TINDUKA-JATAKA
“Lihatlah di sekeliling kita, mereka semua berdiri,” dan seterusnya.
Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang kesempurnaan dalam kebijaksanaan. Seperti kisah di dalam Mahābodhi-Jātaka dan Ummagga-Jātaka, ketika mendengar pujian kebijaksanaan-Nya, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini saja Buddha itu bijaksana, tetapi juga sebelumnya Beliau adalah bijaksana dan penuh akal,” dan menceritakan kisah masa lampau berikut.
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kera. Dia tinggal di Himalaya bersama dengan kawanan delapan puluh ribu ekor kera lainnya.
Tidak jauh dari sana terdapat sebuah desa yang kadang-kadang berpenghuni dan kadang-kadang kosong. Dan di tengah-tengah desa itu terdapat sebuah pohon tiṇḍuka, dengan buah yang manis, diselimuti oleh ranting-ranting dan cabang-cabang. Ketika tempat itu kosong, semua kera tersebut selalu pergi ke sana dan memakan buah-buahnya. Suatu ketika, pada musim berbuah, desa itu penuh dengan orang-orang, pagar dari bambu-bambu runcing di pasang di sekitarnya dan pintu masuk pagar dijaga. Pohon tersebut berdiri dengan semua dahannya melengkung ke bawah dikarenakan berat dari buahnya. Kemudian kera-kera itu mulai ingin tahu, “Desa anu, tempat kita biasa mengambil buah tiṇḍuka untuk dimakan, saya ingin tahu apakah pohon itu telah berbuah atau belum; apakah ada orang-orang di sana atau tidak?” Akhirnya mereka mengutus seekor kera untuk mencari tahu. Dia menemukan bahwa ada buah di pohon tersebut, dan desa tersebut dipenuhi dengan orang-orang. Ketika mendengar bahwa ada buah di pohon tersebut di sana, kera-kera bertekad untuk mengambil buah manis itu untuk dimakan. Dengan memberanikan diri, sekelompok dari mereka pergi dan memberitahukannya kepada pemimpin mereka. Sang pimpinan menanyakan apakah desa itu penuh dengan orang-orang atau tidak; “Penuh dengan orang”, kata mereka. “Oleh karena itu, kalian tidak boleh pergi,” katanya, “karena manusia itu penuh dengan tipu daya.” “Tetapi, Yang Mulia, kami akan pergi pada tengah malam, di saat semua orang sedang tertidur pulas, dan kemudian memakannya!” Maka kelompok ini mendapatkan izin untuk pergi dan turun dari pegunungan, kemudian menunggu dengan susah payah sampai semua orang tertidur pulas. Pada penggal tengah malam hari, ketika orang-orang telah tidur, mereka memanjat pohon dan mulai memakan buah-buah dari pohon tersebut. Seorang laki-laki bangun di malam itu karena sesuatu hal yang harus dilakukannya. Dia keluar menuju ke desa dan di sana dia melihat kera-kera tersebut. Segera, dia membuat suatu tanda bahaya; orang-orang keluar, dilengkapi dengan busur dan panah, atau berbagai jenis senjata yang dapat diambil oleh tangan mereka: tongkat-tongkat kayu, bongkahan-bongkahan batu, dan kemudian mengelilingi pohon itu. “Ketika fajar menyingsing,” pikir mereka, “kita akan mendapatkan mereka!”. Delapan puluh ribu kera tersebut melihat orang-orang itu, dan menjadi sangat ketakutan. Mereka berpikir, “Kita tidak memiliki bantuan apa pun, selain raja kita.” Maka mereka datang kepadanya dan mengucapkan bait pertama:
Lihatlah di sekeliling kita, mereka semua berdiri, prajurit-prajurit bersenjatakan busur dan panah. Semuanya di sekeliling kita, dengan pedang di tangan; siapa yang membebaskan diri (dari mereka)?
Mendengar ini, raja kera tersebut menjawab, “Jangan takut, manusia mempunyai banyak hal yang harus dikerjakan. Saat ini masih penggal tengah malam hari, di sana mereka berdiri, dengan berpikir–‘Kami akan membunuh mereka’, tetapi kita akan mencari suatu cara untuk mencegah mereka mengerjakan yang satu ini.” Dan untuk menghibur kera-kera tersebut, dia mengulang bait kedua:
Manusia mempunyai banyak hal yang harus dikerjakan; Sesuatu akan membubarkan kerumunan itu; Lihatlah apa yang masih tersisa untuk kalian, makanlah, karena buah memang untuk dimakan.
