VADDHAKI-SUKARA-JATAKA
“Yang terbaik, yang terbaik selalu kamu,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang Thera Dhanuggahatissa. Mahākosala, ayah dari Raja Pasenadi, ketika menikahkan putrinya, Kosaladevī, kepada Raja Bimbisāra, memberikan sebuah Desa Kāsi yang menghasilkan upeti sebesar seratus ribu keping uang. Ketika Ajātasattu membunuh ayahnya, sang raja, Kosaladevī meninggal dunia dikarenakan rasa dukanya. Kemudian Raja Pasenadi berpikir, “Ajātasattu telah membunuh ayahnya, adikku meninggal dikarenakan rasa duka atas nasib yang menimpa suaminya.
Saya tidak akan memberikan Kota Kāsi kepada si pembunuh orang tua.” Demikian dia menolak untuk memberikannya kepada Ajātasattu . Ajātasattu adalah orang yang kejam dan kuat, sedangkan Pasenadi adalah orang yang tua, jadi dia selalu kalah dan kalah, dan penduduk Mahākosala kalah secara umum. Kemudian raja bertanya kepada para menterinya, “Kita selalu kalah. Apa yang harus yang dilakukan?” “Paduka,” kata mereka, “orang-orang yang mulia dikatakan ahli dalam pembahasan. Kita harus mendengar pembahasan dari para bhikkhu yang tinggal di dalam Wihara Jetavana.” Kemudian raja mengutus menterimenterinya, menyuruh mereka untuk mendengarkan pembahasan dari para bhikkhu pada waktu yang tepat.
Kala itu, terdapat dua thera tua yang tinggal di dalam sebuah gubuk daun di dekat wihara, yang bernama Thera Utta dan Thera Dhanuggahatissa. Dhanuggahatissa tidur selama bagian pertama dan kedua penggal terakhir malam hari. Bangun pada bagian ketiga penggal terakhir malam hari, dia membelah beberapa kayu, membuat perapian, duduk, dan berkata, “Bhante Utta Thera!” “Ada apa, Bhante Dhanuggahatissa?” “Apakah Anda tidak tidur?” “Sekarang kita sudah bangun, apa yang harus dilakukan?” “Bangunlah sekarang, dan duduk di sampingku.” Dia pun melakukan demikian dan mulai berbincang dengannya. “Raja Kosala bodoh yang berperut kendi itu tidak pernah bisa memiliki sebuah kendi nasi tanpa membiarkannya hancur: dia tidak tahu bagaimana cara berperang. Dia selalu kalah dan dipaksa menyerah.” “Apa yang seharusnya dilakukan olehnya?” Pada saat itu, Menteri-menteri raja berdiri sambil mendengarkan pembicaraan mereka.
Thera Dhanuggahatissa membahas tentang perang. “Bhante,” katanya, “perang itu ada tiga jenis: perang teratai, perang roda, dan perang kereta. Jika mereka yang ingin mengalahkan Ajātasattu menempatkan dua garnisun di dua benteng tepat di atas perbukitan dan, berpura-pura mereka adalah pasukan lemah, mengawasinya sampai dia berada di antara perbukitan itu, kemudian menutup jalannya, melompat keluar dari kedua benteng, menyerangnya dari bagian depan dan belakang, berteriak dengan kuat, maka mereka bisa dengan cepat mendapatkannya seperti seekor ikan di darat, seperti seekor katak di dalam tangan; dan demikian mereka bisa menangkapnya.” Semua ini diceritakan oleh para menteri kepada raja. Raja memerintahkan untuk menabuh genderang melakukan penyerangan, mengatur bala tentaranya, dan menangkap Ajātasattu hidup-hidup. Putrinya, Vajirā, dinikahkan dengan putra dari adik perempuannya, dan diberikan Desa Kāsi yang menghasilkan upeti sebesar seratus ribu keping uang.
