Di Sāmagāma
Sāmagāma (MN 104)
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Sakya di Sāmagāma.
Pada saat itu Nigaṇṭha Nātaputta baru saja meninggal dunia di Pāvā. Setelah kematiannya, para Nigaṇṭha terbagi menjadi dua kelompok; dan mereka bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan: “Engkau tidak memahami Dhamma dan Disiplin ini. Aku memahami Dhamma dan Disiplin ini. Bagaimana mungkin engkau memahami Dhamma dan Disiplin ini? Caramu salah. Caraku benar. Aku konsisten. Engkau tidak konsisten. Apa yang seharusnya engkau katakan lebih dulu engkau katakan belakangan. Apa yang seharusnya engkau katakan belakangan engkau katakan lebih dulu. Apa yang telah engkau pikirkan dengan saksama telah diputar-balikkan. Pernyataanmu telah diperlihatkan. Engkau telah dibantah. Pergi dan belajarlah lebih baik, atau bebaskan dirimu dari kekusutan jika engkau mampu!” Sepertinya seolah-olah terjadi pembantaian di tengah-tengah para murid Nigaṇṭha Nātaputta. Dan para pengikut awam berpakaian putih menjadi jijik, cemas, dan kecewa dengan murid-murid Nigaṇṭha Nātaputta, seperti seharusnya yang terjadi pada Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan dengan buruk dan dibabarkan dengan buruk, yang tidak membebaskan, tidak mendukung kedamaian, dibabarkan oleh seorang yang tidak sepenuhnya tercerahkan, dan sekarang altarnya rusak, dibiarkan tanpa perlindungan.
Kemudian Samaṇera Cunda, yang telah melewatkan masa vassa di Pāvā, mendatangi Yang Mulia Ānanda, dan setelah bersujud kepadanya, ia duduk di satu sisi dan memberitahukan apa yang sedang terjadi.
Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Samaṇera Cunda: “Sahabat Cunda, ini adalah berita yang harus disampaikan kepada Sang Bhagavā. Marilah kita menghadap Sang Bhagavā dan memberitahukan kepada Beliau.”
“Baik, Yang Mulia,” Samaṇera Cunda menjawab.
Kemudian Yang Mulia Ānanda dan Samaṇera Cunda pergi menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi, dan Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Samaṇera Cunda ini, Yang Mulia, mengatakan bahwa: ‘Yang Mulia, Nigaṇṭha Nātaputta baru saja meninggal dunia. Setelah kematiannya para Nigaṇṭha terbagi menjadi dua kelompok … dan sekarang altarnya rusak, dibiarkan tanpa perlindungan.’ Aku berpikir, Yang mulia: ‘Semoga tidak terjadi perselisihan dalam Sangha ketika Sang Bhagavā telah meninggal dunia. Karena perselisihan demikian, akan mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.’”
“Bagaimana menurutmu, Ānanda? Hal-hal ini yang telah Kuajarkan kepadamu setelah secara langsung mengetahuinya—yaitu, empat landasan perhatian, empat jenis usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, Jalan Mulia Berunsur Delapan—adakah engkau melihat, Ānanda, bahkan dua bhikkhu yang membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan hal-hal ini?”
“Tidak, Yang Mulia, aku tidak melihat bahkan ada dua bhikkhu yang membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan hal-hal ini. Tetapi, Yang Mulia, ada orang-orang yang hidup dengan menghormati Sang Bhagavā yang mungkin, setelah Beliau meninggal dunia, menciptakan perselisihan dalam Sangha sehubungan dengan penghidupan dan sehubungan dengan Pātimokkha. Perselisihan demikian dapat mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.”
“Perselisihan sehubungan dengan penghidupan atau sehubungan dengan Pātimokkha adalah hal sepele, Ānanda. Tetapi jika muncul perselisihan dalam Sangha sehubungan dengan jalan atau cara, perselisihan demikian dapat mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.
“Terdapat, Ānanda, enam akar perselisihan ini. Apakah enam ini? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu marah dan kesal. Bhikkhu demikian berdiam tanpa menghormati dan tanpa menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu yang tidak menghormati dan tidak menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan yang tidak memenuhi latihan, menciptakan perselisihan dalam Sangha, yang dapat mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia. Sekarang jika engkau melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang buruk yang sama itu. Dan jika engkau tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berlatih sedemikian sehingga akar perselisihan yang buruk yang sama itu tidak muncul di masa depan. Demikianlah ditinggalkannya akar perselisihan yang buruk itu; demikianlah ketidak-munculan akar perselisihan yang buruk itu di masa depan.
