KANAVERA-JATAKA
“Waktu itu adalah musim,” dan seterusnya.
Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang tergoda oleh mantan istrinya (dalam kehidupan berumah tangga). Situasi dan keadaan yang menyebabkan munculnya kisah ini dijelaskan dalam Indriya-Jātaka. Sang Guru berkata, “Pada kehidupan sebelumnya, kepalamu dipenggal disebabkan oleh dirinya.” Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di desa Kasi dalam rumah seorang perumah tangga, di saat gugus bintang seorang perampok (terjadi). Ketika dewasa, ia menghidupi dirinya dari hasil rampokkan, dan ketenarannya tersebar luas sebagai orang yang berani dan sekuat gajah, dan tidak ada seorang pun yang mampu menangkapnya. Suatu hari ia membobol rumah seorang saudagar kaya dan mengambil banyak hartanya. Para penduduk kota mendatangi raja dan berkata, “Paduka, seorang perampok besar sedang menjarah kota ini, tangkaplah dia!” Raja memerintahkan panglima (penjaga kota) untuk menangkapnya.
Maka pada malam harinya, panglima menempatkan pasukannya di segala penjuru, dan setelah berhasil menangkapnya berserta uang rampokannya, panglima melaporkannya kepada raja. Raja memerintahkan untuk memenggal kepala perampok itu.
Panglima mengikat kedua tangan perampok tersebut di belakang, melingkarkan untaian bunga oleander merah di lehernya, menaburkan bubuk batu bata di atas kepalanya, mencambuk sekujur tubuhnya, dan menggiringnya ke tempat eksekusi diiringi dengan suara tabuhan drum yang berbunyi keras. Orang-orang berkata, “Perampok yang menjarah kota kita sudah ditangkap,” dan seluruh kota menjadi gempar.
Kala itu, hiduplah di Benares seorang pelacur bernama Sāmā (Sama) yang tarifnya sebesar seribu keping uang. Ia adalah salah satu wanita kesayangan raja dan memiliki lima ratus pelayan wanita. Ketika berdiri di depan jendela dari lantai atas istananya, ia melihat perampok ini yang sedang diarak. Saat itu, perampok itu terlihat rupawan dan menarik, menonjol di antara semua penduduk kota, benar-benar berjaya dan terlihat seperti dewa. Ketika melihatnya demikian, ia jatuh cinta dengannya dan berpikir dalam dirinya, “Dengan cara apa bisa kuselamatkan laki-laki ini dan menjadikannya sebagai suamiku?”
“Ini dia caranya,” katanya, dan ia mengutus seorang pelayannya dengan membawa uang seribu keping untuk menemui panglima dan berpesan, “Beri tahu panglima, perampok ini adalah saudara Sama, ia tidak mempunyai tempat untuk berlindung kecuali di tempat Sama. Bujuklah panglima untuk menerima uangnya dan membiarkan tahanan itu melarikan diri.” Pelayan itu pun melakukan persis seperti apa yang diperintahkan kepadanya.
Tetapi panglima berkata, “Ini adalah perampok yang terkenal jahat, saya tidak bisa membiarkannya kabur seperti ini. Akan tetapi, jika saya bisa mendapatkan laki-laki lain sebagai penggantinya, maka saya bisa memasukkan perampok ini dalam kereta yang tertutup dan mengirimkannya kepada kamu.”
Pelayan itu kembali dan melaporkan semuanya kepada sang majikan.
Kala itu juga, ada seorang putra saudagar kaya, yang terpikat kepada Sama, yang setiap harinya memberikan ia uang seribu keping. Dan pada hari yang sama itu pula, di saat matahari terbenam, ia datang ke tempat Sama dengan uangnya, seperti hari-hari biasa. Sama menerima uangnya, meletakkannya di pangkuan dan menangis. Ketika ditanya apa sebabnya ia menangis, Sama berkata, “Tuanku, perampok ini adalah saudaraku, walaupun ia tidak pernah datang untuk menemuiku karena orang-orang mengatakan saya menjalani pekerjaan yang hina. Ketika saya mengirim pesan kepada panglima, ia mengatakan bahwa ia akan melepaskannya jika mendapatkan uang seribu keping. Sekarang saya tidak bisa menemukan siapa pun yang bersedia pergi dan memberikan uang ini kepadanya.”
