Persepsi (2)
Vitthatasattasaññā [Saññā 2] (AN 7.49)
“Para bhikkhu, tujuh persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya. Apakah tujuh ini? Persepsi ketidak-menarikan, persepsi kematian, persepsi kejijikan pada makanan, persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, persepsi ketidak-kekalan, persepsi penderitaan dalam apa yang tidak kekal, dan persepsi tanpa-diri dalam apa yang merupakan penderitaan. Ketujuh persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.
(1) “Dikatakan: ‘Persepsi ketidak-menarikan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Karena alasan apakah hal ini dikatakan?
“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-menarikan, maka pikirannya menyusut dari hubungan seksual, berbalik dari itu, menggelinding dari itu, dan tidak tertarik pada itu, dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya. Seperti halnya sehelai bulu ayam atau seiris daging urat, yang dilemparkan ke dalam api, akan menyusut dari api itu, berbalik dari api itu, menggelinding dari api itu, dan tidak tertarik pada api itu, demikian pula sehubungan dengan hubungan seksual ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-menarikan.
“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-menarikan, namun pikirannya condong pada hubungan seksual, atau jika ia tidak berbalik dari itu, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi ketidak-menarikan; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-menarikan, pikirannya menyusut dari hubungan seksual … dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi ketidak-menarikan; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.
“Ketika dikatakan: ‘Persepsi ketidak-menarikan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.
(2) “Dikatakan: ‘Persepsi kematian, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Karena alasan apakah hal ini dikatakan?
“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kematian, maka pikirannya menyusut dari kemelekatan pada kehidupan, berbalik dari itu, menggelinding dari itu, dan tidak tertarik pada itu, dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya. Seperti halnya sehelai bulu ayam atau seiris daging urat, yang dilemparkan ke dalam api, akan menyusut dari api itu, berbalik dari api itu, menggelinding dari api itu, dan tidak tertarik pada api itu, demikian pula sehubungan dengan kemelekatan pada kehidupan ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kematian.
“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kematian, namun pikirannya condong pada kemelekatan pada kehidupan, atau jika ia tidak berbalik dari itu, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi kematian; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-menarikan, pikirannya menyurut dari kemelekatan pada kehidupan … dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi kematian; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.
“Ketika dikatakan: ‘Persepsi kematian, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.
(3) “Dikatakan: ‘Persepsi kejijikan pada makanan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Karena alasan apakah hal ini dikatakan?
“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kejijikan pada makanan, maka pikirannya menyurut dari ketagihan pada rasa kecapan, berbalik dari itu, menggelinding dari itu, dan tidak tertarik pada itu, dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya. Seperti halnya sehelai bulu ayam atau seiris daging urat, yang dilemparkan ke dalam api, akan menyurut dari api itu, berbalik dari api itu, menggelinding dari api itu, dan tidak tertarik pada api itu, demikian pula sehubungan dengan ketagihan pada rasa kecapan ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kejijikan pada makanan.
“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kejijikan pada makanan, namun pikirannya condong pada ketagihan pada rasa kecapan, atau jika ia tidak berbalik dari itu, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi kejijikan pada makanan; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kejijikan pada makanan, pikirannya menyurut dari ketagihan pada rasa kecapan … dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi kejijikan pada makanan; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.
“Ketika dikatakan: ‘Persepsi kejijikan pada makanan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.
(4) “Dikatakan: ‘Persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Karena alasan apakah hal ini dikatakan?
“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, maka pikirannya menyurut dari hal-hal indah di dunia, berbalik dari itu, menggelinding dari itu, dan tidak tertarik pada itu, dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya. Seperti halnya sehelai bulu ayam atau seiris daging urat, yang dilemparkan ke dalam api, akan menyurut dari api itu, berbalik dari api itu, menggelinding dari api itu, dan tidak tertarik pada api itu, demikian pula sehubungan dengan hal-hal indah di dunia ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia.
“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, namun pikirannya condong pada hal-hal indah di dunia, atau jika ia tidak berbalik dari itu, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, pikirannya menyurut dari hal-hal indah di dunia … dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.
“Ketika dikatakan: ‘Persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.
(5) “Dikatakan: ‘Persepsi ketidak-kekalan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Karena alasan apakah hal ini dikatakan?
“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-kekalan, maka pikirannya menyurut dari perolehan, kehormatan, dan pujian, berbalik dari itu, menggelinding dari itu, dan tidak tertarik pada itu, dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya. Seperti halnya sehelai bulu ayam atau seiris daging urat, yang dilemparkan ke dalam api, akan menyurut dari api itu, berbalik dari api itu, menggelinding dari api itu, dan tidak tertarik pada api itu, demikian pula sehubungan dengan perolehan, kehormatan, dan pujian ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-kekalan.
