PALASA-JATAKA
“Mengapa, Brahmana, walaupun,” dan seterusnya.
Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berbaring di pembaringan tatkala akan mencapai nibbana (parinibbāna), tentang Ānanda Thera (Ananda Thera).
Yang Mulia Ananda, yang mengetahui bahwa Sang Guru akan mencapai nibbana malam itu, berkata pada dirinya sendiri, “Saya masih seorang siswa (sekha) yang memiliki sesuatu yang harus dilakukan (sakaraṇīya), sedangkan Guruku akan parinibbana, dan kemudian pelayanan yang telah kuberikan kepada-Nya selama dua puluh lima tahun ini akan menjadi sia-sia.”
Dirundung dengan perasaan sedih demikian, Ananda masuk ke dalam kamarnya, di dalam taman, bersandar pada penyangga palang pintu (kapisīsa) dan meneteskan air mata.
Sang Guru yang merasa kehilangan Ananda bertanya kepada seorang bhikkhu tentang keberadaannya. Setelah mengetahui permasalahannya, Beliau memanggilnya dan berkata sebagai berikut: “Ananda, Anda telah banyak berbuat jasa-jasa kebajikan. Tetaplah berjuang dengan sungguh-sungguh dan segera Anda akan terbebas dari leleran batin. Janganlah bersedih. Atas alasan apa (Anda berpikir bahwa) pelayanan yang telah Anda berikan kepadaku dalam kehidupan ini akan menjadi sia-sia, dengan melihat jasa kebajikanmu di masa lampau bukannya tidak membuahkan hasil?” Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai dewa pohon plasa. Kala itu, semua penduduk Benares membaktikan diri terhadap pemujaan makhluk-makhluk dewata demikian, dan selalu terlibat dalam hal memberikan sajian persembahan dan sebagainya.
Terdapat seorang brahmana miskin yang berpikir, “Saya juga akan memuja suatu makhluk dewata.” Maka ia pun mencari sebuah pohon plasa yang tumbuh di satu tanah yang tinggi, dengan membubuhkan batu kerikil dan menyapu sekeliling pohon itu, ia menjaga akar-akarnya tetap bagus dan bebas dari rerumputan. Kemudian ia memberikan wewangian lima aroma, menyalakan pelita, mempersembahkan untaian wewangian bunga dan dupa. Setelah memberikan penghormatan yang demikian, ia berkata, “Semoga Anda berbahagia,” kemudian pergi, dengan berpradaksina. Keesokan harinya, ia datang pada awal pagi hari dan melihat keadaan pohonnya. Suatu hari, dewa pohon itu berpikir, “Brahmana ini sangat memerhatikan diriku. Saya akan mengujinya dan mencari tahu mengapa ia memujaku demikian, dan akan mengabulkan permintaannya.”
Maka ketika brahmana itu datang dan sedang menyapu di sekitar akar pohon, dewa pohon itu berdiri di dekatnya dalam samarannya sebagai seorang brahmana tua dan mengucapkan bait pertama berikut:
Mengapa, Brahmana, walaupun dirimu diberkahi dengan akal sehat, memuja pohon yang tak berperasaan ini?
Doamu sia-sia, penghormatanmu juga sia-sia,
dari pohon yang membosankan ini, jawaban atas apa pun tidak akan didapatkan.
Mendengar perkataan ini, brahmana itu membalasnya dalam bait kedua berikut:
Sebuah pohon yang terkenal telah ada di tempat ini dalam waktu yang lama,
menjadi tempat tinggal yang cocok bagi makhluk dewata penjaga pohon;
Dengan perasaan kagum mendalam kuhormati makhluk demikian,
mereka yang menjaga, menurutku, harta karun di sini.
Dewa pohon itu menjadi sangat senang mendengar ucapan sang brahmana, kemudian berkata, “Wahai brahmana, saya adalah dewa pohon ini. Jangan takut. Akan kuberikan padamu harta karun itu.” Dan untuk meyakinkan dirinya, dengan kekuatan gaibnya, ia berdiri melayang di udara di depan pintu rumah dewanya dan melafalkan dua bait berikut:
Wahai petapa, telah kuperhatikan perbuatan cinta kasihmu;
Perbuatan yang bajik tidak pernah tidak akan berbuah.
Di sana tempat pohon tinduka itu membentangkan
bayangannya, yang dahulu terdapat persembahan dan sebagainya,
di bawah pohon itu harta karun tersembunyi, galilah
tanahnya dan jadikan harta itu sebagai hadiahmu.
Dewa pohon itu lebih lanjut menambahkan: “O Brahmana, Anda pasti akan sangat lelah jika harus menggali harta ini dan membawanya sendirian. Oleh karena itu, pulanglah terlebih dahulu dan saya yang akan membawanya ke rumahmu dan meletakkannya di sana. Kemudian Anda dapat menikmati hidup panjangmu, dan tetaplah memberikan derma dan menjaga latihan moralitas.” Setelah demikian menasihati dirinya, dewa pohon itu, dengan kekuatan gaibnya, mengirimkan harta karun tersebut ke rumah sang brahmana.
