KASSAPAMANDIYA-JATAKA
“Jika anak muda berbuat ceroboh,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu tua. Dikatakan bahwa setelah mengetahui keburukan dari kesenangan indiriawi, seorang bangsawan muda di Sāvatthi (Savatthi), menerima penahbisan dari Sang Guru, dan dengan selalu mempraktikkan meditasi yang menimbulkan ketenangan, ia pun mencapai tingkat kesucian Arahat dalam waktu singkat. Sepeninggal ibunya, ia menahbiskan ayah dan adiknya sebagai pabbajita, dan mereka bertempat tinggal di Jetavana.
Pada awal musim hujan, mendengar adanya tempat di suatu desa dimana jubah dapat diperoleh dengan mudah, mereka pergi untuk berdiam di sana melewati masa vassa. Dan mereka langsung kembali ke Jetavana sesudah masa vassa berakhir. Ketika mereka berada di tempat yang sudah dekat dengan Jetavana, bhikkhu muda tersebut memberitahukan samanera (bhikkhu pemula) untuk membawa ayah mereka dengan tenang, sedangkan ia akan pergi dahulu ke Jetavana untuk mempersiapkan tempat tinggal mereka. Bhikkhu tua ini berjalan pelan sekali. Samanera berulang-ulang mendorong bagian belakang bhikkhu tua itu dengan kepalanya, dan menariknya dengan kuat, seraya berkata, “Ayolah, Bhante.”
Bhikkhu tua membalas, “Anda memaksa saya melakukan hal di luar keinginanku,” kemudian kembali ke posisi semula dan memulainya dari awal. Demikian mereka terus berselisih sepanjang perjalanan, sampai akhirnya matahari terbenam dan kegelapan mulai muncul. Sementara itu, bhikkhu muda tersebut menyapu gubuknya, mengisi air ke dalam tempayan. Karena melihat mereka tidak kunjung pulang juga, ia pun mengambil obor dan pergi menjemput mereka. Ketika mereka bertemu, ia menanyakan apa yang menyebabkan mereka begitu lama sampainya. Laki-laki tua itu memberitahukan alasannya. Maka ia pun meminta mereka untuk beristirahat dan kemudian membawa mereka pulang dengan perlahan. Pada hari itu ia merasa sudah tidak sempat lagi mengunjungi Sang Buddha. Maka pada keesokan harinya, ketika ia datang untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha, setelah ia memberi penghormatan dan duduk pada tempatnya, Sang Guru bertanya, “Kapan Anda tiba?”
“Kemarin, Bhante.” “Anda tiba semalam dan baru sekarang datang ke sini?” “Ya, Bhante,” ia menjawab dan memberitahukan alasannya. Sang Guru mengecam bhikkhu tua tersebut, “Bukan hanya kali ini ia bertindak seperti itu, tetapi juga di masa lampau ia melakukan hal yang sama. Kali ini Anda yang dibuat kesal olehnya, di masa lampau ia membuat kesal orang bijak.” Dan atas permintaan bhikkhu muda itu, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam kehidupan sebuah keluarga brahmana di sebuah kota di negeri Kāsi (Kasi). Ketika ia dewasa, ibunya meninggal dunia. Setelah melaksanakan upacara pemakaman, pada akhir minggu keenam ia mendermakan semua harta yang ada di rumahnya. Dengan membawa adik dan ayahnya, ia mengenakan pakaian dari kulit kayu dan menjalani kehidupan suci seorang petapa di daerah pegunungan Himalaya. Dan di sana ia tinggal di dalam hutan yang menyenangkan, bertahan hidup dengan merapu makanan dan memakan akar-akaran dan buah-buahan yang tumbuh liar.
Pada masa itu di Himalaya, selama musim hujan ketika curah hujan tinggi, adalah hal yang tidak mungkin untuk mendapatkan umbi-umbian, akar-akaran atau buah-buahan, dan daun-daun mulai berguguran. Maka para petapa akan turun gunung, berdiam di tempat yang dihuni oleh banyak orang (manusia awam). Kala itu, setelah tinggal di tempat ini Bersama ayah dan adiknya, ketika negeri Himalaya kembali dihiasi oleh bunga-bunga yang bermekaran dan pohon yang berbuah, Bodhisatta membawa keduanya kembali ke tempat pertapaan mereka di Himalaya. Di saat matahari terbenam, ketika mereka berada tidak jauh lagi dari tempat pertapaan itu, ia meninggalkan mereka dengan berpesan, “Kalian bisa berjalan dengan pelan sekarang, sedangkan saya akan jalan lebih cepat untuk terlebih dahulu tiba dan mempersiapkan segala sesuatunya di sana.”
