SAMGAMAVACARA-JATAKA
“Oh Gajah, kamu seorang pahlawan,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Thera Nanda. Sang Guru pada kepulangan-Nya yang pertama ke kota Kapila, menerima Pangeran Nanda, adik-Nya, ke dalam kelompok bhikkhu Saṅgha (Sangha), dan setelah pulang ke Sāvatthi , Beliau tinggal di sana. Thera Nanda teringat bagaimana ketika dia meninggalkan rumahnya setelah membawa patta, mengikuti Sang Guru, Janapadakalyāṇī (Janapadakalyani) melihat keluar dari jendela, dengan rambutnya setengah terurai, dan berkata—“Mengapa Pangeran Nanda pergi dengan Sang Guru? Segeralah kembali, Tuanku!”—mengingat ini, dia menjadi menyesal, tidak puas, pucat pasi, dan urat nadi di sekujur tubuhnya tampak jelas. Ketika Sang Guru mengetahui ini, Beliau berpikir, “Bagaimana kalau Aku bantu Nanda untuk mencapai kesucian?” Beliau pun pergi ke kamar Nanda, dan duduk di tempat duduk yang diberikan kepada-Nya. “Baiklah, Nanda,” tanya Beliau, “apakah Anda merasa gembira dengan ajaran-Ku?” “Bhante,” balas Nanda, “saya jatuh cinta pada Janapadakalyani, dan saya menjadi merasa tidak puas.” “Apakah Anda pernah berkunjung ke Himalaya, Nanda?” “Tidak, Bhante, tidak pernah.” “Kalau begitu, mari kita pergi.” “Tetapi, Bhante, saya tidak memiliki kekuatan gaib, bagaimana saya bisa pergi?” “Aku akan membawamu, Nanda.” Setelah berkata demikian, Sang Guru membawanya dengan memegang tangannya dan kemudian terbang ke angkasa. Di tengah perjalanan, mereka melewati sebidang tanah yang terbakar. Di sana, di satu tongkol pohon yang hangus terbakar, dengan hidung dan ekor yang setengah terbakar, bulu yang hangus dan sisa bara, yang tertinggal kulit diselimuti darah, seekor kera betina duduk. “Apakah Anda melihat kera itu, Nanda?” Sang Guru bertanya. “Ya, Bhante.” “Lihatlah dirinya dengan baik-baik,” kata Sang Guru. Kemudian Beliau menunjukkan, dengan hamparan yang melebihi enam puluh yojana, Manosilā , tujuh danau yang besar, Anotatta dan lainnya, lima sungai yang besar, seluruh dataran tinggi Himalaya, dengan gunung-gunung yang indah sekali yang bernama Gunung Emas, Gunung Perak dan Gunung Permata, dan ratusan tempat lainnya yang menyenangkan. Kemudian Sang Guru bertanya, “Nanda, apakah Anda pernah melihat tempat tinggal Tiga Puluh Tiga Dewa (Alam Tāvatiṁsā )?” “Tidak, Bhante, tidak pernah,” balasnya. “Kemarilah, Nanda,” kata Sang Guru, “Aku akan menunjukkan Alam Tāvatiṁsā kepadamu.” Di sana, Beliau membawanya ke takhta marmer kuning, dan membuatnya duduk di atasnya. Sakka, raja para dewa di dua alam dewa, datang dengan rombongan dewanya, memberi sambutan dan duduk di satu sisi. Para pelayannya yang berjumlah dua puluh lima juta dan lima ratus bidadari (apsara) yang berkaki sangat indah, datang dan memberikan sambutan, kemudian duduk di satu sisi. Sang Guru membuat Nanda melihat lima ratus apsara tersebut