VATTAGA-SINDHAVA-JATAKA
“Dikarenakan dirinya,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan di Jetavana, tentang seorang tuan tanah. Dikatakan bahwasanya di Sāvatthi , seorang wanita melihat laki-laki yang tampan itu dan jatuh cinta kepadanya. Keinginan di dalam dirinya terasa seperti api yang terus-menerus membakar dirinya. Dia (seperti) kehilangan indranya, tubuh dan pikiran, dia tidak mau makan, dia hanya berbaring sambil memeluk tepi ranjang. Teman-teman dan pelayan-pelayannya menanyakan apa yang menyusahkan hatinya sehingga dia hanya berbaring sambil memeluk tepi ranjang; mereka ingin mengetahui apa masalahnya. Pada awalnya dia tidak mau mengatakan apa pun, tetapi karena terus didesak oleh mereka, akhirnya dia pun memberitahukan apa masalahnya. “Jangan khawatir,” kata mereka, “kami akan membawa dirinya kepadamu,” dan mereka pun pergi untuk berbicara dengan laki-laki itu. Awalnya, dia menolak, tetapi karena terus didesak oleh mereka, akhirnya dia pun menyetujuinya. Mereka membuatnya berjanji untuk datang pada jam anu di hari yang telah ditetapkan, dan mereka memberitahukannya kepada wanita itu. Dia merapikan ruangannya dan mengenakan pakaian terbaiknya, kemudian duduk menunggu kedatangan laki-laki tersebut. Laki-laki itu datang dan duduk di sampingnya. Kemudian terlintas sebuah pemikiran di dalam benaknya, “Jika saya langsung menerima sapaannya dan membuat diriku (terkesan) menjadi murahan, maka harga diriku akan hancur. Membiarkan dirinya mendapatkan apa yang diinginkannya pada kali pertama adalah hal yang tidak mungkin. Saya akan menjadi galak hari ini, dan sesudahnya baru saya akan menjadi lembut.” Maka tidak lama setelah laki-laki itu menyentuhnya dan mulai bermain-main, dia memegang tangannya dan berkata kasar kepadanya, memintanya untuk pergi karena dia tidak menginginkan dirinya di sana. Laki-laki itu pun kembali dengan perasaan marah, pulang ke rumahnya. Ketika teman-teman dan pelayan-pelayannya mengetahui apa yang dilakukannya, setelah laki-laki itu pergi, mereka menghampirinya. “Lagi-lagi Anda berada di sini,” kata mereka, “jatuh cinta kepada seseorang, hanya berbaring, tidak mau makan. Dengan susah payah, kami membujuk laki-laki itu dan akhirnya berhasil membawanya datang, kemudian Anda tidak mengatakan apa-apa kepadanya!” Dia pun memberitahukan mereka mengapa dia melakukan demikian, dan mereka akhirnya pergi, sambil memperingatkan dirinya untuk berbicara nantinya. Laki-laki itu tidak pernah datang kembali untuk berjumpa dengannya. Ketika mengetahui bahwa dia telah kehilangan diri laki-laki tersebut, wanita itu melanjutkan tindakannya yang tidak mau makan dan akhirnya meninggal dunia. Ketika mendengar tentang kematiannya, laki-laki itu membawa sejumlah bunga, dupa, wewangian, pergi ke Jetavana. Dia memberikan salam hormat kepada Sang Guru dan duduk di satu sisi. Sang Guru bertanya kepadanya, “Upasaka, mengapa kami tidak pernah melihatmu datang belakangan ini?” Dia memberitahukan Beliau semua yang terjadi, menambahkan bahwa dia tidak datang untuk memberikan pelayanan kepada Buddha dikarenakan rasa malu. Sang Guru berkata, “Upasaka, dalam kehidupan ini wanita itu memintamu untuk datang disebabkan oleh nafsunya (keinginannya), kemudian tidak mengatakan apa-apa kepadamu dan mengusirmu pergi dengan marah. Demikian juga halnya di masa lampau, wanita ini jatuh cinta kepada seorang bijak, dan