KUNDAKA-KUCCHI-SHINDAVA-JATAKA
“Rerumputan dan bubuk merah,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang Thera Sāriputta (Sariputta). Pada suatu ketika, Buddha menghabiskan masa vassaNya di Sāvatthi, dan sesudahnya melakukan pengembaraan. Ketika Beliau kembali, para penduduk berkeinginan untuk menyambut kepulangan-Nya, dan mereka pun menyiapkan dana mereka masing-masing untuk diberikan kepada Buddha beserta para siswa-Nya. Mereka menempatkan seorang bhikkhu yang (biasa) mengumandangkan Dhamma, untuk membagikan para bhikkhu kepada para penduduk sesuai dengan berapa banyak jumlah orangnya. Ada seorang wanita tua nan miskin, yang telah menyiapkan satu porsi makanan. Para bhikkhu semuanya telah memiliki pendana, sebagian oleh orang-orang ini dan sebagian oleh orang-orang itu. Di saat matahari terbit, wanita miskin itu menghampiri bhikkhu tersebut dan berkata, “Berikanlah kepadaku seorang bhikkhu!” Bhikkhu itu menjawab, “Semua bhikkhu telah memiliki pendana. Tetapi, Thera Sariputta masih berada di dalam wihara, Anda bisa mendanakannya kepada beliau.” Mendengar ini, dia menjadi senang, dan menunggu di depan gerbang Wihara Jetavana sampai sang thera keluar. Dia kemudian memberikan salam kepada beliau, mengambil patta dari tangan beliau, dan menuntun beliau ke tempat tinggalnya, kemudian mempersilakan beliau untuk duduk. Banyak keluarga umat yang berkeyakinan mendengar kabar tentang seorang wanita tua yang (berhasil) membawa sang Panglima Dhamma dan mempersilakan beliau duduk di dalam rumahnya. Di antara mereka yang mendengar kabar tersebut, Raja Pasenadi Kosala langsung mengirimkan beragam jenis makanan, pakaian dan uang seribu keping kepada wanita tua tersebut, dengan berpesan, “Dia yang hendak menjamu yang mulia (bhikkhu) harus mengenakan pakaian ini, dan boleh menggunakan uang ini.” Seperti yang dilakukan oleh raja, demikian juga yang dilakukan oleh Anāthapiṇḍika , Cūḷa Anāthapiṇḍika , Mahāupāsikā Visākha ; keluarga-keluarga yang lain ada yang mengirimkan seratus, dua ratus, dan sebagainya sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan demikian, wanita tua tersebut mendapatkan uang sebanyak seratus ribu keping dalam kurun waktu satu hari. Sang thera kemudian memakan bubur yang dipersembahkan oleh wanita tersebut, menyantap makanan utama dan makanan pendamping yang dimasak olehnya; sesudahnya, beliau berterima kasih kepadanya. Demikian kukuhnya diri wanita tua tersebut sehingga dia mencapai tingkat kesucian Sotāpanna . Kemudian sang thera kembali ke wihara. Di dalam balai kebenaran, para bhikkhu membahas tentang kualitas bagus dari sang thera, “ Āvuso , sang Panglima Dhamma telah menyelamatkan seorang wanita tua dari kemiskinan. Beliau telah menjadi tempatnya bernaung. Makanan yang dipersembahkan oleh wanita tua itu tidak ditolaknya untuk disantap.” Sang Guru berjalan masuk, dan menanyakan apa yang sedang mereka bahas dengan duduk di sana. Mereka pun memberi tahu Beliau. Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, Sāriputta (Sariputta) menjadi tempat bernaung bagi wanita tua itu; ini juga bukan pertama kalinya dia tidak menolak untuk menyantap makanan yang dipersembahkan olehnya, tetapi sebelumnya dia juga telah melakukan hal yang sama.” Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga pedagang kuda di Uttarāpatha . Lima ratus orang penduduk kota tersebut, para pedagang kuda, selalu mengirimkan dan menjual kuda-kuda mereka ke Benares. Kala itu, ada seorang pedagang yang membawa lima ratus ekor kudanya menuju ke Benares untuk dijual. Di jalan ini, tidak jauh dari Benares, terdapat sebuah desa niaga tempat seorang saudagar kaya tinggal. Dulunya saudagar ini memiliki kediaman yang sangat besar, tetapi lambat laun keluarganya meninggal (dan mengalami kehancuran), dan hanya seorang wanita tua saja yang tersisa, yang tinggal di dalam rumah tersebut. Pedagang tersebut bermalam di dalam rumah itu dan