Khotbah Pendek kepada Sakuludāyin
Cūḷasakuludāyi (MN 79)
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu Pengembara Sakuludāyin sedang menetap di Taman Suaka Merak, taman para pengembara, bersama dengan sejumlah besar para pengembara.
Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarNya, pergi menuju Rājagaha untuk menerima dana makanan. Kemudian Beliau berpikir: “Masih terlalu pagi untuk pergi menerima dana makanan di Rājagaha. Bagaimana jika Aku mendatangi Pengembara Sakuludāyin di Taman Suaka Merak, taman para pengembara.”
Kemudian Sang Bhagavā pergi menuju Taman Suaka Merak, taman pengembara. Pada saat itu Pengembara Sakuludāyin sedang duduk bersama dengan sejumlah besar para pengembara yang sangat gaduh, … seperti MN 77, §4–5 … “Untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini, Udāyin? Dan apakah diskusi kalian yang belum selesai?”
“Yang Mulia, biarkanlah diskusi yang karenanya kami duduk bersama di sini. Sang Bhagavā dapat mendengarkannya nanti. Yang Mulia, ketika aku tidak datang ke pertemuan ini, maka pertemuan ini membicarakan berbagai jenis pembicaraan tanpa arah. Tetapi ketika aku datang ke pertemuan ini, maka perkumpulan ini duduk menatapku, dengan berpikir: ‘Kami akan mendengarkan Dhamma yang akan Petapa Udāyin babarkan kepada kami.’ Akan tetapi, ketika Sang Bhagavā datang, maka baik aku maupun perkumpulan ini duduk menatap Sang Bhagavā, dengan berpikir: ‘Kami akan mendengarkan Dhamma yang akan Sang Bhagavā babarkan kepada kami.’”
“Kalau begitu, usulkanlah sesuatu yang harus Kubicarakan.”
“Yang Mulia, belakangan ini terdapat seseorang yang mengaku sebagai maha-tahu dan maha-melihat, memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap sebagai berikut: ‘Apakah aku berjalan atau berdiri atau tidur atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan terus-menerus dan tanpa terputus ada padaku.’ Ketika aku mengajukan pertanyaan tentang masa lampau, ia berbicara berputar-putar, mengalihkan pembicaraan, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kejengkelan. Kemudian sukacita sehubungan dengan Sang Bhagavā muncul padaku sebagai berikut: ‘Ah, tentu saja adalah Sang Bhagavā, tentu saja adalah Yang Sempurna yang terampil dalam hal-hal ini.’”
“Tetapi, Udāyin, siapakah itu yang mengaku sebagai maha-tahu dan maha-melihat … namun ketika diajukan suatu pertanyaan olehmu tentang masa lampau, ia berbicara berputar-putar, mengalihkan pembicaraan, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kejengkelan?
“Ia adalah Nigaṇṭha Nātaputta, Yang Mulia.”
“Udāyin, jika seseorang dapat mengingat banyak kehidupan lampaunya, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … demikianlah, dengan aspek-aspek dan ciri-cirinya, ia mengingat banyak kehidupan lampaunya, maka apakah ia mengajukan pertanyaan kepadaKu tentang masa lampau atau Aku mengajukan pertanyaan kepadanya tentang masa lampau, dan ia akan memuaskan pikiranKu dengan jawabannya atas pertanyaanKu atau Aku akan memuaskan pikirannya dengan jawabanKu atas pertanyaannya. Jika seseorang dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, dapat melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin … dan memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka, maka apakah ia mengajukan pertanyaan kepadaKu tentang masa depan atau Aku mengajukan pertanyaan kepadanya tentang masa depan, dan ia akan memuaskan pikiranKu dengan jawabannya atas pertanyaanKu atau Aku akan memuaskan pikirannya dengan jawabanKu atas pertanyaannya. Tetapi biarkanlah masa lampau, Udāyin, biarkanlah masa depan. Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu: Jika ini ada, maka itu terjadi; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak terjadi; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu.”
