KHANTIVADI-JATAKA
“Ia yang memotong,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang pemarah. Kejadian yang menimbulkan kisah ini telah diuraikan sebelumnya. Sang Guru bertanya kepada bhikkhu itu, “Mengapa setelah bertahbis menjadi siswa dari Sang Buddha yang ajarannya tidak mengenal apa itu kemarahan, Anda malah menunjukkan kemarahan? Orang bijak di masa lampau, walaupun menderita ribuan kali cambukkan, walaupun tangan, kaki, telinga dan hidung mereka dipotong, tidak menunjukkan kemarahan kepada siapa pun.” Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala Raja Kāsi (Kasi) yang bernama Kalābu (Kalabu) memerintah di Benares. Kala itu, Bodhisatta terlahir sebagai pemuda bernama Kuṇḍaka (Kundaka) di sebuah keluarga brahmana yang memiliki kekayaan sebesar delapan ratus juta. Ketika dewasa, ia memperoleh pengetahuan tentang semua bidang ilmu pengetahuan di Takkasila, dan sesudahnya, pulang kembali ke rumah sebagai seorang perumah tangga.
Sepeninggal kedua orang tuanya, ia berpikir sendiri sambil melihat tumpukan hartanya: “Sanak keluargaku yang mengumpulkan harta kekayaan ini telah pergi semua tanpa membawa serta harta mereka. Sekarang adalah giliranku untuk memilikinya dan juga meninggalkannya.” Oleh karena itu, dengan hati-hati ia memilih orang-orang, yang berbuat kebajikan dengan (selalu) memberikan derma yang pantas mendapatkannya, dan memberikan kekayaannya kepada mereka. Kemudian ia pergi ke daerah pegunungan Himalaya dan menjalani kehidupan suci sebagai seorang petapa. Di sana, ia tinggal untuk waktu yang lama, bertahan hidup dengan memakan buah-buahan (yang tumbuh liar). Ingin mendapatkan sedikit garam dan cuka, ia pergi ke rumah penduduk di Benares dimana ia bermalam taman kerajaan. Keesokan harinya, ia berkeliling kota untuk mendapatkan derma makanan sampai tiba di depan pintu rumah seorang Panglima tertinggi. Panglima itu membawanya masuk ke rumah karena merasa senang dengan kesopanan tingkah lakunya dan memberinya makan hidangan yang sebenarnya disiapkan untuk dirinya sendiri. Setelah memberikan persetujuan kepadanya, Panglima meminta pengawalnya untuk mengantar petapa tersebut tinggal di dalam taman kerajaan.
Suatu hari raja Kalabu, dengan keinginan meminum minuman keras, pergi ke taman dengan rombongan yang besar dan dikelilingi oleh rombongan penari. Kemudian ia meminta anak buahnya untuk menyiapkan pembaringan pada satu papan batu yang besar dan berbaring dengan kepala di atas pangkuan istri kesayangannya, sedangkan para penari, yang ahli dalam tarik suara dan alat-alat musik serta tarian, menyajikan satu hiburan musikal—demikian besar kejayaannya, seperti kejayaan Sakka, Raja Dewa—dan kemudian raja pun tertidur. Wanita-wanita penari itu berkata, “Orang yang kita hibur dengan sajian musik sudah tertidur, apa gunanya lagi kita bernyanyi?”
Kemudian mereka menyampingkan kecapi dan alat-alat music lainnya di sana, dan menuju ke dalam taman untuk bersenang-senang karena tergoda oleh bunga-bunga dan pohon yang sedang berbuah di sana.
Kala itu, Bodhisatta sedang duduk di dalam taman tersebut di bawah pohon sala yang berbunga, seperti gajah dalam kebanggaan akan kekuatannya, menikmati kebahagiaan terlepas dari keduniawian. Kemudian wanita-wanita yang sedang berjalan-jalan di sana melihat dirinya dan berkata, “Kemarilah, mari kita duduk dan mendengarkan sesuatu dari petapa yang sedang beristirahat di bawah pohon ini, selagi raja tidur.” Mereka pun pergi dan memberi penghormatan kepadanya. Setelah duduk mengelilinginya, mereka berkata, “Ajarkanlah sesuatu yang baik untuk kami dengar.” Kemudian Bodhisatta mengajarkan ajarannya kepada mereka.