secara berulang-ulang, berikut dengan keinginan terhadap mereka. “Nanda” tanya Sang Guru, “Apakah Anda melihat para bidadari berkaki nan indah ini? “Ya, Bhante.” “Baiklah, siapa yang lebih cantik, mereka atau Janapadakalyani?” “Oh, Bhante, Janapadakalyani diibaratkan seperti kera betina yang buruk itu jika dibandingkan demikian dengan para apsara ini!” “Baiklah, Nanda. Apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?” “Bagaimanakah caranya, Bhante, mendapatkan para apsara ini?” “Dengan menjalani kehidupan sebagai seorang petapa (samana) yang sesuai Dhamma,” jawab Sang Guru, “seseorang bisa mendapatkan para apsara ini.” Dia pun kemudian berkata, “Jika Yang Terberkahi berjanji bahwa kehidupan sebagai seorang petapa akan membuahkan didapatkannya para apsara ini, maka saya akan menjalankan kehidupan sebagai seorang petapa.” “Bagus sekali, Nanda, Aku berjanji demikian.” “Baiklah, Bhante,” balasnya, “jangan menghabiskan waktu lebih lama lama lagi. Marilah kita pergi, dan saya akan menjadi seorang petapa.” Sang Guru membawanya kembali ke Jetavana. Thera ini kemudian mulai menjalankan kehidupan petapa yang sesuai dengan Dhamma. Sang Guru menceritakan kepada Sāriputta (Sariputta), sang Panglima Dhamma, bagaimana adik-Nya telah membuat diri-Nya berjanji di tengah para dewa di Alam Tāvatiṁsā mengenai para bidadari dewa tersebut (apsara). Dengan cara yang sama, Beliau juga bercerita kepada Thera Mahāmoggallāna, Thera Mahākassapa, Thera Anuruddha, Thera Ānanda, sang Bendahara Dhamma, semua delapan puluh siswa yang agung (mahāsāvaka), dan kemudian dari satu ke lainnya, Beliau juga menceritakannya kepada bhikkhu-bhikkhu lainnya. Sang Panglima Dhamma, Sariputta, bertanya kepada Nanda, “Benarkah seperti yang kudengar, Āvuso Nanda, Anda membuat Buddha berjanji bahwa Anda akan mendapatkan para apsara dari Alam Tāvatiṁsā , dengan menjalankan kehidupan suci sebagai seorang petapa? Kemudian,” dia meneruskan, “bukankah semua kehidupanmu ini hanya ditujukan untuk wanita dan nafsu saja? Jika Anda menjalankan kehidupan suci hanya demi wanita, apalah bedanya dirimu dengan orang-orang yang bekerja hanya untuk mendapatkan bayaran?” Perkataan ini memadamkan semua semangat di dalam dirinya dan membuatnya malu terhadap dirinya sendiri. Dengan cara yang sama, kedelapan puluh mahāsāvaka dan bhikkhu-bhikkhu lainnya, Nanda Yang Mulia itu menjadi malu. “Saya telah berbuat salah,” pikirnya. Di dalam perasaan malu dan penyesalannya yang mendalam, dia mulai bangkit kembali dan mengembangkan (meditasi) pandangan terangnya sampai akhirnya dia mencapai tingkat kesucian Arahat. Dia menghadap kepada Sang Guru dan berkata, “Bhante, saya membebaskan Yang Terberkahi dari janjiNya.” Sang Guru berkata, “Karena Anda telah mencapai tingkat kesucian Arahat, Nanda, dengan demikian Aku juga telah terbebas dari janji-Ku.”