“Yang Mulia, aku bahkan tidak dapat mengingat apa yang telah aku alami dalam kehidupan ini dengan segala aspek dan ciri-cirinya, jadi bagaimana mungkin aku mengingat banyak kehidupan lampauku, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … dengan aspek-aspek dan ciri-cirinya, seperti halnya Sang Bhagavā? Dan aku bahkan tidak dapat melihat sesosok hantu-lumpur, jadi bagaimana mungkin aku dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin … dan memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka, seperti halnya Sang Bhagavā? Tetapi, Yang Mulia, ketika Sang Bhagavā berkata kepadaku: ‘Tetapi biarkanlah masa lampau, Udāyin, biarkanlah masa depan. Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu: Jika ini ada, maka itu terjadi; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak terjadi; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu’—itu bahkan lebih tidak jelas lagi bagiku. Mungkin, Yang Mulia, aku dapat memuaskan pikiran Sang Bhagavā dengan menjawab pertanyaan tentang doktrin guru kami sendiri.”
“Baiklah, Udāyin, apakah yang diajarkan dalam doktrin gurumu sendiri?”
“Yang Mulia, ini diajarkan dalam doktrin guru kami: ‘Ini adalah kecemerlangan sempurna, ini adalah kecemerlangan sempurna!’”
“Tetapi, Udāyin, karena diajarkan dalam doktrin guru kalian sendiri: ‘Ini adalah kecemerlangan sempurna, ini adalah kecemerlangan sempurna!’—apakah kecemerlangan sempurna itu?”
“Yang Mulia, kecemerlangan itu adalah kecemerlangan sempurna yang tidak terlampaui lebih tinggi atau lebih mulia oleh kecemerlangan lainnya.”
“Tetapi, Udāyin, apakah kecemerlangan itu yang tidak terlampaui lebih tinggi atau lebih mulia oleh kecemerlangan lainnya?”
“Yang Mulia, kecemerlangan itu adalah kecemerlangan sempurna yang tidak terlampaui lebih tinggi atau lebih mulia oleh kecemerlangan lainnya.”
“Udāyin, engkau dapat melanjutkan cara ini untuk waktu yang lama. Engkau mengatakan: ‘Yang Mulia, kecemerlangan itu adalah kecemerlangan sempurna yang tidakterlampaui lebih tinggi atau lebih mulia oleh kecemerlangan lainnya,’ namun engkau tidak menunjukkan apa kecemerlangan itu. Misalnya seseorang mengatakan: ‘Aku jatuh cinta dengan gadis tercantik di negeri ini.’ Kemudian mereka bertanya kepadanya: ‘Tuan, gadis tercantik di negeri ini yang engkau cintai itu—apakah engkau mengetahui apakah ia berasal dari kasta mulia atau kasta brahmana atau kasta pedagang atau kasta pekerja?’ dan ia menjawab: ‘Tidak.’ Kemudian mereka bertanya kepadanya: ‘Tuan, gadis tercantik di negeri ini yang engkau cintai itu—apakah engkau mengetahui nama dan sukunya? … Apakah ia tinggi atau pendek atau sedang? … Apakah ia berkulit gelap atau cokelat atau keemasan? … Di desa atau pemukiman atau kota apakah ia menetap?’ dan ia menjawab: ‘Tidak.’ Dan kemudian mereka bertanya kepadanya: ‘Tuan, kalau begitu apakah engkau mencintai gadis yang belum engkau kenal dan belum pernah engkau lihat?’ dan ia akan menjawab: ‘Benar.’ Bagaimana menurutmu, Udāyin, kalau begitu, bukankah kata-kata orang itu adalah omong-kosong belaka?”
“Tentu saja, Yang Mulia, kalau begitu, maka kata-kata orang itu adalah omong-kosong belaka.”
“Tetapi dengan cara yang sama, Udāyin, engkau mengatakan: ‘Kecemerlangan itu adalah kecemerlangan sempurna yang tidak terlampaui lebih tinggi atau lebih mulia oleh kecemerlangan lainnya,’ namun engkau tidak menunjukkan apa kecemerlangan itu.”