Demi cintanya kepada Sama, saudagar ini berkata, “Saya yang akan pergi.” “Pergilah kalau begitu, dan bawa uang ini bersamamu,” kata Sama. Ia mengambil uangnya dan pergi ke rumah panglima. Panglima menyembunyikan saudagar ini di tempat rahasia dan memasukkan perampok itu ke dalam kereta yang tertutup dan mengirimkannya kepada Sama. Kemudian ia berpikir, “Perampok ini terkenal di kota ini, akan kueksekusi ia pada saat hari menjelang malam ketika orang-orang beristirahat.”
Dengan pemikiran begitu, ia membuat alasan untuk menundanya sebentar. Ketika orang-orang pergi beristirahat, ia membawa saudagar muda tersebut dengan kawalan ketat ke tempat eksekusi, dan memenggal kepalanya, dengan sebilah pedang menusuk tubuhnya, kemudian kembali ke kota.
Sejak saat itu, Sama tidak lagi menerima apa pun dari laki-laki lain, hanya mendapatkan kesenangan dengan perampok itu. Perampok itu berpikir, “Jika wanita ini jatuh cinta dengan orang lain, ia juga akan membunuhku dan bersenang-senang dengan orang itu. Ia adalah orang yang suka berkhianat kepada teman-temannya. Saya harus segera pergi meninggalkan tempat ini.” Ketika hendak kabur, ia berpikir lagi, “Saya tidak akan pergi dengan tangan kosong, akan kubawa beberapa perhiasannya.” Jadi pada suatu hari, ia berkata kepada Sama, “Sayangku, kita selalu berada di dalam rumah seperti ayam di dalam kandang. Sekali-sekali kita harus keluar dan bermain di taman.” Sama menyetujui usulannya dan mempersiapkan berbagai jenis makanan, memakai perhiasannya dan pergi ke taman dengan kereta yang tertutup. Kala ini, ketika berjalan ke luar dengan Sama, perampok itu berpikir, “Sekarang adalah waktu yang tepat untuk melarikan diri.” Jadi dengan wajah yang dibuat seperti penuh dengan cinta yang mendalam pada Sama, ia masuk ke dalam semak-semak bunga oleander. Dengan berpura-pura memeluk Sama, ia menindihnya sampai tak sadarkan diri, kemudian mengambil semua perhiasannya dan meletakkannya di dalam sebuah bundelan yang kemudian dijinjing di bahunya, dan kabur dengan melompati dinding taman.
Ketika sadar dan bangun dari pingsannya, Sama pergi dan menanyakan kepada para pelayannya apa yang telah terjadi dengan tuannya. “Kami tidak tahu, Nyonya.” “Ia pasti menyangka saya mati dan lari karena ketakutan.” Tertekan dengan pikiran ini, ia pun kembali ke rumahnya dan berkata, “Saya tidak akan duduk beristirahat di atas kursi mewah sebelum bertemu (kembali) dengan tuanku.” Dan ia pun berbaring di atas lantai. Mulai saat itu, ia tidak mengenakan pakaian yang cantik atau makan lebih dari satu kali, juga tidak memakai wewangian, untaian bunga, dan sebagainya. Ia sangat bertekad untuk menemukannya kembali dengan cara apa pun, ia memanggil beberapa seniman dan memberikan mereka uang seribu keping.
Mereka bertanya, “Apa yang harus kami lakukan, Nyonya?” Ia berkata, “Kunjungilah semua tempat, desa, kota kecil dan besar, jangan sampai ada yang terlewati, kemudian setelah mengumpulkan orang-orang, nyanyikanlah lagu ini,”—sembari mengajarkan bait pertama kepada seniman-seniman itu,—“dan jika sewaktu kalian menyanyikan,” ia menambahkan, “suamiku berada di antara kerumunan orang-orang, ia akan berbicara kepadamu. Beri tahulah ia bahwa saya baik-baik saja dan bawa ia kembali denganmu. Jika ia menolak untuk ikut Bersama kalian, kabari saya.” Ia menyuruh mereka untuk berangkat setelah memberikan uang untuk perjalanan mereka. Mereka memulainya dari Benares sampai akhirnya tiba di sebuah desa perbatasan dan memanggil orang-orang untuk berkumpul. Pada saat ini, sang perampok tinggal di desa tersebut sejak pelariannya. Setelah mengumpulkan orang-orang, mereka menyanyikan bait pertama berikut:
Waktu itu adalah musim semi yang menyenangkan,
dihiasi oleh cerahnya bunga, rumput, dan pohon;
Terbangun dari ketidaksadarannya, Sama sadar kembali,
dan hidup untuk dirimu.