Sementara itu, dengan satu gerakan tubuhnya, istri kesayangan raja membuatnya terbangun. Ketika bangun dan tidak melihat wanita-wanita tersebut, raja bertanya, “Ke manakah perginya mereka?” “Paduka,” katanya, “mereka telah pergi dan menemui seorang petapa untuk mendengarkan ajarannya.”
Dengan marah raja mengambil sebilah pedang dan pergi dengan tergesa-gesa sembari berkata, “Akan kuberi petapa gadungan itu sebuah pelajaran.” Ketika melihat raja datang dengan marah, para wanita yang baik itu pergi dan mengambil pedang dari tangan raja, kemudian menenangkan dirinya. Kemudian raja mendatangi petapa itu dan berdiri di dekat Bodhisatta, bertanya, “Apa yang kamu ajarkan, Petapa?” “Ajaran tentang kesabaran, Paduka,” jawabnya. “Apa itu kesabaran?” tanya raja itu. “Tidak marah ketika orang mencerca, memukul dan mencaci maki dirimu,” jawabnya. Raja berkata, “Sekarang akan kuuji kebenaran dari ajaran kesabaranmu,” dan memanggil algojonya. Algojo datang dengan membawa sebuah kapak, cambuk duri, mengenakan jubah kuning dan untaian bunga merah, memberi hormat kepada raja dan berkata, “Apa perintahmu, Paduka?”
“Bawa dan seret petapa gadungan ini,” kata raja, “baringkan ia di tanah dan cambuk dengan cambuk duri sebanyak dua ribu kali di bagian depan, belakang dan kedua sisinya.” Algojo melaksanakan perintahnya, bagian luar dan dalam kulit Bodhisatta terkelupas, terpotong sampai ke dagingnya, dan darah mengalir keluar. Raja bertanya lagi, “Apa yang kamu ajarkan, Petapa?” “Ajaran tentang kesabaran, Paduka,” jawabnya, “Anda pikir kesabaranku berada di dalam kulit.
Kesabaranku tidaklah berada di dalam kulit, melainkan berada sangat dalam di satu tempat, tempat Anda tidak bisa melihatnya, Paduka.” Algojo bertanya kembali, “Apa perintahmu, Paduka?”
Raja berkata, “Potong kedua kaki dan tangan dari petapa gadungan ini.” Algojo mengambil kapaknya, dan setelah meletakkan korbannya di dalam lingkaran maut, memotong kedua tangannya. Kemudian raja berkata, “Potong kedua kakinya,” dan kaki sang petapa pun dipotong. Darah mengucur deras dari kedua kaki dan tangan Bodhisatta seperti air yang mengucur keluar dari sebuah kendi pecah. Sekali lagi raja menanyakan ajaran apa yang diajarkannya. “Ajaran tentang kesabaran, Paduka,” jawabnya, “Anda pikir kesabaranku berada di kedua kaki dan tanganku. Kesabaranku tidaklah berada di sana, melainkan berada di dalam suatu tempat.” Raja berkata, “Potong hidung dan kedua telinganya.” Algojo melaksanakannya.
Sekujur tubuhnya sekarang berlumuran darah, dan kembali raja menanyakan ajaran apa yang diajarkannya. Dan ia berkata, “Janganlah berpikir bahwa kesabaranku berada di ujung hidung dan telingaku. Kesabaranku berada jauh di dalam hatiku.” Raja berkata, “Berbaringlah, Petapa gadungan, dan kembangkanlah kesabaranmu di sana.” Setelah berkata demikian, raja memijak
dada Bodhisatta dengan kakinya, dan kemudian pergi.
Ketika ia telah pergi, Panglima mengusap darah dari tubuh Bodhisatta, membalutkan perban di kedua kaki, tangan, telinga, dan hidungnya. Setelah mendudukkannya pada satu tempat duduk dengan pelan, ia memberi hormat kepadanya, duduk di satu sisi dan berkata, “Jika, Yang Mulia, Anda hendak marah kepada orang yang melakukan perbuatan buruk ini, maka marahlah (hanya) kepada raja, jangan marah kepada yang lainnya.” Panglima mengulangi bait berikut sewaktu memohon permintaan tersebut di atas:
Ia yang memotong hidung dan telingamu, dan memotong
kaki dan tanganmu, marahlah kepadanya,
tetapi, kami mohon, ampunilah kerajaan ini.
