SOMADATTA-JATAKA
“Sepanjang tahun tidak pernah berhenti,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru, ketika berada di Jetavana, tentang Thera Lāḷudāyī (Laludayi). Bhikkhu ini, diceritakan, tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun di hadapan dua atau tiga orang. Dia begitu gugup, sampai-sampai dia mengatakan sesuatu hal, padahal yang dimaksud adalah yang lain. Para bhikkhu membicarakan hal ini di saat duduk bersama di dalam balai kebenaran. Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan di saat mereka duduk bersama. Mereka memberi tahu Beliau. Beliau menjawab, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya Laludayi menjadi seseorang yang sangat gugup, tetapi juga sebelumnya dia adalah orang yang sama.” Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta dilahirkan dalam sebuah keluarga brahmana di Kerajaan Kāsi (dengan nama Somadatta). Ketika tumbuh dewasa, dia pergi untuk mendapatkan pendidikannya di Takkasilā . Pada kepulangannya, dia menemukan keluarganya menjadi miskin; dan dia berpamitan kepada orang tuanya dan berangkat ke Benares, sambil berkata kepada dirinya, “Saya akan membangun kembali keluarga saya yang jatuh miskin ini!”
Di Benares dia menjadi pelayan raja; dia sangat disenangi raja dan menjadi kesayangannya. Ayahnya hidup dari membajak sawah, tetapi dia hanya mempunyai sepasang sapi, dan salah satunya mati. Dia datang menjumpai Bodhisatta dan berkata kepadanya, “Anakku, salah satu sapiku mati dan saya tidak bisa membajak lagi. Mintalah kepada raja untuk memberikanmu seekor sapi!” “Tidak, Ayah,” jawabnya, “saya baru saja bertemu raja; tidaklah seharusnya saya meminta sapi kepadanya sekarang:— mintalah sendiri kepadanya.” “Anakku,” kata ayahnya, “Anda tidak tahu betapa segannya diriku. Jika ada dua atau tiga orang di hadapanku, saya tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Jika saya yang pergi meminta seekor sapi kepada raja, pada akhirnya bakal saya yang akan memberikan kepadanya punyaku ini!” “Ayah,” kata Bodhisatta, “memang sudah begini keadaannya. Saya tidak bisa meminta kepada raja, tetapi saya akan melatihmu untuk melakukannya.” Jadi dia membawa ayahnya ke suatu pekuburan yang penuh dengan rumput, mengikat rumput-rumput, dan menyebarnya di sana sini dan menamainya satu per satu, sambil menunjuk ke ikatan-ikatan rumput itu, “Itu adalah raja, itu adalah wakil raja, ini adalah panglima. Nah, Ayah, ketika berada di hadapan raja, pertamatama Anda harus mengucapkan—‘Semoga Paduka panjang umur!’ dan kemudian mengulangi bait ini, untuk meminta seekor sapi.” Inilah bait yang diajarkan kepadanya:—
Saya tadinya mempunyai dua ekor sapi untuk membajak, dengan sapi ini saya kerjakan tugasku, tetapi salah satu sapi ini mati! Oh Paduka, berikanlah seekor sapi kepadaku!
Dengan waktu sepanjang tahun, laki-laki itu mempelajari bait ini dan kemudian berkata kepada putranya— “Somadatta, saya telah (berhasil) mempelajari bait itu! Sekarang saya bisa mengucapkannya di hadapan siapa pun! Bawalah saya ke hadapan raja.” Maka Bodhisatta, sambil membawa sebuah hadiah yang sepantasnya, membawa ayahnya ke hadapan raja. “Semoga Paduka panjang umur!” teriak brahmana itu, sambil mempersembahkan hadiahnya. “Siapakah brahmana ini, Somadatta?” tanya raja. “Paduka, dia adalah ayah saya,” jawabnya. “Mengapa dia datang ke sini?” tanya raja. Kemudian brahmana tersebut mengulangi baitnya untuk meminta sapi:—
Saya tadinya mempunyai dua ekor sapi untuk membajak, dengan sapi ini saya kerjakan tugasku, tetapi salah satu sapi ini mati! Oh Paduka, ambillah sapi yang satunya lagi!