Kejadian ini diketahui oleh para bhikkhu. Pada suatu hari, mereka membicarakannya di dalam balai kebenaran, “Āvuso, saya mendengar bahwa Raja Kosala menaklukkan Ajātasattu dengan menggunakan pembahasan dari Dhanuggahatissa.” Sang Guru berjalan masuk. “Apa yang sedang kalian bicarakan ini, Para Bhikkhu?” tanya Beliau. Mereka memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya Dhanuggahatissa pandai dalam membahas masalah perang,” dan menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang dewa pohon. Kala itu, terdapat beberapa tukang kayu yang tinggal di dalam sebuah desa, di dekat Benares. Salah seorang dari mereka, dalam perjalanannya ke hutan untuk mencari kayu, menemukan seekor anak babi hutan yang terjatuh ke dalam sebuah lubang, yang kemudian dibawanya pulang dan dipelihara. Anak babi hutan itu tumbuh besar, dengan taring yang melengkung, seekor makhluk yang berkelakuan baik. Karena tukang kayu itu yang merawatnya, dia mendapatkan nama Vaḍḍhakīsūkara (Babi Tukang Kayu). Ketika tukang kayu itu membelah kayu, Vaḍḍhakī (Vaddhaki) merobohkan pohon dengan taringnya, dan dengan giginya dia membawa kapak, pengasah, pahat dan martil, kemudian menarik garis pengukurnya di ujung. Tukang kayu itu takut kalau-kalau ada orang yang akan memakannya, maka dia membawanya dan melepaskannya di dalam hutan. Babi itu berlari ke dalam hutan dan mencari tempat yang aman nan menyenangkan untuk ditempati, sampai akhirnya dia melihat sebuah gua besar di tepi sebuah gunung, yang ditumbuhi banyak akar-akaran, belukar, buah, sebuah tempat tinggal yang menyenangkan. Beberapa ratus babi hutan melihatnya dan menghampirinya. Dia berkata kepada mereka, “Kalian adalah yang sedang kucari, dan di sini saya telah menemukan kalian. Ini adalah tempat yang kelihatannya menyenangkan, dan saya bermaksud untuk tinggal di sini sekarang bersama dengan kalian.” “Ini pastinya adalah sebuah tempat yang menyenangkan,” kata mereka, “tetapi juga berbahaya.”
“Ah,” katanya, “begitu saya melihat kalian, saya bertanya-tanya mengapa mereka yang tinggal di tempat yang demikian subur ini menjadi sangat kurus. Apakah itu yang kalian takutkan?”
“Ada seekor harimau yang selalu datang di pagi hari, dan siapa saja yang dilihatnya akan ditangkap dan dibawanya pergi.”
“Apakah ini selalu terjadi, atau hanya kadang-kadang saja?”
“Selalu.”
“Ada berapa banyak harimaunya?”
“Hanya satu.”
“Apa—hanya satu, tetapi itu terlalu banyak untuk kalian semua!”
“Benar.”
“Saya akan bisa menangkapnya jika kalian melakukan apa yang saya katakan. Di mana harimau ini tinggal?”
“Di bukit sebelah sana.”
Maka pada malam harinya, dia melatih babi-babi hutan itu dan mempersiapkan mereka untuk perang, dengan menjelaskan kepada mereka tentang perang. “Ada tiga jenis perang—perang teratai, perang roda, dan perang kereta.” Kemudian dia menyusun mereka dalam pola teratai. Dia mengetahui tempat yang menguntungkan. Maka dia berkata kepada mereka, “Di sini kita akan melakukan perang itu.” Para induk dan anak babi yang masih menyusui diaturnya ke bagian tengah; di sekeliling mereka adalah babi-babi betina yang tidak memiliki anak; di sekeliling mereka ini adalah babi-babi yang agak muda; di sekeliling mereka ini adalah babi-babi yang taringnya telah tumbuh; dan di sekeliling mereka ini adalah babi-babi yang cocok untuk berperang, kuat dan berkuasa, dalam jumlah puluhan dan dua puluhan; demikianlah dia menempatkan mereka, dalam tingkatan berseri. Di depan tempatnya berdiri terdapat sebuah lubang bulat; di belakangnya terdapat juga sebuah lubang yang lebih dalam lagi, berbentuk seperti gua di sebuah gunung. Dia berkeliling di antara mereka, diikuti oleh enam puluh atau tujuh puluh babi hutan, meminta mereka untuk tetap berada dalam semangat yang baik. Hari pun menjelang subuh. Harimau itu bangun. “Sudah waktunya sekarang!” pikirnya. Dia berjalan naik sampai melihat mereka, kemudian berhenti pada satu dataran tinggi, sambil menatap kerumunan babi hutan tersebut. “Tatap dirinya kembali!” teriak Vaddhaki, sembari memberikan sinyal kepada yang lainnya. Mereka semua menatapnya. Harimau membuka mulutnya dan menarik napas panjang; mereka pun melakukan hal yang sama. Harimau itu menghelakan napasnya, demikian juga mereka. Demikianlah apa pun yang dilakukan oleh harimau dilakukan pula oleh babi-babi hutan itu. “Mengapa, apa-apaan ini!” harimau itu bertanya keheranan. “Mereka biasanya langsung kabur begitu melihatku— bahkan sebenarnya mereka saking takutnya mereka pun tidak bisa lari. Kali ini, mereka tidak lari, bahkan berdiri melawanku! Apa yang kulakukan ditiru oleh mereka. Ada seekor babi di sana yang mengatur posisi mereka: dialah yang mengatur kerumunan babi itu. Baiklah, saya tidak melihat adanya keuntungan untuk menyerang mereka saat ini.” Dia pun berbalik dan kembali ke sarangnya.