Perampok itu menghampiri mereka setelah mendengar bait ini dan berkata, “Kalian mengatakan bahwa Sama masih hidup, saya tidak percaya.” Dan ia mengulangi bait kedua berikut:
Dapatkah angin kencang menggetarkan gunung?
Dapatkah ia menggoyangkan bumi yang kokoh ini?
Melihat seseorang yang bangkit dari kematian adalah
suatu keanehan yang luar biasa!
Salah seorang seniman itu mengucapkan bait ketiga berikut setelah mendengar perkataannya:
Sama sebenarnya tidak mati,
tidak juga telah menikah dengan laki-laki lain.
Ia hanya makan satu kali dalam sehari,
ia hanya mencintaimu dan kamu seorang.
Perampok itu berkata setelah mendengar perkataan seniman tersebut, “Baik ia hidup maupun mati, saya tidak menginginkan dirinya,” dan mengulangi bait keempat berikut:
Kesukaan Sama selalu berubah-ubah,
dari kesetiaan yang telah lama (teruji) sampai ke cinta yang baru bersemi:
Saya juga, akan dikhianati oleh Sama, jika tidak melarikan diri.
Para seniman itu pulang kembali dan memberi tahu Sama bagaimana mereka berhadapan dengan perampok itu. Sama, penuh dengan penyesalan, kembali menjalani kehidupannya yang dahulu.
Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran ini ketika uraian-Nya selesai:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang tadinya menyesal (karena tergoda oleh mantan istrinya) mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, bhikkhu yang menyesal adalah putra saudagar kaya, mantan istrinya (bhikkhu itu) adalah Sāmā (Sama), dan saya sendiri adalah perampok.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang tergoda oleh mantan istrinya (dalam kehidupan berumah tangga). Situasi dan keadaan yang menyebabkan munculnya kisah ini dijelaskan dalam Indriya-Jātaka. Sang Guru berkata, “Pada kehidupan sebelumnya, kepalamu dipenggal disebabkan oleh dirinya.” Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di desa Kasi dalam rumah seorang perumah tangga, di saat gugus bintang seorang perampok (terjadi). Ketika dewasa, ia menghidupi dirinya dari hasil rampokkan, dan ketenarannya tersebar luas sebagai orang yang berani dan sekuat gajah, dan tidak ada seorang pun yang mampu menangkapnya. Suatu hari ia membobol rumah seorang saudagar kaya dan mengambil banyak hartanya. Para penduduk kota mendatangi raja dan berkata, “Paduka, seorang perampok besar sedang menjarah kota ini, tangkaplah dia!” Raja memerintahkan panglima (penjaga kota) untuk menangkapnya.
Maka pada malam harinya, panglima menempatkan pasukannya di segala penjuru, dan setelah berhasil menangkapnya berserta uang rampokannya, panglima melaporkannya kepada raja. Raja memerintahkan untuk memenggal kepala perampok itu.
Panglima mengikat kedua tangan perampok tersebut di belakang, melingkarkan untaian bunga oleander merah di lehernya, menaburkan bubuk batu bata di atas kepalanya, mencambuk sekujur tubuhnya, dan menggiringnya ke tempat eksekusi diiringi dengan suara tabuhan drum yang berbunyi keras. Orang-orang berkata, “Perampok yang menjarah kota kita sudah ditangkap,” dan seluruh kota menjadi gempar.
Kala itu, hiduplah di Benares seorang pelacur bernama Sāmā (Sama) yang tarifnya sebesar seribu keping uang. Ia adalah salah satu wanita kesayangan raja dan memiliki lima ratus pelayan wanita. Ketika berdiri di depan jendela dari lantai atas istananya, ia melihat perampok ini yang sedang diarak. Saat itu, perampok itu terlihat rupawan dan menarik, menonjol di antara semua penduduk kota, benar-benar berjaya dan terlihat seperti dewa. Ketika melihatnya demikian, ia jatuh cinta dengannya dan berpikir dalam dirinya, “Dengan cara apa bisa kuselamatkan laki-laki ini dan menjadikannya sebagai suamiku?”
