MAHA-ASSAROHA-JATAKA
“Perbuatan baikmu dilimpahkan,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, mengenai Ānanda Thera. Cerita pembuka yang terdapat dalam kisah ini telah dijelaskan sebelumnya. “Di masa lampau juga,” Sang Guru berkata, “orang bijak berbuat dengan prinsip bahwa perbuatan baik akan mendapatkan hasil yang baik pula.” Dan berikut ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
Dahulu kala, Bodhisatta menjadi Raja Benares, dan ia selalu berderma dan menjaga latihan moralitas (sila), menjalankan pemerintahannya dengan asas keadilan dan kesamaan.
Karena dipenuhi pikiran untuk mengakhiri pemberontakan di garis depan, maka ia sendiri memimpin peperangan dengan kekuatan besar. Tetapi setelah dikalahkan, ia harus turun dari kudanya dan lari menyelamatkan diri sampai ke desa perbatasan. Di sana, hiduplah tiga puluh orang yang setia dan mereka sedang berkumpul bersama di pagi hari itu di tengah desa melakukan kegiatan sehari-hari. Pada waktu itu, raja naik ke atas kudanya yang dilengkapi dengan baju perang dan senjata, berjalan masuk menuju ke depan pintu gerbang desa.
Semua orang takut dan lari masuk ke dalam rumah masing-masing sambil berkata. “Ada apa ini?” Tetapi ada satu laki-laki yang datang menyambut raja itu tanpa pergi ke rumahnya terlebih dahulu. Dengan memberi tahu orang asing tersebut bahwa dikatakan raja telah tiba sampai ke garis depan, ia menanyakan siapakah dirinya dan apakah ia adalah dirinya adalah seorang yang setia atau seorang pemberontak. “Saya adalah seorang yang setia, Tuan.” katanya. “Kalau begitu, ikutlah dengan saya,” jawab laki-laki itu dan menuntun raja itu ke rumahnya dan mempersilakannya duduk di tempat duduknya sendiri. Kemudian laki-laki itu berkata kepada istrinya, “Istriku, basuhlah kaki teman kita ini,” dan setelah istrinya melakukannya, ia pun mempersembahkan makanan yang terbaik kepadanya dan kemudian merapikan tempat untuk tidur baginya dengan memintanya untuk beristirahat sejenak. Maka raja pun berbaring.
Kemudian si tuan rumah melepaskan baju perang dari kudanya, membuatnya merasa nyaman, memberinya minum air dan makan rumput, serta menggosoknya dengan minyak.
Demikianlah perlakuan yang diberikan selama tiga atau empat hari, dan akhirnya raja berkata, “ Teman, saya harus berangkat pulang sekarang,” dan lagi untuk terakhir kalinya ia memberikan pelayanan kepada raja dan kudanya. Setelah selesai menyantap makanannya, raja bersiap untuk berangkat dan berkata, “Saya dipanggil si penunggang kuda yang hebat. Rumah kami di pusat kota ini. Jika Anda ada datang ke sana dalam urusan apa pun, berdirilah di sebelah kanan pintu dan tanyalah penjaga di sana di mana si penunggang kuda yang hebat tinggal, kemudian ikutlah dengannya, datanglah ke rumah kami.” Setelah mengatakan ini, ia pun berangkat.
Saat itu, pasukan kerajaan tetap berada di dalam barak mereka karena tidak ada raja, tetapi ketika melihat raja kembali, mereka keluar untuk menjemputnya dan mengawalnya kembali ke rumah. Sewaktu memasuki kota, raja berdiri di depan pintu masuk dan meminta semua penjaga dan penduduk untuk berhenti melakukan kegiatan mereka pada saat itu,dan berkata, “Teman, seorang laki-laki istimewa yang tinggal di desa perbatasan akan datang dan ingin berjumpa dengan kita, dan ia akan bertanya dimana rumah si penunggang kuda yang hebat. Gandenglah tangannya dan bawa ia ke hadapanku, dan kalian akan mendapatkan beribu-ribu keping uang.”
