SALAKA-JATAKA
“Bagaikan anak kandungku sendiri,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang mahāthera. Dikatakan bahwasanya thera ini menahbiskan seorang pemuda, yang kemudian diperlakukan olehnya dengan tidak baik. Sāmaṇera (Samanera) tersebut pada akhirnya tidak tahan dengan perlakuannya dan kembali menjalani kehidupan duniawi. Kemudian sang thera berusaha untuk membujuknya kembali. “Lihatlah ini, Nak,” katanya, “jubahmu akan menjadi milikmu sendiri, begitu juga dengan pattamu. Saya masih memiliki patta dan jubah lain yang akan saya berikan kepadamu. Mari, bergabunglah kembali!” Awalnya, pemuda itu menolak, tetapi akhirnya setelah terus-menerus didesak, dia pun menyetujuinya. Sejak dia bergabung kembali, sang thera tetap memperlakukannya dengan tidak baik, sama seperti sebelumnya. Samanera itu pun tidak tahan kembali dengan perlakuannya dan meninggalkan kehidupan petapa. Ketika sang thera membujuknya untuk bergabung kembali lagi, pemuda itu membalas, “Anda mampu melakukannya baik dengan adanya diriku maupun tanpa adanya diriku; jangan ganggu saya lagi— saya tidak akan bergabung kembali!” Para bhikkhu membicarakan ini di dalam balai kebenaran, “ Āvuso , betapa sensitifnya pemuda itu! Dia mengenal thera itu dengan tidak baik sehingga tidak ingin bergabung kembali dengan kita.” Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka pun memberi tahu Beliau. Beliau kemudian berkata, “Bukan hanya kali ini pemuda itu sensitif, Para Bhikkhu, tetapi juga sebelumnya dia menunjukkan sifat yang sama. Ketika melihat keburukan orang itu, dia tidak bersedia menerimanya kembali.” Dan kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala, di masa pemerintahan Brahmadatta, Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga seorang pedagang dan dia mendapatkan penghasilan dengan menjual jagung. Seorang laki-laki (teman Bodhisatta) adalah seorang pawang ular yang telah melatih seekor kera dan memberinya makan sejenis penawar, membuat seekor ular bermain (atraksi) dengan kera tersebut dan mendapatkan penghasilan dengan cara demikian. Suatu perayaan diumumkan; pawang ular tersebut ingin bersenang-senang di dalam perayaan itu, dan dia memercayakan sang kera kepada pedagang tersebut, berpesan kepadanya untuk tidak mengabaikannya. Tujuh hari sesudahnya, dia kembali menjumpai pedagang itu dan memintanya untuk mengembalikan keranya. Kera tersebut mendengar suara majikannya dan dengan cepat keluar dari toko jagung itu. Pawang itu memukul bagian punggungnya dengan sebilah bambu, kemudian membawanya masuk ke dalam hutan, mengikatnya, dan kemudian tidur. Segera setelah melihat majikannya tertidur, kera itu melepaskan ikatannya, kabur dan memanjat naik sebuah pohon mangga. Dia memakan sebuah mangga dan menjatuhkan bijinya tepat di kepala sang pawang ular. Pawang itu terbangun dan melihat ke atas: keranya berada di sana. “Akan kubujuk dirinya!” pikirnya, “dan di saat dia turun dari pohon, akan kutangkap dia!” Maka untuk membujuknya, dia mengucapkan bait pertama berikut:—
Bagaikan anak kandungku sendiri dirimu itu, tuan di dalam keluarga kami: Turunlah, Sālaka , dari pohon itu— Mari, ikut pulang bersamaku.
Kera itu mendengarnya dan mengucapkan bait kedua berikut:
Anda tertawa di balik bajumu! Sudah lupakah Anda dengan pemukulan itu? Di sini saya hidup senang, (jadi selamat tinggal) memakan mangga ranum.
Kemudian kera itu naik lebih ke atas lagi dan akhirnya menghilang di dalam hutan, sedangkan pawang ular itu kembali ke rumahnya dengan perasaan menyesal.
