Sariputta | Jataka | LOHAKUMBHI-JATAKA Sariputta

LOHAKUMBHI-JATAKA


“Dikarenakan kami tidak berbagi kekayaan,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru sewaktu berdiam di Jetavana, tentang seorang Raja Kosala. Kala itu, Raja Kosala, dikatakan pada suatu malam mendengar suara jeritan yang dikeluarkan oleh empat penghuni alam neraka—yaitu du, sa, na, so, masing-masing mengeluarkan satu suku kata dari keempat penghuni tersebut. Dikatakan juga bahwa pada kehidupan sebelumnya mereka adalah pangeran-pangeran di Sāvatthi (Savatthi), dan melakukan keburukan berupa perzinaan.

Setelah berbuat zina dengan istri dari kerajaan tetangga mereka, seberapa hati-hatinya pun mereka menyimpan rahasia ini yang merupakan kecanduan mereka terhadap wanita lain, kehidupan mereka yang jahat ini diperpendek oleh roda kematian. Mereka terlahir kembali di dalam empat bejana logam (kuningan). Setelah tersiksa selama tiga puluh ribu tahun, mereka naik ke atas permukaan, dan ketika melihat bagian bibir bejana, mereka berpikir, “Kapan kita akan terbebas dari kesengsaraan ini?” Dan kemudian mereka berempat mengeluarkan suara jeritan yang keras secara bergantian. Raja takut setengah mati ketika mendengar suara-suara jeritan tersebut, dan duduk menunggu fajar, tidak bisa menenangkan dirinya.

Pada subuh hari, para (brahmana) petapa datang dan menanyakan kabarnya. Raja menjawab, “Guru, bagaimana keadaanku bisa baik, setelah mendengar empat suara jeritan yang begitu mengerikan. Para petapa mengibas-ngibaskan

tangan mereka. “Apa itu, Guru?” tanya raja. Para petapa meyakinkan raja bahwa suara itu adalah pertanda buruk akan adanya hal-hal buruk. “Apakah mereka meminta sesuatu?” tanya raja. “Sepertinya tidak,” jawabnya, “tetapi kami sudah terlatih dengan keadaan seperti ini, Paduka.” “Dengan cara apa kalian akan mencegah hal buruk ini?” tanya raja. “Paduka, ada satu cara, yaitu dengan memberikan korban persembahan makhluk hidup masing-masing rangkap empat, kita akan dapat mencegahnya.” “Kalau begitu, cepatlah,” kata raja, “ambil makhluk-makhluk itu masing-masing rangkap empat—manusia, sapi, kuda, gajah, burung puyuh dan yang lainnya—dengan korban persembahan ini, kembalikanlah ketenangan pikiranku.”

Para brahmana menyetujuinya, dan setelah membawa apa saja yang diperlukan, mereka menggali sebuah lubang tempat pengorbanan. Setelah mengikat semua korban persembahan pada kayu dan menjadi bersemangat tatkala memikirkan makanan lezat yang dapat disantap dan kekayaan yang akan didapatkan nantinya, mereka berlari ke sana dan ke sini, sambil berkata, “Tuan, saya pasti mendapatkan ini dan itu.”

Ratu Mallika datang dan menanyakan kepada raja mengapa para brahmana itu begitu bahagia, berjalan ke sana ke sini dan tersenyum. Raja berkata, “Apa hubungannya denganmu? Anda terlena dengan kejayaan dirimu sendiri dan tidak tahu betapa menyedihkannya diriku ini.” “Ada masalah apa, Paduka?” tanyanya. “Saya mendengar suara-suara yang mengerikan, Ratuku, dan ketika saya menanyakan kepada para brahmana itu tentang apa arti dari suara-suara jeritan tersebut, mereka memberitahukan bahwa bahaya mengancam kerajaan, atau harta benda, atau nyawaku. Akan tetapi, dengan suatu korban persembahan rangkap empat, mereka dapat mengembalikan ketenangan pikiranku, dan sekarang atas perintahku mereka telah menggali sebuah lubang pengorbanan dan pergi mengambil korban apa saja yang mereka perlukan.”

Ratu berkata, “Apakah Paduka sudah bertanya kepada Brahmana Agung yang mengenal seluruh alam dewa mengenai suara-suara jeritan ini?” “Siapa, Ratu,” kata raja, “Brahmada Agung yang mengenal seluruh alam dewa?” “Gotama Yang Mulia, Yang Tercerahkan Sempurna (Sammāsambuddha),” jawabnya. “Ratu, saya belum bertanya kepada Beliau,” balas raja. “Kalau begitu, pergilah” lanjut ratu, “dan tanyakanlah kepada Beliau.”