ketika dia datang, wanita ini tidak mau melakukan apa pun dengannya, dan demikian membuatnya menjadi marah serta mengusirnya.” Kemudian atas permintaannya, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kuda Sindhava, dan dia diberi nama Vātaggasindhava (Secepat Angin). Dia adalah kuda kerajaan; penjaga kuda biasa membawanya untuk mandi di Sungai Gangga. Di sana seekor keledai betina yang bernama Kundalī melihatnya dan jatuh cinta kepadanya. Menjadi gemetaran karena nafsu, [339] keledai betina tersebut tidak mau makan rumput ataupun minum air, dia menjadi semakin pucat dan kurus, sampai akhirnya tinggal kulit dan tulang. Kemudian anaknya yang melihat sang ibu menjadi semakin kurus, berkata, “Mengapa tidak makan rumput, Bu, dan mengapa tidak minum air? Mengapa Ibu menjadi semakin pucat dan berbaring gemetaran di sini? Apa masalahnya?” Awalnya, dia tidak mau mengatakannya, tetapi setelah terus-menerus ditanya dan ditanya, akhirnya dia memberitahukan masalahnya kepada anaknya. Kemudian sang anak menenangkan ibunya dengan berkata, “Bu, jangan bersedih. Saya akan membawanya datang untukmu.” Maka ketika Vātaggasindhava turun mandi, anak keledai itu berkata, sembari menghampirinya, “Tuan, ibuku jatuh cinta kepadamu. Sekarang ini, dia tidak mau makan dan tubuhnya menjadi semakin pucat, hampir mati. Tolonglah berikan kehidupan kepadanya!” “Baiklah, saya akan melakukannya,” kata kuda itu, “biasanya setelah saya selesai mandi, penjaga kuda akan membiarkan diriku untuk berlari-lari di tepi sungai. Bawalah ibumu datang ke tempat itu.” Anak keledai itu pun menjemput ibunya dan membawanya ke tempat tersebut, kemudian sembunyi di dekat tempat itu. Penjaga kuda membiarkan Vātaggasindhava untuk berlari-lari. Vātaggasindhava kemudian melihat keledai betina itu dan menghampirinya. Ketika dia menghampirinya dan mulai mengendus dirinya, keledai betina itu berpikir, “Jika kubuat diriku menjadi seperti seekor betina murahan dan membiarkannya mendapatkan apa yang diinginkannya pada kali pertama dia datang ke sini, kehormatan dan harga diriku akan hancur. Saya akan bertingkah seolah-olah tidak menginginkannya.” Maka dia pun menendang rahang bawahnya dan bergegas pergi. Tendangan itu mematahkan rahang sang kuda jantan dan hampir membunuhnya. “Apalah peduliku kepada dirinya?” pikir Vātaggasindhava , dan dia merasa malu sendiri, kemudian pergi. Kemudian keledai betina tersebut meratap tangis dan berbaring di tempatnya dalam kesedihan. Anaknya datang dan menanyakan sebuah pertanyaan kepadanya dalam bait berikut:
Dikarenakan dirinya, Anda menjadi semakin pucat dan kurus, dan Anda tidak mau makan sedikit pun, kuda yang Anda cintai itu telah datang kepadamu, mengapa Anda lari (darinya)?
Mendengar suara anaknya, dia kemudian mengulangi bait kedua berikut:
Jika pada pertama kalinya, kepada dia (laki-laki) yang berdiri di sampingnya, tanpa basa basi, seorang wanita menyerah, maka harga dirinya akan hancur: Oleh karena itulah, saya lari darinya.
Dengan kata-kata tersebut, dia menjelaskan tentang sifat alamiah wanita kepada anaknya.
Dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, Sang Guru mengulangi bait ketiga berikut:
Jika seorang wanita menolak seorang kekasih yang berasal dari keluarga baik, yang selalu ingin berada di sampingnya, maka, seperti Kundalī yang bersedih karena Vātaggasindhava, dia akan bersedih dalam waktu yang amat lama.