“Kemudian, seorang bhikkhu bersikap meremehkan dan congkak … iri dan tamak … curang dan menipu … berkeinginan jahat dan berpandangan salah … melekat pada pandangannya sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah. Bhikkhu demikian berdiam tanpa menghormati dan tanpa menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu yang tidak menghormati dan tidak menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan yang tidak memenuhi latihan, menciptakan perselisihan dalam Sangha, yang dapat mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia. Sekarang jika engkau melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang buruk yang sama itu. Dan jika engkau tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berlatih sedemikian sehingga akar perselisihan yang buruk yang sama itu tidak muncul di masa depan. Demikianlah ditinggalkannya akar perselisihan yang buruk itu; demikianlah ketidak-munculan akar perselisihan yang buruk itu di masa depan. Ini adalah enam akar perselisihan.
“Ānanda, terdapat empat jenis perkara ini. Apakah empat ini? Perkara karena perselisihan, perkara karena tuduhan, perkara karena pelanggaran, dan perkara sehubungan dengan pelaksanaan perbuatan. Ini adalah empat jenis perkara.
“Ānanda, terdapat tujuh jenis penyelesaian perkara. Untuk menyelesaikan dan mendamaikan perkara pada saat terjadinya: penghapusan perkara melalui konfrontasi dapat diberikan, penghapusan perkara karena ingatan dapat diberikan, penghapusan perkara karena ketidak-warasan masa lalu dapat diberikan, pengakuan atas suatu pelanggaran, pendapat mayoritas, pernyataan karakter buruk atas seseorang, dan menutup dengan rumput.
“Dan bagaimanakah terjadinya penghapusan perkara melalui konfrontasi? Di sini para bhikkhu berselisih: ‘Ini adalah Dhamma,’ atau ‘Ini bukan Dhamma,’ atau ‘Ini adalah Disiplin,’ atau ‘Ini bukan Disiplin.’ Para bhikkhu itu harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah berkumpul, tuntunan Dhamma harus ditetapkan. Begitu tuntunan Dhamma telah ditetapkan, perkara itu harus diselesaikan sesuai dengan tuntunan Dhamma itu. Demikianlah penghapusan perkara melalui konfrontasi. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara melalui konfrontasi.
“Dan bagaimanakah terjadinya pendapat mayoritas? Jika para bhikkhu itu tidak dapat menyelesaikan perkara itu di dalam tempat kediaman itu, maka mereka harus mendatangi tempat kediaman di mana terdapat lebih banyak bhikkhu. Di sana, mereka semuanya harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah berkumpul, tuntunan Dhamma harus ditetapkan. Begitu tuntunan Dhamma telah ditetapkan, perkara itu harus diselesaikan sedemikian sesuai dengan tuntunan Dhamma itu. Demikianlah pendapat mayoritas. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara melalui pendapat mayoritas.
“Dan bagaimanakah penghapusan perkara karena ingatan? Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan: ‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan.’ Dalam kasus ini penghapusan perkara karena ingatan harus ditetapkan. Demikianlah penghapusan perkara karena ingatan. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara karena ingatan.
“Dan bagaimanakah penghapusan perkara karena ketidak-warasan masa lalu? Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kekalahhan atau yang berbatasan dengan kekalahan: ‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan?’ Ia mengatakan: ‘Aku telah menjadi gila, teman, aku kehilangan akal-sehat, dan ketika aku gila aku mengatakan dan melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Aku tidak ingat, aku gila ketika aku melakukan hal itu.’ Dalam kasus ini penghapusan perkara karena ketidak-warasan masa lalu harus ditetapkan. Demikianlah penghapusan perkara karena ketidak-warasan masa lalu. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara karena ketidak-warasan masa lalu.
“Dan bagaimanakah terjadinya pengakuan atas suatu pelanggaran? Di sini seorang bhikkhu, apakah ditegur atau tidak ditegur, mengingat suatu pelanggaran, menyatakannya, dan mengungkapkannya. Ia harus mendatangi seorang bhikkhu senior, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia harus bersujud di kakinya. Kemudian, sambil duduk berlutut, ia harus merangkapkan tangan dan berkata: ‘Yang Mulia, aku telah melakukan pelanggaran itu; aku mengakuinya.’ Bhikkhu senior berkata: ‘Apakah engkau melihat?’—‘Ya, aku melihat.’—‘Apakah engkau akan mempraktikkan pengendalian di masa depan?’—‘Aku akan mempraktikkan pengendalian di masa depan.’ Demikianlah pengakuan atas suatu pelanggaran. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan pengakuan atas suatu pelanggaran.