Ketika para bhikkhu mendengar ini, mereka mulai membicarakannya di dalam balai kebenaran. “Alangkah patuhnya Thera Nanda itu! Āvuso , satu kata nasihat sudah membangkitkan hiri dan ottappa-nya. Segera setelah itu, dia mulai hidup sebagai seorang petapa dan sekarang dia telah menjadi seorang Arahat!” Sang Guru datang dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan bersama. Mereka memberi tahu Beliau. “Para Bhikkhu,” kata Beliau, “Nanda juga sama patuhnya di masa lampau, seperti sekarang ini,’ dan kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah kepada mereka.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari seorang pelatih gajah. Ketika tumbuh dewasa, dengan saksama dia diajari semua keahlian yang berhubungan dengan pelatihan gajah. Dia bekerja di bawah kekuasaan seorang raja yang merupakan musuh dari Raja Benares. Dia melatih gajah kerajaan yang menguntungkan ini sampai tahap yang sempurna. Raja tersebut bertekad untuk menaklukan Benares. Dengan menunggangi gajah kebesarannya, dia memimpin pasukan besar yang sangat kuat untuk menghadapi Benares dan mengepungnya. Kemudian dia mengirimkan surat kepada Raja Benares, “Bertarung atau menyerah.” Raja Benares memilih untuk bertarung. Tembok dan gerbang, menara-menara dan benteng–benteng dijaganya dengan pasukan besar yang perkasa, dan dia melawan musuh itu. Raja saingannya melengkapi gajah kebesarannya dengan senjata, dan mengenakan perisai, memegang tongkat gancu yang tajam di tangannya, kemudian menunggangi gajahnya ke arah kota. “Sekarang,” katanya, “saya akan menghancurkan kerajaan ini dan membunuh musuhku, kemudian mengambil alih kekuasaan kerajaannya.” Tetapi ketika melihat para pasukan lawan yang sedang bertahan, yang melemparkan lumpur panas dan bebatuan dari katapel-katapel perang mereka, serta beragam jenis senjata lainnya, gajah tersebut menjadi takut dan kebingungan sehingga tidak berani mendekati tempat itu. Kemudian datang si pelatih, sambil berteriak, “Anakku, seorang pahlawan seperti dirimu ini, medan pertempuran adalah sama dengan rumahmu! Di tempat seperti ini sangatlah memalukan untuk melarikan diri!” Dan untuk membangkitkan semangatnya, dia mengucapkan dua bait berikut:
Wahai Gajah, kamu adalah seorang pahlawan, rumahmu adalah medan pertempuran: Di sana pintu gerbang tegak berdiri di hadapanmu: mengapa berbalik arah dan menyerah?
Bergegaslah, terjanglah terali besi itu, dan hancurkanlah pilar-pilar tembok tersebut! Hancurkanlah pintu gerbang itu, percepatlah perang ini, dan masuk ke dalam kota!
Gajah itu mendengarkannya; satu nasihat saja cukup untuk mengubah dirinya. Dengan melilitkan belalainya di bagian utama pilar-pilar tembok, dia menghancurkannya seperti jamur; dia menghancurkan pintu gerbang lawan, merusak terali-terali besi, dan memaksa masuk ke dalam kota, kemudian memenangkan pertempuran untuk rajanya.
Ketika Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, Nanda adalah gajah, Ānanda adalah rajanya, dan pelatihnya adalah diriKu sendiri.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Thera Nanda. Sang Guru pada kepulangan-Nya yang pertama ke kota Kapila, menerima Pangeran Nanda, adik-Nya, ke dalam kelompok bhikkhu Saṅgha (Sangha), dan setelah pulang ke Sāvatthi , Beliau tinggal di sana. Thera Nanda teringat bagaimana ketika dia meninggalkan rumahnya setelah membawa patta, mengikuti Sang Guru, Janapadakalyāṇī (Janapadakalyani) melihat keluar dari jendela, dengan rambutnya setengah terurai, dan berkata—“Mengapa Pangeran Nanda pergi dengan Sang Guru? Segeralah kembali, Tuanku!”—mengingat ini, dia menjadi menyesal, tidak puas, pucat pasi, dan urat nadi di sekujur tubuhnya tampak jelas. Ketika Sang Guru mengetahui ini, Beliau berpikir, “Bagaimana kalau Aku bantu Nanda untuk mencapai kesucian?” Beliau pun pergi ke kamar Nanda, dan duduk di tempat duduk yang diberikan kepada-Nya. “Baiklah, Nanda,” tanya Beliau, “apakah Anda merasa gembira dengan ajaran-Ku?” “Bhante,” balas Nanda, “saya jatuh cinta pada Janapadakalyani, dan saya menjadi merasa tidak puas.” “Apakah Anda pernah berkunjung ke Himalaya, Nanda?” “Tidak, Bhante, tidak pernah.” “Kalau begitu, mari kita pergi.” “Tetapi, Bhante, saya tidak memiliki kekuatan gaib, bagaimana saya bisa pergi?” “Aku akan membawamu, Nanda.” Setelah berkata demikian, Sang Guru