Raja mengikuti kata-kata ratu dan keesokan harinya sehabis menyantap sarapan pagi, ia naik kereta kerajaan dan pergi ke Jetavana. Setelah memberi penghormatan kepada Sang Buddha, raja menyapa Beliau: “Bhante, pada malam hari saya mendengar empat suara jeritan dan telah membahasnya dengan para brahmana. Mereka mengatakan mereka dapat mengembalikan ketenangan pikiranku, dengan melakukan korban persembahan makhluk hidup masing-masing rangkap empat, dan saat ini mereka sedang sibuk mempersiapkan lubang pengorbanan. Apa sebenarnya arti dari suara jeritan ini terhadap diriku?”

“Tidak ada arti apa pun,” jawab Beliau, “makhluk-makhluk di alam neraka, dikarenakan penderitaan hebat yang mereka alami, menjerit dan menangis dengan keras. Suara jeritan ini bukan hanya terdengar oleh dirimu saja, tetapi juga oleh raja di masa lampau. Dan setelah membicarakan ini dengan para brahmananya, raja ingin memberikan korban persembahan, tetapi setelah mendengar apa yang dikatakan oleh seorang bijak, raja pun tidak jadi melakukan hal tersebut. Orang bijak itu menjelaskan kepadanya tentang asal muasal suara jeritan tersebut dan memintanya untuk melepaskan kumpulan korban persembahan itu, dan demikian mengembalikan ketenangan pikirannya. Atas permintaan raja, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana, di sebuah desa di Kerajaan Kasi. Ketika dewasa, ia meninggalkan kesenangan indriawi dan menjalani kehidupan suci sebagai seorang petapa, ia mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi, berhibur dalam jhana. Ia mengambil tempat tinggalnya di sebuah hutan yang menyenangkan di daerah pegunungan Himalaya.

Raja Benares pada masa itu menjadi sangat ketakutan karena mendengar empat suara yang dikeluarkan oleh empat empat makhluk yang berada di alam neraka. Dan ketika diberi tahu oleh para brahmana tentang salah satu dari tiga bahaya tersebut akan menimpa dirinya, raja setuju untuk mencegahnya dengan melakukan korban persembahan makhluk hidup rangkap empat. Pendeta kerajaan dengan bantuan para brahmana mempersiapkan lubang pengorbanan, membawa kumpulan korban persembahan dan mengikat mereka pada kayu.

Kemudian Bodhisatta, dengan perasaan cinta kasih, memindai keadaan sekitar dengan mata dewanya. Ketika melihat apa yang terjadi di sana, ia berkata, “Saya harus segera ke sana dan membuat semua makhluk tersebut kembali dalam keadaan baik.”

Kemudian dengan kekuatan gaibnya, ia terbang di angkasa dan turun di taman Raja Benares, kemudian duduk di papan batu yang besar, terlihat seperti sebuah patung emas. Siswa utama dari pendeta kerajaan itu menghampiri gurunya dan bertanya, “Bukankah tertulis di dalam kitab Weda bahwa tidak akan ada kebahagiaan bagi mereka yang mengambil nyawa makhluk lain?”

Pendeta kerajaan menjawab, “Tugasmu adalah membawa barang-barang raja ke sini, dan kita akan memiliki makanan lezat yang berlimpah ruah. Bersabarlah saja.” Dengan kata-kata ini, ia mengusir siswanya pergi. Tetapi anak muda tersebut berpikir, “Saya tidak akan ambil bagian dalam masalah ini,” dan pergi, dan bertemu Bodhisatta di taman milik raja. Setelah memberi penghormatan dengan ramah, ia duduk di satu sisi.

Bodhisatta bertanya, “Anak muda, apakah raja memerintah kerajaannya dengan benar?” “Ya, Bhante,” jawabnya, “akan tetapi ia mendengar empat suara jeritan pada malam hari, dan setelah bertanya kepada para brahmana ia diyakinkan oleh mereka bahwa mereka dapat mengembalikan ketenangan pikirannya dengan memberikan korban persembahan makhluk hidup rangkap empat. Jadi karena merasa senang dapat mengembalikan ketenangannya, raja sedang mempersiapkan hewan-hewan korban, dan sejumlah besar korban telah dibawa dan diikat pada kayu pengorbanan. Sekarang, apakah itu bukan sesuatu yang benar bagi seorang suci seperti Anda untuk menjelaskan penyebab suara jeritan itu dan menyelamatkan sejumlah besar korban tersebut dari cengkeraman maut?” “Anak muda,” jawabnya, “raja tidak mengenal diriku dan begitu juga dengan diriku, tetapi saya mengetahui penyebab suara jeritan itu. Jika raja yang datang bertanya kepadaku tentang apa penyebabnya, maka saya akan memecahkan keraguannya.”