“Yang Mulia, seperti halnya sebutir permata beryl sebening air yang paling murni, bersisi delapan, dipotong dengan baik, diletakkan di atas kain brokat merah, berkilau, bercahaya, dan bersinar, demikian pula kecemerlangan diri yang tetap bertahan tanpa rusak setelah kematian.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Permata beryl sebening air yang paling murni ini, yang bersisi delapan, dipotong dengan baik, diletakkan di atas kain brokat merah, yang berkilau, bercahaya, dan bersinar, atau seekor kunang-kunang dalam kegelapan malam—dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”—“Kunang-kunang dalam kegelapan malam, Yang Mulia.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin, kunang-kunang dalam kegelapan malam ini atau lampu minyak dalam kegelapan malam—dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”—“Lampu minyak, Yang Mulia.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin, lampu minyak dalam kegelapan malam atau sebuah api unggun besar dalam kegelapan malam—dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”—“Api unggun besar, Yang Mulia.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin, sebuah api unggun besar dalam kegelapan malam atau bintang pagi menjelang fajar di langit yang bersih tanpa awan—dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”—“Bintang pagi menjelang fajar di langit yang bersih tanpa awan, Yang Mulia.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin, bintang pagi menjelang fajar di langit yang bersih tanpa awan atau bulan purnama di tengah malam di langit tanpa awan pada hari Uposatha tanggal lima belas—dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”—“Bulan purnama di tengah malam di langit tanpa awan pada hari Uposatha tanggal lima belas, Yang Mulia.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin, bulan purnama di tengah malam di langit tanpa awan pada hari Uposatha tanggal lima belas atau matahari penuh di tengah hari di langit tanpa awan di musim gugur di bulan terakhir musim hujan—dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”—“Matahari penuh di tengah hari di langit tanpa awan di musim gugur di bulan terakhir musim hujan, Yang Mulia.”
“Di atas ini, Udāyin, Aku mengetahui banyak para dewa yang cahayanya tidak dapat ditandingi oleh matahari dan bulan, namun Aku tidak mengatakan bahwa tidak ada kecemerlangan yang lebih tinggi atau lebih mulia daripada kecemerlangan itu. Tetapi engkau, Udāyin, mengatakan kecemerlangan yang lebih rendah dan lebih hina daripada kecemerlangan kunang-kunang: ‘Ini adalah kecemerlangan sempurna,’ tetapi engkau tidak menunjukkan apa kecemerlangan itu.”
“Sang Bhagavā telah menghentikan diskusi; Yang Sempurna telah menghentikan diskusi.”
“Tetapi, Udāyin, mengapa engkau berkata begitu?”
“Yang Mulia, telah diajarkan dalam doktrin guru-guru kami: ‘Ini adalah kecemerlangan sempurna, ini adalah kecemerlangan sempurna.’ Tetapi ketika didesak dan dipertanyakan dan diperdebatkan tentang doktrin guru-guru kami oleh Sang Bhagavā, kami terbukti kosong, hampa, dan keliru.”
“Bagaimanakah, Udāyin, adakah suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan? Adakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?”
“Yang Mulia, telah diajarkan dalam doktrin guru-guru kami: ‘Ada suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan; ada cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.’”
“Tetapi, Udāyin, bagaimanakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?”
“Di sini, Yang Mulia, dengan meninggalkan membunuh makhluk-makhluk hidup, seseorang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan meninggalkan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; dengan meninggalkan melakukan hubungan seksual yang salah, ia menghindari melakukan hubungan seksual yang salah; dengan meninggalkan ucapan salah, ia menghindari ucapan salah; atau kalau tidak, ia menjalani beberapa jenis praktik pertapaan. Ini adalah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Pada saat ia meninggalkan membunuh makhluk-makhluk hidup dan menghindari makhluk-makhluk hidup, apakah dirinya merasakan hanya kenikmatan atau merasakan baik kenikmatan maupun kesakitan?”