Ketika uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Samanera itu adalah kera, thera adalah pawang ular, dan Aku sendiri adalah pedagang jagung.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang mahāthera. Dikatakan bahwasanya thera ini menahbiskan seorang pemuda, yang kemudian diperlakukan olehnya dengan tidak baik. Sāmaṇera (Samanera) tersebut pada akhirnya tidak tahan dengan perlakuannya dan kembali menjalani kehidupan duniawi. Kemudian sang thera berusaha untuk membujuknya kembali. “Lihatlah ini, Nak,” katanya, “jubahmu akan menjadi milikmu sendiri, begitu juga dengan pattamu. Saya masih memiliki patta dan jubah lain yang akan saya berikan kepadamu. Mari, bergabunglah kembali!” Awalnya, pemuda itu menolak, tetapi akhirnya setelah terus-menerus didesak, dia pun menyetujuinya. Sejak dia bergabung kembali, sang thera tetap memperlakukannya dengan tidak baik, sama seperti sebelumnya. Samanera itu pun tidak tahan kembali dengan perlakuannya dan meninggalkan kehidupan petapa. Ketika sang thera membujuknya untuk bergabung kembali lagi, pemuda itu membalas, “Anda mampu melakukannya baik dengan adanya diriku maupun tanpa adanya diriku; jangan ganggu saya lagi— saya tidak akan bergabung kembali!” Para bhikkhu membicarakan ini di dalam balai kebenaran, “ Āvuso , betapa sensitifnya pemuda itu! Dia mengenal thera itu dengan tidak baik sehingga tidak ingin bergabung kembali dengan kita.” Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka pun memberi tahu Beliau. Beliau kemudian berkata, “Bukan hanya kali ini pemuda itu sensitif, Para Bhikkhu, tetapi juga sebelumnya dia menunjukkan sifat yang sama. Ketika melihat keburukan orang itu, dia tidak bersedia menerimanya kembali.” Dan kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala, di masa pemerintahan Brahmadatta, Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga seorang pedagang dan dia mendapatkan penghasilan dengan menjual jagung. Seorang laki-laki (teman Bodhisatta) adalah seorang pawang ular yang telah melatih seekor kera dan memberinya makan sejenis penawar, membuat seekor ular bermain (atraksi) dengan kera tersebut dan mendapatkan penghasilan dengan cara demikian. Suatu perayaan diumumkan; pawang ular tersebut ingin bersenang-senang di dalam perayaan itu, dan dia memercayakan sang kera kepada pedagang tersebut, berpesan kepadanya untuk tidak mengabaikannya. Tujuh hari sesudahnya, dia kembali menjumpai pedagang itu dan memintanya untuk mengembalikan keranya. Kera tersebut mendengar suara majikannya dan dengan cepat keluar dari toko jagung itu. Pawang itu memukul bagian punggungnya dengan sebilah bambu, kemudian membawanya masuk ke dalam hutan, mengikatnya, dan kemudian tidur. Segera setelah melihat majikannya tertidur, kera itu melepaskan ikatannya, kabur dan memanjat naik sebuah pohon mangga. Dia memakan sebuah mangga dan menjatuhkan bijinya tepat di kepala sang pawang ular. Pawang itu terbangun dan melihat ke atas: keranya berada di sana. “Akan kubujuk dirinya!” pikirnya, “dan di saat dia turun dari pohon, akan kutangkap dia!” Maka untuk membujuknya, dia mengucapkan bait pertama berikut:—
Bagaikan anak kandungku sendiri dirimu itu, tuan di dalam keluarga kami: Turunlah, Sālaka , dari pohon itu— Mari, ikut pulang bersamaku.
Kera itu mendengarnya dan mengucapkan bait kedua berikut:
Anda tertawa di balik bajumu! Sudah lupakah Anda dengan pemukulan itu? Di sini saya hidup senang, (jadi selamat tinggal) memakan mangga ranum.
Kemudian kera itu naik lebih ke atas lagi dan akhirnya menghilang di dalam hutan, sedangkan pawang ular itu kembali ke rumahnya dengan perasaan menyesal.
Ketika uraian ini selesai disampaikan, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Samanera itu adalah kera, thera adalah pawang ular, dan Aku sendiri adalah pedagang jagung.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com