“Kalau begitu,” katanya, “tunggu sebentar di sini, Bhante, dan akan kubawakan raja ke hadapanmu.”

Bodhisattta menyetujuinya. Anak muda itu pergi dan memberitahukan semuanya kepada raja, dan kembali dengan membawa serta dirinya. Raja memberi penghormatan kepada Bodhisatta dan, setelah duduk di satu sisi, menanyakan apakah benar bahwa ia mengetahui asal muasal suara jeritan tersebut.

“Ya, Paduka,” jawabnya, “kalau begitu, beritahukanlah kepada saya, Bhante.” kata raja. Ia menjawab, “Paduka, di kehidupan sebelumnya keempat laki-laki ini berbuat zina dengan istri dari kerajaan tetangga mereka di dekat Benares, dan oleh karenanya terlahir kembali di dalam empat bejana logam. Tempat mereka disiksa selama tiga puluh ribu tahun di dalam cairan korosi yang tebal mendidih, mereka tenggelam sampai ke bagian dasar bejana dan kembali ke atas permukaan seperti gelembung, setelah melewati tahun-tahun tersebut, mereka akan sampai di bagian bibir bejana, dan sewaktu melihat ke bagian luar bejana mereka berempat berkeinginan untuk mengucapkan empat bait kalimat, tetapi tidak berhasil melakukannya. Dan setelah hanya mengucapkan satu suku kata saja, mereka tenggelam kembali ke dalam bejana logam tersebut. Salah satu dari mereka yang tenggelam setelah mengeluarkan suku kata ‘du’ sebenarnya ingin mengucapkan bait berikut:—

Dikarenakan kami tidak berbagi kekayaan;

kehidupan buruk yang kami jalani:

Kami tidak menemukan kebebasan dalam

kebahagiaan yang sekarang meninggalkan kami.

Ketika ia tidak berhasil mengucapkannya secara lengkap, Bodhisatta dengan kemampuannya sendiri mengulangi bait kalimatnya dengan lengkap. Dan demikian pula halnya dengan yang lainnya. Ia yang mengeluarkan suku kata ‘sa’ sebenarnya ingin mengucapkan bait berikut:—

Menyedihkan nasib mereka yang menderita!

Ah, kapankah pembebasan akan datang?

Meskipun telah melewati waktu yang tidak terhitung

lamanya, siksaan neraka tidak pernah berhenti.

Dan kemudian ia yang mengeluarkan suku kata ‘na’ sebenarnya ingin mengucapkan bait berikut:

Tidak ada akhir, penderitaan yang dialami mereka

atas perbuatan mereka sendiri;

Perbuatan buruk yang kami lakukan di dunia

memberikan balasan ini kepada kami.

Dan ia yang mengeluarkan suku kata ‘so’ sebenarnya ingin mengucapkan bait berikut:

Segera setelah (diriku) keluar dari tempat ini,

mendapatkan kelahiran sebagai manusia,

dengan sifat bajik di dalam diri akan

kulakukan banyak perbuatan kebajikan.

Bodhisatta, setelah melafalkan bait kalimat tersebut satu per satu, berkata, “Para penghuni alam neraka, Paduka, ketika ingin mengucapkan satu bait kalimat secara lengkap, dikarenakan kekuatan dari perbuatan buruk mereka, tidak mampu melakukannya. Dan ketika menerima hasil dari perbuatan salah, mereka menjerit dengan sekuat-kuatnya. Tetapi jangan takut; tidak akan ada bahaya yang menimpa dirimu karena mendengar suara jeritan ini.” Demikianlah ia meyakinkan raja. Dan dengan suara tabuhan genderang emasnya, raja memberi perintah untuk membebaskan semua korban dan menghancurkan lubang pengorbanan tersebut. Setelah demikian menyelamatkan sejumlah korban tersebut, Bodhisatta tinggal di sana selama beberapa hari dan kemudian kembali ke tempat tinggalnya semula, tanpa terputus dari jhananya, kemudian terlahir di alam brahma.

Setelah menyampaikan uraian-Nya, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Sāriputta adalah siswa dari pendeta kerajaan, dan saya sendiri adalah petapa.”



*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com