“Ini dia caranya,” katanya, dan ia mengutus seorang pelayannya dengan membawa uang seribu keping untuk menemui panglima dan berpesan, “Beri tahu panglima, perampok ini adalah saudara Sama, ia tidak mempunyai tempat untuk berlindung kecuali di tempat Sama. Bujuklah panglima untuk menerima uangnya dan membiarkan tahanan itu melarikan diri.” Pelayan itu pun melakukan persis seperti apa yang diperintahkan kepadanya.
Tetapi panglima berkata, “Ini adalah perampok yang terkenal jahat, saya tidak bisa membiarkannya kabur seperti ini. Akan tetapi, jika saya bisa mendapatkan laki-laki lain sebagai penggantinya, maka saya bisa memasukkan perampok ini dalam kereta yang tertutup dan mengirimkannya kepada kamu.”
Pelayan itu kembali dan melaporkan semuanya kepada sang majikan.
Kala itu juga, ada seorang putra saudagar kaya, yang terpikat kepada Sama, yang setiap harinya memberikan ia uang seribu keping. Dan pada hari yang sama itu pula, di saat matahari terbenam, ia datang ke tempat Sama dengan uangnya, seperti hari-hari biasa. Sama menerima uangnya, meletakkannya di pangkuan dan menangis. Ketika ditanya apa sebabnya ia menangis, Sama berkata, “Tuanku, perampok ini adalah saudaraku, walaupun ia tidak pernah datang untuk menemuiku karena orang-orang mengatakan saya menjalani pekerjaan yang hina. Ketika saya mengirim pesan kepada panglima, ia mengatakan bahwa ia akan melepaskannya jika mendapatkan uang seribu keping. Sekarang saya tidak bisa menemukan siapa pun yang bersedia pergi dan memberikan uang ini kepadanya.”
Demi cintanya kepada Sama, saudagar ini berkata, “Saya yang akan pergi.” “Pergilah kalau begitu, dan bawa uang ini bersamamu,” kata Sama. Ia mengambil uangnya dan pergi ke rumah panglima. Panglima menyembunyikan saudagar ini di tempat rahasia dan memasukkan perampok itu ke dalam kereta yang tertutup dan mengirimkannya kepada Sama. Kemudian ia berpikir, “Perampok ini terkenal di kota ini, akan kueksekusi ia pada saat hari menjelang malam ketika orang-orang beristirahat.”
Dengan pemikiran begitu, ia membuat alasan untuk menundanya sebentar. Ketika orang-orang pergi beristirahat, ia membawa saudagar muda tersebut dengan kawalan ketat ke tempat eksekusi, dan memenggal kepalanya, dengan sebilah pedang menusuk tubuhnya, kemudian kembali ke kota.
Sejak saat itu, Sama tidak lagi menerima apa pun dari laki-laki lain, hanya mendapatkan kesenangan dengan perampok itu. Perampok itu berpikir, “Jika wanita ini jatuh cinta dengan orang lain, ia juga akan membunuhku dan bersenang-senang dengan orang itu. Ia adalah orang yang suka berkhianat kepada teman-temannya. Saya harus segera pergi meninggalkan tempat ini.” Ketika hendak kabur, ia berpikir lagi, “Saya tidak akan pergi dengan tangan kosong, akan kubawa beberapa perhiasannya.” Jadi pada suatu hari, ia berkata kepada Sama, “Sayangku, kita selalu berada di dalam rumah seperti ayam di dalam kandang. Sekali-sekali kita harus keluar dan bermain di taman.” Sama menyetujui usulannya dan mempersiapkan berbagai jenis makanan, memakai perhiasannya dan pergi ke taman dengan kereta yang tertutup. Kala ini, ketika berjalan ke luar dengan Sama, perampok itu berpikir, “Sekarang adalah waktu yang tepat untuk melarikan diri.” Jadi dengan wajah yang dibuat seperti penuh dengan cinta yang mendalam pada Sama, ia masuk ke dalam semak-semak bunga oleander. Dengan berpura-pura memeluk Sama, ia menindihnya sampai tak sadarkan diri, kemudian mengambil semua perhiasannya dan meletakkannya di dalam sebuah bundelan yang kemudian dijinjing di bahunya, dan kabur dengan melompati dinding taman.
