SUNAKHA-JATAKA
“Anjing bodoh,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seekor anjing yang diberi makan di balai duduk, dekat Ambalakoṭṭhaka di Jetavana. Dikatakan bahwa sejak kecil, anjing ini telah diberikan tempat tinggal di sana dan diberi makan oleh seorang tukang air. Seiring berjalannya waktu, dia pun tumbuh menjadi seekor anjing yang besar. Suatu ketika, seorang penduduk desa secara kebetulan melihatnya, dan dia membelinya dari tukang air tersebut seharga satu buah pakaian dan satu koin tembaga. Kemudian setelah mengikatnya dengan sebuah rantai, dia membawa anjing itu pergi bersamanya. Anjing itu tidak menolak untuk dibawa pergi, tidak melawan, tidak bersuara, dan hanya mengikuti dan mengikuti majikan barunya, dia juga memakan apa pun yang diberikan kepadanya. “Pastinya dia menyukaiku,” pikir laki-laki tersebut, dan kemudian melepaskan dia dari rantainya. Tidak lama setelah bebas (dari ikatan rantainya), anjing itu pun kemudian berlari pergi, tidak berhenti sampai akhirnya kembali ke tempat semula dia berada. Melihatnya kembali, para bhikkhu mengetahui apa yang telah terjadi, dan pada sore harinya mereka berkumpul bersama di dalam balai kebenaran dan mulai membicarakan tentangnya, “ Āvuso, anjing itu kembali lagi ke balai duduk ini. Betapa pintarnya dia dapat membebaskan dirinya dari rantai! Tidak lama setelah terbebas, dia pun kemudian berlari kembali ke sini.” Sang Guru yang berjalan masuk, menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan selagi duduk di sana. Mereka pun memberi tahu Beliau. Beliau kemudian berkata, “Para Bhikkhu, ini bukanlah pertama kalinya anjing ini pintar dalam membebaskan dirinya dari rantai, dia juga pernah melakukan hal ini sebelumnya.” Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga yang kaya di Kerajaan Kāsi (Kasi). Ketika dewasa, dia membangun rumahnya sendiri. Terdapat seorang penduduk Benares yang memiliki seekor anjing yang selalu diberinya makan dengan nasi sampai dia tumbuh menjadi anjing yang besar. Seorang penduduk desa yang berkunjung ke Benares melihat anjing tersebut. Dia memberikan satu buah pakaian yang bagus dan satu koin tembaga kepada si pemilik anjing, kemudian membawa anjing itu pergi bersamanya, mengikatnya dengan sebuah rantai. Sampai di tepi hutan, laki-laki tersebut masuk ke dalam sebuah gubuk, mengikat anjingnya, kemudian berbaring dan tidur. Kala itu, Bodhisatta masuk ke dalam hutan tersebut dengan maksud tertentu, melihat anjing itu terikat pada satu tonggak, kemudian mengucapkan bait pertama berikut:
Anjing bodoh, mengapa tidak kamu gigit saja rantai yang mengekang dirimu itu? Dalam waktu singkat, kamu sudah bisa bebas, pergi ke mana saja sesuka hatimu.
Mendengar ini, anjing tersebut mengucapkan bait kedua:
Dengan keteguhan dan tekad yang bulat, saya menunggu kesempatan itu datang: Saya selalu awas dan terjaga sampai semuanya terlelap dalam tidur.
Setelah demikian dia berkata, dan ketika semua orang telah tidur, dia menggigiti rantai tersebut, dan kemudian kembali ke rumah majikannya dengan perasaan bahagia.
Setelah uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Anjing ini adalah anjing yang sama, dan Aku sendiri adalah orang bijak tersebut.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seekor anjing yang diberi makan di balai duduk, dekat Ambalakoṭṭhaka di Jetavana. Dikatakan bahwa sejak kecil, anjing ini telah diberikan tempat tinggal di sana dan diberi makan oleh seorang tukang air. Seiring berjalannya waktu, dia pun tumbuh menjadi seekor anjing yang besar. Suatu ketika, seorang penduduk desa secara kebetulan melihatnya, dan dia membelinya dari tukang air tersebut seharga satu buah pakaian dan satu koin tembaga. Kemudian setelah mengikatnya dengan sebuah rantai, dia membawa anjing itu pergi bersamanya. Anjing itu tidak menolak untuk dibawa pergi, tidak melawan, tidak bersuara, dan hanya mengikuti dan mengikuti majikan barunya, dia juga memakan apa pun yang diberikan kepadanya. “Pastinya dia menyukaiku,” pikir laki-laki tersebut, dan kemudian melepaskan dia dari rantainya. Tidak lama setelah bebas (dari ikatan rantainya), anjing itu pun kemudian berlari pergi, tidak berhenti sampai akhirnya kembali ke tempat semula dia berada. Melihatnya kembali, para bhikkhu mengetahui apa yang telah terjadi, dan pada sore harinya mereka berkumpul bersama di dalam balai kebenaran dan mulai membicarakan tentangnya, “ Āvuso, anjing itu kembali lagi ke balai duduk ini. Betapa pintarnya dia dapat membebaskan dirinya dari rantai! Tidak lama setelah terbebas, dia pun kemudian berlari kembali ke sini.” Sang Guru yang berjalan masuk, menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan selagi duduk di sana. Mereka pun memberi tahu Beliau. Beliau kemudian berkata, “Para Bhikkhu, ini bukanlah pertama kalinya anjing ini pintar dalam membebaskan dirinya dari rantai, dia juga pernah melakukan hal ini sebelumnya.” Dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga yang kaya di Kerajaan Kāsi (Kasi). Ketika dewasa, dia membangun rumahnya sendiri. Terdapat seorang penduduk Benares yang memiliki seekor anjing yang selalu diberinya makan dengan nasi sampai dia tumbuh menjadi anjing yang besar. Seorang penduduk desa yang berkunjung ke Benares melihat anjing tersebut. Dia memberikan satu buah pakaian yang bagus dan satu koin tembaga kepada si pemilik anjing, kemudian membawa anjing itu pergi bersamanya, mengikatnya dengan sebuah rantai. Sampai di tepi hutan, laki-laki tersebut masuk ke dalam sebuah gubuk, mengikat anjingnya, kemudian berbaring dan tidur. Kala itu, Bodhisatta masuk ke dalam hutan tersebut dengan maksud tertentu, melihat anjing itu terikat pada satu tonggak, kemudian mengucapkan bait pertama berikut:
Anjing bodoh, mengapa tidak kamu gigit saja rantai yang mengekang dirimu itu? Dalam waktu singkat, kamu sudah bisa bebas, pergi ke mana saja sesuka hatimu.
Mendengar ini, anjing tersebut mengucapkan bait kedua:
Dengan keteguhan dan tekad yang bulat, saya menunggu kesempatan itu datang: Saya selalu awas dan terjaga sampai semuanya terlelap dalam tidur.
Setelah demikian dia berkata, dan ketika semua orang telah tidur, dia menggigiti rantai tersebut, dan kemudian kembali ke rumah majikannya dengan perasaan bahagia.
Setelah uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Anjing ini adalah anjing yang sama, dan Aku sendiri adalah orang bijak tersebut.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com