Pada saat itu, terdapat seorang petapa gadungan yang biasanya mendapatkan bagian dari mangsa sang harimau. Kali ini, harimau kembali dengan tangan kosong. Melihat ini, petapa
tersebut mengulangi bait berikut. Yang terbaik, yang terbaik selalu kamu bawakan biasanya ketika berburu babi hutan. Hari ini dengan tangan kosong kamu dipenuhi rasa sedih, di manakah kekuatanmu yang kamu miliki sebelumnya? Mendengar perkataan ini, harimau mengulangi bait berikutnya:
Dahulu mereka akan langsung kabur ke sana ke sini mencari lubang mereka, kerumunan yang panik.
Tetapi hari ini mereka mengerang dalam barisan yang berseri: Tak terkalahkan, mereka berdiri dan menantangku.
“Oh, janganlah takut kepada mereka!” paksa petapa tersebut, “satu raungan dan satu lompatan saja akan membuat mereka ketakutan setengah mati dan lari terbirit-birit.” Harimau mengikuti kemauannya. Setelah mengumpulkan semangatnya, dia datang kembali dan berdiri di dataran tinggi itu. Vaddhaki berdiri di antara dua lubang tersebut. “Lihat, Tuan, makhluk jahat itu kembali lagi!” teriak babi-babi hutan lainnya. “Jangan takut,” katanya, “kita akan menangkapnya sekarang.” Dengan satu raungan, harimau melompat ke arah Vaddhaki. Pada saat itu juga, babi hutan bergerak maju ke depan dan menjatuhkan dirinya ke dalam lubang yang bulat. Sedangkan harimau tidak dapat berhenti dan jatuh ke dalam cengkeraman lubang yang satunya lagi, yang menyempit di bagian bawahnya. Babi hutan itu melompat keluar dari lubangnya, dan secepat kilat dia menusukkan taringnya ke paha harimau itu, mengoyak ginjalnya, menusukkan taringnya kembali ke dalam daging makhluk itu dan melukai kepalanya. Kemudian dia melemparnya ke atas, keluar dari lubang itu, sambil berteriak—“Nah, ini musuh kalian!” Mereka yang sampai terlebih dahulu ke tempat harimau itu mendapatkan (daging) harimau untuk dimakan, sedangkan mereka yang sampai belakangan hanya bisa mengendus mulut mulut harimau lainnya dan menanyakan bagaimana rasa daging harimau.
Akan tetapi, babi-babi hutan itu belum juga merasa tenang. “Apa lagi masalahnya sekarang?” tanya Vaddhaki, yang melihat gerak gerik mereka. “Tuan,” kata mereka, “amatlah baik dapat membunuh seekor harimau, tetapi petapa gadungan itu akan membawa sepuluh ekor harimau lagi nantinya.”
“Siapa dia?”
“Seorang petapa yang jahat.”
“Harimau telah kubunuh. Apakah kalian mengira seorang manusia bisa melukaiku? Ayo, kita tangkap dia.” Maka mereka semua berangkat.
Pada saat itu, petapa tersebut sedang bertanya-tanya mengapa harimau itu lama sekali kembalinya. Dia berpikir apakah mungkin babi-babi hutan itu menangkapnya. Akhirnya dia pergi untuk menjumpainya di sana. Ketika dia hendak pergi, babi-babi hutan tersebut pun tiba. Petapa itu merenggut barang-barangnya dan lari pergi. Babi-babi hutan tersebut pun mengejarnya. Petapa itu menyingkirkan segala hambatan (di depannya) dan dengan kecepatan penuh memanjat sebuah pohon elo. “Tuan,” teriak kerumunan babi hutan tersebut, “petapa itu melarikan diri dengan memanjat pohon!”