Bodhisatta yang mendegar ini mengucapkan bait kedua berikut:
Semoga Paduka panjang umur, yang
tangannya menghancurkan tubuhku ini,
orang-orang suci seperti diriku ini tidak pernah
menanggapinya dengan kemarahan.
Persis di saat raja berjalan keluar dari taman itu, ketika ia tidak terlihat dari jarak pandang Bodhisatta, bumi megah yang tebalnya dua ratus empat puluh ribu yojana terpecah menjadi dua, terjatuh seperti pakaian dari bahan yang amat berat, dan kobaran api dari neraka Avīci (Avici) menangkap raja, dan membungkusnya seperti jubah kerajaan yang terbuat dari kain wol merah. Demikian raja tenggelam masuk ke dalam bumi persis di atas pintu gerbang taman dan berada di Alam Neraka Avici. Bodhisatta meninggal pada hari yang sama itu juga. Para anak buah raja dan penduduk datang dengan membawa wewangian, untaian bunga dan dupa di tangan mereka untuk melakukan upacara pemakaman Bodhisatta. Beberapa orang mengatakan bahwa Bodhisatta langsung terlahir kembali di Himalaya. Tetapi dalam bait berikut, mereka tidak mengatakan apa pun tentangnya:
Seorang bijak di masa lampau, seperti yang diceritakan, menunjukkan kesabaran yang besar:
Orang suci itu sangat kuat dalam menahan penderitaan,
yang dilakukan oleh Raja Kāsi.
Utang-utang penyesalan yang harus dilunasi oleh raja:
Ketika berakhir dengan berdiam di alam neraka
terendah, ia akan menyesal dalam waktu yang sangat lama.
Kedua bait ini diucapkan oleh Ia yang sempurna kebijaksanaan-Nya.
Setelah menyampaikan uraian-Nya, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran ini:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang pemarah itu mencapai tingkat kesucian Anāgāmī, dan banyak lagi lainnya yang mencapai tingkat kesucian Sotāpanna .:—Pada masa itu, Devadatta adalah Kalābu (Kalabu), Raja Kasi, Sāriputta adalah panglima dan saya sendiri adalah sang petapa, si pengajar kesabaran.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang pemarah. Kejadian yang menimbulkan kisah ini telah diuraikan sebelumnya. Sang Guru bertanya kepada bhikkhu itu, “Mengapa setelah bertahbis menjadi siswa dari Sang Buddha yang ajarannya tidak mengenal apa itu kemarahan, Anda malah menunjukkan kemarahan? Orang bijak di masa lampau, walaupun menderita ribuan kali cambukkan, walaupun tangan, kaki, telinga dan hidung mereka dipotong, tidak menunjukkan kemarahan kepada siapa pun.” Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala Raja Kāsi (Kasi) yang bernama Kalābu (Kalabu) memerintah di Benares. Kala itu, Bodhisatta terlahir sebagai pemuda bernama Kuṇḍaka (Kundaka) di sebuah keluarga brahmana yang memiliki kekayaan sebesar delapan ratus juta. Ketika dewasa, ia memperoleh pengetahuan tentang semua bidang ilmu pengetahuan di Takkasila, dan sesudahnya, pulang kembali ke rumah sebagai seorang perumah tangga.
Sepeninggal kedua orang tuanya, ia berpikir sendiri sambil melihat tumpukan hartanya: “Sanak keluargaku yang mengumpulkan harta kekayaan ini telah pergi semua tanpa membawa serta harta mereka. Sekarang adalah giliranku untuk memilikinya dan juga meninggalkannya.” Oleh karena itu, dengan hati-hati ia memilih orang-orang, yang berbuat kebajikan dengan (selalu) memberikan derma yang pantas mendapatkannya, dan memberikan kekayaannya kepada mereka. Kemudian ia pergi ke daerah pegunungan Himalaya dan menjalani kehidupan suci sebagai seorang petapa. Di sana, ia tinggal untuk waktu yang lama, bertahan hidup dengan memakan buah-buahan (yang tumbuh liar). Ingin mendapatkan sedikit garam dan cuka, ia pergi ke rumah penduduk di Benares dimana ia bermalam taman kerajaan. Keesokan harinya, ia berkeliling kota untuk mendapatkan derma makanan sampai tiba di depan pintu rumah seorang Panglima tertinggi. Panglima itu membawanya masuk ke rumah karena merasa senang dengan kesopanan tingkah lakunya dan memberinya makan hidangan yang sebenarnya disiapkan untuk dirinya sendiri. Setelah memberikan persetujuan kepadanya, Panglima meminta pengawalnya untuk mengantar petapa tersebut tinggal di dalam taman kerajaan.
