SUCCAJA-JATAKA
“Ia mungkin memberikan,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, mengenai seorang tuan tanah. Dikatakan, tuan tanah ini pergi ke suatu perkampungan bersama dengan istrinya untuk menagih hutang dan menyita sebuah kereta yang merupakan pengganti dari apa yang seharusnya mereka tagih. Ia menitipkannya pada sebuah keluarga dengan maksud untuk kembali mengambilnya nanti. Dalam perjalanan menuju Sāvatthi (Savatthi), mereka melihat sebuah gunung. Istrinya bertanya, “Jika gunung itu berubah menjadi emas, apakah Anda akan memberikan sedikit emas kepadaku?” “Siapa kamu?” jawabnya, “Saya tidak akan memberikan secuil pun kepadamu.” “Astaga,” pikir istrinya, “ia adalah seorang yang berhati batu. Walaupun gunung itu berubah menjadi emas, ia tidak akan memberikan secuil pun kepadaku.”
Dan ia menjadi merasa sangat tidak senang. Ketika telah mendekati Jetavana, dan merasa haus, mereka pergi ke dalam wihara dan meminta sedikit air minum.
Pada pagi hari, Sang Guru yang melihat bahwa buah dari kamma mereka cukup untuk dapat mereka mencapai tingkat kesucian Sotapanna, duduk di dalam ruangan yang wangi (gandhakuṭi), menunggu kedatangan mereka, dan mengeluarkan enam warna sinar ke-Buddha-an. Setelah melegakan dahaga, mereka pergi menjumpai Sang Guru, memberi salam dengan penuh hormat dan duduk. Sang Guru, seusai membalas salam seperti biasa, menanyakan mereka datang dari mana. “Kami pergi menagih hutang, Bhante.” “Upasika, saya harap suamimu baik terhadapmu dan selalu siap melakukan hal-hal yang baik untukmu,” kata Beliau. “Bhante, saya sangat mencintainya tetapi ia tidak mencintaiku. Hari ini ketika saya melihat sebuah gunung saya bertanya padanya, ’Jika gunung itu berubah menjadi emas, apakah kamu akan memberikan sedikit emas kepadaku?’ ia menjawab, ’Siapa kamu? Saya tidak akan memberikan secuil pun kepadamu.’ Ia adalah seorang yang berhati batu.” “Upasika,” kata Beliau, “Gaya bicaranya sudah memang seperti ini. Akan tetapi, kapan saja ia ingat akan kebajikanmu, ia siap untuk memberikanmu segalanya.” “Ceritakanlah semuanya kepada kami, Bhante,” kata mereka, dan atas permintaan mereka ini Beliau menceritakan kisah masa lampau berikut.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta menjadi menterinya dan bekerja melayaninya. Pada suatu hari, raja melihat putranya, sang raja muda, datang dan memberi hormat kepadanya. Ia berpikir dalam dirinya sendiri, “Anak ini mungkin akan melakukan kesalahan terhadapku jika ia mendapatkan kesempatan,” Maka ia memanggilnya dan berkata, “Selama saya masih hidup, kamu tidak boleh tinggal di kota ini. Tinggallah di tempat lain, dan setelah saya meninggal, kamu baru dapat memimpin kerajaan ini.” Putranya setuju akan hal ini, maka ia berpamitan kepada ayahnya dan memulai perjalanannya keluar dari Benares bersama dengan istrinya. Sesampainya mereka di sebuah desa perbatasan, ia membuat sebuah gubuk yang terbuat dari dedaunan dan tinggal di sana dengan memakan akar-akaran dan buah-buahan yang tumbuh liar. Tak lama kemudian, raja meninggal dunia. Raja muda mengetahui kematian ayahnya dengan mengamati pergerakan bintang.
Dalam perjalanan ke Benares, mereka melihat sebuah gunung. Istrinya berkata kepadanya, “Jika gunung itu berubah menjadi emas, apakah kamu akan memberikan sedikit emas kepadaku?” “Siapa kamu?” jawabnya, “Saya tidak akan memberikan secuil pun kepadamu.” Istrinya berpikir, “Karena cintaku padanya, saya masuk ke dalam hutan ini, tidak berniat untuk meninggalkannya. Akan tetapi ia berbicara begitu terhadap diriku. Ia adalah orang yang berhati batu, dan jika ia menjadi raja, hal baik apa yang akan dilakukan untukku?” Ia pun menjadi sedih dikarenakan ini.