“Dan bagaimanakah terjadinya pernyataan karakter buruk atas seseorang? Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan: ‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan. Tetapi, Teman-teman, aku ingat telah melakukan pelanggaran ringan itu.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan?’ Ia mengatakan: ‘Teman-teman, ketika tidak ditanya aku mengakui telah melakukan pelanggaran ringan; jadi ketika ditanya, mengapa aku tidak mengakui telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan?’ Bhikkhu itu berkata: ‘Teman, jika engkau tidak ditanya, maka engkau tidak akan mengakui telah melakukan pelanggaran ringan ini; jadi mengapa, ketika ditanya, engkau mengakui telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan? Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan?’ Ia berkata: ‘Aku ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan. Aku bergurau, aku hanya meracau, ketika aku mengatakan bahwa aku tidak ingat telah melakukan melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan.’ Demikianlah terjadinya pernyataan karakter buruk atas seseorang. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan pernyataan karakter buruk atas seseorang.
“Dan bagaimanakah terjadinya menutup dengan rumput? Di sini ketika para bhikkhu telah bertengkar dan bercekcok dan berselisih, mereka mungkin telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Para bhikkhu itu harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah mereka berkumpul, seorang bhikkhu yang bijaksana di antara para bhikkhu yang memihak salah satu pihak bangkit dari duduknya, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangan, dan mengundang Sangha sebagai berikut: ‘Mohon Yang Mulia Sangha mendengarkan aku. Ketika kami bertengkar dan bercekcok dan berselisih, kami telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Jika Sangha menyetujui, maka demi kebaikan para mulia ini dan demi kebaikanku, di tengah-tengah Sangha aku akan mengakui, melalui metode menutup dengan rumput, segala pelanggaran dari para mulia ini dan segala pelanggaranku, kecuali pelanggaran-pelanggaran yang memerlukan teguran serius dan yang berhubungan dengan umat awam.’
“Kemudian seorang bhikkhu yang bijaksana di antara para bhikkhu yang memihak pihak lainnya bangkit dari duduknya, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangan, dan mengundang Sangha sebagai berikut: ‘Mohon Yang Mulia Sangha mendengarkan aku. Ketika kami bertengkar dan bercekcok dan berselisih, kami telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Jika Sangha menyetujui, maka demi kebaikan para mulia ini dan demi kebaikanku, di tengah-tengah Sangha aku akan mengakui, melalui metode menutup dengan rumput, segala pelanggaran dari para mulia ini dan segala pelanggaranku, kecuali pelanggaran-pelanggaran yang memerlukan teguran serius dan yang berhubungan dengan umat awam.’ Demikianlah menutup dengan rumput. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan menutup dengan rumput.
“Ānanda, terdapat enam prinsip kerukunan ini yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan. Apakah enam ini?
“Di sini seorang bhikkhu memelihara perbuatan jasmani cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.
“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan ucapan cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.
“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan pikiran cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.
“Kemudian, seorang bhikkhu menggunakan benda-benda bersama-sama dengan teman-temannya dalam kehidupan suci; tanpa merasa keberatan, ia berbagi dengan mereka apapun jenis perolehan yang ia peroleh yang sesuai dengan Dhamma dan telah diperoleh dengan cara yang sesuai dengan Dhamma, bahkan termasuk isi mangkuknya. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.
“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi dengan memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal moralitas yang tidak rusak, tidak robek, tidak berbintik, tidak bercoreng, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak disalah-pahami, dan mendukung konsentrasi. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.
“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi dengan memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.
“Ini adalah enam prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.
“Jika, Ānanda, kalian menjalankan dan mempertahankan keenam prinsip kerukunan ini, apakah engkau melihat ucapan apapun juga, baik hal kecil maupun hal besar, yang tidak dapat engkau terima?” – “Tidak, Yang Mulia.”—“Oleh karena itu, Ānanda, jalankan dan pertahankanlah keenam prinsip kerukunan ini. Hal itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama.”