“Kenikmatan dan kesakitan, Yang Mulia.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Pada saat ia meninggalkan mengambil apa yang tidak diberikan … Pada saat ia melakukan hubungan seksual yang salah … Pada saat ia meninggalkan ucapan salah dan menghindari ucapan salah, apakah dirinya merasakan hanya kenikmatan atau merasakan baik kenikmatan maupun kesakitan?”
“Kenikmatan dan kesakitan, Yang Mulia.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Pada saat ia menjalani beberapa jenis praktik pertapaan, apakah dirinya merasakan hanya kenikmatan atau merasakan baik kenikmatan maupun kesakitan?”
“Kenikmatan dan kesakitan, Yang Mulia.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Apakah pencapaian alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu terjadi dengan mengikuti jalan yang bercampur antara kenikmatan dan kesakitan?”
“Sang Bhagavā telah menghentikan diskusi; Yang Sempurna telah menghentikan diskusi.”
“Tetapi, Udāyin, mengapa engkau berkata begitu?”
“Yang Mulia, telah diajarkan dalam doktrin guru-guru kami: ‘Ada suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan; ada cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.’ Tetapi ketika didesak dan dipertanyakan dan diperdebatkan tentang doktrin guru-guru kami oleh Sang Bhagavā, kami terbukti kosong, hampa, dan keliru. Tetapi bagaimanakah, Yang Mulia, adakah suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan? Adakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?”
“Ada suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan, Udāyin, ada cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”
“Yang Mulia, bagaimanakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?”
“Di sini, Udāyin, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … dalam jhāna ke tiga … ini adalah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”
“Yang Mulia, itu bukan cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu; pada titik itu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu telah tercapai.”
“Udāyin, pada titik itu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu belum tercapai; itu hanyalah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”
Ketika hal ini dikatakan, kelompok Pengembara Sakuludāyin menjadi ribut, berisik dan berbicara dengan suara keras: “Kami telah lama tersesat dalam doktrin guru-guru kami! Kami telah lama tersesat dalam doktrin guru-guru kami! Kami tidak mengetahui yang lebih tinggi daripada itu!”
Kemudian Pengembara Sakuludāyin menenangkan para pengembara itu dan bertanya kepada Sang Bhagavā:
“Yang Mulia, pada titik manakah alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu tercapai?”
“Di sini, Udāyin, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ia berdiam bersama dengan para dewa yang telah muncul dalam alam yang sepenuhnya nikmat dan ia berbicara kepada mereka dan berbincang-bincang dengan mereka. Pada titik ini alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu telah tercapai.”
“Yang Mulia, tentu adalah demi mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā.”
“Bukan demi mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu. Ada kondisi-kondisi lain, Udāyin, yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada itu dan adalah demi mencapai itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.”
“Apakah kondisi-kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia itu, Yang Mulia, yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā?”
“Di sini, Udāyin, seorang Tathāgata telah muncul di dunia, sempurna, tercerahkan sempurna … seperti MN 51, §§12–19 … ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.
“Setelah meninggalkan kelima rintangan, ketidak-sempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Ini, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.
“Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat. Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.
“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … seperti MN 51.24 … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.
“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … seperti MN 51.25 …. Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.
“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … seperti MN 51.26 … ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’
“Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.
“Ini, Udāyin, adalah kondisi-kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.”
Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Sakuludāyin berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, aku ingin menerima penahbisan penuh.”
Ketika hal ini dikatakan, kelompok Pengembara Sakuludāyin berkata kepadanya sebagai berikut: “Jangan menjalani kehidupan suci di bawah Petapa Gotama, Guru Udāyin, setelah menjadi guru, Guru Udāyin, janganlah hidup sebagai seorang murid. Karena jika Guru Udāyin melakukan hal itu maka itu bagaikan sebuah kendi air yang menjadi cangkir. Jangan menjalani kehidupan suci di bawah Petapa Gotama, Guru Udāyin, setelah menjadi guru, Guru Udāyin, janganlah hidup sebagai seorang murid.”
Demikianlah bagaimana kelompok Pengembara Sakuludāyin menghalanginya menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā.
Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarNya, pergi menuju Rājagaha untuk menerima dana makanan. Kemudian Beliau berpikir: “Masih terlalu pagi untuk pergi menerima dana makanan di Rājagaha. Bagaimana jika Aku mendatangi Pengembara Sakuludāyin di Taman Suaka Merak, taman para pengembara.”
Kemudian Sang Bhagavā pergi menuju Taman Suaka Merak, taman pengembara. Pada saat itu Pengembara Sakuludāyin sedang duduk bersama dengan sejumlah besar para pengembara yang sangat gaduh, … seperti MN 77, §4–5 … “Untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini, Udāyin? Dan apakah diskusi kalian yang belum selesai?”
“Yang Mulia, biarkanlah diskusi yang karenanya kami duduk bersama di sini. Sang Bhagavā dapat mendengarkannya nanti. Yang Mulia, ketika aku tidak datang ke pertemuan ini, maka pertemuan ini membicarakan berbagai jenis pembicaraan tanpa arah. Tetapi ketika aku datang ke pertemuan ini, maka perkumpulan ini duduk menatapku, dengan berpikir: ‘Kami akan mendengarkan Dhamma yang akan Petapa Udāyin babarkan kepada kami.’ Akan tetapi, ketika Sang Bhagavā datang, maka baik aku maupun perkumpulan ini duduk menatap Sang Bhagavā, dengan berpikir: ‘Kami akan mendengarkan Dhamma yang akan Sang Bhagavā babarkan kepada kami.’”
“Kalau begitu, usulkanlah sesuatu yang harus Kubicarakan.”
“Yang Mulia, belakangan ini terdapat seseorang yang mengaku sebagai maha-tahu dan maha-melihat, memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap sebagai berikut: ‘Apakah aku berjalan atau berdiri atau tidur atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan terus-menerus dan tanpa terputus ada padaku.’ Ketika aku mengajukan pertanyaan tentang masa lampau, ia berbicara berputar-putar, mengalihkan pembicaraan, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kejengkelan. Kemudian sukacita sehubungan dengan Sang Bhagavā muncul padaku sebagai berikut: ‘Ah, tentu saja adalah Sang Bhagavā, tentu saja adalah Yang Sempurna yang terampil dalam hal-hal ini.’”
“Tetapi, Udāyin, siapakah itu yang mengaku sebagai maha-tahu dan maha-melihat … namun ketika diajukan suatu pertanyaan olehmu tentang masa lampau, ia berbicara berputar-putar, mengalihkan pembicaraan, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kejengkelan?
“Ia adalah Nigaṇṭha Nātaputta, Yang Mulia.”
“Udāyin, jika seseorang dapat mengingat banyak kehidupan lampaunya, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … demikianlah, dengan aspek-aspek dan ciri-cirinya, ia mengingat banyak kehidupan lampaunya, maka apakah ia mengajukan pertanyaan kepadaKu tentang masa lampau atau Aku mengajukan pertanyaan kepadanya tentang masa lampau, dan ia akan memuaskan pikiranKu dengan jawabannya atas pertanyaanKu atau Aku akan memuaskan pikirannya dengan jawabanKu atas pertanyaannya. Jika seseorang dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, dapat melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin … dan memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka, maka apakah ia mengajukan pertanyaan kepadaKu tentang masa depan atau Aku mengajukan pertanyaan kepadanya tentang masa depan, dan ia akan memuaskan pikiranKu dengan jawabannya atas pertanyaanKu atau Aku akan memuaskan pikirannya dengan jawabanKu atas pertanyaannya. Tetapi biarkanlah masa lampau, Udāyin, biarkanlah masa depan. Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu: Jika ini ada, maka itu terjadi; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak terjadi; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu.”