“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-kekalan, namun pikirannya condong pada perolehan, kehormatan, dan pujian, atau jika ia tidak berbalik dari itu, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi ketidak-kekalan; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-kekalan, pikirannya menyurut dari perolehan, kehormatan, dan pujian … dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.
“Ketika dikatakan: ‘Persepsi ketidak-kekalan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.
(6) “Dikatakan: ‘Persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Karena alasan apakah hal ini dikatakan?
“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, maka suatu persepsi mendalam pada bahaya menjadi kokoh padanya terhadap kelambanan, kemalasan, kekenduran, kelengahan, ketiadaan usaha, dan ketiadaan refleksi, seperti halnya terhadap seorang pembunuh dengan pedang teracung.
“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, namun suatu persepsi mendalam pada bahaya tidak menjadi kokoh padanya terhadap kelambanan, kemalasan, kekenduran, kelengahan, ketiadaan usaha, dan ketiadaan refleksi, seperti halnya terhadap seorang pembunuh dengan pedang teracung, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, suatu persepsi mendalam pada bahaya menjadi kokoh padanya terhadap kelambanan, kemalasan, kekenduran, kelengahan, ketiadaan usaha, dan ketiadaan refleksi, seperti halnya terhadap seorang pembunuh dengan pedang teracung, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.
“Ketika dikatakan: ‘Persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.
(7) “Dikatakan: ‘Persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Karena alasan apakah hal ini dikatakan?
“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, maka pikirannya menjadi hampa dari pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini dan semua objek eksternal; pikirannya melampaui pembedaan dan menjadi damai dan terbebaskan dengan baik.
“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, namun pikirannya tidak hampa dari pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini dan semua objek eksternal, jika pikirannya tidak melampaui pembedaan atau tidak menjadi damai atau tidak terbebaskan dengan baik, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, pikirannya menjadi hampa dari pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini dan semua objek eksternal, dan jika pikirannya melampaui pembedaan dan menjadi damai dan terbebaskan dengan baik, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.
“Ketika dikatakan: ‘Persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.
“Ketujuh persepsi ini, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.”
(1) “Dikatakan: ‘Persepsi ketidak-menarikan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Karena alasan apakah hal ini dikatakan?
“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-menarikan, maka pikirannya menyusut dari hubungan seksual, berbalik dari itu, menggelinding dari itu, dan tidak tertarik pada itu, dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya. Seperti halnya sehelai bulu ayam atau seiris daging urat, yang dilemparkan ke dalam api, akan menyusut dari api itu, berbalik dari api itu, menggelinding dari api itu, dan tidak tertarik pada api itu, demikian pula sehubungan dengan hubungan seksual ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-menarikan.
“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-menarikan, namun pikirannya condong pada hubungan seksual, atau jika ia tidak berbalik dari itu, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi ketidak-menarikan; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-menarikan, pikirannya menyusut dari hubungan seksual … dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi ketidak-menarikan; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.
“Ketika dikatakan: ‘Persepsi ketidak-menarikan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.
(2) “Dikatakan: ‘Persepsi kematian, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Karena alasan apakah hal ini dikatakan?
“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kematian, maka pikirannya menyusut dari kemelekatan pada kehidupan, berbalik dari itu, menggelinding dari itu, dan tidak tertarik pada itu, dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya. Seperti halnya sehelai bulu ayam atau seiris daging urat, yang dilemparkan ke dalam api, akan menyusut dari api itu, berbalik dari api itu, menggelinding dari api itu, dan tidak tertarik pada api itu, demikian pula sehubungan dengan kemelekatan pada kehidupan ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kematian.
“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kematian, namun pikirannya condong pada kemelekatan pada kehidupan, atau jika ia tidak berbalik dari itu, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi kematian; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-menarikan, pikirannya menyurut dari kemelekatan pada kehidupan … dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi kematian; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.
“Ketika dikatakan: ‘Persepsi kematian, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.
(3) “Dikatakan: ‘Persepsi kejijikan pada makanan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Karena alasan apakah hal ini dikatakan?
“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kejijikan pada makanan, maka pikirannya menyurut dari ketagihan pada rasa kecapan, berbalik dari itu, menggelinding dari itu, dan tidak tertarik pada itu, dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya. Seperti halnya sehelai bulu ayam atau seiris daging urat, yang dilemparkan ke dalam api, akan menyurut dari api itu, berbalik dari api itu, menggelinding dari api itu, dan tidak tertarik pada api itu, demikian pula sehubungan dengan ketagihan pada rasa kecapan ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kejijikan pada makanan.
