VINA-THUNA-JATAKA
“Pemikiranmu sendiri,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang gadis. Dia adalah putri semata wayang dari seorang saudagar kaya di Sāvatthi (Savatthi). Dia memerhatikan bahwa di rumah ayahnya, suatu kehebohan terjadi karena seekor sapi, dan menanyakan kepada perawatnya apa yang sebenarnya terjadi. “Apakah itu, Bu, yang diberikan kehormatan demikian?” Perawat tersebut menjawab bahwa itu adalah seekor raja sapi. Suatu hari ketika sedang melihat ke arah jalan dari lantai atas rumahnya, dia melihat seorang pemuda bungkuk. Dia berpikir, “Di dalam keturunan sapi, pemimpinnya memiliki tonjolan. Pastilah ini juga sama halnya dengan manusia. Dia pasti adalah seorang manusia pemimpin, saya harus menjadi pengikut setianya.” Maka dia mengutus pelayannya untuk mengatakan bahwa seorang putri saudagar ingin menjadi pasangannya, dan memintanya untuk menunggu dirinya di suatu tempat. Dia kemudian mengumpulkan semua hartanya, dan dalam samaran, meninggalkan rumah, pergi bersama pemuda bungkuk tersebut. Kejadian ini kemudian tersebar luas di seluruh kota dan diketahui oleh para bhikkhu. Di dalam balai kebenaran, para bhikkhu membicarakannya, “ Āvuso , ada seorang putri saudagar yang kabur bersama seorang pemuda bungkuk!” Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka pun memberi tahu Beliau. Beliau membalas, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, gadis itu jatuh cinta dengan seorang pemuda bungkuk. Dia juga melakukan yang sama sebelumnya.” Dan Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga saudagar kaya yang bertempat tinggal di sebuah desa niaga. Ketika dewasa, dia hidup sebagai seorang perumah tangga dan memiliki banyak putra dan putri. Untuk istri putranya, dia memilih putri dari seorang penduduk kaya di Benares, dan menentukan harinya. Kala itu, gadis tersebut melihat di dalam rumahnya kehormatan yang besar diberikan kepada seekor sapi. Dia bertanya kepada perawatnya, “Apakah itu?”—“Seekor raja sapi,” jawabnya. Setelah itu, gadis tersebut melihat seorang pemuda bungkuk berjalan. “Dia pasti seorang manusia pemimpin!” pikirnya. Dengan mengambil semua barang berharganya yang diletakkan di dalam satu bundelan, dia pun pergi bersama dengan pemuda tersebut. Pasangan itu berjalan di sepanjang jalan sepanjang malam. Sepanjang malam pemuda bungkuk itu diserang oleh rasa haus; dan pada saat matahari terbit, dia diserang oleh rasa sakit pada perutnya, rasa sakit yang hebat menyerang dirinya. Dia pun berhenti berjalan, menjadi pusing oleh rasa sakitnya dan terbaring, seperti sebatang kecapi yang rusak dikumpulkan bersama; gadis itu juga duduk di dekat kakinya. Bodhisatta melihatnya duduk di dekat kaki pemuda bungkuk itu dan kemudian mengenali dirinya. Dia menghampirinya, berbicara kepadanya dengan mengulangi bait pertama berikut:
Pemikiranmu sendiri! Orang dungu ini tak dapat bergerak tanpa bantuan, orang bungkuk ini tidaklah cocok bagimu untuk bersanding dengannya.
Mendengar perkataannya, gadis itu menjawab dengan bait kedua berikut:
Kupikir si bungkuk ini adalah manusia pemimpin, dan mencintainya atas kehormatannya itu, dia, yang seperti sebatang kecapi rusak dikumpulkan bersama, terbaring di tanah.
Dan ketika menyadari bahwa putrinya mengikuti pemuda bungkuk itu dalam samaran, Bodhisatta memintanya untuk mandi, berhias diri dan membawanya naik ke dalam kereta, kemudian pulang kembali ke rumah.