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Pada saat itu Nigaṇṭha Nātaputta baru saja meninggal dunia di Pāvā. Setelah kematiannya, para Nigaṇṭha terbagi menjadi dua kelompok; dan mereka bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan: “Engkau tidak memahami Dhamma dan Disiplin ini. Aku memahami Dhamma dan Disiplin ini. Bagaimana mungkin engkau memahami Dhamma dan Disiplin ini? Caramu salah. Caraku benar. Aku konsisten. Engkau tidak konsisten. Apa yang seharusnya engkau katakan lebih dulu engkau katakan belakangan. Apa yang seharusnya engkau katakan belakangan engkau katakan lebih dulu. Apa yang telah engkau pikirkan dengan saksama telah diputar-balikkan. Pernyataanmu telah diperlihatkan. Engkau telah dibantah. Pergi dan belajarlah lebih baik, atau bebaskan dirimu dari kekusutan jika engkau mampu!” Sepertinya seolah-olah terjadi pembantaian di tengah-tengah para murid Nigaṇṭha Nātaputta. Dan para pengikut awam berpakaian putih menjadi jijik, cemas, dan kecewa dengan murid-murid Nigaṇṭha Nātaputta, seperti seharusnya yang terjadi pada Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan dengan buruk dan dibabarkan dengan buruk, yang tidak membebaskan, tidak mendukung kedamaian, dibabarkan oleh seorang yang tidak sepenuhnya tercerahkan, dan sekarang altarnya rusak, dibiarkan tanpa perlindungan.
Kemudian Samaṇera Cunda, yang telah melewatkan masa vassa di Pāvā, mendatangi Yang Mulia Ānanda, dan setelah bersujud kepadanya, ia duduk di satu sisi dan memberitahukan apa yang sedang terjadi.
Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Samaṇera Cunda: “Sahabat Cunda, ini adalah berita yang harus disampaikan kepada Sang Bhagavā. Marilah kita menghadap Sang Bhagavā dan memberitahukan kepada Beliau.”
“Baik, Yang Mulia,” Samaṇera Cunda menjawab.
Kemudian Yang Mulia Ānanda dan Samaṇera Cunda pergi menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi, dan Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Samaṇera Cunda ini, Yang Mulia, mengatakan bahwa: ‘Yang Mulia, Nigaṇṭha Nātaputta baru saja meninggal dunia. Setelah kematiannya para Nigaṇṭha terbagi menjadi dua kelompok … dan sekarang altarnya rusak, dibiarkan tanpa perlindungan.’ Aku berpikir, Yang mulia: ‘Semoga tidak terjadi perselisihan dalam Sangha ketika Sang Bhagavā telah meninggal dunia. Karena perselisihan demikian, akan mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.’”
“Bagaimana menurutmu, Ānanda? Hal-hal ini yang telah Kuajarkan kepadamu setelah secara langsung mengetahuinya—yaitu, empat landasan perhatian, empat jenis usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, Jalan Mulia Berunsur Delapan—adakah engkau melihat, Ānanda, bahkan dua bhikkhu yang membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan hal-hal ini?”
“Tidak, Yang Mulia, aku tidak melihat bahkan ada dua bhikkhu yang membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan hal-hal ini. Tetapi, Yang Mulia, ada orang-orang yang hidup dengan menghormati Sang Bhagavā yang mungkin, setelah Beliau meninggal dunia, menciptakan perselisihan dalam Sangha sehubungan dengan penghidupan dan sehubungan dengan Pātimokkha. Perselisihan demikian dapat mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.”
“Perselisihan sehubungan dengan penghidupan atau sehubungan dengan Pātimokkha adalah hal sepele, Ānanda. Tetapi jika muncul perselisihan dalam Sangha sehubungan dengan jalan atau cara, perselisihan demikian dapat mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.
“Terdapat, Ānanda, enam akar perselisihan ini. Apakah enam ini? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu marah dan kesal. Bhikkhu demikian berdiam tanpa menghormati dan tanpa menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu yang tidak menghormati dan tidak menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan yang tidak memenuhi latihan, menciptakan perselisihan dalam Sangha, yang dapat mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia. Sekarang jika engkau melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang buruk yang sama itu. Dan jika engkau tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berlatih sedemikian sehingga akar perselisihan yang buruk yang sama itu tidak muncul di masa depan. Demikianlah ditinggalkannya akar perselisihan yang buruk itu; demikianlah ketidak-munculan akar perselisihan yang buruk itu di masa depan.