Setibanya di Benares, ia dinobatkan menjadi raja dan menjadikan istrinya sebagai permaisuri. Ia hanya memberikan itu sebagai satu gelar saja, sebenarnya ia tidak menaruh hormat padanya dan bahkan mengabaikan keberadaannya. Bodhisatta berpikir, “Dulu permaisuri ini membantu raja, tidak memedulikan penderitaan dan tinggal dalam hutan. Tetapi raja tidak memikirkan hal ini dan bersenang-senang dengan wanita lain.
Saya akan membuat permaisuri mendapatkan apa yang pantas didapatkannya.” Dengan pikiran ini, ia pergi pada suatu hari dan memberi salam pada ratu, “Ratu, kami tidak menerima segenggam beras pun darimu. Mengapa Anda begitu berhati batu dan mengabaikan kami seperti itu?” “Teman,” balasnya, “jika saya mendapatkan semuanya, maka saya akan memberikannya kepada kamu, tetapi jika saya tidak mendapatkan apa-apa, apa yang harus saya berikan? Apa yang mungkin diberikan oleh raja kepadaku? Dalam perjalanan kembali ke sini, ketika saya bertanya kepadanya, ‘Jika gunung itu berubah menjadi emas, apakah kamu akan memberikan sedikit emas kepadaku?’ ia menjawab, ‘Siapa kamu? Saya tidak akan memberikan secuil pun kepadamu.” “Baiklah, bersediakah Anda mengulangi perkataan ini di depan raja?” tanyanya. “Mengapa tidak?” jawabnya. “Kalau begitu, ketika saya berdiri di hadapan raja nanti, saya akan bertanya dan Anda akan menjawab dengan mengulangi perkataan tadi,” lata Bodhisatta. “Baiklah, Teman,” jawabnya lagi. Maka ketika Bodhisatta berdiri dan memberi hormat kepada raja, beliau bertanya kepada ratu, “Ratu, apakah kami tidak mendapatkan apa pun dari dirimu?” Ratu menjawab, “Jika saya mendapatkan sesuatu, baru saya dapat memberikanmu sesuatu juga. Tetapi apa yang mungkin diberikan oleh raja padaku sekarang? Ketika kami berjalan di hutan dan melihat sebuah gunung, saya bertanya kepadanya, ‘Jika gunung itu berubah menjadi emas, apakah kamu akan memberikan sedikit emas kepadaku?’ ‘Siapa kamu?’ jawabnya, ‘Saya tidak akan memberikan secuil pun kepadamu.’ Dengan kata-kata inilah ia menolak memberikan hal yang sangat mudah diberikan.”
Untuk mengilustrasikan hal ini, ia mengulangi bait pertama berikut:
Ia mungkin memberikan sesuatu yang tidak berharga,
yang tidak akan dicarinya jika hilang.
Gunung emas, darinya kuminta emas;
Ia menjawab semuanya dengan berkata, “Tidak.”
Raja mengucapkan bait kedua berikut setelah mendengar perkataan ratu:
Ketika Anda sanggup, katakan, “Ya, saya janji,”
ketika Anda tidak sanggup, janganlah berjanji.
Janji yang tidak ditepati adalah dusta;
Pendusta adalah orang yang dihindari oleh para bijak.
Ketika mendengar ucapan ini, ratu bersikap anjali dan mengulangi bait ketiga berikut:
Berdiri tegak dalam kebenaran,
Anda, wahai raja, kami puja dengan rendah hati.
Segala harta kekayaan mungkin akan habis (rusak);
Tetapi kebenaran masih Anda miliki sebagai kekayaan.
Setelah mendengar ratu mengucapkan kata-kata pujian terhadap raja, Bodhisatta mempermaklumkan kebajikan ratu dan mengulangi bait keempat berikut:
Terkenal sebagai istri yang tiada taranya,
berbagi kesenangan dan kesusahan hidup,
selalu (bersikap) sama pada kedua jenis keadaan itu,
memang cocok bersanding dengan raja.
Bodhisatta dengan kata-kata ini melantunkan pujian terhadap ratu, “Wanita ini, Yang Mulia, di masa Anda susah, tetap tinggal bersamamu dan berbagi kesusahanmu, di dalam hutan. Anda harus memberikan kehormatan padanya.”
Mendengar ini, raja berkata, “Menteri bijak, disebabkan oleh perkataanmu, saya teringat kembali akan kebajikan ratu,” dan setelah berkata demikian, ia memberikan semua kekuasaan kepada ratu. Ia juga menganugerahkan kekuasaan yang besar kepada Bodhisatta. Ia berkata, “Dikarenakan dirimulah, saya teringat kembali akan kebajikan ratu.”
Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah menyelesaikan uraian ini:—Di akhir kebenarannya, suami istri tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, tuan tanah adalah Raja Benares, upasika adalah ratu, dan saya sendiri adalah menteri yang bijak.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, mengenai seorang tuan tanah. Dikatakan, tuan tanah ini pergi ke suatu perkampungan bersama dengan istrinya untuk menagih hutang dan menyita sebuah kereta yang merupakan pengganti dari apa yang seharusnya mereka tagih. Ia menitipkannya pada sebuah keluarga dengan maksud untuk kembali mengambilnya nanti. Dalam perjalanan menuju Sāvatthi (Savatthi), mereka melihat sebuah gunung. Istrinya bertanya, “Jika gunung itu berubah menjadi emas, apakah Anda akan memberikan sedikit emas kepadaku?” “Siapa kamu?” jawabnya, “Saya tidak akan memberikan secuil pun kepadamu.” “Astaga,” pikir istrinya, “ia adalah seorang yang berhati batu. Walaupun gunung itu berubah menjadi emas, ia tidak akan memberikan secuil pun kepadaku.”
Dan ia menjadi merasa sangat tidak senang. Ketika telah mendekati Jetavana, dan merasa haus, mereka pergi ke dalam wihara dan meminta sedikit air minum.
Pada pagi hari, Sang Guru yang melihat bahwa buah dari kamma mereka cukup untuk dapat mereka mencapai tingkat kesucian Sotapanna, duduk di dalam ruangan yang wangi (gandhakuṭi), menunggu kedatangan mereka, dan mengeluarkan enam warna sinar ke-Buddha-an. Setelah melegakan dahaga, mereka pergi menjumpai Sang Guru, memberi salam dengan penuh hormat dan duduk. Sang Guru, seusai membalas salam seperti biasa, menanyakan mereka datang dari mana. “Kami pergi menagih hutang, Bhante.” “Upasika, saya harap suamimu baik terhadapmu dan selalu siap melakukan hal-hal yang baik untukmu,” kata Beliau. “Bhante, saya sangat mencintainya tetapi ia tidak mencintaiku. Hari ini ketika saya melihat sebuah gunung saya bertanya padanya, ’Jika gunung itu berubah menjadi emas, apakah kamu akan memberikan sedikit emas kepadaku?’ ia menjawab, ’Siapa kamu? Saya tidak akan memberikan secuil pun kepadamu.’ Ia adalah seorang yang berhati batu.” “Upasika,” kata Beliau, “Gaya bicaranya sudah memang seperti ini. Akan tetapi, kapan saja ia ingat akan kebajikanmu, ia siap untuk memberikanmu segalanya.” “Ceritakanlah semuanya kepada kami, Bhante,” kata mereka, dan atas permintaan mereka ini Beliau menceritakan kisah masa lampau berikut.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta menjadi menterinya dan bekerja melayaninya. Pada suatu hari, raja melihat putranya, sang raja muda, datang dan memberi hormat kepadanya. Ia berpikir dalam dirinya sendiri, “Anak ini mungkin akan melakukan kesalahan terhadapku jika ia mendapatkan kesempatan,” Maka ia memanggilnya dan berkata, “Selama saya masih hidup, kamu tidak boleh tinggal di kota ini. Tinggallah di tempat lain, dan setelah saya meninggal, kamu baru dapat memimpin kerajaan ini.” Putranya setuju akan hal ini, maka ia berpamitan kepada ayahnya dan memulai perjalanannya keluar dari Benares bersama dengan istrinya. Sesampainya mereka di sebuah desa perbatasan, ia membuat sebuah gubuk yang terbuat dari dedaunan dan tinggal di sana dengan memakan akar-akaran dan buah-buahan yang tumbuh liar. Tak lama kemudian, raja meninggal dunia. Raja muda mengetahui kematian ayahnya dengan mengamati pergerakan bintang.
Dalam perjalanan ke Benares, mereka melihat sebuah gunung. Istrinya berkata kepadanya, “Jika gunung itu berubah menjadi emas, apakah kamu akan memberikan sedikit emas kepadaku?” “Siapa kamu?” jawabnya, “Saya tidak akan memberikan secuil pun kepadamu.” Istrinya berpikir, “Karena cintaku padanya, saya masuk ke dalam hutan ini, tidak berniat untuk meninggalkannya. Akan tetapi ia berbicara begitu terhadap diriku. Ia adalah orang yang berhati batu, dan jika ia menjadi raja, hal baik apa yang akan dilakukan untukku?” Ia pun menjadi sedih dikarenakan ini.
Setibanya di Benares, ia dinobatkan menjadi raja dan menjadikan istrinya sebagai permaisuri. Ia hanya memberikan itu sebagai satu gelar saja, sebenarnya ia tidak menaruh hormat padanya dan bahkan mengabaikan keberadaannya. Bodhisatta berpikir, “Dulu permaisuri ini membantu raja, tidak memedulikan penderitaan dan tinggal dalam hutan. Tetapi raja tidak memikirkan hal ini dan bersenang-senang dengan wanita lain.