Ketika uraian ini telah selesai disampaikan, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, tuan tanah itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna :—“Wanita ini adalah sang keledai betina, dan Aku sendiri adalah Vātaggasindhava .”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kisah ini diceritakan di Jetavana, tentang seorang tuan tanah. Dikatakan bahwasanya di Sāvatthi , seorang wanita melihat laki-laki yang tampan itu dan jatuh cinta kepadanya. Keinginan di dalam dirinya terasa seperti api yang terus-menerus membakar dirinya. Dia (seperti) kehilangan indranya, tubuh dan pikiran, dia tidak mau makan, dia hanya berbaring sambil memeluk tepi ranjang. Teman-teman dan pelayan-pelayannya menanyakan apa yang menyusahkan hatinya sehingga dia hanya berbaring sambil memeluk tepi ranjang; mereka ingin mengetahui apa masalahnya. Pada awalnya dia tidak mau mengatakan apa pun, tetapi karena terus didesak oleh mereka, akhirnya dia pun memberitahukan apa masalahnya. “Jangan khawatir,” kata mereka, “kami akan membawa dirinya kepadamu,” dan mereka pun pergi untuk berbicara dengan laki-laki itu. Awalnya, dia menolak, tetapi karena terus didesak oleh mereka, akhirnya dia pun menyetujuinya. Mereka membuatnya berjanji untuk datang pada jam anu di hari yang telah ditetapkan, dan mereka memberitahukannya kepada wanita itu. Dia merapikan ruangannya dan mengenakan pakaian terbaiknya, kemudian duduk menunggu kedatangan laki-laki tersebut. Laki-laki itu datang dan duduk di sampingnya. Kemudian terlintas sebuah pemikiran di dalam benaknya, “Jika saya langsung menerima sapaannya dan membuat diriku (terkesan) menjadi murahan, maka harga diriku akan hancur. Membiarkan dirinya mendapatkan apa yang diinginkannya pada kali pertama adalah hal yang tidak mungkin. Saya akan menjadi galak hari ini, dan sesudahnya baru saya akan menjadi lembut.” Maka tidak lama setelah laki-laki itu menyentuhnya dan mulai bermain-main, dia memegang tangannya dan berkata kasar kepadanya, memintanya untuk pergi karena dia tidak menginginkan dirinya di sana. Laki-laki itu pun kembali dengan perasaan marah, pulang ke rumahnya. Ketika teman-teman dan pelayan-pelayannya mengetahui apa yang dilakukannya, setelah laki-laki itu pergi, mereka menghampirinya. “Lagi-lagi Anda berada di sini,” kata mereka, “jatuh cinta kepada seseorang, hanya berbaring, tidak mau makan. Dengan susah payah, kami membujuk laki-laki itu dan akhirnya berhasil membawanya datang, kemudian Anda tidak mengatakan apa-apa kepadanya!” Dia pun memberitahukan mereka mengapa dia melakukan demikian, dan mereka akhirnya pergi, sambil memperingatkan dirinya untuk berbicara nantinya. Laki-laki itu tidak pernah datang kembali untuk berjumpa dengannya. Ketika mengetahui bahwa dia telah kehilangan diri laki-laki tersebut, wanita itu melanjutkan tindakannya yang tidak mau makan dan akhirnya meninggal dunia. Ketika mendengar tentang kematiannya, laki-laki itu membawa sejumlah bunga, dupa, wewangian, pergi ke Jetavana. Dia memberikan salam hormat kepada Sang Guru dan duduk di satu sisi. Sang Guru bertanya kepadanya, “Upasaka, mengapa kami tidak pernah melihatmu datang belakangan ini?” Dia memberitahukan Beliau semua yang terjadi, menambahkan bahwa dia tidak datang untuk memberikan pelayanan kepada Buddha dikarenakan rasa malu. Sang Guru berkata, “Upasaka, dalam kehidupan ini wanita itu memintamu untuk datang disebabkan oleh nafsunya (keinginannya), kemudian tidak mengatakan apa-apa kepadamu dan mengusirmu pergi dengan marah. Demikian juga halnya di masa lampau, wanita ini jatuh cinta kepada seorang bijak, dan ketika dia datang, wanita ini tidak mau