mengistirahatkan kuda-kudanya di dekatnya. Pada hari itu juga, hari yang beruntung, seekor kuda bagus (keturunan murni) miliknya melahirkan seekor anak kuda. Dia pun menunda perjalanannya selama dua sampai tiga hari, kemudian kembali melanjutkan perjalanannya dengan membawa kuda-kudanya. Pada saat itu, wanita tua tersebut meminta bayaran atas sewa rumahnya kepada sang pedagang. “Baiklah, Bu, saya akan membayarmu,” katanya. “Nak, untuk membayarku,” kata wanita itu, “cukup berikan saja anak kuda ini kepadaku, dan harganya ini sama dengan bayaran atas sewa rumahku.” Pedagang itu melakukan seperti apa yang diminta oleh wanita tua tersebut, dan kembali melanjutkan perjalanannya. Wanita tua itu menyayangi anak kuda tersebut seperti anaknya sendiri; dia memberinya makan berupa makanan yang disaring, jhāmaka , serpihan daging dan rerumputan. Tidak lama kemudian, dalam perjalanannya membawa lima ratus ekor kuda, Bodhisatta juga bermalam di rumah itu. Tetapi, kuda-kudanya yang mencium bau anak kuda Sindhava (kuda terbaik), yang memakan bubuk merah dari beras sekam, sehingga tak satu pun dari mereka mau masuk ke dalam tempat tersebut. Kemudian Bodhisatta berkata kepada wanita tua tersebut, “Sepertinya ada kuda yang tinggal di tempat ini ya, Bu?” “Oh, satu-satunya kuda yang ada di sini adalah anak kuda yang kurawat dengan baik seperti anakku sendiri.” “Di mana dia sekarang?” “Sedang merumput di luar.” “Kapan dia (biasanya) pulang?” “Oh, sebentar lagi dia akan kembali.” Bodhisatta mengistirahatkan kuda-kudanya dan duduk menunggu sampai anak kuda itu pulang kembali; tidak lama kemudian, kuda itu pun kembali dari perjalanannya. Ketika matanya melihat kuda berdarah murni ini dengan perutnya yang penuh dengan bubuk merah, Bodhisatta memerhatikan tanda-tandanya dan berpikir, “Ini adalah kuda berdarah murni yang sangat berharga; saya harus membelinya dari wanita tua ini.” Sewaktu berpikir demikian, kuda itu masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ke kandangnya. Segera setelah itu, semua kuda tersebut pun masuk ke dalam. Bodhisatta tinggal di sana selama beberapa hari dan merawat kuda-kudanya. Kemudian ketika akan pergi, dia berkata kepada wanita tua itu, “Bu, saya ingin membeli kudamu ini.” “Apa yang Anda katakan ini? Tidak seharusnyalah seseorang menjual anak (angkat)-nya sendiri!” “Makanan apa yang Anda berikan kepadanya untuk dimakan, Bu?” “Dia memakan nasi, bubur kanji, jhāmaka , serpihan daging, dan rerumputan; dia meminum bubur sekam.” “Bu, jika saya mendapatkan kuda ini, saya akan memberikannya makan makanan yang terbaik; di saat dia berdiri, sebuah kain pelindung akan terbentang di badannya, dan saya juga akan memberikannya karpet di tempat dia berdiri.” “Benarkah itu, Nak? Kalau begitu, bawalah anakku ini dan pergilah, semoga dia menjadi bahagia!” Dan Bodhisatta membayarkan harga yang terpisah untuk keempat kaki kuda tersebut, ekor dan kepalanya; enam pundi yang masing-masing berisikan uang seribu keping dihabiskannya, satu pundi untuk masing-masing bagian. Dia membuat wanita tua itu mengenakan pakaian yang baru dan menghias dirinya dengan perhiasan, kemudian menempatkannya di hadapan kudanya. Kuda itu membuka matanya, melihat ibunya dan meneteskan air mata. Wanita itu mengelus punggungnya dan berkata, “Saya telah mendapatkan imbalan atas apa yang telah kuberikan kepadamu. Pergilah, Anakku!” dan dia pun kemudian berangkat. Keesokan harinya Bodhisatta berpikiran untuk menguji kudanya, apakah dia mengetahui kekuatannya sendiri atau tidak. Maka setelah menyiapkan makanan yang biasa, dia menyajikan bubur sekam kepadanya di dalam sebuah ember. Akan tetapi, makanan ini tidak dapat ditelannya dan dia tidak menyentuh makanan apa pun. Kemudian Bodhisatta mengujinya, mengucapkan bait pertama berikut:
Rerumputan dan bubuk merah dulunya kamu anggap sebagai makanan yang baik: Mengapa sekarang kamu tidak mau memakan makananmu ini?
