SALUKA-JATAKA
“Janganlah iri terhadap apa yang dimakan,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang godaan nafsu seorang wanita gemuk (kasar). Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Culla-Nārada-Jātaka269. Jadi Sang Guru menanyakan kepada bhikkhu ini apakah benar dia menyesal (tidak puas). Dia mengiyakannya.
“Oleh siapa?” tanya Sang Guru. “Oleh seorang wanita gemuk.”
“Wanita itu, Bhikkhu,” kata Sang Guru, “adalah pembawa penderitaan bagi dirimu. Di masa lampau, sama seperti sekarang ini, Anda menjadi makanan bagi kerumunan orang banyak dikarenakan keinginanmu untuk menikahinya.” Kemudian atas permintaan para bhikkhu, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor sapi yang bernama Mahālohita (Mahalohita), dan memiliki seorang adik yang bernama Cūḷalohita (Cullalohita). Mereka berdua bekerja untuk sebuah keluarga di desa.
Di dalam keluarga ini terdapat seorang gadis yang telah dipinang oleh laki-laki dari keluarga lainnya. Di dalam keluarga (yang pertama) ini juga terdapat seekor babi yang bernama Sālūka (Saluka), yang sedang digemukkan, dengan tujuan untuk disajikan pada perayaan pernikahan tersebut; babi ini tidur di dalam sebuah kandang. Pada suatu hari, Cullalohita berkata kepada abangnya, “Saudaraku, kita bekerja untuk keluarga ini dan kita membantu mereka mendapatkan nafkah mereka. Akan tetapi, mereka hanya memberi kita makan rumput dan jerami, sedangkan mereka memberi babi yang di sana makan bubur nasi dan membolehkannya tidur di dalam kandang. Apa sih yang bisa dilakukan oleh babi itu untuk mereka?”
“Saudaraku,” kata Mahalohita, “janganlah menginginkan bubur nasi itu. Mereka ini akan mengadakan sebuah pesta darinya pada saat pernikahan putri mereka, itulah sebabnya mereka menggemukkan badannya. Tunggulah beberapa hari lagi, dan kamu akan lihat babi itu ditarik keluar dari kandangnya, dibunuh, dipotong-potong, dan dimakan oleh para tamu.” Setelah berkata demikian, dia mengucapkan dua bait pertama berikut:
Janganlah iri dengan apa yang dimakan Sālūka,
makanan yang diperolehnya itu amatlah mematikan.
Selalulah berpuas hati dan makan makananmu,
itu berarti umur panjang menyertaimu.
Nantinya para tamu akan datang,
dengan segala perbincangan mereka semuanya.
Dengan badan yang terpotong-potong,
Sālūka akan terbaring dengan moncong besarnya.
Beberapa hari sesudahnya, para tamu undangan pun
datang. Saluka disembelih dan dijadikan sebagai hidangan
makanan. Kedua sapi yang melihat apa yang terjadi kepada babi
itu, merasa makanan sederhana mereka adalah yang terbaik.
Sang Guru, dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, mengulangi bait ketiga berikut untuk memberi penjelasan:
Ketika mereka melihat si moncong datar terbaring,
dengan badan terpotong-potong, Sālūka malang,
sapi-sapi itu mengatakan, makanan sederhana
mereka adalah yang terbaik!
Setelah mengakhiri uraian ini, Sang Guru memaparkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang (tadinya) menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, wanita gemuk adalah orang yang sama, bhikkhu yang menyesal adalah Sālūka (Saluka), Ānanda adalah Cūḷalohita (Cullalohita), dan Aku sendiri adalah Mahālohita (Mahalohita).”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang godaan nafsu seorang wanita gemuk (kasar). Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Culla-Nārada-Jātaka269. Jadi Sang Guru menanyakan kepada bhikkhu ini apakah benar dia menyesal (tidak puas). Dia mengiyakannya.
“Oleh siapa?” tanya Sang Guru. “Oleh seorang wanita gemuk.”
“Wanita itu, Bhikkhu,” kata Sang Guru, “adalah pembawa penderitaan bagi dirimu. Di masa lampau, sama seperti sekarang ini, Anda menjadi makanan bagi kerumunan orang banyak dikarenakan keinginanmu untuk menikahinya.” Kemudian atas permintaan para bhikkhu, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor sapi yang bernama Mahālohita (Mahalohita), dan memiliki seorang adik yang bernama Cūḷalohita (Cullalohita). Mereka berdua bekerja untuk sebuah keluarga di desa.
Di dalam keluarga ini terdapat seorang gadis yang telah dipinang oleh laki-laki dari keluarga lainnya. Di dalam keluarga (yang pertama) ini juga terdapat seekor babi yang bernama Sālūka (Saluka), yang sedang digemukkan, dengan tujuan untuk disajikan pada perayaan pernikahan tersebut; babi ini tidur di dalam sebuah kandang. Pada suatu hari, Cullalohita berkata kepada abangnya, “Saudaraku, kita bekerja untuk keluarga ini dan kita membantu mereka mendapatkan nafkah mereka. Akan tetapi, mereka hanya memberi kita makan rumput dan jerami, sedangkan mereka memberi babi yang di sana makan bubur nasi dan membolehkannya tidur di dalam kandang. Apa sih yang bisa dilakukan oleh babi itu untuk mereka?”
“Saudaraku,” kata Mahalohita, “janganlah menginginkan bubur nasi itu. Mereka ini akan mengadakan sebuah pesta darinya pada saat pernikahan putri mereka, itulah sebabnya mereka menggemukkan badannya. Tunggulah beberapa hari lagi, dan kamu akan lihat babi itu ditarik keluar dari kandangnya, dibunuh, dipotong-potong, dan dimakan oleh para tamu.” Setelah berkata demikian, dia mengucapkan dua bait pertama berikut:
Janganlah iri dengan apa yang dimakan Sālūka,
makanan yang diperolehnya itu amatlah mematikan.
Selalulah berpuas hati dan makan makananmu,
itu berarti umur panjang menyertaimu.
Nantinya para tamu akan datang,
dengan segala perbincangan mereka semuanya.
Dengan badan yang terpotong-potong,
Sālūka akan terbaring dengan moncong besarnya.
Beberapa hari sesudahnya, para tamu undangan pun
datang. Saluka disembelih dan dijadikan sebagai hidangan
makanan. Kedua sapi yang melihat apa yang terjadi kepada babi
itu, merasa makanan sederhana mereka adalah yang terbaik.
Sang Guru, dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, mengulangi bait ketiga berikut untuk memberi penjelasan:
Ketika mereka melihat si moncong datar terbaring,
dengan badan terpotong-potong, Sālūka malang,
sapi-sapi itu mengatakan, makanan sederhana
mereka adalah yang terbaik!
Setelah mengakhiri uraian ini, Sang Guru memaparkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang (tadinya) menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, wanita gemuk adalah orang yang sama, bhikkhu yang menyesal adalah Sālūka (Saluka), Ānanda adalah Cūḷalohita (Cullalohita), dan Aku sendiri adalah Mahālohita (Mahalohita).”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com