melakukan apa pun dengannya, dan demikian membuatnya menjadi marah serta mengusirnya.” Kemudian atas permintaannya, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kuda Sindhava, dan dia diberi nama Vātaggasindhava (Secepat Angin). Dia adalah kuda kerajaan; penjaga kuda biasa membawanya untuk mandi di Sungai Gangga. Di sana seekor keledai betina yang bernama Kundalī melihatnya dan jatuh cinta kepadanya. Menjadi gemetaran karena nafsu, [339] keledai betina tersebut tidak mau makan rumput ataupun minum air, dia menjadi semakin pucat dan kurus, sampai akhirnya tinggal kulit dan tulang. Kemudian anaknya yang melihat sang ibu menjadi semakin kurus, berkata, “Mengapa tidak makan rumput, Bu, dan mengapa tidak minum air? Mengapa Ibu menjadi semakin pucat dan berbaring gemetaran di sini? Apa masalahnya?” Awalnya, dia tidak mau mengatakannya, tetapi setelah terus-menerus ditanya dan ditanya, akhirnya dia memberitahukan masalahnya kepada anaknya. Kemudian sang anak menenangkan ibunya dengan berkata, “Bu, jangan bersedih. Saya akan membawanya datang untukmu.” Maka ketika Vātaggasindhava turun mandi, anak keledai itu berkata, sembari menghampirinya, “Tuan, ibuku jatuh cinta kepadamu. Sekarang ini, dia tidak mau makan dan tubuhnya menjadi semakin pucat, hampir mati. Tolonglah berikan kehidupan kepadanya!” “Baiklah, saya akan melakukannya,” kata kuda itu, “biasanya setelah saya selesai mandi, penjaga kuda akan membiarkan diriku untuk berlari-lari di tepi sungai. Bawalah ibumu datang ke tempat itu.” Anak keledai itu pun menjemput ibunya dan membawanya ke tempat tersebut, kemudian sembunyi di dekat tempat itu. Penjaga kuda membiarkan Vātaggasindhava untuk berlari-lari. Vātaggasindhava kemudian melihat keledai betina itu dan menghampirinya. Ketika dia menghampirinya dan mulai mengendus dirinya, keledai betina itu berpikir, “Jika kubuat diriku menjadi seperti seekor betina murahan dan membiarkannya mendapatkan apa yang diinginkannya pada kali pertama dia datang ke sini, kehormatan dan harga diriku akan hancur. Saya akan bertingkah seolah-olah tidak menginginkannya.” Maka dia pun menendang rahang bawahnya dan bergegas pergi. Tendangan itu mematahkan rahang sang kuda jantan dan hampir membunuhnya. “Apalah peduliku kepada dirinya?” pikir Vātaggasindhava , dan dia merasa malu sendiri, kemudian pergi. Kemudian keledai betina tersebut meratap tangis dan berbaring di tempatnya dalam kesedihan. Anaknya datang dan menanyakan sebuah pertanyaan kepadanya dalam bait berikut:
Dikarenakan dirinya, Anda menjadi semakin pucat dan kurus, dan Anda tidak mau makan sedikit pun, kuda yang Anda cintai itu telah datang kepadamu, mengapa Anda lari (darinya)?
Mendengar suara anaknya, dia kemudian mengulangi bait kedua berikut:
Jika pada pertama kalinya, kepada dia (laki-laki) yang berdiri di sampingnya, tanpa basa basi, seorang wanita menyerah, maka harga dirinya akan hancur: Oleh karena itulah, saya lari darinya.
Dengan kata-kata tersebut, dia menjelaskan tentang sifat alamiah wanita kepada anaknya.
Dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, Sang Guru mengulangi bait ketiga berikut:
Jika seorang wanita menolak seorang kekasih yang berasal dari keluarga baik, yang selalu ingin berada di sampingnya, maka, seperti Kundalī yang bersedih karena Vātaggasindhava, dia akan bersedih dalam waktu yang amat lama.
Ketika uraian ini telah selesai disampaikan, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, tuan tanah itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna :—“Wanita ini adalah sang keledai betina, dan Aku sendiri adalah Vātaggasindhava .”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com