Sang Mahasatwa menenangkan kelompok kera tersebut. Seandainya saja mereka tidak mendapatkan ketenangan ini, maka hati mereka akan hancur dan mereka akan mati. Setelah menghibur kera-kera tersebut, Sang Mahasatwa berkata dengan keras, “Kumpulkan semua kera bersama!” Tetapi sewaktu mengumpulkan diri mereka, ada satu yang tidak dapat mereka temukan, yakni sepupunya, seekor kera yang bernama Senaka. Maka mereka memberitahukan kepadanya bahwa Senaka tidak berada di dalam kelompok. “Jika Senaka tidak ada di sini,” katanya, “jangan takut. Dia akan menemukan jalan untuk menolong kalian.” Sewaktu kelompok kera tersebut berangkat, Senaka sedang tertidur. Kemudian setelah dia terbangun dan tidak menemukan seorang pun di sana, dia pun mengikuti jejak mereka, dan lambat laun, dia melihat semua orang sedang bergegas. “Bahaya bagi kelompok kami,” pikirnya. Kemudian pada waktu itu juga, dia melihat, di dalam sebuah gubuk di daerah pinggiran desa, seorang wanita tua yang tertidur pulas di depan api yang menyala. Dan dengan menyamar seperti seorang anak desa yang hendak pergi ke ladang, Senaka merampas sebuah obor, dan berdiri tegak searah dengan angin bertiup, lalu membakar desa tersebut. Kemudian semua orang meningggalkan kera-kera tersebut dan bergegas untuk memadamkan api. Demikian kera-kera tersebut berlarian pergi, dan setiap kera membawakan satu buah untuk Senaka.
Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “ Mahānāma Sakka adalah sepupu raja kera, Senaka, pada masa itu; para pengikut Buddha adalah kelompok kera itu; dan Aku sendiri adalah raja mereka.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang kesempurnaan dalam kebijaksanaan. Seperti kisah di dalam Mahābodhi-Jātaka dan Ummagga-Jātaka, ketika mendengar pujian kebijaksanaan-Nya, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini saja Buddha itu bijaksana, tetapi juga sebelumnya Beliau adalah bijaksana dan penuh akal,” dan menceritakan kisah masa lampau berikut.
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kera. Dia tinggal di Himalaya bersama dengan kawanan delapan puluh ribu ekor kera lainnya.
Tidak jauh dari sana terdapat sebuah desa yang kadang-kadang berpenghuni dan kadang-kadang kosong. Dan di tengah-tengah desa itu terdapat sebuah pohon tiṇḍuka, dengan buah yang manis, diselimuti oleh ranting-ranting dan cabang-cabang. Ketika tempat itu kosong, semua kera tersebut selalu pergi ke sana dan memakan buah-buahnya. Suatu ketika, pada musim berbuah, desa itu penuh dengan orang-orang, pagar dari bambu-bambu runcing di pasang di sekitarnya dan pintu masuk pagar dijaga. Pohon tersebut berdiri dengan semua dahannya melengkung ke bawah dikarenakan berat dari buahnya. Kemudian kera-kera itu mulai ingin tahu, “Desa anu, tempat kita biasa mengambil buah tiṇḍuka untuk dimakan, saya ingin tahu apakah pohon itu telah berbuah atau belum; apakah ada orang-orang di sana atau tidak?” Akhirnya mereka mengutus seekor kera untuk mencari tahu. Dia menemukan bahwa ada buah di pohon tersebut, dan desa tersebut dipenuhi dengan orang-orang. Ketika mendengar bahwa ada buah di pohon tersebut di sana, kera-kera bertekad untuk mengambil buah manis itu untuk dimakan. Dengan memberanikan diri, sekelompok dari mereka pergi dan memberitahukannya kepada pemimpin mereka. Sang pimpinan menanyakan apakah desa itu penuh dengan orang-orang atau tidak; “Penuh dengan orang”, kata mereka. “Oleh karena itu, kalian tidak boleh pergi,” katanya, “karena manusia itu penuh dengan tipu