VYAGGHA-JATAKA
“Ketika keakraban teman,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Kokālika. Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Buku XIII, dan di dalam Takkāriya-Jātaka. Dalam kesempatan ini, Kokālika kembali berkata, “Saya akan membawa Sāriputta dan Moggallāna kembali bersamaku.” Maka setelah meninggalkan kerajaannya, dia pergi ke Jetavana, memberi salam kepada Sang Guru, yang kemudian dilanjutkan kepada kedua siswa utama. Dia berkata, “Āvuso, para penduduk Kerajaan Kokalika memanggil-manggill dirimu! Marilah kita kembali ke sana!” “Pergilah sendiri, Āvuso, kami tidak akan pergi,” demikian dia menawabnya.
Para bhikkhu membicarakan ini di dalam balai kebenaran. “Āvuso, Kokālika (Kokalika) tidak bisa hidup bersama dengan Sāriputta dan Moggallāna, ataupun tanpa mereka. Dia tidak bisa berdamai dengan pengikut mereka!” Sang Guru berjalan masuk, dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk bersama di sana. Mereka memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Pada masa lampau, seperti keadaan sekarang ini, Kokalika tidak bisa hidup bersama dengan mereka, ataupun tanpa mereka.” Dan Beliau menceritakan sebuah kisah.
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang dewa pohon yang tinggal di dalam sebuah hutan. Tidak jauh dari kediamannya, hiduplah seorang dewa pohon lainnya, di dalam lebatnya pepohonan. Di dalam hutan yang sama, hiduplah seekor singa dan seekor harimau. Dikarenakan takut terhadap singa dan harimau itu, tidak ada seorang pun yang berani masuk ke dalam hutan itu, atau menebang pohon, tidak ada seorang pun yang bahkan berani untuk berhenti sejenak melihatnya. Singa dan harimau itu membunuh dan memangsa segala jenis makhluk, dan sisa-sisa mangsa yang mereka makan ditinggalkan begitu saja di tempat sehingga hutan tersebut penuh dengan bau busuk.
Dewa pohon yang satunya lagi (bukan Bodhisatta), seorang yang tidak tahu dan dungu, suatu hari bertanya demikian kepada Bodhisatta, “Samma, hutan ini penuh dengan bau busuk dikarenakan singa dan harimau ini. Saya akan mengusir mereka pergi.” Bodhisatta membalas, “Teman, dua makhluk inilah yang melindungi tempat tinggal kita. Jika mereka pergi, maka tempat tinggal kita akan menjadi hancur. Jika manusia tidak melihat adanya jejak singa dan harimau, maka mereka akan menebang semua pohon dan membuat hutan ini menjadi lahan terbuka, menjadi daratan. Mohon jangan lakukan itu!” dan kemudian dia mengucapkan dua bait pertama berikut:
Ketika keakraban teman dekatmu memberikan ancaman pada berakhirnya kedamaianmu,
jika Anda bijaksana, maka lindungilah daerah kekuasaanmu, bagaikan bola matamu sendiri.
Tetapi ketika teman dekatmu malah meningkatkan tingkat kedamaianmu, biarkanlah kehidupan temanmu itu berjalan apa adanya, sayangilah mereka seperti Anda menyayangi diri sendiri.
Setelah Bodhisatta demikian menjelaskan permasalahannya, meskipun dijelaskan demikian, dewa pohon yang dungu itu tidak menghiraukannya. Pada suatu hari, dia mengubah dirinya ke dalam wujud yang menyeramkan dan mengusir singa dan harimau itu. Karena tidak lagi melihat adanya jejak singa dan harimau di dalam hutan, berpikiran bahwa mereka telah pergi ke hutan lainnya, orang-orang pun mulai menebang pepohonan di satu sisi hutan tersebut. Kemudian dewa pohon itu menghampiri Bodhisatta dan berkata kepadanya, “Teman, saya tidak melakukan apa yang Anda katakan, melainkan saya mengusir kedua makhluk itu pergi. Sekarang, orang-orang mengetahui bahwa singa dan harimau telah pergi dan mereka pun mulai menebang pepohonan di dalam hutan. Apa yang harus dilakukan?” Kala itu, singa dan harimau telah pergi ke hutan yang lain. Jawaban yang diberikan oleh Bodhisatta adalah bahwasanya dia harus menjemput mereka kembali. Dia pun kemudian melakukannya; dan dengan berdiri di hadapan mereka, dia mengulangi bait ketiga berikut, dengan penuh hormat:
Pulanglah kembali, wahai Harimau (dan Singa), ke hutan, jangan biarkan dia menjadi daratan kosong; Karena tanpa kehadiran kalian, kapak akan menebangnya menjadi rata; Kalian juga, tanpanya, menjadi tidak mempunyai rumah.
Permintaan ini ditolak oleh singa dan harimau, dengan berkata, “Pergilah! Kami tidak akan kembali.” Dewa pohon itu pun kembali ke hutan itu sendirian. Dan setelah beberapa hari, orang-orang menebang semua pohon di dalam hutan ini, membuatnya dan mengolahnya menjadi ladang-ladang.