Mendengar ini, kuda tersebut membalas dalam dua bait berikut:
Ketika seseorang tidak tahu akan kelahiran dan keturunannya, bubuk merah adalah makanan yang baik untuk memenuhi kebutuhannya.
Diriku ini adalah kuda pemimpin, seperti yang Anda ketahui; Oleh karena itu, saya tidak akan menerima makanan darimu ini.
Kemudian Bodhisatta menjawab, “Saya melakukan ini tadinya untuk menguji dirimu; jangan marah.” Bodhisatta memasak makanan yang terbaik dan kemudian menyajikan makanan itu kepadanya. Ketika tiba di halaman istana, dia menempatkan lima ratus ekor kudanya di satu sisi dan mengenakan perhiasan kepada kuda Sindhu, di bawahnya dia membentangkan karpet, dan memberikan pelindung di atasnya; di sana dia menempatkan kuda Sindhu itu. Raja yang datang untuk memeriksa kuda-kuda itu menanyakan mengapa kuda ini ditempatkan terpisah. “Oh, Paduka,” balasnya, “jika kuda ini tidak ditempatkan terpisah, maka dia akan membuat kuda-kuda yang lainnya menjadi tidak terkendali.” “Apakah kuda ini bagus?” tanya raja. “Ya, Paduka.” “Kalau begitu, perlihatkanlah derap langkahnya kepadaku.” Sang majikan menghiasnya, dan menunggangnya. Kemudian dia membersihkan halaman istana dari orang-orang dan menungganginya berkeliling di sana. Tempat itu terlihat seperti dikelilingi oleh barisan kuda, yang tidak terputus! Bodhisatta kemudian berkata, “Lihatlah kecepatan kudaku ini, Paduka!” Tak seorang pun mampu melihat dirinya! Kemudian dia mengikatkan sehelai daun merah di sekitar perut kudanya, dan orang-orang hanya bisa melihat daun merah tersebut. Dia kemudian menungganginya melewati permukaan sebuah kolam yang terdapat di dalam taman di kerajaan tersebut. Kuda itu melewatinya dan bahkan tapak kakinya pun tidak basah. Kemudian, dia melompat melewati daun-daun teratai, tanpa mendorong satu pun dari daun-daun teratai itu masuk ke dalam air. Setelah sang majikan demikian mempertunjukkan derap langkah kudanya yang luar biasa, dia pun turun dari kudanya, bertepuk tangan, dan menjulurkan satu tangannya ke depan dengan telapak tangan di bagian atas. Kuda itu naik ke telapak tangan sang majikan, dengan keempat kakinya berimpitan bersama. Dan Bodhisatta berkata, “Paduka, bahkan luasnya samudra tidak akan cukup bagi kuda ini untuk menunjukkan kebolehannya.” Raja merasa begitu gembira sehingga memberikan setengah kerajaannya kepadanya: kuda itu dinobatkannya sebagai kuda (terbaik) kerajaan, dengan upacara pemercikan air. Raja amat menyayangi dan menghargainya, dia mendapatkan kehormatan yang besar; kandangnya dibuat seperti kamar tempat raja berdiam, semuanya serba indah; lantainya dibubuhi dengan empat jenis wewangian, dindingnya dihiasi dengan untaian-untaian wewangian bunga; di bagian atasnya (langit-langit) ditaburi oleh bintang-bintang emas; semuanya terlihat seperti sebuah paviliun megah di sekelilingnya. Sebuah lampu minyak wewangian selalu dinyalakan; dan di tempat pembuangan (kloset) terdapat sebuah jambangan emas; makanannya selalu sama seperti makanan yang diberikan kepada seorang raja. Setelah dia berada di sana, kepemimpinan di seluruh Jambudīpa jatuh ke tangan sang raja. Raja mempraktikkan perbuatan memberikan derma dan kebajikan-kebajikan lainnya sesuai dengan nasihat dari Bodhisatta, dan kemudian terlahir kembali di alam surga.