“Pohon apa?” tanya pemimpin mereka.
Mereka membalas, “Sebuah pohon elo.”
“Oh, baiklah,” kata sang pemimpin, “yang betina ambil air, yang muda galilah di sekitar pohon itu, yang punya taring cabutlah akar-akarnya, dan yang lainnya jaga di sekeliling pohon.” Mereka pun melakukan tugas-tugas yang diperintahkan. Kemudian dia sendiri mematahkan akar yang sangat tebal, —itu terjadi seperti satu hantaman (oleh sebuah) kapak. Dengan satu hantaman itu, dia merobohkan pohon tersebut .
Babi-babi hutan, yang telah menunggu petapa itu dari tadi, menyerangnya, mengoyak-ngoyak tubuhnya, mengunyahnya sampai tulang-tulangnya bersih dalam waktu sekejap. Kemudian mereka mendudukkan Vaddhaki di atas batang pohon tersebut. Mereka mengisi tengkorak kepala petapa itu dengan air dan memercikkan air itu kepadanya untuk menobatkannya sebagai raja mereka; seekor babi betina muda mereka nobatkan juga sebagai ratunya.
Dikatakan juga bahwasanya inilah asal mula dari kebiasaan yang masih dilakukan sekarang ini ketika seseorang dinobatkan menjadi raja, dia akan didudukkan pada tempat duduk yang terbuat dari pohon elo dan dipercikkan air dari wadah yang menyerupai tengkorak kepala, (misalnya) kulit kerang. Dewa pohon yang berdiam di dalam hutan itu menyaksikan kejadian tersebut. Muncul di hadapan babi-babi hutan tersebut dengan berdiri pada patahan batang pohonnya, dia mengulangi bait ketiga berikut:
Hormatku kepada semua babi yang berkumpul!
Suatu penyatuan luar biasa yang kulihat sendiri!
Bagaimana yang bertaring mengalahkan seekor harimau
dengan kekuatan dari taring dan kesatuan.
Setelah uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Thera Dhanuggaha adalah Babi Tukang Kayu (Vaḍḍhakīsūkara), dan Aku sendiri adalah dewa pohon.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang Thera Dhanuggahatissa. Mahākosala, ayah dari Raja Pasenadi, ketika menikahkan putrinya, Kosaladevī, kepada Raja Bimbisāra, memberikan sebuah Desa Kāsi yang menghasilkan upeti sebesar seratus ribu keping uang. Ketika Ajātasattu membunuh ayahnya, sang raja, Kosaladevī meninggal dunia dikarenakan rasa dukanya. Kemudian Raja Pasenadi berpikir, “Ajātasattu telah membunuh ayahnya, adikku meninggal dikarenakan rasa duka atas nasib yang menimpa suaminya.
Saya tidak akan memberikan Kota Kāsi kepada si pembunuh orang tua.” Demikian dia menolak untuk memberikannya kepada Ajātasattu . Ajātasattu adalah orang yang kejam dan kuat, sedangkan Pasenadi adalah orang yang tua, jadi dia selalu kalah dan kalah, dan penduduk Mahākosala kalah secara umum. Kemudian raja bertanya kepada para menterinya, “Kita selalu kalah. Apa yang harus yang dilakukan?” “Paduka,” kata mereka, “orang-orang yang mulia dikatakan ahli dalam pembahasan. Kita harus mendengar pembahasan dari para bhikkhu yang tinggal di dalam Wihara Jetavana.” Kemudian raja mengutus menterimenterinya, menyuruh mereka untuk mendengarkan pembahasan dari para bhikkhu pada waktu yang tepat.
Kala itu, terdapat dua thera tua yang tinggal di dalam sebuah gubuk daun di dekat wihara, yang bernama Thera Utta dan Thera Dhanuggahatissa. Dhanuggahatissa tidur selama bagian pertama dan kedua penggal terakhir malam hari. Bangun pada bagian ketiga penggal terakhir malam hari, dia membelah beberapa kayu, membuat perapian, duduk, dan berkata, “Bhante Utta Thera!” “Ada apa, Bhante Dhanuggahatissa?” “Apakah Anda tidak tidur?” “Sekarang kita sudah bangun, apa yang harus dilakukan?” “Bangunlah sekarang, dan duduk di sampingku.” Dia pun melakukan demikian dan mulai berbincang dengannya. “Raja Kosala bodoh yang berperut kendi itu tidak pernah bisa memiliki sebuah kendi nasi tanpa membiarkannya hancur: dia tidak tahu bagaimana cara berperang. Dia selalu kalah dan dipaksa menyerah.” “Apa yang seharusnya dilakukan olehnya?” Pada saat itu, Menteri-menteri raja berdiri sambil mendengarkan pembicaraan mereka.