Suatu hari raja Kalabu, dengan keinginan meminum minuman keras, pergi ke taman dengan rombongan yang besar dan dikelilingi oleh rombongan penari. Kemudian ia meminta anak buahnya untuk menyiapkan pembaringan pada satu papan batu yang besar dan berbaring dengan kepala di atas pangkuan istri kesayangannya, sedangkan para penari, yang ahli dalam tarik suara dan alat-alat musik serta tarian, menyajikan satu hiburan musikal—demikian besar kejayaannya, seperti kejayaan Sakka, Raja Dewa—dan kemudian raja pun tertidur. Wanita-wanita penari itu berkata, “Orang yang kita hibur dengan sajian musik sudah tertidur, apa gunanya lagi kita bernyanyi?”
Kemudian mereka menyampingkan kecapi dan alat-alat music lainnya di sana, dan menuju ke dalam taman untuk bersenang-senang karena tergoda oleh bunga-bunga dan pohon yang sedang berbuah di sana.
Kala itu, Bodhisatta sedang duduk di dalam taman tersebut di bawah pohon sala yang berbunga, seperti gajah dalam kebanggaan akan kekuatannya, menikmati kebahagiaan terlepas dari keduniawian. Kemudian wanita-wanita yang sedang berjalan-jalan di sana melihat dirinya dan berkata, “Kemarilah, mari kita duduk dan mendengarkan sesuatu dari petapa yang sedang beristirahat di bawah pohon ini, selagi raja tidur.” Mereka pun pergi dan memberi penghormatan kepadanya. Setelah duduk mengelilinginya, mereka berkata, “Ajarkanlah sesuatu yang baik untuk kami dengar.” Kemudian Bodhisatta mengajarkan ajarannya kepada mereka.
Sementara itu, dengan satu gerakan tubuhnya, istri kesayangan raja membuatnya terbangun. Ketika bangun dan tidak melihat wanita-wanita tersebut, raja bertanya, “Ke manakah perginya mereka?” “Paduka,” katanya, “mereka telah pergi dan menemui seorang petapa untuk mendengarkan ajarannya.”
Dengan marah raja mengambil sebilah pedang dan pergi dengan tergesa-gesa sembari berkata, “Akan kuberi petapa gadungan itu sebuah pelajaran.” Ketika melihat raja datang dengan marah, para wanita yang baik itu pergi dan mengambil pedang dari tangan raja, kemudian menenangkan dirinya. Kemudian raja mendatangi petapa itu dan berdiri di dekat Bodhisatta, bertanya, “Apa yang kamu ajarkan, Petapa?” “Ajaran tentang kesabaran, Paduka,” jawabnya. “Apa itu kesabaran?” tanya raja itu. “Tidak marah ketika orang mencerca, memukul dan mencaci maki dirimu,” jawabnya. Raja berkata, “Sekarang akan kuuji kebenaran dari ajaran kesabaranmu,” dan memanggil algojonya. Algojo datang dengan membawa sebuah kapak, cambuk duri, mengenakan jubah kuning dan untaian bunga merah, memberi hormat kepada raja dan berkata, “Apa perintahmu, Paduka?”
“Bawa dan seret petapa gadungan ini,” kata raja, “baringkan ia di tanah dan cambuk dengan cambuk duri sebanyak dua ribu kali di bagian depan, belakang dan kedua sisinya.” Algojo melaksanakan perintahnya, bagian luar dan dalam kulit Bodhisatta terkelupas, terpotong sampai ke dagingnya, dan darah mengalir keluar. Raja bertanya lagi, “Apa yang kamu ajarkan, Petapa?” “Ajaran tentang kesabaran, Paduka,” jawabnya, “Anda pikir kesabaranku berada di dalam kulit.
Kesabaranku tidaklah berada di dalam kulit, melainkan berada sangat dalam di satu tempat, tempat Anda tidak bisa melihatnya, Paduka.” Algojo bertanya kembali, “Apa perintahmu, Paduka?”
