KUSANALI-JATAKA
“Biar besar dan kecil,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, tentang sahabat sejati Anāthapiṇḍika. Para kenalan, teman-teman dan kerabatnya menemuinya dan mencoba menghentikan kedekatan Anāthapiṇḍika dengan seseorang, dengan mengatakan ia tidak sebanding dengan Anāthapiṇḍika baik dalam status maupun kekayaan, namun saudagar agung itu menjawab bahwa persahabatan tidak tergantung pada kesetaraan maupun ketidaksetaraan kondisi luar. Ketika pergi ke desa yang
dikepalainya, ia menugaskan temannya itu untuk menjaga hartanya. Semua hal terjadi sama seperti dalam Kālakaṇṇi- Jātaka. Namun, dalam kasus ini ketika Anāthapiṇḍika menceritakan bahaya yang hampir menimpa rumahnya, Sang Guru berkata, “Perumah-tangga, seorang sahabat sejati tidak pernah dikatakan lebih rendah (statusnya). Yang menjadi tolak ukurnya adalah kemampuan untuk melindungi. Seorang sahabat sejati, meskipun hanya setara atau lebih rendah dari diri kita, seharusnya dianggap lebih tinggi, karena sahabat sejati selalu membantu kita bila sedang berada dalam masalah/kesulitan.
Sekarang ini, sahabat sejatimu lah yang menyelematkan kekayaanmu; demikian pula di kehidupan yang lampau, seorang sahabat sejati yang sama menyelamatkan kediaman seorang dewa pohon.” Atas permohonan Anāthapiṇḍika, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang dewa (pohon) di taman peristirahatan raja dan mendiami serumpun rumput kusa. Di tempat yang sama, di dekat tempat duduk raja, terdapat sebuah Pohon Permohonan yang indah (disebut juga sebagai Mukkhaka) dengan batang yang lurus dan cabang yang melebar, yang mendapatkan banyak persembahan dari raja. Di sini, tinggallah makhluk yang dulunya adalah raja dewa yang hebat dan telah terlahir kembali sebagai dewa pohon. Dan Bodhisatta berteman baik dengan dewa pohon ini.
Di tempat tinggal raja, hanya terdapat satu pilar yang menyangga atap dan pilar itu mulai goyah. Diberitahu mengenai hal tersebut, raja mengirim tukang kayu dan meminta mereka untuk menempatkan sebuah pilar yang kuat dan membuat tempat itu aman. Maka para tukang kayu mencari sebatang pohon yang bisa digunakan namun tidak dapat menemukannya dimanapun juga. Kembali ke taman peristirahatan, mereka melihat Mukkhaka, kemudian mereka kembali menghadap raja.
“Baik,” kata raja, “apakah kalian telah menemukan pohon yang sesuai?”
“Ya, Paduka,” kata mereka; “namun kami tidak berani untuk melakukannya.” “Mengapa?” tanya raja. Mereka menceritakan bagaimana mereka telah mencari kemana-mana pohon seperti itu, namun tidak berani untuk menebang pohon suci itu. “Pergi dan tebanglah pohon tersebut,” kata raja, “dan buat atap itu aman. Saya akan mencari pohon yang lain.”
Maka mereka pergi, membawakan korban ke taman dan mempersembahkannya kepada pohon tersebut, berkata di antara mereka sendiri bahwa mereka akan datang dan menebangnya besok. Mendengar perkataan mereka, dewa pohon itu mengetahui bahwa rumahnya akan dihancurkan keesokan harinya, meledak dalam tangisan sementara ia mendekap anakanaknya di dadanya, tidak mengetahui harus pergi kemana bersama anak-anaknya. Teman-temannya, para dewa pohon di hutan itu, datang dan menanyakan apa yang telah terjadi. Namun tidak satu pun yang mempunyai cara untuk menahan para tukang kayu itu, semua dewa pohon yang lain merangkulnya sambil menangis dan meratap. Pada saat itu, Bodhisatta datang mengunjunginya, dan mengetahui hal tersebut. “Jangan khawatir,” kata Bodhisatta menenangkannya, “saya akan menjaga agar pohon ini tidak ditebang. Tunggu dan lihat apa yang akan saya lakukan ketika para tukang kayu datang besok.”
