Sariputta | Jataka | MANISUKARA-JATAKA Sariputta

MANISUKARA-JATAKA


“Dia yang bergembira di dalam kebohongan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang pembunuhan Sundarī. Kala itu, diceritakan bahwasanya Bodhisatta amatlah dipuja dan dihormati. Cerita pembukanya sama dengan yang terdapat di dalam Kandhaka266; ini hanyalah ringkasannya.

Para bhikkhu Saṅgha pengikut Yang Terberkahi mendapatkan perolehan dan penghormatan, layaknya lima sungai yang menyebabkan satu banjir hebat. Sedangkan para kaum titthiya, yang tidak mendapatkan perolehan dan penghormatan, meredup layaknya kunang-kunang di pagi hari, berkumpul bersama dan melakukan pembahasan, “Sejak Petapa Gotama muncul, seluruh perolehan dan penghormatan tidak lagi kita dapatkan. Tidak satu jiwa pun yang tahu bahwa kita ini ada.

Siapakah yang bisa membantu kita menyebabkan noda pada diri Gotama, membuatnya tidak lagi mendapatkan ini semuanya?”

Kemudian sebuah ide terlintas di benak mereka, “Sundarī (Sundari) akan membantu kita melakukannya.” Maka pada suatu hari ketika Sundari berkunjung ke tempat hutan para petapa titthiya itu, mereka beruluk salam kepadanya dan tidak berkata pa-apa lagi. Dia menyapa mereka terus-menerus, tetapi tidak mendapatkan balasan apa pun. “Apakah ada yang membuat kalian kesal, Yang Mulia?” tanyanya. “Saudari, apakah Anda tidak melihat bagaimana Petapa Gotama membuat kami kesal, dengan tidak memberikan kami kesempatan mendapatkan derma dan penghormatan?” “Apa yang dapat kulakukan mengenai hal ini?” katanya. “Saudari, Anda adalah seorang yang cantik dan rupawan. Anda bisa menimbulkan noda bagi Gotama, dan perkataanmu bisa memengaruhi orang banyak, [416] dan demikian Anda bisa mengembalikan perolehan dan penghormatan kepada kami.” Dia pun menyetujuinya dan berpamitan. Kemudian dia membawa untaian bunga, wewangian, kapur, bumbu, buah-buahan dan lain sebagainya pada setiap petang hari ketika orang-orang pulang kembali ke kota setelah mendengar khotbah Dhamma dari Sang Guru, membiarkan mereka melihatnya menuju Jetavana. Jika ada yang menanyakan dia hendak pergi ke mana, dia akan menjawab, “Pergi ke tempat Petapa Gotama; saya tinggal bersama dengan-Nya di dalam gandhakuṭi (ruangan wangi).” Kemudian dia akan bermalam di tempat para petapa titthiya itu, dan di pagi harinya melewati jalan dari Jetavana menuju ke dalam kota. Jika ada yang menanyakan dia datang dari mana, “Saya baru saja (pulang) dari tempat Petapa Gotama di dalam gandhakuṭi, Dia bersenang-senang denganku.” Setelah beberapa hari berlalu, mereka membayar beberapa penjahat untuk membunuh Sundari di gandhakuṭi milik Petapa Gotama dan meletakkan jasadnya di tumpukan debu. Dan mereka pun melakukan demikian. Kemudian para petapa titthiya tersebut berpura-pura menangis karena kehilangan Sundari, dan melapor kepada raja. Raja menanyakan apa yang mereka curigai. Mereka mengatakan bahwa belakangan itu Sundari sering pergi ke Jetavana, tetapi apa yang terjadi setelah itu tidak diketahui (oleh mereka). Raja kemudian mengutus mereka pergi ke sana untuk mencarinya.

Untuk melakukan ini, mereka membawa pengawal-pengawal raja dan pergi ke Jetavana, tempat mereka kemudian menemukan jasadnya di tumpukan debu itu. Setelah meminta untuk menyiapkan satu tandu, mereka membawanya kembali ke kota, dan memberi tahu raja bahwa siswa-siswa dari Gotama telah membunuh Sundari, membuang jasadnya di tumpukan debu untuk menutupi perbuatan buruk guru mereka. Raja kemudian memerintahkan mereka untuk berkeliling (memberikan pengumuman) di kota. Mereka melewati semua jalan, dengan meneriakkan, “Datang dan lihatlah apa yang telah dilakukan oleh para petapa (siswa) Pangeran Sakya itu!” dan berjalan kembali ke halaman istana. Raja telah menyuruh pengawalnya untuk diletakkan pada satu tempat dan dijaga oleh pengawal. Semua orang, kecuali para siswa ariya, hilir mudik di dalam dan di luar kota, di dalam taman dan di dalam hutan, mencela para bhikkhu dengan berkata, “Lihatlah apa yang telah diperbuat oleh para petapa (siswa) Pangeran Sakya itu!” Para bhikkhu memberitahukan semuanya ini kepada Sang Buddha. Sang Guru kemudian berkata, “Baik, pergi dan katakanlah ini kepada orang-orang, Dia yang bergembira di dalam kebohongan akan terlahir di alam neraka, begitu juga dengan dia yang membantah sesuatu yang telah dilakukannya:

Kedua jenis orang ini, ketika maut menjemput mereka, akan menderita dalam kelahiran mendatang.