Tetapi ketika laki-laki tersebut tidak kunjung datang, raja menaikkan upeti di desa tempat ia tinggal. Walaupun upeti dinaikkan, tetap laki-laki itu juga tidak datang. Maka raja pun menaikkan upeti untuk kedua kalinya, dan ketiga kalinya, tetapi tetap saja ia tidak datang. Kemudian penduduk lain di desa itu berkumpul bersama dan berkata kepada laki-laki itu, “Tuan, sejak si penunggang kuda itu datang ke tempatmu sampai sekarang, kami menjadi begitu tertekan dengan upeti sampai kami tidak bisa mengangkat kepala sendiri. Pergi dan jumpailah ia, coba bujuk dirinya untuk meringankan beban hidup kami.”
“Baiklah, saya akan pergi.” jawabnya, “ tetapi saya tidak bisa pergi dengan tangan kosong. Teman saya itu mempunyai dua orang putra, jadi tolong siapkan hiasan dan beberapa setel pakaian untuk mereka beserta istrinya dan temanku.”
“Baiklah,” kata mereka, sambil mempersiapkan segala sesuatunya sebagai hadiah.
Jadi laki-laki itu membawa hadiahnya dan kue yang dibuat di rumahnya sendiri. Dan setibanya di pintu gerbang sebelah kanan, ia menanyakan kepada penjaganya dimana rumah si penunggang kuda yang hebat. Penjaga itu menjawab, “Ikutlah dengan saya dan akan saya tunjukkan padamu,” dan menggandeng tangannya. Sesampainya mereka di depan pintu gerbang ruangan raja, terdengarlah seruan, “Penjaga telah tiba dan membawa laki-laki yang tinggal di desa perbatasan.”Raja pun bangkit dari duduknya ketika mendengar ini dan berkata, “Biarkanlah teman saya dan siapa saja yang ikut datang dengannya masuk.” Kemudian ia maju ke depan untuk menyambut dan memeluknya, dan setelah menanyakan kabar dari istri dan anak-anak temannya ini, ia membawanya naik ke atas pentas dan mendudukkannya di takhta kerajaan di bawah sebuah payung putih. Dan ia memanggil permaisurinya seraya berkata, “Basuhlah kaki temanku ini.” Istrinya pun melakukannya.
Raja memercikkan air dari sebuah mangkuk emas ketika istrinya sedang membasuh kakinya dan menggosoknya dengan minyak yang wangi. Kemudian raja bertanya, “Apakah Anda membawakan sesuatu untuk kami makan?” Dan laki-laki itu berkata, “Ya, Tuanku,” sembari mengeluarkan kue dari sebuah karung. Raja menerima kue tersebut dengan piring emas dan dengan menunjukkan penghargaan atas kue yang dibawa laki- laki itu, dan berkata, “Makanlah apa yang dibawakan oleh temanku,” sambil membagikannya kepada ratu dan menteri- menterinya untuk dimakan. Kemudian orang asing itu mengeluarkan hadiahnya yang lain. Dan raja, untuk menunjukkan bahwa ia menerima hadiahnya, menanggalkan pakaian sutranya dan memakai setelan pakaian yang dibawakan laki-laki itu. Sang ratu juga demikian halnya, langsung memakai hiasan dan pakaian yang dibawakan. Kemudian raja mempersembahkannya makanan untuk seorang raja dan meminta salah satu menterinya dengan berkata, “Bawalah ia dan pastikan janggutnya dirapikan layaknya diriku, berikan air yang wangi kepadanya untuk digunakan sewaktu mandi. Setelah itu, pakaikan sebuah jubah sutra yang berharga ribuan keping uang, dan hormati ia dengan gaya kerajaan, kemudian bawa ia ke sini.”
Perintah raja pun dilaksanakan. Dengan bunyi tabuhan genderang di kota, raja mengumpulkan para menterinya, dan dengan melemparkan benang merah melewati payung putih, sang raja memberikan laki-laki itu setengah dari kerajaannya.
Mulai saat itu, mereka makan, minum, dan tinggal bersama serta menjadi akrab dan teman yang tak terpisahkan.
Kemudian raja menjemput istri dan keluarga laki-laki tersebut, dan mereka pun memerintah kerajaan itu dengan keharmonisan yang sempurna. Seorang pejabat istana mengahasut kemarahan putra sang raja dengan berkata, “O Pangeran, raja telah memberikan setengah kerajaannya kepada seorang penduduk biasa. Ia makan, minum, dan tinggal dengannya, serta memerintahkan kita untuk menghormati anak-anaknya.
