SADHUSALA-JATAKA
“Yang satu tampan,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang brahmana. Orang ini, diceritakan, mempunyai empat putri. Empat laki-laki datang untuk melamar mereka; yang satu tampan, yang satu tua dan dewasa, yang satu seorang laki-laki dari keluarga terpandang, dan yang satunya lagi adalah orang yang memiliki moralitas. Dia berpikir di dalam hatinya, “Ketika seseorang hendak menikahkan putri-putrinya, kepada siapakah seharusnya mereka dinikahkan? Laki-laki yang tampan atau yang agak tua, atau salah satu di antara dua yang lain, seorang keturunan bangsawan atau yang berbudi luhur (memiliki moralitas)?” Dia memikirkannya, tetapi tidak dapat memutuskan. Maka dia berpikir untuk memberitahukan masalah ini kepada Yang Tercerahkan Sempurna (Sammāsambuddha), yang pasti tahu jawabannya, dan Beliau akan memberikan gadis-gadis ini kepada pelamar yang paling cocok. Jadi dia mempersiapkan sejumlah wewangian dan untaian bunga, kemudian mengunjungi wihara. Setelah memberi hormat kepada Sang Guru, dia duduk di satu sisi dan menceritakan kepada Beliau semuanya, mulai dari awal sampai akhir; kemudian dia bertanya, “Kepada siapakah dari keempat orang ini harus saya berikan putriputriku?” Atas pertanyaan ini, Sang Guru menjawab, “Di masa lampau, sama seperti sekarang ini, orang bijak menanyakan pertanyaan ini; tetapi karena kelahiran berulang-ulang telah membuat ingatanmu menjadi kabur, Anda tidak dapat mengingat hal itu kembali.” Dan kemudian atas permintaannya, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta dilahirkan sebagai putra seorang brahmana. Dia tumbuh dewasa dan mendapatkan pendidikannya di Takkasilā ; dan sekembalinya ke rumah, dia menjadi seorang guru yang terkenal. Kala itu di sana terdapat seorang brahmana yang mempunyai empat orang putri. Empat putri ini dilamar oleh empat orang seperti yang diceritakan di atas. Brahmana ini tidak dapat memutuskan kepada siapa dia harus nikahkan putri-putrinya.
“Saya akan bertanya kepada guru,” pikirnya, “dan beliau akan memberi tahu kepada siapa mereka harus dinikahkan.” Maka dia pergi menghadap gurunya dan mengulangi bait pertama:
Yang satu tampan, satunya lagi dewasa; satunya lagi keturunan bangsawan, dan satunya lagi memiliki moralitas. Berikanlah jawaban atas pertanyaanku ini, Brahmana; dari keempat ini manakah yang kelihatannya terbaik?
Mendengar ini, guru menjawab, “Meskipun memiliki ketampanan dan kualitas lain sejenisnya, seseorang akan dipandang rendah jika dia tidak memiliki moralitas. Oleh karena itu, yang lain-lainnya bukanlah ukuran dari seorang laki-laki; yang saya suka adalah yang memiliki moralitas.” Dan untuk menjelaskan hal ini, beliau mengulangi bait kedua:
Ketampanan adalah hal yang bagus: Yang tua memiliki kehormatan, ini adalah hal yang benar: Keturunan bangsawan adalah hal yang bagus; tetapi yang memiliki moralitas—moralitas, itu adalah pilihanku.
Setelah mendengar ini, brahmana tersebut memberikan semua putrinya kepada pelamar yang berbudi luhur.
Sang Guru, setelah mengakhiri khotbah ini, memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran-kebenarannya, brahmana itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna :— “Brahmana ini adalah brahmana yang sama pada masa itu, dan guru yang terkenal itu adalah diri-Ku sendiri.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang brahmana. Orang ini, diceritakan, mempunyai empat putri. Empat laki-laki datang untuk melamar mereka; yang satu tampan, yang satu tua dan dewasa, yang satu seorang laki-laki dari keluarga terpandang, dan yang satunya lagi adalah orang yang memiliki moralitas. Dia berpikir di dalam hatinya, “Ketika seseorang hendak menikahkan putri-putrinya, kepada siapakah seharusnya mereka dinikahkan? Laki-laki yang tampan atau yang agak tua, atau salah satu di antara dua yang lain, seorang keturunan bangsawan atau yang berbudi luhur (memiliki moralitas)?” Dia memikirkannya, tetapi tidak dapat memutuskan. Maka dia berpikir untuk memberitahukan masalah ini kepada Yang Tercerahkan Sempurna (Sammāsambuddha), yang pasti tahu jawabannya, dan Beliau akan memberikan gadis-gadis ini kepada pelamar yang paling cocok. Jadi dia mempersiapkan sejumlah wewangian dan untaian bunga, kemudian mengunjungi wihara. Setelah memberi hormat kepada Sang Guru, dia duduk di satu sisi dan menceritakan kepada Beliau semuanya, mulai dari awal sampai akhir; kemudian dia bertanya, “Kepada siapakah dari keempat orang ini harus saya berikan putriputriku?” Atas pertanyaan ini, Sang Guru menjawab, “Di masa lampau, sama seperti sekarang ini, orang bijak menanyakan pertanyaan ini; tetapi karena kelahiran berulang-ulang telah membuat ingatanmu menjadi kabur, Anda tidak dapat mengingat hal itu kembali.” Dan kemudian atas permintaannya, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta dilahirkan sebagai putra seorang brahmana. Dia tumbuh dewasa dan mendapatkan pendidikannya di Takkasilā ; dan sekembalinya ke rumah, dia menjadi seorang guru yang terkenal. Kala itu di sana terdapat seorang brahmana yang mempunyai empat orang putri. Empat putri ini dilamar oleh empat orang seperti yang diceritakan di atas. Brahmana ini tidak dapat memutuskan kepada siapa dia harus nikahkan putri-putrinya.
“Saya akan bertanya kepada guru,” pikirnya, “dan beliau akan memberi tahu kepada siapa mereka harus dinikahkan.” Maka dia pergi menghadap gurunya dan mengulangi bait pertama:
Yang satu tampan, satunya lagi dewasa; satunya lagi keturunan bangsawan, dan satunya lagi memiliki moralitas. Berikanlah jawaban atas pertanyaanku ini, Brahmana; dari keempat ini manakah yang kelihatannya terbaik?
Mendengar ini, guru menjawab, “Meskipun memiliki ketampanan dan kualitas lain sejenisnya, seseorang akan dipandang rendah jika dia tidak memiliki moralitas. Oleh karena itu, yang lain-lainnya bukanlah ukuran dari seorang laki-laki; yang saya suka adalah yang memiliki moralitas.” Dan untuk menjelaskan hal ini, beliau mengulangi bait kedua:
Ketampanan adalah hal yang bagus: Yang tua memiliki kehormatan, ini adalah hal yang benar: Keturunan bangsawan adalah hal yang bagus; tetapi yang memiliki moralitas—moralitas, itu adalah pilihanku.
Setelah mendengar ini, brahmana tersebut memberikan semua putrinya kepada pelamar yang berbudi luhur.
Sang Guru, setelah mengakhiri khotbah ini, memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran-kebenarannya, brahmana itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna :— “Brahmana ini adalah brahmana yang sama pada masa itu, dan guru yang terkenal itu adalah diri-Ku sendiri.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com