Raja mengetahui ada kesalahan. “Somadatta,” katanya sambil tersenyum, “Menurutku, Anda mempunyai banyak sapi di rumah?” “Jika itu benar, Paduka, semuanya adalah pemberian Anda!” Mendengar jawaban ini, raja bersukacita. Raja memberikan enam belas ekor sapi dengan perhiasan yang bagus dan sebuah desa untuk ditempati kemudian memintanya pergi dengan penuh kehormatan, sebagai persembahan bagi seorang brahmana. Brahmana tersebut menaiki sebuah kereta yang ditarik oleh kuda-kuda Sindhava, yang berwarna serba putih, dan kembali ke kediamannya dengan kemegahan. Ketika Bodhisatta duduk di samping ayahnya di dalam kereta, dia berkata, “Ayah, saya mengajarimu sepanjang tahun, tetapi ketika tiba saatnya, Anda malah jadi memberikan sapimu kepada raja!” Dan dia mengucapkan bait pertama:—
Sepanjang tahun tidak pernah berhenti dengan semangat yang tidak kenal lelah, di mana rumput-rumput tumbuh berumpun hari demi hari dia melatihnya: Ketika datang di antara pejabat istana, tiba-tiba dia mengubah maknanya; Melatih dengan sungguh-sungguh tetaplah sia-sia jika orang tersebut adalah dungu.
Ketika ayahnya mendengar ini, brahmana tersebut mengucapkan bait kedua:
Orang yang meminta, Somadatta, memilih salah satu— mungkin mendapatkan lebih, mungkin tidak mendapatkan apa pun: Demikianlah keadaannya ketika Anda meminta (sesuatu).
Ketika Sang Guru telah menunjukkan bagaimana Laludayi itu sama pemalunya di masa lampau, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“ Lāḷudāyī (Laludayi) adalah ayah Somadatta dan saya sendiri adalah Somadatta.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru, ketika berada di Jetavana, tentang Thera Lāḷudāyī (Laludayi). Bhikkhu ini, diceritakan, tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun di hadapan dua atau tiga orang. Dia begitu gugup, sampai-sampai dia mengatakan sesuatu hal, padahal yang dimaksud adalah yang lain. Para bhikkhu membicarakan hal ini di saat duduk bersama di dalam balai kebenaran. Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan di saat mereka duduk bersama. Mereka memberi tahu Beliau. Beliau menjawab, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya Laludayi menjadi seseorang yang sangat gugup, tetapi juga sebelumnya dia adalah orang yang sama.” Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta dilahirkan dalam sebuah keluarga brahmana di Kerajaan Kāsi (dengan nama Somadatta). Ketika tumbuh dewasa, dia pergi untuk mendapatkan pendidikannya di Takkasilā . Pada kepulangannya, dia menemukan keluarganya menjadi miskin; dan dia berpamitan kepada orang tuanya dan berangkat ke Benares, sambil berkata kepada dirinya, “Saya akan membangun kembali keluarga saya yang jatuh miskin ini!”