Raja berkata, “Potong kedua kaki dan tangan dari petapa gadungan ini.” Algojo mengambil kapaknya, dan setelah meletakkan korbannya di dalam lingkaran maut, memotong kedua tangannya. Kemudian raja berkata, “Potong kedua kakinya,” dan kaki sang petapa pun dipotong. Darah mengucur deras dari kedua kaki dan tangan Bodhisatta seperti air yang mengucur keluar dari sebuah kendi pecah. Sekali lagi raja menanyakan ajaran apa yang diajarkannya. “Ajaran tentang kesabaran, Paduka,” jawabnya, “Anda pikir kesabaranku berada di kedua kaki dan tanganku. Kesabaranku tidaklah berada di sana, melainkan berada di dalam suatu tempat.” Raja berkata, “Potong hidung dan kedua telinganya.” Algojo melaksanakannya.
Sekujur tubuhnya sekarang berlumuran darah, dan kembali raja menanyakan ajaran apa yang diajarkannya. Dan ia berkata, “Janganlah berpikir bahwa kesabaranku berada di ujung hidung dan telingaku. Kesabaranku berada jauh di dalam hatiku.” Raja berkata, “Berbaringlah, Petapa gadungan, dan kembangkanlah kesabaranmu di sana.” Setelah berkata demikian, raja memijak
dada Bodhisatta dengan kakinya, dan kemudian pergi.
Ketika ia telah pergi, Panglima mengusap darah dari tubuh Bodhisatta, membalutkan perban di kedua kaki, tangan, telinga, dan hidungnya. Setelah mendudukkannya pada satu tempat duduk dengan pelan, ia memberi hormat kepadanya, duduk di satu sisi dan berkata, “Jika, Yang Mulia, Anda hendak marah kepada orang yang melakukan perbuatan buruk ini, maka marahlah (hanya) kepada raja, jangan marah kepada yang lainnya.” Panglima mengulangi bait berikut sewaktu memohon permintaan tersebut di atas:
Ia yang memotong hidung dan telingamu, dan memotong
kaki dan tanganmu, marahlah kepadanya,
tetapi, kami mohon, ampunilah kerajaan ini.
Bodhisatta yang mendegar ini mengucapkan bait kedua berikut:
Semoga Paduka panjang umur, yang
tangannya menghancurkan tubuhku ini,
orang-orang suci seperti diriku ini tidak pernah
menanggapinya dengan kemarahan.
Persis di saat raja berjalan keluar dari taman itu, ketika ia tidak terlihat dari jarak pandang Bodhisatta, bumi megah yang tebalnya dua ratus empat puluh ribu yojana terpecah menjadi dua, terjatuh seperti pakaian dari bahan yang amat berat, dan kobaran api dari neraka Avīci (Avici) menangkap raja, dan membungkusnya seperti jubah kerajaan yang terbuat dari kain wol merah. Demikian raja tenggelam masuk ke dalam bumi persis di atas pintu gerbang taman dan berada di Alam Neraka Avici. Bodhisatta meninggal pada hari yang sama itu juga. Para anak buah raja dan penduduk datang dengan membawa wewangian, untaian bunga dan dupa di tangan mereka untuk melakukan upacara pemakaman Bodhisatta. Beberapa orang mengatakan bahwa Bodhisatta langsung terlahir kembali di Himalaya. Tetapi dalam bait berikut, mereka tidak mengatakan apa pun tentangnya:
Seorang bijak di masa lampau, seperti yang diceritakan, menunjukkan kesabaran yang besar:
Orang suci itu sangat kuat dalam menahan penderitaan,
yang dilakukan oleh Raja Kāsi.
Utang-utang penyesalan yang harus dilunasi oleh raja:
Ketika berakhir dengan berdiam di alam neraka
terendah, ia akan menyesal dalam waktu yang sangat lama.
Kedua bait ini diucapkan oleh Ia yang sempurna kebijaksanaan-Nya.
Setelah menyampaikan uraian-Nya, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran ini:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang pemarah itu mencapai tingkat kesucian Anāgāmī, dan banyak lagi lainnya yang mencapai tingkat kesucian Sotāpanna .:—Pada masa itu, Devadatta adalah Kalābu (Kalabu), Raja Kasi, Sāriputta adalah panglima dan saya sendiri adalah sang petapa, si pengajar kesabaran.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com