“Yang Mulia, aku bahkan tidak dapat mengingat apa yang telah aku alami dalam kehidupan ini dengan segala aspek dan ciri-cirinya, jadi bagaimana mungkin aku mengingat banyak kehidupan lampauku, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … dengan aspek-aspek dan ciri-cirinya, seperti halnya Sang Bhagavā? Dan aku bahkan tidak dapat melihat sesosok hantu-lumpur, jadi bagaimana mungkin aku dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin … dan memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka, seperti halnya Sang Bhagavā? Tetapi, Yang Mulia, ketika Sang Bhagavā berkata kepadaku: ‘Tetapi biarkanlah masa lampau, Udāyin, biarkanlah masa depan. Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu: Jika ini ada, maka itu terjadi; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak terjadi; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu’—itu bahkan lebih tidak jelas lagi bagiku. Mungkin, Yang Mulia, aku dapat memuaskan pikiran Sang Bhagavā dengan menjawab pertanyaan tentang doktrin guru kami sendiri.”
“Baiklah, Udāyin, apakah yang diajarkan dalam doktrin gurumu sendiri?”
“Yang Mulia, ini diajarkan dalam doktrin guru kami: ‘Ini adalah kecemerlangan sempurna, ini adalah kecemerlangan sempurna!’”
“Tetapi, Udāyin, karena diajarkan dalam doktrin guru kalian sendiri: ‘Ini adalah kecemerlangan sempurna, ini adalah kecemerlangan sempurna!’—apakah kecemerlangan sempurna itu?”
“Yang Mulia, kecemerlangan itu adalah kecemerlangan sempurna yang tidak terlampaui lebih tinggi atau lebih mulia oleh kecemerlangan lainnya.”
“Tetapi, Udāyin, apakah kecemerlangan itu yang tidak terlampaui lebih tinggi atau lebih mulia oleh kecemerlangan lainnya?”
“Yang Mulia, kecemerlangan itu adalah kecemerlangan sempurna yang tidak terlampaui lebih tinggi atau lebih mulia oleh kecemerlangan lainnya.”
“Udāyin, engkau dapat melanjutkan cara ini untuk waktu yang lama. Engkau mengatakan: ‘Yang Mulia, kecemerlangan itu adalah kecemerlangan sempurna yang tidakterlampaui lebih tinggi atau lebih mulia oleh kecemerlangan lainnya,’ namun engkau tidak menunjukkan apa kecemerlangan itu. Misalnya seseorang mengatakan: ‘Aku jatuh cinta dengan gadis tercantik di negeri ini.’ Kemudian mereka bertanya kepadanya: ‘Tuan, gadis tercantik di negeri ini yang engkau cintai itu—apakah engkau mengetahui apakah ia berasal dari kasta mulia atau kasta brahmana atau kasta pedagang atau kasta pekerja?’ dan ia menjawab: ‘Tidak.’ Kemudian mereka bertanya kepadanya: ‘Tuan, gadis tercantik di negeri ini yang engkau cintai itu—apakah engkau mengetahui nama dan sukunya? … Apakah ia tinggi atau pendek atau sedang? … Apakah ia berkulit gelap atau cokelat atau keemasan? … Di desa atau pemukiman atau kota apakah ia menetap?’ dan ia menjawab: ‘Tidak.’ Dan kemudian mereka bertanya kepadanya: ‘Tuan, kalau begitu apakah engkau mencintai gadis yang belum engkau kenal dan belum pernah engkau lihat?’ dan ia akan menjawab: ‘Benar.’ Bagaimana menurutmu, Udāyin, kalau begitu, bukankah kata-kata orang itu adalah omong-kosong belaka?”
“Tentu saja, Yang Mulia, kalau begitu, maka kata-kata orang itu adalah omong-kosong belaka.”
“Tetapi dengan cara yang sama, Udāyin, engkau mengatakan: ‘Kecemerlangan itu adalah kecemerlangan sempurna yang tidak terlampaui lebih tinggi atau lebih mulia oleh kecemerlangan lainnya,’ namun engkau tidak menunjukkan apa kecemerlangan itu.”