Raja memerintahkan beberapa orang untuk mencari tahu apakah Sundari (ada kemungkinan) dibunuh oleh orang lain. Pada saat itu, penjahat-penjahat tersebut bermabuk-mabukan dengan uang berdarah, kemudian saling bertengkar.

Mereka berkata demikian kepada satu sama lain, “Kamu yang membunuh Sundari dengan satu pukulan, kemudian membuangnya di tempat tumpukan debu. Sekarang kamu ada di sini, membeli minuman keras dengan uang berdarah itu!”

“Cukup, cukup,” kata para pengawal kerajaan, kemudian menahan dan membawa mereka ke hadapan raja. “Apakah kalian membunuh Sundari?” tanya raja. Mereka mengiyakannya.

“Siapa yang menyuruh kalian melakukannya?” “Para petapa titthiya, Paduka.” Raja kemudian menyuruh pengawalnya untuk memanggil para petapa titthiya itu. Raja berkata (kepada mereka), “Angkatlah Sundari dan bawalah keliling kota, teriakkan ini sembari kalian berkeliling, ‘Wanita ini, Sundari, tadinya ingin memberikan noda pada diri Petapa Gotama; kami menyuruh penjahat membunuhnya; kesalahan tidak ada pada Gotama ataupun para siswa-Nya, melainkan ada pada kami!’ ” Mereka pun melakukan hal tersebut. Banyak orang yang tadinya belum yakin menjadi yakin, dan para titthiya itu dijaga agar tidak melakukan kejahatan lagi dijatuhkan hukuman atas kasus pembunuhan. Sejak saat itu, reputasi Sang Buddha menjadi semakin besar.

Kemudian pada suatu hari, para bhikkhu mulai membicarakan ini di dalam balai kebenaran, “Āvuso, para petapa titthiya itu tadinya ingin memberikan kegelapan kepada Buddha, tetapi yang didapatkan adalah mereka memberikan kegelapan kepada diri mereka sendiri. Sejak saat itu, perolehan dan penghormatan kita semakin bertambah!” Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan.

Mereka memberi tahu Beliau. “Para Bhikkhu,” kata Beliau, “adalah hal yang tidak mungkin untuk memberikan noda kepada Buddha. Berusaha untuk memberikan noda kepada Buddha adalah sama halnya dengan berusaha untuk memberikan noda pada batu permata. Di masa lampau, ada makhluk yang berkeinginan untuk memberikan noda pada sebuah batu pertama yang bagus, dan tidak peduli berapa kali berusaha, mereka tetap gagal melakukannya.” Beliau kemudian menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga brahmana. Ketika dewasa, memahami keburukan dari kesenangan indriawi, dia pun pergi meninggalkan rumahnya, berjalan melewati tiga barisan pegunungan di Himalaya, tempat dia kemudian menjadi seorang petapa dan tinggal di sebuah gubuk daun. Di dekat gubuknya itu, terdapat sebuah gua batu permata yang dihuni oleh tiga puluh ekor babi hutan, dan di dekat gua tersebut seekor singa selalu berkeliaran mencari mangsanya.

Bayangannya selalu tampak di batu permata tersebut. Babi-babi hutan melihat bayangan ini, dan rasa takut membuat mereka menjadi kurus dan pucat. Mereka berpikir, “Kita bisa melihat bayangan ini karena pertamanya bening. Kita akan membuatnya menjadi kotor dan buram.” Maka mereka mengambil lumpur dari sebuah kolam yang berada di dekat gua mereka, dan menggosokkannya pada batu permata itu. Akan tetapi, batu permata yang terus-menerus digosok dengan bulu-bulu babi hutan tersebut malah menjadi

makin bening. Mereka tidak tahu bagaimana cara mengatasinya, jadi mereka memutuskan untuk bertanya kepada petapa itu bagaimana caranya agar mereka bisa membuat permata tersebut menjadi buram. Mereka pun datang kepadanya dan, setelah memberikan salam hormat, duduk di sebelahnya, mengucapkan dua bait berikut:

Tujuh tahun kami telah menghuni

sebuah gua permata, dalam jumlah tiga puluh.

Kali ini kami ingin membuat sinarnya menjadi kabur—

tetapi kami tidak bisa melakukannya.

Meskipun kami berusaha dengan segala upaya

untuk mengaburkan sinarnya,

tetapi batu permata itu malah menjadi makin terang

sinarnya, apakah yang menjadi penyebabnya?

Bodhisatta mendengarkan ini, kemudian mengulangi bait

ketiga berikut:

Batu permata ini, tanpa noda, terang, dan bening;

Tidak ada kaca yang bisa menandinginya.

Tidak ada benda di bumi ini yang bisa merusaknya.

Babi-babi hutan, lebih baik kalian pindah ke tempat lain.

Mereka pun melakukan demikian setelah mendengar jawabannya. Bodhisatta kemudian melanjutkan kebahagiaan dirinya dalam meditasi, dan terlahir kembali di alam brahma. Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran-Nya: “Pada masa itu, Aku adalah sang petapa.”

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com