Sariputta | Jataka | PUCIMANDA-JATAKA Sariputta

PUCIMANDA-JATAKA


“Bangunlah, Perampok!” dan seterusnya.

Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Veḷuvana (Veluvana), tentang Yang Mulia Mahāmoggallāna (Mahamoggallana). Ketika bhikkhu senior tersebut bertempat tinggal di gubuk di dalam hutan dekat Rājagaha (Rajagaha), seorang perampok, sehabis merampok sebuah rumah di desa pinggiran, melarikan diri dengan membawa barang rampokannya sampai ia tiba di daerah sekitar tempat tinggal beliau. Merasa bahwa dirinya akan aman berada di sana, ia berbaring di depan pintu gubuk daun tersebut. Sang Thera yang melihatnya berbaring di sana dan mencurigai gelagatnya sebagai perampok berkata dalam dirinya, “Adalah merupakan suatu hal yang salah bagiku untuk berurusan dengan seorang perampok.” Maka ia keluar dari gubuknya dan memintanya untuk tidak berbaring di sana dan menyuruhnya untuk pergi.

Perampok itu pun pergi dengan segera. Dan dengan membawa obor di tangan, orang-orang yang mengikuti jejak si perampok, datang dan melihat berbagai tanda keberadaan perampok itu dan berkata, “Di sini arah perampok itu datang, di sini tempat ia berdiri, di sana tempat ia duduk, dan di sana arah ia lari. Ia tidak berada disini lagi.” Maka dengan segera mereka mengejarnya ke sana dan ke sini, tetapi akhirnya kembali tanpa menemukannya. Keesokan paginya, Yang Mulia Mahamoggallana berpindapata di Rajagaha, dan sekembalinya dari sana, beliau pergi ke Veluvana dan memberitahukan Sang Guru apa yang terjadi. Sang Guru berkata, “Anda bukan satu-satunya orang yang menaruh curiga pada suatu hal dan kecurigaan itu terbukti kebenarannya, Moggallana, tetapi orang bijak di masa lampau juga melakukannya.” Atas permintaan Moggallana, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai dewa pohon nimba di suatu daerah pekuburan di dalam kota tersebut. Pada suatu hari, setelah merampok sebuah rumah di kota, seorang perampok masuk ke daerah pekuburan tersebut. Terdapat dua pohon tua di sana, pohon nimba dan pohon bodhi. Perampok itu meletakkan barang-barang rampokannya di bawah pohon nimba dan berbaring di sana.

Pada masa itu, perampok yang tertangkap akan disiksa dengan disula (dipasung) pada sula yang dibuat dari kayu pohon nimba. Maka dewa pohon nimba berpikir. “Jika orang-orang datang dan menangkap perampok ini, maka mereka akan memotong cabang pohonku untuk dijadikan sula dan memasungnya, jika keadaannya terus seperti ini, maka pohonku akan menjadi rusak. Saya akan menyuruhnya pergi.” Kemudian ia menyapanya dengan bait pertama berikut:

Bangunlah, Perampok! Mengapa Anda tidur?

Ini bukanlah waktunya.

Anak buah raja sedang mengejarmu,

membalas perbuatan burukmu.

Lebih lanjut lagi ia menambahkan, “Pergilah sebelum anak buah raja menangkapmu.” Demikian ia membuat perampok itu menjadi takut dan pergi dari sana. Tidak lama setelah ia pergi, dewa pohon bodhi mengucapkan bait kedua berikut:

Walaupun perampok ini tertangkap oleh mereka,

denganmu, wahai pohon nimba, dewa pohon, apa hubungannya?

Mendengar pertanyaan ini, dewa pohon nimba mengucapkan bait ketiga berikut:

Wahai pohon bodhi, pastinya Anda tidak tahu

alasan atas rasa takutku;

Tak kuinginkan anak buah raja menemukannya di sini.

Mereka pasti akan langsung mengambil satu cabang pohonku,

untuk memasung dirinya, membalas perbuatannya.

Dan ketika dua dewa pohon itu sedang berbicara, pemilik rumah yang dirampok itu yang membawa obor dan yang sedang mengikuti jejak perampok tersebut melihat tempat ia berbaring (tadinya) dan berkata, “Perampok itu baru saja bangkit dan lari dari tempat ini. Sekarang kita belum mendapatkannya, tetapi nanti jika tertangkap, kita akan kembali (ke tempat ini) dan memasungnya di bawah kaki pohon nimba ini atau menggantungnya pada salah satu cabangnya.”

Setelah mengucapkan kata-kata ini, dengan tergesa-gesa mereka berlari ke sana dan ke sini. Dikarenakan tidak menemukan perampok tersebut, akhirnya mereka pun pergi.

Setelah mendengar apa yang mereka bicarakan, dewa pohon bodhi mengucapkan bait keempat berikut:

Waspada terhadap bahaya meskipun belum terlihat:

Curiga dahulu sebelum terlambat,

orang bijak pada masa ini harus selalu melihat ke depan.

Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah selesai menyampaikan uraian ini; “Pada masa itu, Sāriputtta adalah dewa pohon bodhi, dan saya sendiri adalah dewa pohon nimba.”

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com