daya.” “Tetapi, Yang Mulia, kami akan pergi pada tengah malam, di saat semua orang sedang tertidur pulas, dan kemudian memakannya!” Maka kelompok ini mendapatkan izin untuk pergi dan turun dari pegunungan, kemudian menunggu dengan susah payah sampai semua orang tertidur pulas. Pada penggal tengah malam hari, ketika orang-orang telah tidur, mereka memanjat pohon dan mulai memakan buah-buah dari pohon tersebut. Seorang laki-laki bangun di malam itu karena sesuatu hal yang harus dilakukannya. Dia keluar menuju ke desa dan di sana dia melihat kera-kera tersebut. Segera, dia membuat suatu tanda bahaya; orang-orang keluar, dilengkapi dengan busur dan panah, atau berbagai jenis senjata yang dapat diambil oleh tangan mereka: tongkat-tongkat kayu, bongkahan-bongkahan batu, dan kemudian mengelilingi pohon itu. “Ketika fajar menyingsing,” pikir mereka, “kita akan mendapatkan mereka!”. Delapan puluh ribu kera tersebut melihat orang-orang itu, dan menjadi sangat ketakutan. Mereka berpikir, “Kita tidak memiliki bantuan apa pun, selain raja kita.” Maka mereka datang kepadanya dan mengucapkan bait pertama:
Lihatlah di sekeliling kita, mereka semua berdiri, prajurit-prajurit bersenjatakan busur dan panah. Semuanya di sekeliling kita, dengan pedang di tangan; siapa yang membebaskan diri (dari mereka)?
Mendengar ini, raja kera tersebut menjawab, “Jangan takut, manusia mempunyai banyak hal yang harus dikerjakan. Saat ini masih penggal tengah malam hari, di sana mereka berdiri, dengan berpikir–‘Kami akan membunuh mereka’, tetapi kita akan mencari suatu cara untuk mencegah mereka mengerjakan yang satu ini.” Dan untuk menghibur kera-kera tersebut, dia mengulang bait kedua:
Manusia mempunyai banyak hal yang harus dikerjakan; Sesuatu akan membubarkan kerumunan itu; Lihatlah apa yang masih tersisa untuk kalian, makanlah, karena buah memang untuk dimakan.
Sang Mahasatwa menenangkan kelompok kera tersebut. Seandainya saja mereka tidak mendapatkan ketenangan ini, maka hati mereka akan hancur dan mereka akan mati. Setelah menghibur kera-kera tersebut, Sang Mahasatwa berkata dengan keras, “Kumpulkan semua kera bersama!” Tetapi sewaktu mengumpulkan diri mereka, ada satu yang tidak dapat mereka temukan, yakni sepupunya, seekor kera yang bernama Senaka. Maka mereka memberitahukan kepadanya bahwa Senaka tidak berada di dalam kelompok. “Jika Senaka tidak ada di sini,” katanya, “jangan takut. Dia akan menemukan jalan untuk menolong kalian.” Sewaktu kelompok kera tersebut berangkat, Senaka sedang tertidur. Kemudian setelah dia terbangun dan tidak menemukan seorang pun di sana, dia pun mengikuti jejak mereka, dan lambat laun, dia melihat semua orang sedang bergegas. “Bahaya bagi kelompok kami,” pikirnya. Kemudian pada waktu itu juga, dia melihat, di dalam sebuah gubuk di daerah pinggiran desa, seorang wanita tua yang tertidur pulas di depan api yang menyala. Dan dengan menyamar seperti seorang anak desa yang hendak pergi ke ladang, Senaka merampas sebuah obor, dan berdiri tegak searah dengan angin bertiup, lalu membakar desa tersebut. Kemudian semua orang meningggalkan kera-kera tersebut dan bergegas untuk memadamkan api. Demikian kera-kera tersebut berlarian pergi, dan setiap kera membawakan satu buah untuk Senaka.
Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “ Mahānāma Sakka adalah sepupu raja kera, Senaka, pada masa itu; para pengikut Buddha adalah kelompok kera itu; dan Aku sendiri adalah raja mereka.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com