Kemudian petapa pemula itu pun berjalan dengan pelan bersama ayahnya sambil terus mendorong pinggangnya dengan menggunakan kepalanya. Laki-laki tua itu berkata, “Saya tidak suka caramu membawaku pulang.” Ia kembali ke posisi semula dan mengulanginya lagi dari awal. Ketika mereka terus berselisih demikian, hari pun mulai menjadi gelap. Bodhisatta mengambil obor dan kembali menjemput mereka setelah selesai menyapu gubuknya dan mengisi air. Ketika berjumpa dengan mereka, ia menanyakan mengapa mereka membutuhkan waktu yang lama untuk tiba di sana. Dan adiknya memberitahukan kepadanya apa yang telah dilakukan ayah mereka. Kemudian Bodhisatta membawa mereka pulang kembali ke tempat tinggal mereka dengan tenang, dan sesudah menyimpan perlengkapan petapanya, ia menyiapkan keperluan mandi ayahnya, membasuh kakinya dan menggosok punggunggnya. Kemudian ia menyiapkan arang dan, ketika ayahnya sudah tidak kelelahan lagi, ia duduk di dekatnya dan berkata, “Ayah, anak muda sama
seperti tempayan dari tanah liat: mereka bisa saja rusak sewaktu-waktu, dan sekali mereka rusak, tidak mungkin untuk memperbaikinya kembali. Orang yang lebih tua harus menghadapi mereka dengan sabar ketika mereka sedang gusar.”
Dan untuk menasihati ayahnya, Kassapa, ia mengucapkan bait-bait berikut:
Jika anak muda berbuat ceroboh, baik dalam ucapan
maupun dalam perbuatan,
maka tunjukkanlah bagian dari kebijaksanaan ini;
Perselisihan di antara orang baik akan cepat berakhir,
sedangkan orang dungu akan terpecah belah, seperti
tempayan dari tanah liat yang hancur.
Manusia bijak belajar, waspada terhadap keburukan
mereka sendiri, yang tak ada habisnya;
Demikian beban berat seorang abang (orang yang lebih tua), menyelesaikan perselisihan yang terjadi dengan tenang.
Demikian Bodhisatta menasihati ayahnya. Sejak saat itu, ia mulai melatih pengendalian diri.
Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini sesudah menyelesaikan uraian-Nya: “Pada masa itu, bhikkhu tua adalah ayah petapa, bhikkhu pemula (samanera) adalah petapa muda, dan saya sendiri adalah anak yang menasihati ayahnya.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu tua. Dikatakan bahwa setelah mengetahui keburukan dari kesenangan indiriawi, seorang bangsawan muda di Sāvatthi (Savatthi), menerima penahbisan dari Sang Guru, dan dengan selalu mempraktikkan meditasi yang menimbulkan ketenangan, ia pun mencapai tingkat kesucian Arahat dalam waktu singkat. Sepeninggal ibunya, ia menahbiskan ayah dan adiknya sebagai pabbajita, dan mereka bertempat tinggal di Jetavana.
Pada awal musim hujan, mendengar adanya tempat di suatu desa dimana jubah dapat diperoleh dengan mudah, mereka pergi untuk berdiam di sana melewati masa vassa. Dan mereka langsung kembali ke Jetavana sesudah masa vassa berakhir. Ketika mereka berada di tempat yang sudah dekat dengan Jetavana, bhikkhu muda tersebut memberitahukan samanera (bhikkhu pemula) untuk membawa ayah mereka dengan tenang, sedangkan ia akan pergi dahulu ke Jetavana untuk mempersiapkan tempat tinggal mereka. Bhikkhu tua ini berjalan pelan sekali. Samanera berulang-ulang mendorong bagian belakang bhikkhu tua itu dengan kepalanya, dan menariknya dengan kuat, seraya berkata, “Ayolah, Bhante.”
Bhikkhu tua membalas, “Anda memaksa saya melakukan hal di luar keinginanku,” kemudian kembali ke posisi semula dan memulainya dari awal. Demikian mereka terus berselisih sepanjang perjalanan, sampai akhirnya matahari terbenam dan kegelapan mulai muncul. Sementara itu, bhikkhu muda tersebut menyapu gubuknya, mengisi air ke dalam tempayan. Karena melihat mereka tidak kunjung pulang juga, ia pun mengambil obor dan pergi menjemput mereka. Ketika mereka bertemu, ia menanyakan apa yang menyebabkan mereka begitu lama sampainya. Laki-laki tua itu memberitahukan alasannya. Maka ia pun meminta mereka untuk beristirahat dan kemudian membawa mereka pulang dengan perlahan. Pada hari itu ia merasa sudah tidak sempat lagi mengunjungi Sang Buddha. Maka pada keesokan harinya, ketika ia datang untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha, setelah ia memberi penghormatan dan duduk pada tempatnya, Sang Guru bertanya, “Kapan Anda tiba?”