Keesokan harinya saat orang-orang itu datang, Bodhisatta, yang mengambil bentuk sebagai seekor bunglon, berada di pohon sebelum mereka tiba, dan masuk dari akarnya, merangkak naik dan keluar di antara cabang-cabangnya, membuat pohon itu dipenuhi oleh lubang. Kemudian Bodhisatta berhenti di cabang-cabangnya dimana kepalanya bergerak ke sana kemari dengan cepat. Tibalah para tukang kayu itu; begitu melihat bunglon tersebut, pemimpin mereka memukul pohon tersebut dengan tangan, dan berseru bahwa pohon itu telah rusak, dan mereka tidak melihat dengan teliti sebelum membuat permohonan sehari sebelumnya. Ia pergi dengan penuh celaan terhadap pohon besar itu. Demikianlah cara Bodhisatta menyelamatkan tempat tinggal dewa pohon tersebut. Ketika semua teman dan kenalannya mengunjunginya, dengan gembira ia memuji Bodhisatta, sebagai penyelamat rumahnya, berkata, “Para Dewa Pohon, dengan kekuatan yang ada pada kita, kita tidak mengetahui apa yang harus dilakukan; sementara dewa rumput kusa yang bersahaja dengan bijaksana menyelamatkan rumah saya untuk saya. Benar, kita harus memilih teman tanpa mempertimbangkan apakah lebih tinggi, sederajat, atau lebih rendah, tanpa membeda-bedakan kedudukan, karena masing-masing makhluk itu memiliki kekuatan untuk dapat menolong seorang teman pada saat dibutuhkan.” Dan ia mengulangi syair ini mengenai persahabatan dan kewajibannya : —
Biar besar dan kecil dan seimbang, semua,
melakukan yang terbaik saat bahaya timbul,
dan menolong seorang teman yang
mendapat kemalangan,
seperti saya yang ditolong oleh Dewa Kusa.
Demikianlah yang diajarkannya kepada para dewa pohon lain yang berkumpul, dengan menambahkan, “Karenanya, terlepas dari keadaan mendapat kemalangan tidak hanya mempertimbangkan apakah dalam keadaannya sebanding atau lebih hebat, namun berteman dengan ia yang bijaksana bagaimanapun kondisi hidup mereka.” Ia dan Dewa Kusa itu hidup berdampingan hingga akhirnya meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.
____________________
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Ānanda adalah dewa pohon itu dan Saya adalah dewa rumput kusa itu.”
Sumber: ITC, Jataka Vol 1
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, tentang sahabat sejati Anāthapiṇḍika. Para kenalan, teman-teman dan kerabatnya menemuinya dan mencoba menghentikan kedekatan Anāthapiṇḍika dengan seseorang, dengan mengatakan ia tidak sebanding dengan Anāthapiṇḍika baik dalam status maupun kekayaan, namun saudagar agung itu menjawab bahwa persahabatan tidak tergantung pada kesetaraan maupun ketidaksetaraan kondisi luar. Ketika pergi ke desa yang
dikepalainya, ia menugaskan temannya itu untuk menjaga hartanya. Semua hal terjadi sama seperti dalam Kālakaṇṇi- Jātaka. Namun, dalam kasus ini ketika Anāthapiṇḍika menceritakan bahaya yang hampir menimpa rumahnya, Sang Guru berkata, “Perumah-tangga, seorang sahabat sejati tidak pernah dikatakan lebih rendah (statusnya). Yang menjadi tolak ukurnya adalah kemampuan untuk melindungi. Seorang sahabat sejati, meskipun hanya setara atau lebih rendah dari diri kita, seharusnya dianggap lebih tinggi, karena sahabat sejati selalu membantu kita bila sedang berada dalam masalah/kesulitan.
Sekarang ini, sahabat sejatimu lah yang menyelematkan kekayaanmu; demikian pula di kehidupan yang lampau, seorang sahabat sejati yang sama menyelamatkan kediaman seorang dewa pohon.” Atas permohonan Anāthapiṇḍika, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang dewa (pohon) di taman peristirahatan raja dan mendiami serumpun rumput kusa. Di tempat yang sama, di dekat tempat duduk raja, terdapat sebuah Pohon Permohonan yang indah (disebut juga sebagai Mukkhaka) dengan batang yang lurus dan cabang yang melebar, yang mendapatkan banyak persembahan dari raja. Di sini, tinggallah makhluk yang dulunya adalah raja dewa yang hebat dan telah terlahir kembali sebagai dewa pohon. Dan Bodhisatta berteman baik dengan dewa pohon ini.
