau ia yang menyadari batas
kemampuannya, akan mampu menjalani kehidupan
dengan baik dan mendapatkan kemenangan atas lawanlawannya.
Demikianlah Bodhisatta memaparkan kewajibankewajiban yang harus dilaksanakan di kehidupan ini dalam bait-bait kalimat tersebut.
Setelah menyampaikan uraian-Nya, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Devadatta adalah serigala dan saya adalah singa.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com