Ketika sadar dan bangun dari pingsannya, Sama pergi dan menanyakan kepada para pelayannya apa yang telah terjadi dengan tuannya. “Kami tidak tahu, Nyonya.” “Ia pasti menyangka saya mati dan lari karena ketakutan.” Tertekan dengan pikiran ini, ia pun kembali ke rumahnya dan berkata, “Saya tidak akan duduk beristirahat di atas kursi mewah sebelum bertemu (kembali) dengan tuanku.” Dan ia pun berbaring di atas lantai. Mulai saat itu, ia tidak mengenakan pakaian yang cantik atau makan lebih dari satu kali, juga tidak memakai wewangian, untaian bunga, dan sebagainya. Ia sangat bertekad untuk menemukannya kembali dengan cara apa pun, ia memanggil beberapa seniman dan memberikan mereka uang seribu keping.
Mereka bertanya, “Apa yang harus kami lakukan, Nyonya?” Ia berkata, “Kunjungilah semua tempat, desa, kota kecil dan besar, jangan sampai ada yang terlewati, kemudian setelah mengumpulkan orang-orang, nyanyikanlah lagu ini,”—sembari mengajarkan bait pertama kepada seniman-seniman itu,—“dan jika sewaktu kalian menyanyikan,” ia menambahkan, “suamiku berada di antara kerumunan orang-orang, ia akan berbicara kepadamu. Beri tahulah ia bahwa saya baik-baik saja dan bawa ia kembali denganmu. Jika ia menolak untuk ikut Bersama kalian, kabari saya.” Ia menyuruh mereka untuk berangkat setelah memberikan uang untuk perjalanan mereka. Mereka memulainya dari Benares sampai akhirnya tiba di sebuah desa perbatasan dan memanggil orang-orang untuk berkumpul. Pada saat ini, sang perampok tinggal di desa tersebut sejak pelariannya. Setelah mengumpulkan orang-orang, mereka menyanyikan bait pertama berikut:
Waktu itu adalah musim semi yang menyenangkan,
dihiasi oleh cerahnya bunga, rumput, dan pohon;
Terbangun dari ketidaksadarannya, Sama sadar kembali,
dan hidup untuk dirimu.
Perampok itu menghampiri mereka setelah mendengar bait ini dan berkata, “Kalian mengatakan bahwa Sama masih hidup, saya tidak percaya.” Dan ia mengulangi bait kedua berikut:
Dapatkah angin kencang menggetarkan gunung?
Dapatkah ia menggoyangkan bumi yang kokoh ini?
Melihat seseorang yang bangkit dari kematian adalah
suatu keanehan yang luar biasa!
Salah seorang seniman itu mengucapkan bait ketiga berikut setelah mendengar perkataannya:
Sama sebenarnya tidak mati,
tidak juga telah menikah dengan laki-laki lain.
Ia hanya makan satu kali dalam sehari,
ia hanya mencintaimu dan kamu seorang.
Perampok itu berkata setelah mendengar perkataan seniman tersebut, “Baik ia hidup maupun mati, saya tidak menginginkan dirinya,” dan mengulangi bait keempat berikut:
Kesukaan Sama selalu berubah-ubah,
dari kesetiaan yang telah lama (teruji) sampai ke cinta yang baru bersemi:
Saya juga, akan dikhianati oleh Sama, jika tidak melarikan diri.
Para seniman itu pulang kembali dan memberi tahu Sama bagaimana mereka berhadapan dengan perampok itu. Sama, penuh dengan penyesalan, kembali menjalani kehidupannya yang dahulu.
Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran ini ketika uraian-Nya selesai:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang tadinya menyesal (karena tergoda oleh mantan istrinya) mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, bhikkhu yang menyesal adalah putra saudagar kaya, mantan istrinya (bhikkhu itu) adalah Sāmā (Sama), dan saya sendiri adalah perampok.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com