“Kemudian, seorang bhikkhu bersikap meremehkan dan congkak … iri dan tamak … curang dan menipu … berkeinginan jahat dan berpandangan salah … melekat pada pandangannya sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah. Bhikkhu demikian berdiam tanpa menghormati dan tanpa menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu yang tidak menghormati dan tidak menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan yang tidak memenuhi latihan, menciptakan perselisihan dalam Sangha, yang dapat mengakibatkan bahaya dan ketidak-bahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia. Sekarang jika engkau melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang buruk yang sama itu. Dan jika engkau tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berlatih sedemikian sehingga akar perselisihan yang buruk yang sama itu tidak muncul di masa depan. Demikianlah ditinggalkannya akar perselisihan yang buruk itu; demikianlah ketidak-munculan akar perselisihan yang buruk itu di masa depan. Ini adalah enam akar perselisihan.
“Ānanda, terdapat empat jenis perkara ini. Apakah empat ini? Perkara karena perselisihan, perkara karena tuduhan, perkara karena pelanggaran, dan perkara sehubungan dengan pelaksanaan perbuatan. Ini adalah empat jenis perkara.
“Ānanda, terdapat tujuh jenis penyelesaian perkara. Untuk menyelesaikan dan mendamaikan perkara pada saat terjadinya: penghapusan perkara melalui konfrontasi dapat diberikan, penghapusan perkara karena ingatan dapat diberikan, penghapusan perkara karena ketidak-warasan masa lalu dapat diberikan, pengakuan atas suatu pelanggaran, pendapat mayoritas, pernyataan karakter buruk atas seseorang, dan menutup dengan rumput.
“Dan bagaimanakah terjadinya penghapusan perkara melalui konfrontasi? Di sini para bhikkhu berselisih: ‘Ini adalah Dhamma,’ atau ‘Ini bukan Dhamma,’ atau ‘Ini adalah Disiplin,’ atau ‘Ini bukan Disiplin.’ Para bhikkhu itu harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah berkumpul, tuntunan Dhamma harus ditetapkan. Begitu tuntunan Dhamma telah ditetapkan, perkara itu harus diselesaikan sesuai dengan tuntunan Dhamma itu. Demikianlah penghapusan perkara melalui konfrontasi. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara melalui konfrontasi.
“Dan bagaimanakah terjadinya pendapat mayoritas? Jika para bhikkhu itu tidak dapat menyelesaikan perkara itu di dalam tempat kediaman itu, maka mereka harus mendatangi tempat kediaman di mana terdapat lebih banyak bhikkhu. Di sana, mereka semuanya harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah berkumpul, tuntunan Dhamma harus ditetapkan. Begitu tuntunan Dhamma telah ditetapkan, perkara itu harus diselesaikan sedemikian sesuai dengan tuntunan Dhamma itu. Demikianlah pendapat mayoritas. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara melalui pendapat mayoritas.
“Dan bagaimanakah penghapusan perkara karena ingatan? Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan: ‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan.’ Dalam kasus ini penghapusan perkara karena ingatan harus ditetapkan. Demikianlah penghapusan perkara karena ingatan. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara karena ingatan.
“Dan bagaimanakah penghapusan perkara karena ketidak-warasan masa lalu? Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kekalahhan atau yang berbatasan dengan kekalahan: ‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan?’ Ia mengatakan: ‘Aku telah menjadi gila, teman, aku kehilangan akal-sehat, dan ketika aku gila aku mengatakan dan melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Aku tidak ingat, aku gila ketika aku melakukan hal itu.’ Dalam kasus ini penghapusan perkara karena ketidak-warasan masa lalu harus ditetapkan. Demikianlah penghapusan perkara karena ketidak-warasan masa lalu. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara karena ketidak-warasan masa lalu.
“Dan bagaimanakah terjadinya pengakuan atas suatu pelanggaran? Di sini seorang bhikkhu, apakah ditegur atau tidak ditegur, mengingat suatu pelanggaran, menyatakannya, dan mengungkapkannya. Ia harus mendatangi seorang bhikkhu senior, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia harus bersujud di kakinya. Kemudian, sambil duduk berlutut, ia harus merangkapkan tangan dan berkata: ‘Yang Mulia, aku telah melakukan pelanggaran itu; aku mengakuinya.’ Bhikkhu senior berkata: ‘Apakah engkau melihat?’—‘Ya, aku melihat.’—‘Apakah engkau akan mempraktikkan pengendalian di masa depan?’—‘Aku akan mempraktikkan pengendalian di masa depan.’ Demikianlah pengakuan atas suatu pelanggaran. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan pengakuan atas suatu pelanggaran.