Thera Dhanuggahatissa membahas tentang perang. “Bhante,” katanya, “perang itu ada tiga jenis: perang teratai, perang roda, dan perang kereta. Jika mereka yang ingin mengalahkan Ajātasattu menempatkan dua garnisun di dua benteng tepat di atas perbukitan dan, berpura-pura mereka adalah pasukan lemah, mengawasinya sampai dia berada di antara perbukitan itu, kemudian menutup jalannya, melompat keluar dari kedua benteng, menyerangnya dari bagian depan dan belakang, berteriak dengan kuat, maka mereka bisa dengan cepat mendapatkannya seperti seekor ikan di darat, seperti seekor katak di dalam tangan; dan demikian mereka bisa menangkapnya.” Semua ini diceritakan oleh para menteri kepada raja. Raja memerintahkan untuk menabuh genderang melakukan penyerangan, mengatur bala tentaranya, dan menangkap Ajātasattu hidup-hidup. Putrinya, Vajirā, dinikahkan dengan putra dari adik perempuannya, dan diberikan Desa Kāsi yang menghasilkan upeti sebesar seratus ribu keping uang.
Kejadian ini diketahui oleh para bhikkhu. Pada suatu hari, mereka membicarakannya di dalam balai kebenaran, “Āvuso, saya mendengar bahwa Raja Kosala menaklukkan Ajātasattu dengan menggunakan pembahasan dari Dhanuggahatissa.” Sang Guru berjalan masuk. “Apa yang sedang kalian bicarakan ini, Para Bhikkhu?” tanya Beliau. Mereka memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya Dhanuggahatissa pandai dalam membahas masalah perang,” dan menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang dewa pohon. Kala itu, terdapat beberapa tukang kayu yang tinggal di dalam sebuah desa, di dekat Benares. Salah seorang dari mereka, dalam perjalanannya ke hutan untuk mencari kayu, menemukan seekor anak babi hutan yang terjatuh ke dalam sebuah lubang, yang kemudian dibawanya pulang dan dipelihara. Anak babi hutan itu tumbuh besar, dengan taring yang melengkung, seekor makhluk yang berkelakuan baik. Karena tukang kayu itu yang merawatnya, dia mendapatkan nama Vaḍḍhakīsūkara (Babi Tukang Kayu). Ketika tukang kayu itu membelah kayu, Vaḍḍhakī (Vaddhaki) merobohkan pohon dengan taringnya, dan dengan giginya dia membawa kapak, pengasah, pahat dan martil, kemudian menarik garis pengukurnya di ujung. Tukang kayu itu takut kalau-kalau ada orang yang akan memakannya, maka dia membawanya dan melepaskannya di dalam hutan. Babi itu berlari ke dalam hutan dan mencari tempat yang aman nan menyenangkan untuk ditempati, sampai akhirnya dia melihat sebuah gua besar di tepi sebuah gunung, yang ditumbuhi banyak akar-akaran, belukar, buah, sebuah tempat tinggal yang menyenangkan. Beberapa ratus babi hutan melihatnya dan menghampirinya. Dia berkata kepada mereka, “Kalian adalah yang sedang kucari, dan di sini saya telah menemukan kalian. Ini adalah tempat yang kelihatannya menyenangkan, dan saya bermaksud untuk tinggal di sini sekarang bersama dengan kalian.” “Ini pastinya adalah sebuah tempat yang menyenangkan,” kata mereka, “tetapi juga berbahaya.”
“Ah,” katanya, “begitu saya melihat kalian, saya bertanya-tanya mengapa mereka yang tinggal di tempat yang demikian subur ini menjadi sangat kurus. Apakah itu yang kalian takutkan?”
“Ada seekor harimau yang selalu datang di pagi hari, dan siapa saja yang dilihatnya akan ditangkap dan dibawanya pergi.”
“Apakah ini selalu terjadi, atau hanya kadang-kadang saja?”
“Selalu.”