“Yang Mulia, seperti halnya sebutir permata beryl sebening air yang paling murni, bersisi delapan, dipotong dengan baik, diletakkan di atas kain brokat merah, berkilau, bercahaya, dan bersinar, demikian pula kecemerlangan diri yang tetap bertahan tanpa rusak setelah kematian.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Permata beryl sebening air yang paling murni ini, yang bersisi delapan, dipotong dengan baik, diletakkan di atas kain brokat merah, yang berkilau, bercahaya, dan bersinar, atau seekor kunang-kunang dalam kegelapan malam—dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”—“Kunang-kunang dalam kegelapan malam, Yang Mulia.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin, kunang-kunang dalam kegelapan malam ini atau lampu minyak dalam kegelapan malam—dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”—“Lampu minyak, Yang Mulia.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin, lampu minyak dalam kegelapan malam atau sebuah api unggun besar dalam kegelapan malam—dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”—“Api unggun besar, Yang Mulia.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin, sebuah api unggun besar dalam kegelapan malam atau bintang pagi menjelang fajar di langit yang bersih tanpa awan—dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”—“Bintang pagi menjelang fajar di langit yang bersih tanpa awan, Yang Mulia.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin, bintang pagi menjelang fajar di langit yang bersih tanpa awan atau bulan purnama di tengah malam di langit tanpa awan pada hari Uposatha tanggal lima belas—dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”—“Bulan purnama di tengah malam di langit tanpa awan pada hari Uposatha tanggal lima belas, Yang Mulia.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin, bulan purnama di tengah malam di langit tanpa awan pada hari Uposatha tanggal lima belas atau matahari penuh di tengah hari di langit tanpa awan di musim gugur di bulan terakhir musim hujan—dari kedua ini, manakah yang memancarkan kecemerlangan yang lebih baik dan lebih mulia?”—“Matahari penuh di tengah hari di langit tanpa awan di musim gugur di bulan terakhir musim hujan, Yang Mulia.”
“Di atas ini, Udāyin, Aku mengetahui banyak para dewa yang cahayanya tidak dapat ditandingi oleh matahari dan bulan, namun Aku tidak mengatakan bahwa tidak ada kecemerlangan yang lebih tinggi atau lebih mulia daripada kecemerlangan itu. Tetapi engkau, Udāyin, mengatakan kecemerlangan yang lebih rendah dan lebih hina daripada kecemerlangan kunang-kunang: ‘Ini adalah kecemerlangan sempurna,’ tetapi engkau tidak menunjukkan apa kecemerlangan itu.”
“Sang Bhagavā telah menghentikan diskusi; Yang Sempurna telah menghentikan diskusi.”
“Tetapi, Udāyin, mengapa engkau berkata begitu?”
“Yang Mulia, telah diajarkan dalam doktrin guru-guru kami: ‘Ini adalah kecemerlangan sempurna, ini adalah kecemerlangan sempurna.’ Tetapi ketika didesak dan dipertanyakan dan diperdebatkan tentang doktrin guru-guru kami oleh Sang Bhagavā, kami terbukti kosong, hampa, dan keliru.”
“Bagaimanakah, Udāyin, adakah suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan? Adakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?”
“Yang Mulia, telah diajarkan dalam doktrin guru-guru kami: ‘Ada suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan; ada cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.’”
“Tetapi, Udāyin, bagaimanakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?”
“Di sini, Yang Mulia, dengan meninggalkan membunuh makhluk-makhluk hidup, seseorang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan meninggalkan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari mengambil apa yang tidak diberikan; dengan meninggalkan melakukan hubungan seksual yang salah, ia menghindari melakukan hubungan seksual yang salah; dengan meninggalkan ucapan salah, ia menghindari ucapan salah; atau kalau tidak, ia menjalani beberapa jenis praktik pertapaan. Ini adalah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Pada saat ia meninggalkan membunuh makhluk-makhluk hidup dan menghindari makhluk-makhluk hidup, apakah dirinya merasakan hanya kenikmatan atau merasakan baik kenikmatan maupun kesakitan?”
“Kenikmatan dan kesakitan, Yang Mulia.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Pada saat ia meninggalkan mengambil apa yang tidak diberikan … Pada saat ia melakukan hubungan seksual yang salah … Pada saat ia meninggalkan ucapan salah dan menghindari ucapan salah, apakah dirinya merasakan hanya kenikmatan atau merasakan baik kenikmatan maupun kesakitan?”