Apa maksud raja? Kami merasa malu. Apakah Anda sudah bicara dengan raja?” Pangeran pun segera melakukannya, mengatakan setiap kata kepada raja dan berkata, “O Paduka, jangan bertindak seperti itu.” “Anakku,” jawabnya, “apakah Anda tahu dimana saya tinggal sewaktu kalah dalam pertempuran?”
“Saya tidak tahu, Paduka,” jawabnya.
“Saya tinggal di rumah laki-laki ini, dan ketika saya sembuh dan sehat, saya baru bisa kembali dan memimpin lagi sekarang. Bagaimana saya tidak melimpahkan kehormatan kepada penyelamatku?”
Dan kemudian Bodhisatta mengatakan lebih lanjut, “Anakku, orang yang tidak membantu orang yang pantas yang membutuhkan bantuan, maka orang itu, ketika berada dalam kesusahan, tidak akan dapat menemukan siapa pun untuk
membantunya.” Dan untuk menunjukkan moralitasnya, ia mengucapkan bait berikut:
Perbuatan baikmu dilimpahkan kepada orang dungu atau orang jahat,
maka dalam keadaan genting yang susah tidak akan menemukan teman untuk menolong:
Tetapi kebaikanmu dilimpahkan kepada orang yang baik,
Maka dalam keadaan genting yang susah akan mendapatkan bantuan.
Anugerah kepada jiwa yang tak pantas adalah perbuatan sia-sia belaka,
Jasa baikmu, sekecil apa pun, diberikan kepada orang baik ada manfaatnya:
Perbuatan mulia, meskipun itu hanya satu,
menjadikan pelakunya pantas mendapatkan takhta:
Seperti buah yang berlimpah dari bibit kecil,
ketenaran abadi berawal dari perbuatan mulia.
Setelah mendengar hal ini, baik pangeran muda maupun menteri itu tidak bisa menjawab apa-apa.
Sang Guru, setelah selesai bercerita, mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Ānanda adalah laki-laki yang tinggal di desa perbatasan itu, sedangkan saya adalah Raja Benares.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, mengenai Ānanda Thera. Cerita pembuka yang terdapat dalam kisah ini telah dijelaskan sebelumnya. “Di masa lampau juga,” Sang Guru berkata, “orang bijak berbuat dengan prinsip bahwa perbuatan baik akan mendapatkan hasil yang baik pula.” Dan berikut ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
Dahulu kala, Bodhisatta menjadi Raja Benares, dan ia selalu berderma dan menjaga latihan moralitas (sila), menjalankan pemerintahannya dengan asas keadilan dan kesamaan.
Karena dipenuhi pikiran untuk mengakhiri pemberontakan di garis depan, maka ia sendiri memimpin peperangan dengan kekuatan besar. Tetapi setelah dikalahkan, ia harus turun dari kudanya dan lari menyelamatkan diri sampai ke desa perbatasan. Di sana, hiduplah tiga puluh orang yang setia dan mereka sedang berkumpul bersama di pagi hari itu di tengah desa melakukan kegiatan sehari-hari. Pada waktu itu, raja naik ke atas kudanya yang dilengkapi dengan baju perang dan senjata, berjalan masuk menuju ke depan pintu gerbang desa.
Semua orang takut dan lari masuk ke dalam rumah masing-masing sambil berkata. “Ada apa ini?” Tetapi ada satu laki-laki yang datang menyambut raja itu tanpa pergi ke rumahnya terlebih dahulu. Dengan memberi tahu orang asing tersebut bahwa dikatakan raja telah tiba sampai ke garis depan, ia menanyakan siapakah dirinya dan apakah ia adalah dirinya adalah seorang yang setia atau seorang pemberontak. “Saya adalah seorang yang setia, Tuan.” katanya. “Kalau begitu, ikutlah dengan saya,” jawab laki-laki itu dan menuntun raja itu ke rumahnya dan mempersilakannya duduk di tempat duduknya sendiri. Kemudian laki-laki itu berkata kepada istrinya, “Istriku, basuhlah kaki teman kita ini,” dan setelah istrinya melakukannya, ia pun mempersembahkan makanan yang terbaik kepadanya dan kemudian merapikan tempat untuk tidur baginya dengan memintanya untuk beristirahat sejenak. Maka raja pun berbaring.