“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kejijikan pada makanan, namun pikirannya condong pada ketagihan pada rasa kecapan, atau jika ia tidak berbalik dari itu, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi kejijikan pada makanan; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi kejijikan pada makanan, pikirannya menyurut dari ketagihan pada rasa kecapan … dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi kejijikan pada makanan; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.
“Ketika dikatakan: ‘Persepsi kejijikan pada makanan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.
(4) “Dikatakan: ‘Persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Karena alasan apakah hal ini dikatakan?
“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, maka pikirannya menyurut dari hal-hal indah di dunia, berbalik dari itu, menggelinding dari itu, dan tidak tertarik pada itu, dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya. Seperti halnya sehelai bulu ayam atau seiris daging urat, yang dilemparkan ke dalam api, akan menyurut dari api itu, berbalik dari api itu, menggelinding dari api itu, dan tidak tertarik pada api itu, demikian pula sehubungan dengan hal-hal indah di dunia ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia.
“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, namun pikirannya condong pada hal-hal indah di dunia, atau jika ia tidak berbalik dari itu, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, pikirannya menyurut dari hal-hal indah di dunia … dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.
“Ketika dikatakan: ‘Persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.
(5) “Dikatakan: ‘Persepsi ketidak-kekalan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Karena alasan apakah hal ini dikatakan?
“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-kekalan, maka pikirannya menyurut dari perolehan, kehormatan, dan pujian, berbalik dari itu, menggelinding dari itu, dan tidak tertarik pada itu, dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya. Seperti halnya sehelai bulu ayam atau seiris daging urat, yang dilemparkan ke dalam api, akan menyurut dari api itu, berbalik dari api itu, menggelinding dari api itu, dan tidak tertarik pada api itu, demikian pula sehubungan dengan perolehan, kehormatan, dan pujian ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-kekalan.
“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-kekalan, namun pikirannya condong pada perolehan, kehormatan, dan pujian, atau jika ia tidak berbalik dari itu, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi ketidak-kekalan; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi ketidak-kekalan, pikirannya menyurut dari perolehan, kehormatan, dan pujian … dan apakah keseimbangan atau pun kejijikan menjadi kokoh padanya, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.
“Ketika dikatakan: ‘Persepsi ketidak-kekalan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.
(6) “Dikatakan: ‘Persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Karena alasan apakah hal ini dikatakan?
“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, maka suatu persepsi mendalam pada bahaya menjadi kokoh padanya terhadap kelambanan, kemalasan, kekenduran, kelengahan, ketiadaan usaha, dan ketiadaan refleksi, seperti halnya terhadap seorang pembunuh dengan pedang teracung.
“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, namun suatu persepsi mendalam pada bahaya tidak menjadi kokoh padanya terhadap kelambanan, kemalasan, kekenduran, kelengahan, ketiadaan usaha, dan ketiadaan refleksi, seperti halnya terhadap seorang pembunuh dengan pedang teracung, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, suatu persepsi mendalam pada bahaya menjadi kokoh padanya terhadap kelambanan, kemalasan, kekenduran, kelengahan, ketiadaan usaha, dan ketiadaan refleksi, seperti halnya terhadap seorang pembunuh dengan pedang teracung, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.
“Ketika dikatakan: ‘Persepsi penderitaan pada apa yang tidak kekal, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.
(7) “Dikatakan: ‘Persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Karena alasan apakah hal ini dikatakan?
“Ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, maka pikirannya menjadi hampa dari pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini dan semua objek eksternal; pikirannya melampaui pembedaan dan menjadi damai dan terbebaskan dengan baik.
“Jika, ketika seorang bhikkhu sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, namun pikirannya tidak hampa dari pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini dan semua objek eksternal, jika pikirannya tidak melampaui pembedaan atau tidak menjadi damai atau tidak terbebaskan dengan baik, maka ia harus memahami: ‘Aku belum mengembangkan persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan; tidak ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku belum mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini. Tetapi jika, ketika ia sering berdiam dengan pikiran yang terbiasa dengan persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, pikirannya menjadi hampa dari pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini dan semua objek eksternal, dan jika pikirannya melampaui pembedaan dan menjadi damai dan terbebaskan dengan baik, maka ia harus memahami: ‘Aku telah mengembangkan persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan; ada perbedaan antara kondisi sebelumnya dan kondisi sekarang; aku telah mencapai buah pengembangan.’ Demikianlah ia dengan jelas memahami hal ini.
“Ketika dikatakan: ‘Persepsi tanpa-diri pada apa yang merupakan penderitaan, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.’ Adalah karena hal ini maka ini dikatakan.
“Ketujuh persepsi ini, para bhikkhu, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, memiliki tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com