SANTHAVA-JATAKA
Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang persembahan kepada api. Cerita pembukanya sama dengan yang terdapat di dalam Naṅguṭṭha-Jataka. Para bhikkhu, saat melihat orang-orang yang memberikan persembahan kepada api, berkata kepada Yang Terberkahi, “Bhante, di sini ada petapa rambut panjang yang berlatih berbagai pertapaan yang tidak benar. Ada kebaikan apakah di dalam praktik seperti ini?” “Tidak ada yang baik dari ini,” jawab Sang Guru, “ini pernah terjadi sebelumnya, bahkan orang bijaksana menganggap ada kebaikan dalam pemberian persembahan kepada api, tetapi setelah melakukannya dalam waktu yang cukup lama, dia mengetahui bahwa tidak ada yang baik dari itu dan memadamkannya dengan air dan memukulnya, memadamkannya dengan tongkat, tidak pernah memandangnya lagi setelah itu.” Kemudian Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala, ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga seorang brahmana. Ketika dia berusia enam belas tahun, ayah dan ibunya membawa api kelahirannya dan berkata kepadanya: “Anakku, akankah Anda membawa api kelahiranmu ke dalam hutan dan memuja api ini di sana; atau akankah Anda belajar tiga kitab Weda dan hidup sebagai seorang yang menikah dan tinggal dalam keduniawian?”
Dia berkata, ”Tidak ada kehidupan duniawi untuk diriku; saya akan memuja api di dalam hutan dan pergi ke jalan menuju surga.” Jadi sambil membawa api kelahirannya, dia berpamitan kepada orang tuanya dan masuk ke dalam hutan, tempat dia tinggal di dalam gubuk yang terbuat dari dahan-dahan dan daun-daun, dan memuja api.
Suatu hari dia diundang ke suatu tempat, tempat dia menerima pemberian bubur beras dan mentega cair. “Bubur beras ini,” pikirnya, “akan kupersembahkan kepada brahma agung.” Maka dia membawa pulang bubur beras itu dan menyalakan api. Kemudian dengan kata-kata, “Dengan beras ini, saya memberikan persembahan kepada api suci,” dia melemparkannya ke atas api itu. Menaburi bubur beras itu di atasnya, semuanya penuh dengan minyak seperti sebelumnya — api yang sangat panas itu menyebar menyebabkan tempat pertapaannya menyala. Kemudian brahmana itu berlari pergi ketakutan dan duduk tidak jauh dari tempat itu. “Tidak seharusnya berurusan dengan yang jahat,” katanya; “dan demikianlah api ini telah membakar gubuk yang kubuat dengan susah payah!” Dan dia mengulangi bait pertama:—
Tidak ada yang lebih buruk daripada teman jahat;
Saya memberikan persembahan kepada api dengan
bubur beras dan mentega cair yang banyak;
Dan gubuk, yang memberikan saya berbagai kesulitan
untuk membangunnya, api itu telah membakarnya.
“Cukuplah sudah denganmu sekarang, Teman yang jahat!” tambahnya; dan dia pun menuangkan air di atas api itu, dan memukulnya dengan tongkat, dan kemudian memendam dirinya sendiri di pegunungan. Di sana dia melihat seekor rusa hitam yang sedang menjilati muka seekor singa, seekor harimau dan seekor panter (macan tutul). Karena ini, tersirat dalam pikirannya bagaimanapun tidak ada yang lebih baik daripada teman-teman baik; dan bersamaan dengan itu, dia mengulangi bait kedua:
Tidak ada yang lebih baik daripada teman baik,
jasa baik dari persahabatan kulihat di sini;
Melihat singa, harimau, dan panter itu, Rusa hitam menjilati muka mereka bertiga.
Dengan renungan-renungan ini, Bodhisatta masuk ke kedalaman pegunungan itu dan di sana dia menjalankan kehidupan suci yang benar, mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi, sampai pada akhir hidupnya dia terlahir kembali di alam brahma.
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Aku adalah sang petapa.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Dahulu kala, ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga seorang brahmana. Ketika dia berusia enam belas tahun, ayah dan ibunya membawa api kelahirannya dan berkata kepadanya: “Anakku, akankah Anda membawa api kelahiranmu ke dalam hutan dan memuja api ini di sana; atau akankah Anda belajar tiga kitab Weda dan hidup sebagai seorang yang menikah dan tinggal dalam keduniawian?”
Dia berkata, ”Tidak ada kehidupan duniawi untuk diriku; saya akan memuja api di dalam hutan dan pergi ke jalan menuju surga.” Jadi sambil membawa api kelahirannya, dia berpamitan kepada orang tuanya dan masuk ke dalam hutan, tempat dia tinggal di dalam gubuk yang terbuat dari dahan-dahan dan daun-daun, dan memuja api.
Suatu hari dia diundang ke suatu tempat, tempat dia menerima pemberian bubur beras dan mentega cair. “Bubur beras ini,” pikirnya, “akan kupersembahkan kepada brahma agung.” Maka dia membawa pulang bubur beras itu dan menyalakan api. Kemudian dengan kata-kata, “Dengan beras ini, saya memberikan persembahan kepada api suci,” dia melemparkannya ke atas api itu. Menaburi bubur beras itu di atasnya, semuanya penuh dengan minyak seperti sebelumnya — api yang sangat panas itu menyebar menyebabkan tempat pertapaannya menyala. Kemudian brahmana itu berlari pergi ketakutan dan duduk tidak jauh dari tempat itu. “Tidak seharusnya berurusan dengan yang jahat,” katanya; “dan demikianlah api ini telah membakar gubuk yang kubuat dengan susah payah!” Dan dia mengulangi bait pertama:—
Tidak ada yang lebih buruk daripada teman jahat;
Saya memberikan persembahan kepada api dengan
bubur beras dan mentega cair yang banyak;
Dan gubuk, yang memberikan saya berbagai kesulitan
untuk membangunnya, api itu telah membakarnya.
“Cukuplah sudah denganmu sekarang, Teman yang jahat!” tambahnya; dan dia pun menuangkan air di atas api itu, dan memukulnya dengan tongkat, dan kemudian memendam dirinya sendiri di pegunungan. Di sana dia melihat seekor rusa hitam yang sedang menjilati muka seekor singa, seekor harimau dan seekor panter (macan tutul). Karena ini, tersirat dalam pikirannya bagaimanapun tidak ada yang lebih baik daripada teman-teman baik; dan bersamaan dengan itu, dia mengulangi bait kedua:
Tidak ada yang lebih baik daripada teman baik,
jasa baik dari persahabatan kulihat di sini;
Melihat singa, harimau, dan panter itu, Rusa hitam menjilati muka mereka bertiga.
Dengan renungan-renungan ini, Bodhisatta masuk ke kedalaman pegunungan itu dan di sana dia menjalankan kehidupan suci yang benar, mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi, sampai pada akhir hidupnya dia terlahir kembali di alam brahma.
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Aku adalah sang petapa.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com