membawanya dengan memegang tangannya dan kemudian terbang ke angkasa. Di tengah perjalanan, mereka melewati sebidang tanah yang terbakar. Di sana, di satu tongkol pohon yang hangus terbakar, dengan hidung dan ekor yang setengah terbakar, bulu yang hangus dan sisa bara, yang tertinggal kulit diselimuti darah, seekor kera betina duduk. “Apakah Anda melihat kera itu, Nanda?” Sang Guru bertanya. “Ya, Bhante.” “Lihatlah dirinya dengan baik-baik,” kata Sang Guru. Kemudian Beliau menunjukkan, dengan hamparan yang melebihi enam puluh yojana, Manosilā , tujuh danau yang besar, Anotatta dan lainnya, lima sungai yang besar, seluruh dataran tinggi Himalaya, dengan gunung-gunung yang indah sekali yang bernama Gunung Emas, Gunung Perak dan Gunung Permata, dan ratusan tempat lainnya yang menyenangkan. Kemudian Sang Guru bertanya, “Nanda, apakah Anda pernah melihat tempat tinggal Tiga Puluh Tiga Dewa (Alam Tāvatiṁsā )?” “Tidak, Bhante, tidak pernah,” balasnya. “Kemarilah, Nanda,” kata Sang Guru, “Aku akan menunjukkan Alam Tāvatiṁsā kepadamu.” Di sana, Beliau membawanya ke takhta marmer kuning, dan membuatnya duduk di atasnya. Sakka, raja para dewa di dua alam dewa, datang dengan rombongan dewanya, memberi sambutan dan duduk di satu sisi. Para pelayannya yang berjumlah dua puluh lima juta dan lima ratus bidadari (apsara) yang berkaki sangat indah, datang dan memberikan sambutan, kemudian duduk di satu sisi. Sang Guru membuat Nanda melihat lima ratus apsara tersebut secara berulang-ulang, berikut dengan keinginan terhadap mereka. “Nanda” tanya Sang Guru, “Apakah Anda melihat para bidadari berkaki nan indah ini? “Ya, Bhante.” “Baiklah, siapa yang lebih cantik, mereka atau Janapadakalyani?” “Oh, Bhante, Janapadakalyani diibaratkan seperti kera betina yang buruk itu jika dibandingkan demikian dengan para apsara ini!” “Baiklah, Nanda. Apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?” “Bagaimanakah caranya, Bhante, mendapatkan para apsara ini?” “Dengan menjalani kehidupan sebagai seorang petapa (samana) yang sesuai Dhamma,” jawab Sang Guru, “seseorang bisa mendapatkan para apsara ini.” Dia pun kemudian berkata, “Jika Yang Terberkahi berjanji bahwa kehidupan sebagai seorang petapa akan membuahkan didapatkannya para apsara ini, maka saya akan menjalankan kehidupan sebagai seorang petapa.” “Bagus sekali, Nanda, Aku berjanji demikian.” “Baiklah, Bhante,” balasnya, “jangan menghabiskan waktu lebih lama lama lagi. Marilah kita pergi, dan saya akan menjadi seorang petapa.” Sang Guru membawanya kembali ke Jetavana. Thera ini kemudian mulai menjalankan kehidupan petapa yang sesuai dengan Dhamma. Sang Guru menceritakan kepada Sāriputta (Sariputta), sang Panglima Dhamma, bagaimana adik-Nya telah membuat diri-Nya berjanji di tengah para dewa di Alam Tāvatiṁsā mengenai para bidadari dewa tersebut (apsara). Dengan cara yang sama, Beliau juga bercerita kepada Thera Mahāmoggallāna, Thera Mahākassapa, Thera Anuruddha, Thera Ānanda, sang Bendahara Dhamma, semua delapan puluh siswa yang agung (mahāsāvaka), dan kemudian dari satu ke lainnya, Beliau juga menceritakannya kepada bhikkhu-bhikkhu lainnya. Sang Panglima Dhamma, Sariputta, bertanya kepada Nanda, “Benarkah seperti yang kudengar, Āvuso Nanda, Anda membuat Buddha berjanji bahwa Anda akan mendapatkan para apsara dari Alam Tāvatiṁsā , dengan menjalankan kehidupan suci sebagai seorang petapa? Kemudian,” dia meneruskan, “bukankah semua kehidupanmu ini hanya ditujukan untuk wanita dan nafsu saja? Jika Anda menjalankan kehidupan suci hanya demi wanita, apalah bedanya dirimu dengan orang-orang yang bekerja hanya untuk mendapatkan bayaran?” Perkataan ini memadamkan semua semangat di dalam dirinya dan membuatnya malu terhadap dirinya sendiri. Dengan cara yang sama, kedelapan puluh mahāsāvaka dan bhikkhu-bhikkhu lainnya, Nanda Yang Mulia itu menjadi malu. “Saya telah berbuat salah,” pikirnya. Di dalam perasaan malu dan penyesalannya yang mendalam, dia mulai bangkit kembali dan mengembangkan (meditasi) pandangan terangnya sampai akhirnya dia mencapai tingkat kesucian Arahat. Dia menghadap kepada Sang Guru dan berkata, “Bhante, saya membebaskan Yang Terberkahi dari janjiNya.” Sang Guru berkata, “Karena Anda telah mencapai tingkat kesucian Arahat, Nanda, dengan demikian Aku juga telah terbebas dari janji-Ku.”