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, banyak orang mencapai tingkat kesucian Sotāpanna , Sakadāgāmi , atau Anāgāmi —: “Pada masa itu, wanita tua itu adalah wanita yang sama dalam kehidupan ini, Sāriputta adalah kuda Sindhu, Ānanda adalah raja, dan pedagang kuda adalah diri-Ku sendiri.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang Thera Sāriputta (Sariputta). Pada suatu ketika, Buddha menghabiskan masa vassaNya di Sāvatthi, dan sesudahnya melakukan pengembaraan. Ketika Beliau kembali, para penduduk berkeinginan untuk menyambut kepulangan-Nya, dan mereka pun menyiapkan dana mereka masing-masing untuk diberikan kepada Buddha beserta para siswa-Nya. Mereka menempatkan seorang bhikkhu yang (biasa) mengumandangkan Dhamma, untuk membagikan para bhikkhu kepada para penduduk sesuai dengan berapa banyak jumlah orangnya. Ada seorang wanita tua nan miskin, yang telah menyiapkan satu porsi makanan. Para bhikkhu semuanya telah memiliki pendana, sebagian oleh orang-orang ini dan sebagian oleh orang-orang itu. Di saat matahari terbit, wanita miskin itu menghampiri bhikkhu tersebut dan berkata, “Berikanlah kepadaku seorang bhikkhu!” Bhikkhu itu menjawab, “Semua bhikkhu telah memiliki pendana. Tetapi, Thera Sariputta masih berada di dalam wihara, Anda bisa mendanakannya kepada beliau.” Mendengar ini, dia menjadi senang, dan menunggu di depan gerbang Wihara Jetavana sampai sang thera keluar. Dia kemudian memberikan salam kepada beliau, mengambil patta dari tangan beliau, dan menuntun beliau ke tempat tinggalnya, kemudian mempersilakan beliau untuk duduk. Banyak keluarga umat yang berkeyakinan mendengar kabar tentang seorang wanita tua yang (berhasil) membawa sang Panglima Dhamma dan mempersilakan beliau duduk di dalam rumahnya. Di antara mereka yang mendengar kabar tersebut, Raja Pasenadi Kosala langsung mengirimkan beragam jenis makanan, pakaian dan uang seribu keping kepada wanita tua tersebut, dengan berpesan, “Dia yang hendak menjamu yang mulia (bhikkhu) harus mengenakan pakaian ini, dan boleh menggunakan uang ini.” Seperti yang dilakukan oleh raja, demikian juga yang dilakukan oleh Anāthapiṇḍika , Cūḷa Anāthapiṇḍika , Mahāupāsikā Visākha ; keluarga-keluarga yang lain ada yang mengirimkan seratus, dua ratus, dan sebagainya sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan demikian, wanita tua tersebut mendapatkan uang sebanyak seratus ribu keping dalam kurun waktu satu hari. Sang thera kemudian memakan bubur yang dipersembahkan oleh wanita tersebut, menyantap makanan utama dan makanan pendamping yang dimasak olehnya; sesudahnya, beliau berterima kasih kepadanya. Demikian kukuhnya diri wanita tua tersebut sehingga dia mencapai tingkat kesucian Sotāpanna . Kemudian sang thera kembali ke wihara. Di dalam balai kebenaran, para bhikkhu membahas tentang kualitas bagus dari sang thera, “ Āvuso , sang Panglima Dhamma telah menyelamatkan seorang wanita tua dari kemiskinan. Beliau telah menjadi tempatnya bernaung. Makanan yang dipersembahkan oleh wanita tua itu tidak ditolaknya untuk disantap.” Sang Guru berjalan masuk, dan menanyakan apa yang sedang mereka bahas dengan duduk di sana. Mereka pun memberi tahu Beliau. Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, Sāriputta (Sariputta) menjadi tempat bernaung bagi wanita tua itu; ini juga bukan pertama kalinya dia tidak menolak untuk menyantap makanan yang dipersembahkan olehnya, tetapi sebelumnya dia juga telah melakukan hal yang sama.” Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga pedagang kuda di Uttarāpatha . Lima ratus orang penduduk kota tersebut, para pedagang kuda, selalu mengirimkan dan menjual kuda-kuda mereka ke Benares. Kala itu, ada seorang pedagang yang membawa lima ratus ekor kudanya menuju ke Benares untuk dijual. Di jalan ini, tidak jauh dari Benares, terdapat sebuah desa niaga tempat seorang saudagar kaya tinggal. Dulunya saudagar ini memiliki kediaman yang sangat besar, tetapi lambat laun keluarganya meninggal (dan mengalami kehancuran), dan hanya seorang wanita tua saja yang tersisa, yang tinggal di dalam rumah tersebut. Pedagang tersebut bermalam di dalam rumah itu dan mengistirahatkan kuda-kudanya di dekatnya. Pada hari itu juga, hari yang beruntung, seekor kuda bagus (keturunan murni) miliknya melahirkan seekor anak kuda. Dia pun menunda perjalanannya selama dua sampai tiga hari, kemudian kembali melanjutkan perjalanannya dengan membawa kuda-kudanya. Pada saat itu, wanita tua tersebut meminta bayaran atas sewa rumahnya kepada sang pedagang. “Baiklah, Bu, saya akan membayarmu,” katanya. “Nak, untuk membayarku,” kata wanita itu, “cukup berikan saja anak kuda ini kepadaku, dan harganya ini sama dengan bayaran atas sewa rumahku.” Pedagang itu melakukan seperti apa yang diminta oleh wanita tua tersebut, dan kembali melanjutkan perjalanannya. Wanita tua itu menyayangi anak kuda tersebut seperti anaknya sendiri; dia memberinya makan berupa makanan yang disaring, jhāmaka , serpihan daging dan rerumputan. Tidak lama kemudian, dalam perjalanannya membawa lima ratus ekor kuda, Bodhisatta juga bermalam di rumah itu. Tetapi, kuda-kudanya yang mencium bau anak kuda Sindhava (kuda terbaik), yang memakan bubuk merah dari beras sekam, sehingga tak satu pun dari mereka mau masuk ke dalam tempat tersebut. Kemudian Bodhisatta berkata kepada wanita tua tersebut, “Sepertinya ada kuda yang tinggal di tempat ini ya, Bu?” “Oh, satu-satunya kuda yang ada di sini adalah anak kuda yang kurawat dengan baik seperti anakku sendiri.” “Di mana dia sekarang?” “Sedang merumput di luar.” “Kapan dia (biasanya) pulang?” “Oh, sebentar lagi dia akan kembali.” Bodhisatta mengistirahatkan kuda-kudanya dan duduk menunggu sampai anak kuda itu pulang kembali; tidak lama kemudian, kuda itu pun kembali dari perjalanannya. Ketika matanya melihat kuda berdarah murni ini dengan perutnya yang penuh dengan bubuk merah, Bodhisatta memerhatikan tanda-tandanya dan berpikir, “Ini adalah kuda berdarah murni yang sangat berharga; saya harus membelinya dari wanita tua ini.” Sewaktu berpikir demikian, kuda itu masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ke kandangnya. Segera setelah itu, semua kuda tersebut pun masuk ke dalam. Bodhisatta tinggal di sana selama beberapa hari dan merawat kuda-kudanya. Kemudian ketika akan pergi, dia berkata kepada wanita tua itu, “Bu, saya ingin membeli kudamu ini.” “Apa yang Anda katakan ini? Tidak seharusnyalah seseorang menjual anak (angkat)-nya sendiri!” “Makanan apa yang Anda berikan kepadanya untuk dimakan, Bu?” “Dia memakan nasi, bubur kanji, jhāmaka , serpihan daging, dan rerumputan; dia meminum bubur sekam.” “Bu, jika saya mendapatkan kuda ini, saya akan memberikannya makan makanan yang terbaik; di saat dia berdiri, sebuah kain pelindung akan terbentang di badannya, dan saya juga akan memberikannya karpet di tempat dia berdiri.” “Benarkah itu, Nak? Kalau begitu, bawalah anakku ini dan pergilah, semoga dia menjadi bahagia!” Dan Bodhisatta membayarkan harga yang terpisah untuk keempat kaki kuda tersebut, ekor dan kepalanya; enam pundi yang masing-masing berisikan uang seribu keping dihabiskannya, satu pundi untuk masing-masing bagian. Dia membuat wanita tua itu mengenakan pakaian yang baru dan menghias dirinya dengan perhiasan, kemudian menempatkannya di hadapan kudanya. Kuda itu membuka matanya, melihat ibunya dan meneteskan air mata. Wanita itu mengelus punggungnya dan berkata, “Saya telah mendapatkan imbalan atas apa yang telah kuberikan kepadamu. Pergilah, Anakku!” dan dia pun kemudian berangkat. Keesokan harinya Bodhisatta berpikiran untuk menguji kudanya, apakah dia mengetahui kekuatannya sendiri atau tidak. Maka setelah menyiapkan makanan yang biasa, dia menyajikan bubur sekam kepadanya di dalam sebuah ember. Akan tetapi, makanan ini tidak dapat ditelannya dan dia tidak menyentuh makanan apa pun. Kemudian Bodhisatta mengujinya, mengucapkan bait pertama berikut:
Rerumputan dan bubuk merah dulunya kamu anggap sebagai makanan yang baik: Mengapa sekarang kamu tidak mau memakan makananmu ini?