“Kenikmatan dan kesakitan, Yang Mulia.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Pada saat ia menjalani beberapa jenis praktik pertapaan, apakah dirinya merasakan hanya kenikmatan atau merasakan baik kenikmatan maupun kesakitan?”
“Kenikmatan dan kesakitan, Yang Mulia.”
“Bagaimana menurutmu, Udāyin? Apakah pencapaian alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu terjadi dengan mengikuti jalan yang bercampur antara kenikmatan dan kesakitan?”
“Sang Bhagavā telah menghentikan diskusi; Yang Sempurna telah menghentikan diskusi.”
“Tetapi, Udāyin, mengapa engkau berkata begitu?”
“Yang Mulia, telah diajarkan dalam doktrin guru-guru kami: ‘Ada suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan; ada cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.’ Tetapi ketika didesak dan dipertanyakan dan diperdebatkan tentang doktrin guru-guru kami oleh Sang Bhagavā, kami terbukti kosong, hampa, dan keliru. Tetapi bagaimanakah, Yang Mulia, adakah suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan? Adakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?”
“Ada suatu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan, Udāyin, ada cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”
“Yang Mulia, bagaimanakah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu?”
“Di sini, Udāyin, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … dalam jhāna ke tiga … ini adalah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”
“Yang Mulia, itu bukan cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu; pada titik itu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu telah tercapai.”
“Udāyin, pada titik itu alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu belum tercapai; itu hanyalah cara praktis untuk mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu.”
Ketika hal ini dikatakan, kelompok Pengembara Sakuludāyin menjadi ribut, berisik dan berbicara dengan suara keras: “Kami telah lama tersesat dalam doktrin guru-guru kami! Kami telah lama tersesat dalam doktrin guru-guru kami! Kami tidak mengetahui yang lebih tinggi daripada itu!”
Kemudian Pengembara Sakuludāyin menenangkan para pengembara itu dan bertanya kepada Sang Bhagavā:
“Yang Mulia, pada titik manakah alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu tercapai?”
“Di sini, Udāyin, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ia berdiam bersama dengan para dewa yang telah muncul dalam alam yang sepenuhnya nikmat dan ia berbicara kepada mereka dan berbincang-bincang dengan mereka. Pada titik ini alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu telah tercapai.”
“Yang Mulia, tentu adalah demi mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā.”
“Bukan demi mencapai alam yang sungguh-sungguh menyenangkan itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu. Ada kondisi-kondisi lain, Udāyin, yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada itu dan adalah demi mencapai itu maka para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.”
“Apakah kondisi-kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia itu, Yang Mulia, yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā?”
“Di sini, Udāyin, seorang Tathāgata telah muncul di dunia, sempurna, tercerahkan sempurna … seperti MN 51, §§12–19 … ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.
“Setelah meninggalkan kelima rintangan, ketidak-sempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Ini, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.
“Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat. Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.
“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … seperti MN 51.24 … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.
“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … seperti MN 51.25 …. Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.
“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … seperti MN 51.26 … ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’
“Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Ini juga, Udāyin, adalah kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.
“Ini, Udāyin, adalah kondisi-kondisi yang lebih tinggi dan lebih mulia yang demi untuk mencapainya para bhikkhu menjalani kehidupan suci di bawahKu.”
Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Sakuludāyin berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, aku ingin menerima penahbisan penuh.”
Ketika hal ini dikatakan, kelompok Pengembara Sakuludāyin berkata kepadanya sebagai berikut: “Jangan menjalani kehidupan suci di bawah Petapa Gotama, Guru Udāyin, setelah menjadi guru, Guru Udāyin, janganlah hidup sebagai seorang murid. Karena jika Guru Udāyin melakukan hal itu maka itu bagaikan sebuah kendi air yang menjadi cangkir. Jangan menjalani kehidupan suci di bawah Petapa Gotama, Guru Udāyin, setelah menjadi guru, Guru Udāyin, janganlah hidup sebagai seorang murid.”
Demikianlah bagaimana kelompok Pengembara Sakuludāyin menghalanginya menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com