Di Benares dia menjadi pelayan raja; dia sangat disenangi raja dan menjadi kesayangannya. Ayahnya hidup dari membajak sawah, tetapi dia hanya mempunyai sepasang sapi, dan salah satunya mati. Dia datang menjumpai Bodhisatta dan berkata kepadanya, “Anakku, salah satu sapiku mati dan saya tidak bisa membajak lagi. Mintalah kepada raja untuk memberikanmu seekor sapi!” “Tidak, Ayah,” jawabnya, “saya baru saja bertemu raja; tidaklah seharusnya saya meminta sapi kepadanya sekarang:— mintalah sendiri kepadanya.” “Anakku,” kata ayahnya, “Anda tidak tahu betapa segannya diriku. Jika ada dua atau tiga orang di hadapanku, saya tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Jika saya yang pergi meminta seekor sapi kepada raja, pada akhirnya bakal saya yang akan memberikan kepadanya punyaku ini!” “Ayah,” kata Bodhisatta, “memang sudah begini keadaannya. Saya tidak bisa meminta kepada raja, tetapi saya akan melatihmu untuk melakukannya.” Jadi dia membawa ayahnya ke suatu pekuburan yang penuh dengan rumput, mengikat rumput-rumput, dan menyebarnya di sana sini dan menamainya satu per satu, sambil menunjuk ke ikatan-ikatan rumput itu, “Itu adalah raja, itu adalah wakil raja, ini adalah panglima. Nah, Ayah, ketika berada di hadapan raja, pertamatama Anda harus mengucapkan—‘Semoga Paduka panjang umur!’ dan kemudian mengulangi bait ini, untuk meminta seekor sapi.” Inilah bait yang diajarkan kepadanya:—
Saya tadinya mempunyai dua ekor sapi untuk membajak, dengan sapi ini saya kerjakan tugasku, tetapi salah satu sapi ini mati! Oh Paduka, berikanlah seekor sapi kepadaku!
Dengan waktu sepanjang tahun, laki-laki itu mempelajari bait ini dan kemudian berkata kepada putranya— “Somadatta, saya telah (berhasil) mempelajari bait itu! Sekarang saya bisa mengucapkannya di hadapan siapa pun! Bawalah saya ke hadapan raja.” Maka Bodhisatta, sambil membawa sebuah hadiah yang sepantasnya, membawa ayahnya ke hadapan raja. “Semoga Paduka panjang umur!” teriak brahmana itu, sambil mempersembahkan hadiahnya. “Siapakah brahmana ini, Somadatta?” tanya raja. “Paduka, dia adalah ayah saya,” jawabnya. “Mengapa dia datang ke sini?” tanya raja. Kemudian brahmana tersebut mengulangi baitnya untuk meminta sapi:—
Saya tadinya mempunyai dua ekor sapi untuk membajak, dengan sapi ini saya kerjakan tugasku, tetapi salah satu sapi ini mati! Oh Paduka, ambillah sapi yang satunya lagi!
Raja mengetahui ada kesalahan. “Somadatta,” katanya sambil tersenyum, “Menurutku, Anda mempunyai banyak sapi di rumah?” “Jika itu benar, Paduka, semuanya adalah pemberian Anda!” Mendengar jawaban ini, raja bersukacita. Raja memberikan enam belas ekor sapi dengan perhiasan yang bagus dan sebuah desa untuk ditempati kemudian memintanya pergi dengan penuh kehormatan, sebagai persembahan bagi seorang brahmana. Brahmana tersebut menaiki sebuah kereta yang ditarik oleh kuda-kuda Sindhava, yang berwarna serba putih, dan kembali ke kediamannya dengan kemegahan. Ketika Bodhisatta duduk di samping ayahnya di dalam kereta, dia berkata, “Ayah, saya mengajarimu sepanjang tahun, tetapi ketika tiba saatnya, Anda malah jadi memberikan sapimu kepada raja!” Dan dia mengucapkan bait pertama:—
Sepanjang tahun tidak pernah berhenti dengan semangat yang tidak kenal lelah, di mana rumput-rumput tumbuh berumpun hari demi hari dia melatihnya: Ketika datang di antara pejabat istana, tiba-tiba dia mengubah maknanya; Melatih dengan sungguh-sungguh tetaplah sia-sia jika orang tersebut adalah dungu.
Ketika ayahnya mendengar ini, brahmana tersebut mengucapkan bait kedua:
Orang yang meminta, Somadatta, memilih salah satu— mungkin mendapatkan lebih, mungkin tidak mendapatkan apa pun: Demikianlah keadaannya ketika Anda meminta (sesuatu).
Ketika Sang Guru telah menunjukkan bagaimana Laludayi itu sama pemalunya di masa lampau, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“ Lāḷudāyī (Laludayi) adalah ayah Somadatta dan saya sendiri adalah Somadatta.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com