Mendengar ini, kuda tersebut membalas dalam dua bait berikut:
Ketika seseorang tidak tahu akan kelahiran dan keturunannya, bubuk merah adalah makanan yang baik untuk memenuhi kebutuhannya.
Diriku ini adalah kuda pemimpin, seperti yang Anda ketahui; Oleh karena itu, saya tidak akan menerima makanan darimu ini.
Kemudian Bodhisatta menjawab, “Saya melakukan ini tadinya untuk menguji dirimu; jangan marah.” Bodhisatta memasak makanan yang terbaik dan kemudian menyajikan makanan itu kepadanya. Ketika tiba di halaman istana, dia menempatkan lima ratus ekor kudanya di satu sisi dan mengenakan perhiasan kepada kuda Sindhu, di bawahnya dia membentangkan karpet, dan memberikan pelindung di atasnya; di sana dia menempatkan kuda Sindhu itu. Raja yang datang untuk memeriksa kuda-kuda itu menanyakan mengapa kuda ini ditempatkan terpisah. “Oh, Paduka,” balasnya, “jika kuda ini tidak ditempatkan terpisah, maka dia akan membuat kuda-kuda yang lainnya menjadi tidak terkendali.” “Apakah kuda ini bagus?” tanya raja. “Ya, Paduka.” “Kalau begitu, perlihatkanlah derap langkahnya kepadaku.” Sang majikan menghiasnya, dan menunggangnya. Kemudian dia membersihkan halaman istana dari orang-orang dan menungganginya berkeliling di sana. Tempat itu terlihat seperti dikelilingi oleh barisan kuda, yang tidak terputus! Bodhisatta kemudian berkata, “Lihatlah kecepatan kudaku ini, Paduka!” Tak seorang pun mampu melihat dirinya! Kemudian dia mengikatkan sehelai daun merah di sekitar perut kudanya, dan orang-orang hanya bisa melihat daun merah tersebut. Dia kemudian menungganginya melewati permukaan sebuah kolam yang terdapat di dalam taman di kerajaan tersebut. Kuda itu melewatinya dan bahkan tapak kakinya pun tidak basah. Kemudian, dia melompat melewati daun-daun teratai, tanpa mendorong satu pun dari daun-daun teratai itu masuk ke dalam air. Setelah sang majikan demikian mempertunjukkan derap langkah kudanya yang luar biasa, dia pun turun dari kudanya, bertepuk tangan, dan menjulurkan satu tangannya ke depan dengan telapak tangan di bagian atas. Kuda itu naik ke telapak tangan sang majikan, dengan keempat kakinya berimpitan bersama. Dan Bodhisatta berkata, “Paduka, bahkan luasnya samudra tidak akan cukup bagi kuda ini untuk menunjukkan kebolehannya.” Raja merasa begitu gembira sehingga memberikan setengah kerajaannya kepadanya: kuda itu dinobatkannya sebagai kuda (terbaik) kerajaan, dengan upacara pemercikan air. Raja amat menyayangi dan menghargainya, dia mendapatkan kehormatan yang besar; kandangnya dibuat seperti kamar tempat raja berdiam, semuanya serba indah; lantainya dibubuhi dengan empat jenis wewangian, dindingnya dihiasi dengan untaian-untaian wewangian bunga; di bagian atasnya (langit-langit) ditaburi oleh bintang-bintang emas; semuanya terlihat seperti sebuah paviliun megah di sekelilingnya. Sebuah lampu minyak wewangian selalu dinyalakan; dan di tempat pembuangan (kloset) terdapat sebuah jambangan emas; makanannya selalu sama seperti makanan yang diberikan kepada seorang raja. Setelah dia berada di sana, kepemimpinan di seluruh Jambudīpa jatuh ke tangan sang raja. Raja mempraktikkan perbuatan memberikan derma dan kebajikan-kebajikan lainnya sesuai dengan nasihat dari Bodhisatta, dan kemudian terlahir kembali di alam surga.
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, banyak orang mencapai tingkat kesucian Sotāpanna , Sakadāgāmi , atau Anāgāmi —: “Pada masa itu, wanita tua itu adalah wanita yang sama dalam kehidupan ini, Sāriputta adalah kuda Sindhu, Ānanda adalah raja, dan pedagang kuda adalah diri-Ku sendiri.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com