“Dan bagaimanakah terjadinya pernyataan karakter buruk atas seseorang? Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan: ‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan. Tetapi, Teman-teman, aku ingat telah melakukan pelanggaran ringan itu.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan?’ Ia mengatakan: ‘Teman-teman, ketika tidak ditanya aku mengakui telah melakukan pelanggaran ringan; jadi ketika ditanya, mengapa aku tidak mengakui telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan?’ Bhikkhu itu berkata: ‘Teman, jika engkau tidak ditanya, maka engkau tidak akan mengakui telah melakukan pelanggaran ringan ini; jadi mengapa, ketika ditanya, engkau mengakui telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan? Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan?’ Ia berkata: ‘Aku ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan. Aku bergurau, aku hanya meracau, ketika aku mengatakan bahwa aku tidak ingat telah melakukan melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kekalahan atau yang berbatasan dengan kekalahan.’ Demikianlah terjadinya pernyataan karakter buruk atas seseorang. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan pernyataan karakter buruk atas seseorang.
“Dan bagaimanakah terjadinya menutup dengan rumput? Di sini ketika para bhikkhu telah bertengkar dan bercekcok dan berselisih, mereka mungkin telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Para bhikkhu itu harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah mereka berkumpul, seorang bhikkhu yang bijaksana di antara para bhikkhu yang memihak salah satu pihak bangkit dari duduknya, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangan, dan mengundang Sangha sebagai berikut: ‘Mohon Yang Mulia Sangha mendengarkan aku. Ketika kami bertengkar dan bercekcok dan berselisih, kami telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Jika Sangha menyetujui, maka demi kebaikan para mulia ini dan demi kebaikanku, di tengah-tengah Sangha aku akan mengakui, melalui metode menutup dengan rumput, segala pelanggaran dari para mulia ini dan segala pelanggaranku, kecuali pelanggaran-pelanggaran yang memerlukan teguran serius dan yang berhubungan dengan umat awam.’
“Kemudian seorang bhikkhu yang bijaksana di antara para bhikkhu yang memihak pihak lainnya bangkit dari duduknya, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangan, dan mengundang Sangha sebagai berikut: ‘Mohon Yang Mulia Sangha mendengarkan aku. Ketika kami bertengkar dan bercekcok dan berselisih, kami telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Jika Sangha menyetujui, maka demi kebaikan para mulia ini dan demi kebaikanku, di tengah-tengah Sangha aku akan mengakui, melalui metode menutup dengan rumput, segala pelanggaran dari para mulia ini dan segala pelanggaranku, kecuali pelanggaran-pelanggaran yang memerlukan teguran serius dan yang berhubungan dengan umat awam.’ Demikianlah menutup dengan rumput. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan menutup dengan rumput.
“Ānanda, terdapat enam prinsip kerukunan ini yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan. Apakah enam ini?
“Di sini seorang bhikkhu memelihara perbuatan jasmani cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.
“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan ucapan cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.
“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan pikiran cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.
“Kemudian, seorang bhikkhu menggunakan benda-benda bersama-sama dengan teman-temannya dalam kehidupan suci; tanpa merasa keberatan, ia berbagi dengan mereka apapun jenis perolehan yang ia peroleh yang sesuai dengan Dhamma dan telah diperoleh dengan cara yang sesuai dengan Dhamma, bahkan termasuk isi mangkuknya. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.
“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi dengan memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal moralitas yang tidak rusak, tidak robek, tidak berbintik, tidak bercoreng, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak disalah-pahami, dan mendukung konsentrasi. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.
“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi dengan memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.
“Ini adalah enam prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.
“Jika, Ānanda, kalian menjalankan dan mempertahankan keenam prinsip kerukunan ini, apakah engkau melihat ucapan apapun juga, baik hal kecil maupun hal besar, yang tidak dapat engkau terima?” – “Tidak, Yang Mulia.”—“Oleh karena itu, Ānanda, jalankan dan pertahankanlah keenam prinsip kerukunan ini. Hal itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama.”
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com