Ketika para bhikkhu mendengar ini, mereka mulai membicarakannya di dalam balai kebenaran. “Alangkah patuhnya Thera Nanda itu! Āvuso , satu kata nasihat sudah membangkitkan hiri dan ottappa-nya. Segera setelah itu, dia mulai hidup sebagai seorang petapa dan sekarang dia telah menjadi seorang Arahat!” Sang Guru datang dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan bersama. Mereka memberi tahu Beliau. “Para Bhikkhu,” kata Beliau, “Nanda juga sama patuhnya di masa lampau, seperti sekarang ini,’ dan kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah kepada mereka.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari seorang pelatih gajah. Ketika tumbuh dewasa, dengan saksama dia diajari semua keahlian yang berhubungan dengan pelatihan gajah. Dia bekerja di bawah kekuasaan seorang raja yang merupakan musuh dari Raja Benares. Dia melatih gajah kerajaan yang menguntungkan ini sampai tahap yang sempurna. Raja tersebut bertekad untuk menaklukan Benares. Dengan menunggangi gajah kebesarannya, dia memimpin pasukan besar yang sangat kuat untuk menghadapi Benares dan mengepungnya. Kemudian dia mengirimkan surat kepada Raja Benares, “Bertarung atau menyerah.” Raja Benares memilih untuk bertarung. Tembok dan gerbang, menara-menara dan benteng–benteng dijaganya dengan pasukan besar yang perkasa, dan dia melawan musuh itu. Raja saingannya melengkapi gajah kebesarannya dengan senjata, dan mengenakan perisai, memegang tongkat gancu yang tajam di tangannya, kemudian menunggangi gajahnya ke arah kota. “Sekarang,” katanya, “saya akan menghancurkan kerajaan ini dan membunuh musuhku, kemudian mengambil alih kekuasaan kerajaannya.” Tetapi ketika melihat para pasukan lawan yang sedang bertahan, yang melemparkan lumpur panas dan bebatuan dari katapel-katapel perang mereka, serta beragam jenis senjata lainnya, gajah tersebut menjadi takut dan kebingungan sehingga tidak berani mendekati tempat itu. Kemudian datang si pelatih, sambil berteriak, “Anakku, seorang pahlawan seperti dirimu ini, medan pertempuran adalah sama dengan rumahmu! Di tempat seperti ini sangatlah memalukan untuk melarikan diri!” Dan untuk membangkitkan semangatnya, dia mengucapkan dua bait berikut:
Wahai Gajah, kamu adalah seorang pahlawan, rumahmu adalah medan pertempuran: Di sana pintu gerbang tegak berdiri di hadapanmu: mengapa berbalik arah dan menyerah?
Bergegaslah, terjanglah terali besi itu, dan hancurkanlah pilar-pilar tembok tersebut! Hancurkanlah pintu gerbang itu, percepatlah perang ini, dan masuk ke dalam kota!
Gajah itu mendengarkannya; satu nasihat saja cukup untuk mengubah dirinya. Dengan melilitkan belalainya di bagian utama pilar-pilar tembok, dia menghancurkannya seperti jamur; dia menghancurkan pintu gerbang lawan, merusak terali-terali besi, dan memaksa masuk ke dalam kota, kemudian memenangkan pertempuran untuk rajanya.
Ketika Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, Nanda adalah gajah, Ānanda adalah rajanya, dan pelatihnya adalah diriKu sendiri.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com