“Kemarin, Bhante.” “Anda tiba semalam dan baru sekarang datang ke sini?” “Ya, Bhante,” ia menjawab dan memberitahukan alasannya. Sang Guru mengecam bhikkhu tua tersebut, “Bukan hanya kali ini ia bertindak seperti itu, tetapi juga di masa lampau ia melakukan hal yang sama. Kali ini Anda yang dibuat kesal olehnya, di masa lampau ia membuat kesal orang bijak.” Dan atas permintaan bhikkhu muda itu, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam kehidupan sebuah keluarga brahmana di sebuah kota di negeri Kāsi (Kasi). Ketika ia dewasa, ibunya meninggal dunia. Setelah melaksanakan upacara pemakaman, pada akhir minggu keenam ia mendermakan semua harta yang ada di rumahnya. Dengan membawa adik dan ayahnya, ia mengenakan pakaian dari kulit kayu dan menjalani kehidupan suci seorang petapa di daerah pegunungan Himalaya. Dan di sana ia tinggal di dalam hutan yang menyenangkan, bertahan hidup dengan merapu makanan dan memakan akar-akaran dan buah-buahan yang tumbuh liar.
Pada masa itu di Himalaya, selama musim hujan ketika curah hujan tinggi, adalah hal yang tidak mungkin untuk mendapatkan umbi-umbian, akar-akaran atau buah-buahan, dan daun-daun mulai berguguran. Maka para petapa akan turun gunung, berdiam di tempat yang dihuni oleh banyak orang (manusia awam). Kala itu, setelah tinggal di tempat ini Bersama ayah dan adiknya, ketika negeri Himalaya kembali dihiasi oleh bunga-bunga yang bermekaran dan pohon yang berbuah, Bodhisatta membawa keduanya kembali ke tempat pertapaan mereka di Himalaya. Di saat matahari terbenam, ketika mereka berada tidak jauh lagi dari tempat pertapaan itu, ia meninggalkan mereka dengan berpesan, “Kalian bisa berjalan dengan pelan sekarang, sedangkan saya akan jalan lebih cepat untuk terlebih dahulu tiba dan mempersiapkan segala sesuatunya di sana.”
Kemudian petapa pemula itu pun berjalan dengan pelan bersama ayahnya sambil terus mendorong pinggangnya dengan menggunakan kepalanya. Laki-laki tua itu berkata, “Saya tidak suka caramu membawaku pulang.” Ia kembali ke posisi semula dan mengulanginya lagi dari awal. Ketika mereka terus berselisih demikian, hari pun mulai menjadi gelap. Bodhisatta mengambil obor dan kembali menjemput mereka setelah selesai menyapu gubuknya dan mengisi air. Ketika berjumpa dengan mereka, ia menanyakan mengapa mereka membutuhkan waktu yang lama untuk tiba di sana. Dan adiknya memberitahukan kepadanya apa yang telah dilakukan ayah mereka. Kemudian Bodhisatta membawa mereka pulang kembali ke tempat tinggal mereka dengan tenang, dan sesudah menyimpan perlengkapan petapanya, ia menyiapkan keperluan mandi ayahnya, membasuh kakinya dan menggosok punggunggnya. Kemudian ia menyiapkan arang dan, ketika ayahnya sudah tidak kelelahan lagi, ia duduk di dekatnya dan berkata, “Ayah, anak muda sama
seperti tempayan dari tanah liat: mereka bisa saja rusak sewaktu-waktu, dan sekali mereka rusak, tidak mungkin untuk memperbaikinya kembali. Orang yang lebih tua harus menghadapi mereka dengan sabar ketika mereka sedang gusar.”
Dan untuk menasihati ayahnya, Kassapa, ia mengucapkan bait-bait berikut:
Jika anak muda berbuat ceroboh, baik dalam ucapan
maupun dalam perbuatan,
maka tunjukkanlah bagian dari kebijaksanaan ini;
Perselisihan di antara orang baik akan cepat berakhir,
sedangkan orang dungu akan terpecah belah, seperti
tempayan dari tanah liat yang hancur.
Manusia bijak belajar, waspada terhadap keburukan
mereka sendiri, yang tak ada habisnya;
Demikian beban berat seorang abang (orang yang lebih tua), menyelesaikan perselisihan yang terjadi dengan tenang.
Demikian Bodhisatta menasihati ayahnya. Sejak saat itu, ia mulai melatih pengendalian diri.
Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini sesudah menyelesaikan uraian-Nya: “Pada masa itu, bhikkhu tua adalah ayah petapa, bhikkhu pemula (samanera) adalah petapa muda, dan saya sendiri adalah anak yang menasihati ayahnya.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com