Di tempat tinggal raja, hanya terdapat satu pilar yang menyangga atap dan pilar itu mulai goyah. Diberitahu mengenai hal tersebut, raja mengirim tukang kayu dan meminta mereka untuk menempatkan sebuah pilar yang kuat dan membuat tempat itu aman. Maka para tukang kayu mencari sebatang pohon yang bisa digunakan namun tidak dapat menemukannya dimanapun juga. Kembali ke taman peristirahatan, mereka melihat Mukkhaka, kemudian mereka kembali menghadap raja.
“Baik,” kata raja, “apakah kalian telah menemukan pohon yang sesuai?”
“Ya, Paduka,” kata mereka; “namun kami tidak berani untuk melakukannya.” “Mengapa?” tanya raja. Mereka menceritakan bagaimana mereka telah mencari kemana-mana pohon seperti itu, namun tidak berani untuk menebang pohon suci itu. “Pergi dan tebanglah pohon tersebut,” kata raja, “dan buat atap itu aman. Saya akan mencari pohon yang lain.”
Maka mereka pergi, membawakan korban ke taman dan mempersembahkannya kepada pohon tersebut, berkata di antara mereka sendiri bahwa mereka akan datang dan menebangnya besok. Mendengar perkataan mereka, dewa pohon itu mengetahui bahwa rumahnya akan dihancurkan keesokan harinya, meledak dalam tangisan sementara ia mendekap anakanaknya di dadanya, tidak mengetahui harus pergi kemana bersama anak-anaknya. Teman-temannya, para dewa pohon di hutan itu, datang dan menanyakan apa yang telah terjadi. Namun tidak satu pun yang mempunyai cara untuk menahan para tukang kayu itu, semua dewa pohon yang lain merangkulnya sambil menangis dan meratap. Pada saat itu, Bodhisatta datang mengunjunginya, dan mengetahui hal tersebut. “Jangan khawatir,” kata Bodhisatta menenangkannya, “saya akan menjaga agar pohon ini tidak ditebang. Tunggu dan lihat apa yang akan saya lakukan ketika para tukang kayu datang besok.”
Keesokan harinya saat orang-orang itu datang, Bodhisatta, yang mengambil bentuk sebagai seekor bunglon, berada di pohon sebelum mereka tiba, dan masuk dari akarnya, merangkak naik dan keluar di antara cabang-cabangnya, membuat pohon itu dipenuhi oleh lubang. Kemudian Bodhisatta berhenti di cabang-cabangnya dimana kepalanya bergerak ke sana kemari dengan cepat. Tibalah para tukang kayu itu; begitu melihat bunglon tersebut, pemimpin mereka memukul pohon tersebut dengan tangan, dan berseru bahwa pohon itu telah rusak, dan mereka tidak melihat dengan teliti sebelum membuat permohonan sehari sebelumnya. Ia pergi dengan penuh celaan terhadap pohon besar itu. Demikianlah cara Bodhisatta menyelamatkan tempat tinggal dewa pohon tersebut. Ketika semua teman dan kenalannya mengunjunginya, dengan gembira ia memuji Bodhisatta, sebagai penyelamat rumahnya, berkata, “Para Dewa Pohon, dengan kekuatan yang ada pada kita, kita tidak mengetahui apa yang harus dilakukan; sementara dewa rumput kusa yang bersahaja dengan bijaksana menyelamatkan rumah saya untuk saya. Benar, kita harus memilih teman tanpa mempertimbangkan apakah lebih tinggi, sederajat, atau lebih rendah, tanpa membeda-bedakan kedudukan, karena masing-masing makhluk itu memiliki kekuatan untuk dapat menolong seorang teman pada saat dibutuhkan.” Dan ia mengulangi syair ini mengenai persahabatan dan kewajibannya : —
Biar besar dan kecil dan seimbang, semua,
melakukan yang terbaik saat bahaya timbul,
dan menolong seorang teman yang
mendapat kemalangan,
seperti saya yang ditolong oleh Dewa Kusa.
Demikianlah yang diajarkannya kepada para dewa pohon lain yang berkumpul, dengan menambahkan, “Karenanya, terlepas dari keadaan mendapat kemalangan tidak hanya mempertimbangkan apakah dalam keadaannya sebanding atau lebih hebat, namun berteman dengan ia yang bijaksana bagaimanapun kondisi hidup mereka.” Ia dan Dewa Kusa itu hidup berdampingan hingga akhirnya meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.
____________________
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Ānanda adalah dewa pohon itu dan Saya adalah dewa rumput kusa itu.”
Sumber: ITC, Jataka Vol 1
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com