Saya akan membuat permaisuri mendapatkan apa yang pantas didapatkannya.” Dengan pikiran ini, ia pergi pada suatu hari dan memberi salam pada ratu, “Ratu, kami tidak menerima segenggam beras pun darimu. Mengapa Anda begitu berhati batu dan mengabaikan kami seperti itu?” “Teman,” balasnya, “jika saya mendapatkan semuanya, maka saya akan memberikannya kepada kamu, tetapi jika saya tidak mendapatkan apa-apa, apa yang harus saya berikan? Apa yang mungkin diberikan oleh raja kepadaku? Dalam perjalanan kembali ke sini, ketika saya bertanya kepadanya, ‘Jika gunung itu berubah menjadi emas, apakah kamu akan memberikan sedikit emas kepadaku?’ ia menjawab, ‘Siapa kamu? Saya tidak akan memberikan secuil pun kepadamu.” “Baiklah, bersediakah Anda mengulangi perkataan ini di depan raja?” tanyanya. “Mengapa tidak?” jawabnya. “Kalau begitu, ketika saya berdiri di hadapan raja nanti, saya akan bertanya dan Anda akan menjawab dengan mengulangi perkataan tadi,” lata Bodhisatta. “Baiklah, Teman,” jawabnya lagi. Maka ketika Bodhisatta berdiri dan memberi hormat kepada raja, beliau bertanya kepada ratu, “Ratu, apakah kami tidak mendapatkan apa pun dari dirimu?” Ratu menjawab, “Jika saya mendapatkan sesuatu, baru saya dapat memberikanmu sesuatu juga. Tetapi apa yang mungkin diberikan oleh raja padaku sekarang? Ketika kami berjalan di hutan dan melihat sebuah gunung, saya bertanya kepadanya, ‘Jika gunung itu berubah menjadi emas, apakah kamu akan memberikan sedikit emas kepadaku?’ ‘Siapa kamu?’ jawabnya, ‘Saya tidak akan memberikan secuil pun kepadamu.’ Dengan kata-kata inilah ia menolak memberikan hal yang sangat mudah diberikan.”
Untuk mengilustrasikan hal ini, ia mengulangi bait pertama berikut:
Ia mungkin memberikan sesuatu yang tidak berharga,
yang tidak akan dicarinya jika hilang.
Gunung emas, darinya kuminta emas;
Ia menjawab semuanya dengan berkata, “Tidak.”
Raja mengucapkan bait kedua berikut setelah mendengar perkataan ratu:
Ketika Anda sanggup, katakan, “Ya, saya janji,”
ketika Anda tidak sanggup, janganlah berjanji.
Janji yang tidak ditepati adalah dusta;
Pendusta adalah orang yang dihindari oleh para bijak.
Ketika mendengar ucapan ini, ratu bersikap anjali dan mengulangi bait ketiga berikut:
Berdiri tegak dalam kebenaran,
Anda, wahai raja, kami puja dengan rendah hati.
Segala harta kekayaan mungkin akan habis (rusak);
Tetapi kebenaran masih Anda miliki sebagai kekayaan.
Setelah mendengar ratu mengucapkan kata-kata pujian terhadap raja, Bodhisatta mempermaklumkan kebajikan ratu dan mengulangi bait keempat berikut:
Terkenal sebagai istri yang tiada taranya,
berbagi kesenangan dan kesusahan hidup,
selalu (bersikap) sama pada kedua jenis keadaan itu,
memang cocok bersanding dengan raja.
Bodhisatta dengan kata-kata ini melantunkan pujian terhadap ratu, “Wanita ini, Yang Mulia, di masa Anda susah, tetap tinggal bersamamu dan berbagi kesusahanmu, di dalam hutan. Anda harus memberikan kehormatan padanya.”
Mendengar ini, raja berkata, “Menteri bijak, disebabkan oleh perkataanmu, saya teringat kembali akan kebajikan ratu,” dan setelah berkata demikian, ia memberikan semua kekuasaan kepada ratu. Ia juga menganugerahkan kekuasaan yang besar kepada Bodhisatta. Ia berkata, “Dikarenakan dirimulah, saya teringat kembali akan kebajikan ratu.”
Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka setelah menyelesaikan uraian ini:—Di akhir kebenarannya, suami istri tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, tuan tanah adalah Raja Benares, upasika adalah ratu, dan saya sendiri adalah menteri yang bijak.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 3
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com