Kemudian si tuan rumah melepaskan baju perang dari kudanya, membuatnya merasa nyaman, memberinya minum air dan makan rumput, serta menggosoknya dengan minyak.
Demikianlah perlakuan yang diberikan selama tiga atau empat hari, dan akhirnya raja berkata, “ Teman, saya harus berangkat pulang sekarang,” dan lagi untuk terakhir kalinya ia memberikan pelayanan kepada raja dan kudanya. Setelah selesai menyantap makanannya, raja bersiap untuk berangkat dan berkata, “Saya dipanggil si penunggang kuda yang hebat. Rumah kami di pusat kota ini. Jika Anda ada datang ke sana dalam urusan apa pun, berdirilah di sebelah kanan pintu dan tanyalah penjaga di sana di mana si penunggang kuda yang hebat tinggal, kemudian ikutlah dengannya, datanglah ke rumah kami.” Setelah mengatakan ini, ia pun berangkat.
Saat itu, pasukan kerajaan tetap berada di dalam barak mereka karena tidak ada raja, tetapi ketika melihat raja kembali, mereka keluar untuk menjemputnya dan mengawalnya kembali ke rumah. Sewaktu memasuki kota, raja berdiri di depan pintu masuk dan meminta semua penjaga dan penduduk untuk berhenti melakukan kegiatan mereka pada saat itu,dan berkata, “Teman, seorang laki-laki istimewa yang tinggal di desa perbatasan akan datang dan ingin berjumpa dengan kita, dan ia akan bertanya dimana rumah si penunggang kuda yang hebat. Gandenglah tangannya dan bawa ia ke hadapanku, dan kalian akan mendapatkan beribu-ribu keping uang.”
Tetapi ketika laki-laki tersebut tidak kunjung datang, raja menaikkan upeti di desa tempat ia tinggal. Walaupun upeti dinaikkan, tetap laki-laki itu juga tidak datang. Maka raja pun menaikkan upeti untuk kedua kalinya, dan ketiga kalinya, tetapi tetap saja ia tidak datang. Kemudian penduduk lain di desa itu berkumpul bersama dan berkata kepada laki-laki itu, “Tuan, sejak si penunggang kuda itu datang ke tempatmu sampai sekarang, kami menjadi begitu tertekan dengan upeti sampai kami tidak bisa mengangkat kepala sendiri. Pergi dan jumpailah ia, coba bujuk dirinya untuk meringankan beban hidup kami.”
“Baiklah, saya akan pergi.” jawabnya, “ tetapi saya tidak bisa pergi dengan tangan kosong. Teman saya itu mempunyai dua orang putra, jadi tolong siapkan hiasan dan beberapa setel pakaian untuk mereka beserta istrinya dan temanku.”
“Baiklah,” kata mereka, sambil mempersiapkan segala sesuatunya sebagai hadiah.
Jadi laki-laki itu membawa hadiahnya dan kue yang dibuat di rumahnya sendiri. Dan setibanya di pintu gerbang sebelah kanan, ia menanyakan kepada penjaganya dimana rumah si penunggang kuda yang hebat. Penjaga itu menjawab, “Ikutlah dengan saya dan akan saya tunjukkan padamu,” dan menggandeng tangannya. Sesampainya mereka di depan pintu gerbang ruangan raja, terdengarlah seruan, “Penjaga telah tiba dan membawa laki-laki yang tinggal di desa perbatasan.”Raja pun bangkit dari duduknya ketika mendengar ini dan berkata, “Biarkanlah teman saya dan siapa saja yang ikut datang dengannya masuk.” Kemudian ia maju ke depan untuk menyambut dan memeluknya, dan setelah menanyakan kabar dari istri dan anak-anak temannya ini, ia membawanya naik ke atas pentas dan mendudukkannya di takhta kerajaan di bawah sebuah payung putih. Dan ia memanggil permaisurinya seraya berkata, “Basuhlah kaki temanku ini.” Istrinya pun melakukannya.
