SILAVIMAMSA-JATAKA
“Memiliki kekuatan tiada,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang brahmana yang teringat akan moralitas (sila). Dua kisah yang sama telah diceritakan sebelumnya71. Kali ini, Bodhisatta terlahir sebagai pendeta kerajaan dari Raja Benares. Dalam kisah ini, selama tiga hari berturut-turut ia mengambil uang dari papan tempat penyimpanan uang milik bendahara kerajaan. Orang-orang kemudian menganggapnya sebagai seorang pencuri. Ketika dibawa ke hadapan raja, ia berkata:
Memiliki kekuatan tiada tara di dunia,
sila (kebajikan) adalah benda bagus yang luar biasa:
Ditempatkan dalam situasi dan kondisi yang bajik,
para nāga yang mematikan tak akan melukai siapa pun.
Setelah demikian mengucapkan pujian terhadap kebajikan di bait pertama, ia berpamitan kepada raja dan menjalani kehidupan suci sebagai seorang petapa. Pada waktu itu, seekor elang mengambil sepotong daging dari seorang tukang daging dan terbang cepat ke udara. Burung-burung lain mengelilinginya dan menyerangnya dengan kaki, cakar dan paruh. Karena tidak bisa menahan rasa sakit, ia pun melepaskan daging itu. Seekor burung yang lain merampasnya. Ia juga mengalami tekanan yang sama dari yang lain sampai ia melepaskan daging itu. Kemudian seekor burung yang lain menerkam daging itu, dan siapa pun yang mengambil daging itu selalu dikejar oleh yang lainnya (penderitaan), dan siapa pun yang melepaskan daging itu akan mendapatkan kedamaian (kebahagiaan). Bodhisatta, ketika melihat ini, berpikir, “Keinginan kita sama seperti potongan daging itu. Bagi yang mengambilnya akan berada dalam penderitaan, dan bagi yang melepaskannya akan berada dalam kebahagiaan.” Dan ia mengulangi bait kedua berikut:
Ketika burung elang mendapatkan makanan,
burung pemangsa lain menyerangnya,
ketika dengan terpaksa ia lepaskan daging itu,
mereka pun tidak menyerangnya lagi.
Ia pergi keluar dari kota dan melanjutkan perjalanannya sampai ke suatu perkampungan, dan pada malam hari tidur (berbaring) di rumah seseorang. Pada waktu itu, seorang pelayan wanita di sana yang bernama Piṅgalā (Pingala)
membuat janji dengan seorang laki-laki dan berkata, “Kamu harus datang pada jam sekian.” Setelah membasuh kaki majikan dan keluarganya, ketika mereka semua sudah tidur, ia duduk di ambang pintu melihat keluar menanti kedatangan kekasihnya, melewati penggal awal malam hari dan penggal tengah malam hari dengan terus-menerus berkata kepada dirinya sendiri, “Ia akan datang sekarang,” tetapi pada saat fajar menyingsing, dengan putus asa, ia berkata, “Sekarang ia tidak akan datang,” kemudian berbaring dan tertidur. Bodhisatta yang melihat kejadian ini berkata, “Wanita ini duduk demikian lama, berharap kekasihnya akan datang, tetapi sewaktu ia mengetahui bahwa kekasihnya tidak akan datang, dan dalam keputusasaannya, ia pun tidur dengan tenang.” Dan dengan pemikiran bahwa harapan yang disertai dengan nafsu (kotoran batin) akan membawa penderitaan, dan kebebasan dari nafsu akan membawa kebahagiaan, ia mengulangi bait ketiga berikut:
Harapan yang terpenuhi adalah kebahagiaan;
Betapa bedanya dengan harapan yang tak terpenuhi!
Walaupun harapannya hancur dalam keputusasaan,
Pingala menikmati tidurnya dengan tenang.
Keesokan harinya setelah pergi keluar dari perkampungan tersebut, ia masuk ke dalam hutan dan melihat seorang petapa sedang duduk di tanah dan bermeditasi dengan keadaan batin yang terserap (dalam keadaan mencapai jhana), kemudian ia berpikir, “Baik di dalam kehidupan ini maupun di dalam kehidupan berikutnya tidak ada kebahagiaan selain kebahagiaan meditasi (mencapai jhana).” Dan ia mengulangi bait keempat berikut:
Di dalam kehidupan ini dan kehidupan berikutnya,
tidak ada yang melebihi kebahagiaan dari batin yang
terkonsentrasi (samadhi):
Seseorang yang kukuh berada dalam keadaan samadhi,
tidak merugikan baik dirinya sendiri maupun yang lain.
Kemudian ia tinggal di dalam hutan itu dan menjalankan kehidupan suci sebagai seorang pabbajita, mengembangkan kesaktian melalui meditasi jhana, kemudian terlahir kembali di alam brahma.
Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini setelah uraian-Nya selesai: “Pada masa itu, saya adalah pendeta kerajaan.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang brahmana yang teringat akan moralitas (sila). Dua kisah yang sama telah diceritakan sebelumnya71. Kali ini, Bodhisatta terlahir sebagai pendeta kerajaan dari Raja Benares. Dalam kisah ini, selama tiga hari berturut-turut ia mengambil uang dari papan tempat penyimpanan uang milik bendahara kerajaan. Orang-orang kemudian menganggapnya sebagai seorang pencuri. Ketika dibawa ke hadapan raja, ia berkata:
Memiliki kekuatan tiada tara di dunia,
sila (kebajikan) adalah benda bagus yang luar biasa:
Ditempatkan dalam situasi dan kondisi yang bajik,
para nāga yang mematikan tak akan melukai siapa pun.
Setelah demikian mengucapkan pujian terhadap kebajikan di bait pertama, ia berpamitan kepada raja dan menjalani kehidupan suci sebagai seorang petapa. Pada waktu itu, seekor elang mengambil sepotong daging dari seorang tukang daging dan terbang cepat ke udara. Burung-burung lain mengelilinginya dan menyerangnya dengan kaki, cakar dan paruh. Karena tidak bisa menahan rasa sakit, ia pun melepaskan daging itu. Seekor burung yang lain merampasnya. Ia juga mengalami tekanan yang sama dari yang lain sampai ia melepaskan daging itu. Kemudian seekor burung yang lain menerkam daging itu, dan siapa pun yang mengambil daging itu selalu dikejar oleh yang lainnya (penderitaan), dan siapa pun yang melepaskan daging itu akan mendapatkan kedamaian (kebahagiaan). Bodhisatta, ketika melihat ini, berpikir, “Keinginan kita sama seperti potongan daging itu. Bagi yang mengambilnya akan berada dalam penderitaan, dan bagi yang melepaskannya akan berada dalam kebahagiaan.” Dan ia mengulangi bait kedua berikut:
Ketika burung elang mendapatkan makanan,
burung pemangsa lain menyerangnya,
ketika dengan terpaksa ia lepaskan daging itu,
mereka pun tidak menyerangnya lagi.
Ia pergi keluar dari kota dan melanjutkan perjalanannya sampai ke suatu perkampungan, dan pada malam hari tidur (berbaring) di rumah seseorang. Pada waktu itu, seorang pelayan wanita di sana yang bernama Piṅgalā (Pingala)
membuat janji dengan seorang laki-laki dan berkata, “Kamu harus datang pada jam sekian.” Setelah membasuh kaki majikan dan keluarganya, ketika mereka semua sudah tidur, ia duduk di ambang pintu melihat keluar menanti kedatangan kekasihnya, melewati penggal awal malam hari dan penggal tengah malam hari dengan terus-menerus berkata kepada dirinya sendiri, “Ia akan datang sekarang,” tetapi pada saat fajar menyingsing, dengan putus asa, ia berkata, “Sekarang ia tidak akan datang,” kemudian berbaring dan tertidur. Bodhisatta yang melihat kejadian ini berkata, “Wanita ini duduk demikian lama, berharap kekasihnya akan datang, tetapi sewaktu ia mengetahui bahwa kekasihnya tidak akan datang, dan dalam keputusasaannya, ia pun tidur dengan tenang.” Dan dengan pemikiran bahwa harapan yang disertai dengan nafsu (kotoran batin) akan membawa penderitaan, dan kebebasan dari nafsu akan membawa kebahagiaan, ia mengulangi bait ketiga berikut:
Harapan yang terpenuhi adalah kebahagiaan;
Betapa bedanya dengan harapan yang tak terpenuhi!
Walaupun harapannya hancur dalam keputusasaan,
Pingala menikmati tidurnya dengan tenang.
Keesokan harinya setelah pergi keluar dari perkampungan tersebut, ia masuk ke dalam hutan dan melihat seorang petapa sedang duduk di tanah dan bermeditasi dengan keadaan batin yang terserap (dalam keadaan mencapai jhana), kemudian ia berpikir, “Baik di dalam kehidupan ini maupun di dalam kehidupan berikutnya tidak ada kebahagiaan selain kebahagiaan meditasi (mencapai jhana).” Dan ia mengulangi bait keempat berikut:
Di dalam kehidupan ini dan kehidupan berikutnya,
tidak ada yang melebihi kebahagiaan dari batin yang
terkonsentrasi (samadhi):
Seseorang yang kukuh berada dalam keadaan samadhi,
tidak merugikan baik dirinya sendiri maupun yang lain.
Kemudian ia tinggal di dalam hutan itu dan menjalankan kehidupan suci sebagai seorang pabbajita, mengembangkan kesaktian melalui meditasi jhana, kemudian terlahir kembali di alam brahma.
Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini setelah uraian-Nya selesai: “Pada masa itu, saya adalah pendeta kerajaan.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com