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kelahiran mereka: “Kokalika (Kokālika) adalah dewa pohon yang dungu, Sāriputta adalah singa, Moggallāna adalah harimau, dan Aku sendiri adalah dewa pohon yang bijak.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Kokālika. Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Buku XIII, dan di dalam Takkāriya-Jātaka. Dalam kesempatan ini, Kokālika kembali berkata, “Saya akan membawa Sāriputta dan Moggallāna kembali bersamaku.” Maka setelah meninggalkan kerajaannya, dia pergi ke Jetavana, memberi salam kepada Sang Guru, yang kemudian dilanjutkan kepada kedua siswa utama. Dia berkata, “Āvuso, para penduduk Kerajaan Kokalika memanggil-manggill dirimu! Marilah kita kembali ke sana!” “Pergilah sendiri, Āvuso, kami tidak akan pergi,” demikian dia menawabnya.
Para bhikkhu membicarakan ini di dalam balai kebenaran. “Āvuso, Kokālika (Kokalika) tidak bisa hidup bersama dengan Sāriputta dan Moggallāna, ataupun tanpa mereka. Dia tidak bisa berdamai dengan pengikut mereka!” Sang Guru berjalan masuk, dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk bersama di sana. Mereka memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Pada masa lampau, seperti keadaan sekarang ini, Kokalika tidak bisa hidup bersama dengan mereka, ataupun tanpa mereka.” Dan Beliau menceritakan sebuah kisah.
Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang dewa pohon yang tinggal di dalam sebuah hutan. Tidak jauh dari kediamannya, hiduplah seorang dewa pohon lainnya, di dalam lebatnya pepohonan. Di dalam hutan yang sama, hiduplah seekor singa dan seekor harimau. Dikarenakan takut terhadap singa dan harimau itu, tidak ada seorang pun yang berani masuk ke dalam hutan itu, atau menebang pohon, tidak ada seorang pun yang bahkan berani untuk berhenti sejenak melihatnya. Singa dan harimau itu membunuh dan memangsa segala jenis makhluk, dan sisa-sisa mangsa yang mereka makan ditinggalkan begitu saja di tempat sehingga hutan tersebut penuh dengan bau busuk.
Dewa pohon yang satunya lagi (bukan Bodhisatta), seorang yang tidak tahu dan dungu, suatu hari bertanya demikian kepada Bodhisatta, “Samma, hutan ini penuh dengan bau busuk dikarenakan singa dan harimau ini. Saya akan mengusir mereka pergi.” Bodhisatta membalas, “Teman, dua makhluk inilah yang melindungi tempat tinggal kita. Jika mereka pergi, maka tempat tinggal kita akan menjadi hancur. Jika manusia tidak melihat adanya jejak singa dan harimau, maka mereka akan menebang semua pohon dan membuat hutan ini menjadi lahan terbuka, menjadi daratan. Mohon jangan lakukan itu!” dan kemudian dia mengucapkan dua bait pertama berikut:
Ketika keakraban teman dekatmu memberikan ancaman pada berakhirnya kedamaianmu,
jika Anda bijaksana, maka lindungilah daerah kekuasaanmu, bagaikan bola matamu sendiri.
Tetapi ketika teman dekatmu malah meningkatkan tingkat kedamaianmu, biarkanlah kehidupan temanmu itu berjalan apa adanya, sayangilah mereka seperti Anda menyayangi diri sendiri.
Setelah Bodhisatta demikian menjelaskan permasalahannya, meskipun dijelaskan demikian, dewa pohon yang dungu itu tidak menghiraukannya. Pada suatu hari, dia mengubah dirinya ke dalam wujud yang menyeramkan dan mengusir singa dan harimau itu. Karena tidak lagi melihat adanya jejak singa dan harimau di dalam hutan, berpikiran bahwa mereka telah pergi ke hutan lainnya, orang-orang pun mulai menebang pepohonan di satu sisi hutan tersebut. Kemudian dewa pohon itu menghampiri Bodhisatta dan berkata kepadanya, “Teman, saya tidak melakukan apa yang Anda katakan, melainkan saya mengusir kedua makhluk itu pergi. Sekarang, orang-orang mengetahui bahwa singa dan harimau telah pergi dan mereka pun mulai menebang pepohonan di dalam hutan. Apa yang harus dilakukan?” Kala itu, singa dan harimau telah pergi ke hutan yang lain. Jawaban yang diberikan oleh Bodhisatta adalah bahwasanya dia harus menjemput mereka kembali. Dia pun kemudian melakukannya; dan dengan berdiri di hadapan mereka, dia mengulangi bait ketiga berikut, dengan penuh hormat:
Pulanglah kembali, wahai Harimau (dan Singa), ke hutan, jangan biarkan dia menjadi daratan kosong; Karena tanpa kehadiran kalian, kapak akan menebangnya menjadi rata; Kalian juga, tanpanya, menjadi tidak mempunyai rumah.
Permintaan ini ditolak oleh singa dan harimau, dengan berkata, “Pergilah! Kami tidak akan kembali.” Dewa pohon itu pun kembali ke hutan itu sendirian. Dan setelah beberapa hari, orang-orang menebang semua pohon di dalam hutan ini, membuatnya dan mengolahnya menjadi ladang-ladang.
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kelahiran mereka: “Kokalika (Kokālika) adalah dewa pohon yang dungu, Sāriputta adalah singa, Moggallāna adalah harimau, dan Aku sendiri adalah dewa pohon yang bijak.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 2
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com