Raja memercikkan air dari sebuah mangkuk emas ketika istrinya sedang membasuh kakinya dan menggosoknya dengan minyak yang wangi. Kemudian raja bertanya, “Apakah Anda membawakan sesuatu untuk kami makan?” Dan laki-laki itu berkata, “Ya, Tuanku,” sembari mengeluarkan kue dari sebuah karung. Raja menerima kue tersebut dengan piring emas dan dengan menunjukkan penghargaan atas kue yang dibawa laki- laki itu, dan berkata, “Makanlah apa yang dibawakan oleh temanku,” sambil membagikannya kepada ratu dan menteri- menterinya untuk dimakan. Kemudian orang asing itu mengeluarkan hadiahnya yang lain. Dan raja, untuk menunjukkan bahwa ia menerima hadiahnya, menanggalkan pakaian sutranya dan memakai setelan pakaian yang dibawakan laki-laki itu. Sang ratu juga demikian halnya, langsung memakai hiasan dan pakaian yang dibawakan. Kemudian raja mempersembahkannya makanan untuk seorang raja dan meminta salah satu menterinya dengan berkata, “Bawalah ia dan pastikan janggutnya dirapikan layaknya diriku, berikan air yang wangi kepadanya untuk digunakan sewaktu mandi. Setelah itu, pakaikan sebuah jubah sutra yang berharga ribuan keping uang, dan hormati ia dengan gaya kerajaan, kemudian bawa ia ke sini.”
Perintah raja pun dilaksanakan. Dengan bunyi tabuhan genderang di kota, raja mengumpulkan para menterinya, dan dengan melemparkan benang merah melewati payung putih, sang raja memberikan laki-laki itu setengah dari kerajaannya.
Mulai saat itu, mereka makan, minum, dan tinggal bersama serta menjadi akrab dan teman yang tak terpisahkan.
Kemudian raja menjemput istri dan keluarga laki-laki tersebut, dan mereka pun memerintah kerajaan itu dengan keharmonisan yang sempurna. Seorang pejabat istana mengahasut kemarahan putra sang raja dengan berkata, “O Pangeran, raja telah memberikan setengah kerajaannya kepada seorang penduduk biasa. Ia makan, minum, dan tinggal dengannya, serta memerintahkan kita untuk menghormati anak-anaknya.
Apa maksud raja? Kami merasa malu. Apakah Anda sudah bicara dengan raja?” Pangeran pun segera melakukannya, mengatakan setiap kata kepada raja dan berkata, “O Paduka, jangan bertindak seperti itu.” “Anakku,” jawabnya, “apakah Anda tahu dimana saya tinggal sewaktu kalah dalam pertempuran?”
“Saya tidak tahu, Paduka,” jawabnya.
“Saya tinggal di rumah laki-laki ini, dan ketika saya sembuh dan sehat, saya baru bisa kembali dan memimpin lagi sekarang. Bagaimana saya tidak melimpahkan kehormatan kepada penyelamatku?”
Dan kemudian Bodhisatta mengatakan lebih lanjut, “Anakku, orang yang tidak membantu orang yang pantas yang membutuhkan bantuan, maka orang itu, ketika berada dalam kesusahan, tidak akan dapat menemukan siapa pun untuk
membantunya.” Dan untuk menunjukkan moralitasnya, ia mengucapkan bait berikut:
Perbuatan baikmu dilimpahkan kepada orang dungu atau orang jahat,
maka dalam keadaan genting yang susah tidak akan menemukan teman untuk menolong:
Tetapi kebaikanmu dilimpahkan kepada orang yang baik,
Maka dalam keadaan genting yang susah akan mendapatkan bantuan.
Anugerah kepada jiwa yang tak pantas adalah perbuatan sia-sia belaka,
Jasa baikmu, sekecil apa pun, diberikan kepada orang baik ada manfaatnya:
Perbuatan mulia, meskipun itu hanya satu,
menjadikan pelakunya pantas mendapatkan takhta:
Seperti buah yang berlimpah dari bibit kecil,
ketenaran abadi berawal dari perbuatan mulia.
Setelah mendengar hal ini, baik pangeran muda maupun menteri itu tidak bisa menjawab apa-apa.
Sang Guru, setelah selesai bercerita, mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Ānanda adalah laki-laki yang tinggal di desa perbatasan itu, sedangkan saya adalah Raja Benares.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com