Sariputta | Jataka | KANHA-JATAKA Sariputta

KANHA-JATAKA


“Dengan muatan yang berat,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai keajaiban ganda, bersamaan dengan turunnya makhluk dewata dari surga, yang berhubungan dengan Buku Ketiga Belas, dalam Sarabhamiga-Jātaka.

Setelah menunjukkan keajaiban ganda, dan telah menetap di surga, Buddha Yang Maha Tahu turun ke Kota Saṁkassa, di saat perayaan Pavāranā agung, kemudian Beliau bersama sejumlah pengiringnya pergi ke Jetawana. Saat berkumpul bersama di Balai Kebenaran, sambil duduk, para bhikkhu memuji kebajikan Sang Guru, dengan berkata, “Awuso, Sang Buddha tiada taranya, tidak ada yang mampu menahan palang yang ditahan oleh Sang Buddha.

Walaupun keenam guru begitu sering mengatakan bahwa mereka, hanya mereka, yang bisa mempertunjukkan keajaiban, namun tidak ada satu keajiban pun yang pernah mereka tunjukkan. Oh, betapa tiada taranya Guru kita!”

Saat itu, Sang Guru masuk ke dalam balai tersebut dan menanyakan topik pembicaraan dalam pertemuan tersebut; Sang Guru mendapat penjelasan bahwa topik mereka tak lain adalah mengenai kebajikan Beliau. “Para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “siapa yang mampu menahan palang yang ditahan oleh-Ku? Bahkan di masa lalu, ketika saya hidup sebagai hewan, saya tidak tertandingi.” Setelah mengatakan hal tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor sapi jantan. Saat masih berupa anak sapi, pemiliknya yang tinggal bersama seorang wanita tua, menyerahkan sapi itu sebagai penyelesaian terhadap perhitungan mereka. Wanita itu membesarkannya seperti anaknya sendiri, memberikan ia bubur beras dan nasi serta makanan yang enak lainnya. Ia dikenal sebagai Ayyikākāḷaka (Si Hitam Milik Nenek). Setelah dewasa, ia selalu berkeliaran bersama kawanan ternak lainnya dari desa tersebut, dan warnanya hitam legam. Anak-anak dari desa itu selalu memegang tanduk dan telinga serta melompat ke punggungnya untuk menungganginya. Atau mereka akan menarik ekornya untuk bermain-main, kemudian memanjat ke punggungnya.

Suatu hari, ia berpikir, “Ibuku sangat miskin; ia telah membesarkanku dengan segenap usahanya, seakan-akan saya adalah anak kandungnya sendiri. Bagaimana jika saya mendapatkan sedikit uang untuk meringankan penderitaannya?”

Sejak saat itu, ia selalu mencari pekerjaan. Suatu hari, seorang saudagar muda yang merupakan pemilik gerobak yang datang bersama lima ratus buah keretanya, melewati dasar sungai yang sangat kasar, sehingga sapi-sapinya tidak dapat menarik kereta-kereta itu melewati tempat tersebut. Walaupun ia telah mengikatkan kelima ratus pasang sapinya membentuk kelompok besar, mereka masih tidak dapat menarik satu kereta pun untuk menyeberangi sungai tersebut. Sementara itu, Bodhisatta sedang bermain bersama kawanan ternak lainnya di sekitar tempat itu. Saudagar muda yang terbiasa menilai ternak, mengamati kawanan ternak itu untuk melihat apakah di antara mereka ada sapi keturunan murni yang dapat menarik keretanya menyeberangi sungai. Ketika melihat Bodhisatta, ia merasa yakin sapi itu pasti mampu; dan untuk mengetahui siapa pemilik sapiitu, ia bertanya kepada para penggembala yang ada di sana,

“Siapakah pemilik hewan ini? Jika saya boleh mengikatkannya pada palang untuk menyeberangkan kereta saya, saya akan membayar jasanya.” Mereka berkata padanya, “Bawa dan manfaatkan saja dia, majikannya tidak berada di sekitar sini.”

Saat saudagar itu memasangkan tali melalui hidungnya dan mencoba membawanya pergi, Bodhisatta tidak mau bergerak. Menurut apa yang diceritakan secara turun temurun, ia tidak mau bergerak sebelum mereka sepakat tentang bayarannya. Mengerti maksud sapi tersebut, saudagar itu berkata, “Teman, jika kamu bisa menarik kelima ratus buah keretaku menyeberang, saya akan membayar dua keping uang per kereta, atau seribu keping uang secara keseluruhan.”

Setelah sepakat, Bodhisatta bergerak tanpa perlu didorong lagi. Ia pergi ke sungai dan mereka mengikatnya pada kereta milik saudagar itu. Ia menarik kereta pertama dengan satu sentakan, mendaratkannya di tempat yang tinggi dan kering; dengan cara yang sama ia memperlakukan seluruh rangkaian kereta itu.

Saudagar muda itu mengikatkan satu rangkaian koin sejumlah lima ratus keping ke leher Bodhisatta, atau harga yang ia bayar untuk satu kereta hanya satu keping saja. Bodhisatta berpikir, “Orang ini tidak membayar sesuai dengan perjanjian! Saya tidak akan membiarkan dia meneruskan perjalanannya!”

Maka ia berdiri di depan kereta pertama dan menghalangi jalannya. Bagaimana pun mereka coba, mereka tidak dapat memindahkannya dari tengah jalan.

“Saya rasa dia tahu bayarannya kurang,” pikir saudagar itu; dan dia melilitkan ikatan seribu keping ke leher Bodhisatta dan berkata, “Ini bayaran atas jasamu menarik kereta-kereta itu menyeberang.” Bodhisatta segera membawa uang seribu kepingnya pergi mencari “ibunya”.

“Apa yang terdapat di leher Ayyikākāḷaka?” teriak anak-anak desa itu sambil mengejarnya. Namun Bodhisatta melempar mereka dari jauh dan membuat mereka lari tunggang langgang, sehingga ia bisa tiba di tempat “ibunya” dengan selamat. Saat tiba, ia sangat lelah, dengan mata yang memerah, karena menarik lima ratus buah kereta menyeberangi sungai. Wanita yang saleh itu, melihat seribu keping uang yang terlilit di leher Bodhisatta, berteriak, “Dari mana kau dapatkan uang ini, Anakku?” Saat mendengar penjelasan dari para penggembala tentang apa yang telah terjadi, ia berseru, “Pernahkah saya berharap untuk hidup dari uang yang engkau peroleh, Anakku?

Mengapa engkau sampai mengalami kelelahan seperti ini?”

Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia memandikan Bodhisatta dengan air hangat, menyikat seluruh tubuhnya dengan minyak, memberikan minuman dan menyuguhkan makanan yang sepantasnya untuk Bodhisatta. Saat waktunya tiba, ia meninggal dunia, bersama dengan Bodhisatta, terlahir di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.

Ketika Sang Guru telah menyelesaikan uraian untuk menunjukkan bahwa Sang Buddha tidak tertandingi di kehidupan yang lampau hingga kehidupan sekarang ini, Beliau mempertautkannya dengan mengucapkan, sebagai seorang Buddha, syair berikut ini : —

Dengan membawa beban yang berat, melewati jalanan yang rusak,

Mereka mengikatkan ‘Si Hitam’; ia segera menarik muatan itu.

Setelah uraian untuk memperlihatkan bahwa hanya ‘Si Hitam’ yang mampu menarik muatan itu, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Uppalavaṇṇā adalah wanita tua tersebut dan Saya sendiri adalah ‘Si Hitam Milik Nenek’.”

sumber: ITC, Jataka Vol. I
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com