Ketika uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Gadis dalam kisah ini adalah gadis yang sama tadi dalam pembicaraan, dan Saudagar Benares adalah diri-Ku sendiri.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang gadis. Dia adalah putri semata wayang dari seorang saudagar kaya di Sāvatthi (Savatthi). Dia memerhatikan bahwa di rumah ayahnya, suatu kehebohan terjadi karena seekor sapi, dan menanyakan kepada perawatnya apa yang sebenarnya terjadi. “Apakah itu, Bu, yang diberikan kehormatan demikian?” Perawat tersebut menjawab bahwa itu adalah seekor raja sapi. Suatu hari ketika sedang melihat ke arah jalan dari lantai atas rumahnya, dia melihat seorang pemuda bungkuk. Dia berpikir, “Di dalam keturunan sapi, pemimpinnya memiliki tonjolan. Pastilah ini juga sama halnya dengan manusia. Dia pasti adalah seorang manusia pemimpin, saya harus menjadi pengikut setianya.” Maka dia mengutus pelayannya untuk mengatakan bahwa seorang putri saudagar ingin menjadi pasangannya, dan memintanya untuk menunggu dirinya di suatu tempat. Dia kemudian mengumpulkan semua hartanya, dan dalam samaran, meninggalkan rumah, pergi bersama pemuda bungkuk tersebut. Kejadian ini kemudian tersebar luas di seluruh kota dan diketahui oleh para bhikkhu. Di dalam balai kebenaran, para bhikkhu membicarakannya, “ Āvuso , ada seorang putri saudagar yang kabur bersama seorang pemuda bungkuk!” Sang Guru berjalan masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka pun memberi tahu Beliau. Beliau membalas, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, gadis itu jatuh cinta dengan seorang pemuda bungkuk. Dia juga melakukan yang sama sebelumnya.” Dan Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga saudagar kaya yang bertempat tinggal di sebuah desa niaga. Ketika dewasa, dia hidup sebagai seorang perumah tangga dan memiliki banyak putra dan putri. Untuk istri putranya, dia memilih putri dari seorang penduduk kaya di Benares, dan menentukan harinya. Kala itu, gadis tersebut melihat di dalam rumahnya kehormatan yang besar diberikan kepada seekor sapi. Dia bertanya kepada perawatnya, “Apakah itu?”—“Seekor raja sapi,” jawabnya. Setelah itu, gadis tersebut melihat seorang pemuda bungkuk berjalan. “Dia pasti seorang manusia pemimpin!” pikirnya. Dengan mengambil semua barang berharganya yang diletakkan di dalam satu bundelan, dia pun pergi bersama dengan pemuda tersebut. Pasangan itu berjalan di sepanjang jalan sepanjang malam. Sepanjang malam pemuda bungkuk itu diserang oleh rasa haus; dan pada saat matahari terbit, dia diserang oleh rasa sakit pada perutnya, rasa sakit yang hebat menyerang dirinya. Dia pun berhenti berjalan, menjadi pusing oleh rasa sakitnya dan terbaring, seperti sebatang kecapi yang rusak dikumpulkan bersama; gadis itu juga duduk di dekat kakinya. Bodhisatta melihatnya duduk di dekat kaki pemuda bungkuk itu dan kemudian mengenali dirinya. Dia menghampirinya, berbicara kepadanya dengan mengulangi bait pertama berikut:
Pemikiranmu sendiri! Orang dungu ini tak dapat bergerak tanpa bantuan, orang bungkuk ini tidaklah cocok bagimu untuk bersanding dengannya.
Mendengar perkataannya, gadis itu menjawab dengan bait kedua berikut:
Kupikir si bungkuk ini adalah manusia pemimpin, dan mencintainya atas kehormatannya itu, dia, yang seperti sebatang kecapi rusak dikumpulkan bersama, terbaring di tanah.
Dan ketika menyadari bahwa putrinya mengikuti pemuda bungkuk itu dalam samaran, Bodhisatta memintanya untuk mandi, berhias diri dan membawanya naik ke dalam kereta, kemudian pulang kembali ke rumah.
Ketika uraian ini selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Gadis dalam kisah ini adalah gadis yang sama tadi dalam pembicaraan, dan Saudagar Benares adalah diri-Ku sendiri.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com