“Ada berapa banyak harimaunya?”
“Hanya satu.”
“Apa—hanya satu, tetapi itu terlalu banyak untuk kalian semua!”
“Benar.”
“Saya akan bisa menangkapnya jika kalian melakukan apa yang saya katakan. Di mana harimau ini tinggal?”
“Di bukit sebelah sana.”
Maka pada malam harinya, dia melatih babi-babi hutan itu dan mempersiapkan mereka untuk perang, dengan menjelaskan kepada mereka tentang perang. “Ada tiga jenis perang—perang teratai, perang roda, dan perang kereta.” Kemudian dia menyusun mereka dalam pola teratai. Dia mengetahui tempat yang menguntungkan. Maka dia berkata kepada mereka, “Di sini kita akan melakukan perang itu.” Para induk dan anak babi yang masih menyusui diaturnya ke bagian tengah; di sekeliling mereka adalah babi-babi betina yang tidak memiliki anak; di sekeliling mereka ini adalah babi-babi yang agak muda; di sekeliling mereka ini adalah babi-babi yang taringnya telah tumbuh; dan di sekeliling mereka ini adalah babi-babi yang cocok untuk berperang, kuat dan berkuasa, dalam jumlah puluhan dan dua puluhan; demikianlah dia menempatkan mereka, dalam tingkatan berseri. Di depan tempatnya berdiri terdapat sebuah lubang bulat; di belakangnya terdapat juga sebuah lubang yang lebih dalam lagi, berbentuk seperti gua di sebuah gunung. Dia berkeliling di antara mereka, diikuti oleh enam puluh atau tujuh puluh babi hutan, meminta mereka untuk tetap berada dalam semangat yang baik. Hari pun menjelang subuh. Harimau itu bangun. “Sudah waktunya sekarang!” pikirnya. Dia berjalan naik sampai melihat mereka, kemudian berhenti pada satu dataran tinggi, sambil menatap kerumunan babi hutan tersebut. “Tatap dirinya kembali!” teriak Vaddhaki, sembari memberikan sinyal kepada yang lainnya. Mereka semua menatapnya. Harimau membuka mulutnya dan menarik napas panjang; mereka pun melakukan hal yang sama. Harimau itu menghelakan napasnya, demikian juga mereka. Demikianlah apa pun yang dilakukan oleh harimau dilakukan pula oleh babi-babi hutan itu. “Mengapa, apa-apaan ini!” harimau itu bertanya keheranan. “Mereka biasanya langsung kabur begitu melihatku— bahkan sebenarnya mereka saking takutnya mereka pun tidak bisa lari. Kali ini, mereka tidak lari, bahkan berdiri melawanku! Apa yang kulakukan ditiru oleh mereka. Ada seekor babi di sana yang mengatur posisi mereka: dialah yang mengatur kerumunan babi itu. Baiklah, saya tidak melihat adanya keuntungan untuk menyerang mereka saat ini.” Dia pun berbalik dan kembali ke sarangnya.
Pada saat itu, terdapat seorang petapa gadungan yang biasanya mendapatkan bagian dari mangsa sang harimau. Kali ini, harimau kembali dengan tangan kosong. Melihat ini, petapa
tersebut mengulangi bait berikut. Yang terbaik, yang terbaik selalu kamu bawakan biasanya ketika berburu babi hutan. Hari ini dengan tangan kosong kamu dipenuhi rasa sedih, di manakah kekuatanmu yang kamu miliki sebelumnya? Mendengar perkataan ini, harimau mengulangi bait berikutnya:
Dahulu mereka akan langsung kabur ke sana ke sini mencari lubang mereka, kerumunan yang panik.
Tetapi hari ini mereka mengerang dalam barisan yang berseri: Tak terkalahkan, mereka berdiri dan menantangku.