Sang Guru mengakhiri uraian-Nya di sini dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Ānanda (Ananda) adalah brahmana miskin dan saya sendiri adalah dewa pohon.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berbaring di pembaringan tatkala akan mencapai nibbana (parinibbāna), tentang Ānanda Thera (Ananda Thera).
Yang Mulia Ananda, yang mengetahui bahwa Sang Guru akan mencapai nibbana malam itu, berkata pada dirinya sendiri, “Saya masih seorang siswa (sekha) yang memiliki sesuatu yang harus dilakukan (sakaraṇīya), sedangkan Guruku akan parinibbana, dan kemudian pelayanan yang telah kuberikan kepada-Nya selama dua puluh lima tahun ini akan menjadi sia-sia.”
Dirundung dengan perasaan sedih demikian, Ananda masuk ke dalam kamarnya, di dalam taman, bersandar pada penyangga palang pintu (kapisīsa) dan meneteskan air mata.
Sang Guru yang merasa kehilangan Ananda bertanya kepada seorang bhikkhu tentang keberadaannya. Setelah mengetahui permasalahannya, Beliau memanggilnya dan berkata sebagai berikut: “Ananda, Anda telah banyak berbuat jasa-jasa kebajikan. Tetaplah berjuang dengan sungguh-sungguh dan segera Anda akan terbebas dari leleran batin. Janganlah bersedih. Atas alasan apa (Anda berpikir bahwa) pelayanan yang telah Anda berikan kepadaku dalam kehidupan ini akan menjadi sia-sia, dengan melihat jasa kebajikanmu di masa lampau bukannya tidak membuahkan hasil?” Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai dewa pohon plasa. Kala itu, semua penduduk Benares membaktikan diri terhadap pemujaan makhluk-makhluk dewata demikian, dan selalu terlibat dalam hal memberikan sajian persembahan dan sebagainya.
Terdapat seorang brahmana miskin yang berpikir, “Saya juga akan memuja suatu makhluk dewata.” Maka ia pun mencari sebuah pohon plasa yang tumbuh di satu tanah yang tinggi, dengan membubuhkan batu kerikil dan menyapu sekeliling pohon itu, ia menjaga akar-akarnya tetap bagus dan bebas dari rerumputan. Kemudian ia memberikan wewangian lima aroma, menyalakan pelita, mempersembahkan untaian wewangian bunga dan dupa. Setelah memberikan penghormatan yang demikian, ia berkata, “Semoga Anda berbahagia,” kemudian pergi, dengan berpradaksina. Keesokan harinya, ia datang pada awal pagi hari dan melihat keadaan pohonnya. Suatu hari, dewa pohon itu berpikir, “Brahmana ini sangat memerhatikan diriku. Saya akan mengujinya dan mencari tahu mengapa ia memujaku demikian, dan akan mengabulkan permintaannya.”
Maka ketika brahmana itu datang dan sedang menyapu di sekitar akar pohon, dewa pohon itu berdiri di dekatnya dalam samarannya sebagai seorang brahmana tua dan mengucapkan bait pertama berikut:
Mengapa, Brahmana, walaupun dirimu diberkahi dengan akal sehat, memuja pohon yang tak berperasaan ini?
Doamu sia-sia, penghormatanmu juga sia-sia,
dari pohon yang membosankan ini, jawaban atas apa pun tidak akan didapatkan.
Mendengar perkataan ini, brahmana itu membalasnya dalam bait kedua berikut:
Sebuah pohon yang terkenal telah ada di tempat ini dalam waktu yang lama,
menjadi tempat tinggal yang cocok bagi makhluk dewata penjaga pohon;
Dengan perasaan kagum mendalam kuhormati makhluk demikian,
mereka yang menjaga, menurutku, harta karun di sini.
Dewa pohon itu menjadi sangat senang mendengar ucapan sang brahmana, kemudian berkata, “Wahai brahmana, saya adalah dewa pohon ini. Jangan takut. Akan kuberikan padamu harta karun itu.” Dan untuk meyakinkan dirinya, dengan kekuatan gaibnya, ia berdiri melayang di udara di depan pintu rumah dewanya dan melafalkan dua bait berikut:
Wahai petapa, telah kuperhatikan perbuatan cinta kasihmu;
Perbuatan yang bajik tidak pernah tidak akan berbuah.
Di sana tempat pohon tinduka itu membentangkan
bayangannya, yang dahulu terdapat persembahan dan sebagainya,
di bawah pohon itu harta karun tersembunyi, galilah
tanahnya dan jadikan harta itu sebagai hadiahmu.
Dewa pohon itu lebih lanjut menambahkan: “O Brahmana, Anda pasti akan sangat lelah jika harus menggali harta ini dan membawanya sendirian. Oleh karena itu, pulanglah terlebih dahulu dan saya yang akan membawanya ke rumahmu dan meletakkannya di sana. Kemudian Anda dapat menikmati hidup panjangmu, dan tetaplah memberikan derma dan menjaga latihan moralitas.” Setelah demikian menasihati dirinya, dewa pohon itu, dengan kekuatan gaibnya, mengirimkan harta karun tersebut ke rumah sang brahmana.
Sang Guru mengakhiri uraian-Nya di sini dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Ānanda (Ananda) adalah brahmana miskin dan saya sendiri adalah dewa pohon.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com