“Oh, janganlah takut kepada mereka!” paksa petapa tersebut, “satu raungan dan satu lompatan saja akan membuat mereka ketakutan setengah mati dan lari terbirit-birit.” Harimau mengikuti kemauannya. Setelah mengumpulkan semangatnya, dia datang kembali dan berdiri di dataran tinggi itu. Vaddhaki berdiri di antara dua lubang tersebut. “Lihat, Tuan, makhluk jahat itu kembali lagi!” teriak babi-babi hutan lainnya. “Jangan takut,” katanya, “kita akan menangkapnya sekarang.” Dengan satu raungan, harimau melompat ke arah Vaddhaki. Pada saat itu juga, babi hutan bergerak maju ke depan dan menjatuhkan dirinya ke dalam lubang yang bulat. Sedangkan harimau tidak dapat berhenti dan jatuh ke dalam cengkeraman lubang yang satunya lagi, yang menyempit di bagian bawahnya. Babi hutan itu melompat keluar dari lubangnya, dan secepat kilat dia menusukkan taringnya ke paha harimau itu, mengoyak ginjalnya, menusukkan taringnya kembali ke dalam daging makhluk itu dan melukai kepalanya. Kemudian dia melemparnya ke atas, keluar dari lubang itu, sambil berteriak—“Nah, ini musuh kalian!” Mereka yang sampai terlebih dahulu ke tempat harimau itu mendapatkan (daging) harimau untuk dimakan, sedangkan mereka yang sampai belakangan hanya bisa mengendus mulut mulut harimau lainnya dan menanyakan bagaimana rasa daging harimau.
Akan tetapi, babi-babi hutan itu belum juga merasa tenang. “Apa lagi masalahnya sekarang?” tanya Vaddhaki, yang melihat gerak gerik mereka. “Tuan,” kata mereka, “amatlah baik dapat membunuh seekor harimau, tetapi petapa gadungan itu akan membawa sepuluh ekor harimau lagi nantinya.”
“Siapa dia?”
“Seorang petapa yang jahat.”
“Harimau telah kubunuh. Apakah kalian mengira seorang manusia bisa melukaiku? Ayo, kita tangkap dia.” Maka mereka semua berangkat.
Pada saat itu, petapa tersebut sedang bertanya-tanya mengapa harimau itu lama sekali kembalinya. Dia berpikir apakah mungkin babi-babi hutan itu menangkapnya. Akhirnya dia pergi untuk menjumpainya di sana. Ketika dia hendak pergi, babi-babi hutan tersebut pun tiba. Petapa itu merenggut barang-barangnya dan lari pergi. Babi-babi hutan tersebut pun mengejarnya. Petapa itu menyingkirkan segala hambatan (di depannya) dan dengan kecepatan penuh memanjat sebuah pohon elo. “Tuan,” teriak kerumunan babi hutan tersebut, “petapa itu melarikan diri dengan memanjat pohon!”
“Pohon apa?” tanya pemimpin mereka.
Mereka membalas, “Sebuah pohon elo.”
“Oh, baiklah,” kata sang pemimpin, “yang betina ambil air, yang muda galilah di sekitar pohon itu, yang punya taring cabutlah akar-akarnya, dan yang lainnya jaga di sekeliling pohon.” Mereka pun melakukan tugas-tugas yang diperintahkan. Kemudian dia sendiri mematahkan akar yang sangat tebal, —itu terjadi seperti satu hantaman (oleh sebuah) kapak. Dengan satu hantaman itu, dia merobohkan pohon tersebut .
Babi-babi hutan, yang telah menunggu petapa itu dari tadi, menyerangnya, mengoyak-ngoyak tubuhnya, mengunyahnya sampai tulang-tulangnya bersih dalam waktu sekejap. Kemudian mereka mendudukkan Vaddhaki di atas batang pohon tersebut. Mereka mengisi tengkorak kepala petapa itu dengan air dan memercikkan air itu kepadanya untuk menobatkannya sebagai raja mereka; seekor babi betina muda mereka nobatkan juga sebagai ratunya.
Dikatakan juga bahwasanya inilah asal mula dari kebiasaan yang masih dilakukan sekarang ini ketika seseorang dinobatkan menjadi raja, dia akan didudukkan pada tempat duduk yang terbuat dari pohon elo dan dipercikkan air dari wadah yang menyerupai tengkorak kepala, (misalnya) kulit kerang. Dewa pohon yang berdiam di dalam hutan itu menyaksikan kejadian tersebut. Muncul di hadapan babi-babi hutan tersebut dengan berdiri pada patahan batang pohonnya, dia mengulangi bait ketiga berikut:
Hormatku kepada semua babi yang berkumpul!
Suatu penyatuan luar biasa yang kulihat sendiri!
Bagaimana yang bertaring mengalahkan seekor harimau
dengan kekuatan dari taring dan kesatuan.
Setelah uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Thera Dhanuggaha adalah Babi Tukang Kayu (Vaḍḍhakīsūkara), dan Aku sendiri adalah dewa pohon.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com